“All the beaches of the world, could never amount to, nor implore the one grain of sand that I stand on, which is your love.”
― Anthony Liccione
“Kak, kemarin ke Pulau Kakara, kan? Kayaknya aku lihat di dermaga,” seorang gadis manis berkulit terang menyapaku di fastboat tujuan Pulau Morotai yang kunaiki dari dermaga Tobelo. Sembari memeluk ponselku yang bekerja mencari tiket cara kembali dari Morotai ke Ternate, aku tersenyum dan membalas sapaannya. “Oh, iya? Memang kemarin di Kakara juga?” Rupanya gadis itu, yang kemudian kuketahui bernama June bersama temannya Friandry usai mengikuti Ruang Berbagi Ilmu di Pulau Bacan lalu menghabiskan sisa waktunya di Maluku Utara dengan ke Morotai. “Wah, keren ya ikut RUBI. Aku baru seringnya ikut Kelas Inspirasi saja,” obrolan kami tiba-tiba nyambung karena ternyata kami semua punya hobi mengajar dan memotivasi anak Indonesia di bidang pendidikan ini.
Perjalanan selama tiga jam itu pun tidak lagi terasa lama karena kami menjadi akrab satu sama lain di kapal yang meloncat-loncat di tengah ombak. Aku bercerita bahwa aku baru saja tahu bahwa ada pesawat Wings dari Morotai ke Ternate yang terbang sekali sehari dari salah satu penumpang yang berada di pelabuhan tadi. Hore, akhirnya aku tahu bagaimana cara kembali dengan cepat supaya tidak tertinggal pesawat ke Jakarta hari Minggu tiga hari ke depan. June dan Friandry berencana ke Pulau Dodola hari itu dan mengajakku serta karena mereka akan pulang besok dan sudah punya tiket pesawat. Karena tidak ada sinyal, maka aku mengurungkan waktu untuk browsing tiket pesawat hingga tiba di Morotai.
Setiba di pelabuhan Morotai, kami disambut oleh orang-orang yang menawarkan jasa carter speedboat ke Pulau Dodola. Wah, kalau untuk bertiga, sepertinya harga terlalu tinggi untuk kami yang backpackeran ini. Kami pun memilih untuk naik bentor dulu menuju penginapan dan berniat untuk naik perahu ketinting saja yang sesuai kantong. Awh, untung ketemu mereka berdua sehingga aku ada teman jalannya, sharing penginapan dan ikut ke Pulau Dodola pula!
Walaupun hari sudah jam sebelas siang, tapi tak mengurungkan niat kami untuk berperahu ketinting dengan cadik kiri kanan. Sebenarnya agak ngeri-ngeri gimana gitu naik kapal yang panjang dan sempit itu berlima bersama tukang perahu dan anaknya, digoyang-goyang oleh laut Maluku Utara yang kedalamannya tidak kuketahui. Tapi berhubung aku cuek walaupun dengan kemampuan renang yang alakadarnya, tanpa memakai pelampung pula, maka hanya doa dan niat yang besar yang membawa kami akhirnya menuju Pulau Dodola.
Benar saja ajakan June dan Friandry ini tidak mengecewakan, Pulau Dodola ini berupa pulau pasir putih tepung memanjang yang cantik dan keren. Terdapat satu resort pada satu ujung pulaunya, dan hutan-hutan di tengah pada ujung pulau yang lainnya lagi. Kedua bagian ini dipisahkan oleh pasir putih yang menghampar dan benar-benar menggoda untuk guling-gulingan tidak bangun lagi.
Singkat cerita, kami melakukan berbagai aktivitas di pasir yang putih itu mulai dari foto-foto, melamun, hingga membuat video sambil menari-nari. Nah, ketika melihat pemandangan sekeliling, barulah terasa ada yang aneh. Kalau tadi saat kami datang di sisi pulau sebelah timur lautnya cukup seru dan membuat kami deg-degan saking takut terhempas, di sisi lainnya pulau justru laut teduh. Pantai menyisakan berlapis-lapis pasir yang membentuk lansekap indah, angin pun hanya bertiup malas-malasan.
Yang paling unik dari pulau ini adalah adanya jalur pasir yang panjang kosong menuju sisi pulau sebelah selatan yang ditumbuhi hutan dan dikelilingi pasir juga. Berjalan di tengah pasir dengan kiri kanan laut seolah menyeberangi jembatan yang empuk tanpa takut jatuh tercebur. June dan Friandry juga menikmati perjalanan ini sambil banyak mengambil gambar. Kami memutuskan untuk berjalan hingga ujung selatan untuk menjumpai ujung pasir putih ini.
Tapi ternyata melinntasi tepi hutan juga menarik, sehingga kami pun lebih sering berhenti dan berfoto-foto. Akhirnya setiba di ujung dan bertemu infinity sand, kami terpesona. Hamparan putih pasir ini benar-benar dipeluk birunya laut dan sejauh mata memandang hanya putih dan biru saja.
Kami asyik berfoto bergantian di situ sampai-sampai tidak sadar kalau air mulai pasang menjelang sore dan perlahan-lahan menelan tepi-tepi pasir. Rasanya baru meninggalkan sandal selama sepuluh menit ketika tiba-tiba melihatnya melayang di atas air yang meninggi. Buru-buru kami berpindah tempat menjauhi tepian supaya tidak tiba-tiba terhempas. Untungnya sudah cukup merekam pesona putihnya pasir Dodola yang eksotis.
Melanjutkan perjalanan lewat sisi pantai yang sebelah barat, sesekali aku terhenti oleh batu-batu putih yang cantik yang menggoda untuk dibawa pulang. Kandungan kapur tipis membentuk bebatuan ini sehingga kuat sebagai cangkang. Entah apa yang pernah berada dalam rongga-rongga ini. Keasyikan bermain dengan batu, ternyata June dan Friandry sudah lebih jauh di depan hingga sisi utara pulau melewati pasir timbul yang sekarang mulai tenggelam.
Haa, mulai tenggelam pasirnya?? Kulihat tepian jalur pasir tadi jauh lebih sempit daripada sewaktu tadi kami lewati.
Aku agak panik dan setengah berlari melewati pasir, kejar-kejaran dengan air laut yang mulai menenggelamkan warna pasir. Untunglah aku masih sempat melalui jalur sepanjang 100 meter itu dengan kaki kering. Kalau saja aku terlambat setengah jam, bisa-bisa tak bisa kembali ke dataran utama. “Nggak apa-apa koq, nanti tinggal dijemput dengan perahu,” demikian ujar bapak pengemudi ketinting melihat kami yang berlarian hingga meja-meja di tepi pantai.
Usai makan siang menjelang sore, kami menengok lagi ke arah jalur pasir putih yang ternyata sudah dipenuhi air laut. Jalur dari Pulau Dodola ke sisi selatan pun terputus oleh air pasang. Sepertinya kebanyakan pengunjungnya sudah tahu dan tidak ada yang tertinggal di ujung lainnya. Karena langit sudah mulai mendung menggelap, kami pun naik ketinting lagi untuk kembali.
Rupanya ketinting melewati berbagai pulau-pulau kecil dan mampir ke Pulau Zumzum! Whaaaa, aku gembira sekali karena di pulau ini terdapat patung Jenderal Douglas McArthur favoritku yang puisinya dibacakan setiap tahun di acara Pelantikan Anggota KAPA FTUI. Aku teringat karena setiap dibacakan, puisi Doa Seorang Ayah itu membuat dadaku sesak dan haru.
Bimbinglah dia bukan di jalan yang lunak dan mudah
Tetapi di jalan yang penuh desakan, tantangan dan kesulitan
Ajarilah dia, agar sanggup berdiri teguh menghadapi badai
Dan belajar mengasihi mereka yang gagal
Jenderal Douglas McArthur yang ditempatkan di Pulau Morotai pada Perang Dunia II bukan hanya ahli strategi, namun juga memiliki bakat literasi yang luar biasa dan mengobarkan semangat. Patungnya berdiri gagah sendirian di sisi Pulau Zumzum, menghadap timur. Sayangnya lingkungan sekitarnya masih tidak terawat dan berantakan, sehingga banyak orang hanya datang begitu saja, namun tidak mempelajari sejarah dengan baik di sini.
Ketinting membawa kami kembali ke Morotai, menjelang sore untuk menunggu matahari terbenam. Rupanya Morotai yang populer di kalangan penyelam ini cukup banyak juga titik-titik keramaian yang asyik untuk makan sembari menikmati senja.
Kami duduk di salah satu meja sambil memesan ikan bakar dan ditemani air guraka hangat plus pisang goreng bersambal sebagai cemilan. Perlahan-lahan matahari pun turun di barat yang bisa dinikmati dari ujung dermaga. Masing-masing bercerita tentang kesibukannya sehari-hari. June dan Friandry yang berprofesi sebagai pengajar di Kupang ini bercerita juga tentang Kelas Inspirasi Rote yang mereka ikuti beberapa waktu sebelumnya. “Lho, kalian bertemu Farli Sukanto? Dia temanku KI Jakarta yang jadi Pengajar Muda di Rote!” seruku girang. Ya ampun, dunia ini sempit banget buat pejalan seperti kami. Bayangkan saja, aku yang dari Jakarta bertemu June dan Friandry yang dari Kupang di Morotai yang jauh di utara Indonesia.
June juga antusias karena melihat kaosku yang bertuliskan Kupang sehingga aku menjelaskan bahwa beberapa bulan sebelumnya aku ke kota tempat tinggalnya itu. Friandry bercerita bahwa walaupun ia penduduk NTT tapi belum pernah ke Wae Rebo. Ia sempat membaca tulisan tentang Wae Rebo di pesawat yang membawanya dari Kupang ke Makassar seminggu sebelumnya. “Eh, tulisan Wae Rebo di majalah pesawat Kal-Star? Wait, itu tulisan saya!” kataku sambil terbahak.
Ah, perjalanan ini. Selalu mempertemukan yang tak terduga.
(lalu bagaimana dengan tiket kembali ke Ternate? seperti dikhawatirkan, kursi pesawat ATR 72 yang terbatas itu habis. lalu bagaimana cara aku kembali? tunggu kelanjutannya..)
Perjalanan Mei 2016. Ditulis Desember 2017 ketika waktu luang.
tentang Maluku Utara lainnya:
orang-orang baik yang ditemui dalam perjalanan
dua senja langit tobelo
kanca, dodola, dan do’a seorang ayah