Pagi itu, semua bergerak.
Orang dewasa berseragam Korpri menuju tempat kerjanya.
Anak SD berseragam merah putih bersepeda ke tempatnya belajar.
Anak SMP berkemeja rapi berbaris di depan sekolahnya.
Semua untuk hari 17 Agustus 2015.
SEPUTAR KOTA
Tepi-tepi pusat kota terlihat lengang, mungkin larut dengan kesibukannya masing-masing di rumah. Tak ada toko yang beraktivitas jelang upacara. Kantor-kantor pemerintahan tutup, hanya lalu lalang sedikit di stasiun. Kota ini masih mirip sebagaimana yang kukenang dulu. Tenang, lengang, dan kalem.
SEPUTAR UPACARA
Jam tujuh pagi berkeliling kota adalah saat mendengarkan Indonesia Raya diperdengarkan berkali-kali, di saat teriakan komandan upacara sahut-sahutan dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Tak terkecuali di kota sang Proklamator ini. Kota hening, tak banyak yang berlalu lalang di jalan.
ALUN-ALUN
Tepat jam 10 pagi, di alun-alun pohon beringin, tempat orang-orang dari berbagai perwakilan berkumpul untuk upacara, meraunglah sirene keras tanda diperingatinya detik-detik Proklamasi 70 tahun yang lalu. Diikuti dengan mengheningkan cipta dan mengibarkan bendera dan diakhiri dengan operet massal. Adakah punya kenangan serupa dengan pemuda yang mengikuti upacara?
Upacara di sini mungkin tak jauh berbeda dengan 25 tahun yang lalu ketika aku mengikutinya dalam seragam putih biru. Sekarang, lepas dari keseragaman, membuatku ingin tahu kembali suasana seperti ini. Memang mencintai negeri bukan hanya sekadar dengan upacara, tapi dengan memberikan apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga negeri tetap ada. Dari seluruh perjalananku berkeliling, tahun ini aku memutuskan merayakan 70 tahun negeriku di kota yang tenang ini, kampung sang Proklamator. Soekarno. Blitar.
#latepost Upacara Bendera di Alun-alun Blitar, 17 Agustus 2015.
