Friendship … is born at the moment when one man says to another “What! You too? I thought that no one but myself . . .
― C.S. Lewis
Aku pertama kali bertemu dengannya hampir empat tahun yang lalu, tanggal 3 Maret 2012. Siang itu, di Ruang Kenanga Istora Senayan Jakarta, seorang lelaki (sebenarnya kurang pas, karena waktu itu wajahnya seperti anak baru lulus SMA) menyapaku, “Mbak Indri Juwono, ya? Yang di Goodreads Indonesia?” Walaupun aku tak terlalu aktif di komunitas itu, tapi lumayan seneng juga ada yang mengenali (bukti bahwa ketenaran tak perlu terlalu kerja keras #eh). Kami berbincang sedikit di acara peluncuran buku karya Gola Gong yang berjudul Travel Writing. Saat itu mungkin tak satu pun dari kami berdua yang berpikir akan menggeluti dunia travel writing di kemudian hari. Datang ke situ sebagai penggemar Gola Gong saja, titik (dan hal-hal lain yang sebaiknya dilupakan). Dan malamnya, ketika menonton konser Roxette di MEIS, sepertinya aku sudah tidak ingat lagi pada sosok pria yang mengajakku berkenalan suangnya itu. Namanya Adie.
Entah dari mana munculnya, ketika aku mulai banyak menulis tentang perjalanan, nama Adie mulai ikut wara wiri di linimasa twitterku. Perlahan-lahan aku mulai ingat, apalagi ia sempat mention dan mengenalkan diri lagi pernah ketemu denganku di Istora Senayan itu (ini juga sebenarnya aku lupa bagaimana sebenarnya caraku ingat). Karena aku ramah dan baik, aku menyapanya balik. Kuperhatikan foto-foto yang dipajang di twitter, tapi tetap saja aku tak bisa ingat wajah seperti apa dulu waktu kenalan. Ya sudahlah, pokoknya sekarang berteman. Di twitter. Di facebook juga.
Kadang-kadang aku mampir di blognya, adiedoes.blogspot.co.id. Tapi karena platform blog kami tidak sama, jadi aku jarang tahu jika ada tulisan baru. Kadang-kadang kalau aku browsing suatu tempat, tak sengaja mampir ke blog Adie. Tulisannya rapi, pilihan diksinya bagus dan cukup serius.
Nah, pada saat berteman di twitter inilah mulai tektokan karena ia sering sekali meramaikan acara #IDTC Indonesia Travel Chat di twitter yang diadakan Travel Bloggers Indonesia bersama teman-teman penghobi traveling membahas aneka jenis topik menarik tentang traveling. Di acara yang dulu seminggu sekali diadakannya itu Adie menjadi peserta aktif yang sering ikut menjawab aneka pertanyaan yang diajukan, dan suka menyambar-nyambar twit teman-teman lain juga. Di sinilah Adie mulai mencuri perhatian lagi karena foto-fotonya, dan terutama lagi, karena ia sering memposting foto dirinya di salah satu ikon poin di lokasi traveling. Ini beneran hampir tiap #IDTC ada Adie, yang tak ketinggalan menutup acara dengan foto diri.
Esumpeee, ni anak niat banget yaaa.. (begitu pikir host-host #IDTC yang bergantian). Sampai kegigihannya buat foto selfie ini diganjar dengan hadiah dari host #IDTC yang topiknya #SelfieAsyik di lokasi traveling. Iya ampun, pas banget predikat traveler narsis tersemat pada dirinya.
Lewat setahun #IDTC tetap saja nggak pernah ketemu. Mungkin karena kami sama-sama meniti karir sampingan sebagai travel blogger beneran, jadi kebanyakan jalannya, atau kebanyakan kerjanya. Ish, kesannya jadi travel blogger itu sibuk banget ya, padahal sih pencitraannya memang begitu. Adie juga sering ikut anea lomba blog, mengintip dari timeline twitter yang sering kubaca sekelebatan.
Lalu, kenapa tahu-tahu menulis tentang Adie?
Jadi, gara-gara aku mengirim profil untuk mengikuti Lombok Sumbawa Travel Gathering di Lombok November lalu, aku mendapat kesempatan buat piknik bareng pemenang lomba, yang di antaranya adalah Adie! Ha, begitu susahnya ketemu di Jakarta sejak kenal tiga tahun yang lalu, malah rencana ketemunya di Lombok! Benar, Jakarta memang bukan kota biasa, ia propinsi. Lagipula Adie tinggal di Tangerang dan aku di Depok, beda propinsi dan bukan di Jakarta juga. (Lalu apa hubungannya? Ah, sudahlah).
Kami pertama kali ketemu lagi di bandara Cengkareng, bareng Lutfi Retno, yang sudah hampir setahun tinggal di Jakarta, tapi aku juga belum ketemu. Apalagi aku yang seharusnya berangkat dua hari sebelumnya, jadinya malah berangkat bareng Adie dan Lutfi gara-gara bandara LOP tak kunjung dibuka. Langsunglah kami bertiga cela-celaan dan ledek-ledekan, padahal selama ini cuma kenal di twitter saja, tapi koq rasanya sudah kenal lama begitu. Rupanya benar ya, tulisan seseorang ini mencerminkan dirinya. Jadi bisa membaca karakter dari tulisan, padahal tidak ketemu orangnya. Apalagi tulisan-tulisan kami ini non fiksi!
“Adie, bajunya serasi dengan tasnya.”
“Iya, mbak, aku memang kalau jalan membiasakan diri untuk warna baju, tas, sepatu harus matching. Biar enak gitu.”
“Biar enak difoto?”
“Heeeee…”
Selain itu, tentu ingat bahwa kami itu tergila-gila pada buku, jadi kami saling membandingkan buku-buku yang kami bawa sebagai bekal perjalanan. Adi membawa buku Travel Writing-nya Lonely Planet, aku menenteng Eleanor & Park-nya Rainbow Rowell, dan juga Lutfi. Sebagai informasi, Lutfi ini kukenal dari jejaring goodreads juga di jogja, beberapa tahun sebelumnya juga.
Adie ini mengasyikkan sebagai teman jalan, karena hobinya sama, jadi kami saling bercerita tentang buku-buku yang pernah kami baca. Jadi, alih-alih bosan menunggu pesawat yang delay karena debu Rinjani, kami mengobrol seru tentang buku-buku, tentang jalan-jalan, tentang bandara, tentang pesawat, tentang lomba, tentang kesempatan-kesempatan lalu yang mungkin ketemu.
“Lha waktu itu aku ikut acara TravelNBlogID yang pertama sama acaranya Skyscanner di Pullman itu lho, tapi nggak ketemu mbak Indri.”
“Wah, pas TravelNBlogID lagi ke Bandung, kalau pas Skyscanner lagi ke Jepang. Jadi lah blum ketemu. Emang belum waktunya saja, kali.”
Kebetulan juga kami bertiga sudah pernah ke Lombok sebelumnya, jadi saling bercerita tentang pengalaman-pengalaman berada di Lombok, makanan-makanan yang kami incar, juga tempat-tempat indah yang kepingin dikunjungi. Kebetulan lagi, saat itu Barujari, Anak Gunung Rinjani, baru saja erupsi sehingga mengganggu jalur penerbangan selama hampir seminggu. Jadi kedatangan kami ke bandara Cengkareng juga setengah was-was apakah kami bisa diterbangkan atau tidak (Kemudian panitia di Lombok mengirim informasi bahwa bandara LOP sudah dibuka sejak jam tujuh pagi).
“Sebenarnya mestinya aku berangkat seminggu yang lalu, mbak. Mau naik gunung Rinjani dulu sama temanku, terus lanjut ke acara TW Gathering ini. Tapi gara-gara gunungnya erupsi, jadi nggak bisa didaki. Jadi cuma ikut acara ini saja. Tapi nanti sesudah acara sudah janjian sama satu peserta juga, Subhan, untuk jalan-jalan ke Sumbawa.”
Ia sih santai saja karena rencananya batal. Kalau memang alam sudah berkata demikian, mau bilang apa? Adie memang hobi naik gunung, beberapa kali aku membaca di twitter kalau ia berulang kali naik gunung Gede Pangrango, dan beberapa gunung di Pulau Jawa. Aku juga bercerita bahwa tahun sebelumnya aku juga mendaki Gunung Rinjani, walau pun tidak sampai puncak.
“Nanti juga pesawat kita lewat di atas Rinjani. Eh, kalau bisa lewat ya.”
Akhirnya kami berangkat juga ke Lombok sesudah delay hampir 90 menit. Walaupun nggak bisa tidur di jalan, tapi tetap segar ceria begitu pesawat akhirnya mendarat di bandara internasional Lombok. Dan, begitu turun dari pesawat adalah..
“Mbak, fotokan aku di situ dong.”
Eh, rupanya ini asal muasal foto-foto diri yang bertebaran itu.
Lalu berlanjut dengan kami berfoto di berbagai ikon-ikon menarik dan wajib. Dasarnya kami sama-sama suka difoto, jadi bergantianlah kami saling memotret diri. Oh, jadi begini foto-foto Adie, mengajak temannya berfoto bareng. Tak lama ia menghilang, dan balik-balik sudah membawa satu kain lombok yang tersampir di bahunya.
“Ada penjualnya di ujung sana, katanya sih setiap hari berjualan di sini dan tutup jam lima.”
Adie memang selalu ramah kepada semua orang yang ditemuinya. Ia cepat akrab dan mengobrol cair dengan penjual, pemandu, atau warga-warga sekitar yang ditemuinya. Ketika kami balik lagi ke bandara sembari menunggu kedatangan Zahra, ia sudah banyak mengobrol yang mengakibatkan kami mendapatkan kain-kain dengan harga lumayan murah. Hal pertama yang ia tanyakan adalah nama, untuk mengundang keakraban lanjutan. Di Desa Tenun Sukarare ia langsung mengajak kenalan mas-mas pemandunya (maafkanlah, aku sudah lupa namanya), menanyakan aslinya dari mana, tempat tinggalnya, sampai tentang sejarah desa ini. Tak heran hal-hal personal ini yang kerap kali membuat tulisannya begitu kaya.
Ketika kami berperahu ke Lombok Timur, Adie-lah yang akrab mengobrol dengan mas-mas perahu, yang banyak membuka cerita pada kami tentang Gili-gili di Lombok Timur yang indah. Ia begitu luwes mengajak orang berbicara, tidak seperti sedang mencari data, seperti mengobrol biasa. Ternyata ia juga banyak mengambil foto pemandangan sekitar, bukan cuma foto narsis belaka. Asyiknya, ia tidak marah kalau kami meledeknya tentang foto-fotonya itu. Pasrah saja lah, memang hobinya begitu. Kami juga tidak ambil pusing soal itu, karena memang tidak terlalu mengganggu. Candaan dan obrolannya sepanjang jalan membuat perjalanan kami menjadi segar.
Ia mengaku lebih suka bermain-main di gunung dari pada di air. Itu alasan yang dikemukakan ketika ia memilih untuk berada di dalam perahu saja daripada ikut berenang-berenang bersama ikan dan terumbu karang. Sebenarnya ada alasan lainnya, tapi lebih baik jalan bersamanya saja supaya tahu. Hehehe.
Karena Adie suka naik gunung, ia menjadi yang paling depan ketika kami naik bukit Pergasingan. Ia yang memilih jalur-jalur yang mudah dilewati sehingga kami tinggal mengikuti jalan mana yang tadi ia pijak. Ia juga rela menunggu cewek-cewek ini sampai pada titik yang aman, baru melanjutkan perjalanan lagi. Dan ia pantang menyerah! Selama masih kuat nafasnya, ia tetap berusaha untuk membujuk kami berjalan terus sampai puncak Bukit Pergasingan.
“Sudah sampai sini, lho. Puncaknya sudah sedikit lagi dan kita nanti bisa melihat Sembalun di sisi yang lain,” semangatnya melihat kami yang sudah kelelahan sesudah berjalan selama dua jam. Meskipun kalau ia berjalan sendiri, aku yakin ia bisa mencapai puncak ketika momen matahari terbit, tapi ia malah dengan sabar tetap bersama-sama. Jadilah ketika sang surya mulai menampakkan diri, kami masih sabar meniti jalan setapak menuju puncak.
Karena Adie yang sabar, maka kami rela membantunya untuk mewujudkan hobinya untuk berfoto-foto di atas dengan berbagai gaya. Pemandangan Sembalun yang indah membius kami untuk terus merekam lewat lensa. Ah, tak apalah sesekali menolong memotret Adie, karena ia pun meminjamkan buku di ranselnya sebagai properti fotoku.
Pembawaannya yang ramai dan suka becanda membuat suasana di mobil senantiasa cerah ceria. Dengan santai ia berbalas canda dengan Pungki, menanggapi Aa Yusuf yang pendiam, atau menjadi kakak yang baik untuk Ikhsan. Adie juga selalu menjadi yang paling cepat bangun pagi, sehingga jangan khawatir kesiangan kalau jalan dengan beliau. Bayangkan, ketika kami masih tergolek santai di kasur seusai subuh di hotel d’Oria Senggigi, ia sudah mengirim foto ini.
“Itu siapa yang motoin, Dieeee???”
Nggak heran dengan pembawaannya seperti itu, ia pasti dengan mudah mengobrol dan meminta tolong orang di tepi jalan untuk membantu memotretnya bergaya lari.
Adie yang juga pegawai di salah satu instansi pemerintah ini mengungkapkan juga bahwa ia belum pernah traveling dalam jangka waktu panjang karena terbentur jadwal cuti yang pas-pasan dari kantor. Namun ia begitu mengefektifkan dengan menyiasati tanggal merah sehingga mendapat hari libur yang cukup panjang ditambah cuti. Ia pernah naik kapal empat hari dari Labuan Bajo hingga Lombok, pernah seminggu juga keliling Toraja hingga Tanjung Bira, atau jalan-jalan sampai kilometer nol di Aceh. Postingannya tentang Tanjung Puting sukses meracuniku untuk ke bumi Kalimantan tahun lalu.
Satu rahasia yang membuat kami yang terkantuk-kantuk di pagi buta dalam perjalanan menuju Sumbawa sehingga bangun adalah : kecintaannya pada film AADC (nggak perlu dijelaskan itu kepanjangannya apa, ya).
“Inget ya Ta, salah satu diantara kita, itu siapa yang lebih punya hati atau nggak punya otak?
Tapi kamu nggak punya kedua-duanya deh. Asal kamu tau Ta, kalau diperlakukan kayak gini sih, saya sudah biasa. Tapi satu, nggak usah ada maaf-maafan lagi. Saya setuju kita nggak usah berhubungan lagi.“
Kemudian dialog-dialog AADC yang dihafalnya menghiasi perjalanan kami menuju pelabuhan. Ternyata ia sudah menonton film ini lebih dari 40 kali dan juga membaca buku skrip film yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan film Indonesia kembali ini. Pastilah kami janjian untuk menonton AADC2 yang akan diputar bulan April kelak.
Di kapal menuju Sumbawa, kembali pria asal Nganjuk, Jawa Timur ini menunjukkan keakrabannya dengan salah satu bapak-bapak penumpang kapal yang berbuah dengan foto dirinya di salah satu sudut kapal dengan latar belakang Pulau Sumbawa yang kelabu di kejauhan. Memang dari obrolan-obrolan itu ia mendapat cerita tentang orang-orang yang sering berlalu lalang antara Pelabuhan Khayangan Lombok dan Pototano, Sumbawa.
Di pulau Pasareang, sementara kami asyik berenang-renang di air, Adie malah mendaki bukit yang dipenuhi ilalang sambil berlari-lari ringan. Kami sempat bertanya-tanya dengan siapa ia ke atas, ternyata dengan salah satu awak perahu kecil yang membawa kami berkeliling. Kami yakin 100% bahwa Adie mengambil foto diri di atas sana ketika udara sedang panas begini.
Si pendaki gunung ini tentu tak menyia-nyiakan kesempatan ketika menemukan bukit kecil di Pulau Kenawa, dan langsung berusaha naik ke atas walau pun yang lain masih bersantai-santai di bawah. Beberapa saat setelah aku puas bermain-main di padang ilalang, aku ikut mendaki ke atas dan menemukannya sedang.. mengeset timer di ponselnya karena ia membuat foto diri. Melihatku tiba di puncak, ia langsung meminta tolong padaku untuk memotretnya. Ha, sayangnya sesudah itu hujan mulai gemerintik turun sehingga sesi selfie tak berlangsung lama. Aa Yusuf yang baru tiba di atas pun kecewa karena tak bisa mengambil gambar.
“Die, kamu itu selalu menyiapkan foto selfie buat #IDTC ya?”
“Wah, aku tuh seneng banget kalau #IDTC mbak, jadi kalau sudah tahu topiknya, walau belum ada pertanyaannya, aku menyiapkan foto-foto satu folder, jadi pas acaranya mulai tinggal langsung upload saja.”
Wah, pantesan stok fotonya selalu berlimpah dan menyemarakkan suasana contohnya di #IDTC Kuliner Negeri Sendiri ini.
Lima hari bersama Adie Riyanto, orang yang selama ini cuma kukenal bersama twit dan tulisannya, ternyata tak jauh berbeda aslinya. Jalan-jalan bersamanya memang hore dan asyik, nggak pernah sepi, bisa berbagi makanan, easy going, jarang ngambek, walaupun terkadang diganggu dengan ajakan (eh, permintaan) untuk memotretnya. Nggak percaya? Coba saja cek twitnya di @adieriyanto. Ia masih available koq. Semoga lekas dapat jodohnya yang pengertian. Terus menulis, terus bertualang, dan tetap membantu teman, ya! Monggo kalau ada yang mau kenalan. Ehehehe..
Disclaimer :
Tulisan ini diceritakan tanpa seizin Adie Riyanto sebelumnya, dan mohon maaf sebelumnya jika ada kata-kata yang menyinggung. Becanda itu, teman. Kalimat-kalimat kutipan juga bukan sepenuhnya persis, tapi kita-kira kata-katanya begitu. Sebagian foto-foto diambil dari twitter @adieriyanto. Semua pendapat adalah personal, tanpa tendensi apa pun.
Ini dua postingan Adie yang kusuka, karena kaitannya dengan arsitektur tentunya. ;)
Astana Mega Jakarta
Saba Sade
Karena 14 Februari 2016, maka Travel Bloggers Indonesia posting bareng tentang #UltimateTravelmate tentang teman perjalanan yang mengesankan. Karena selalu ada cerita di balik canda kan?
Tulisan #UltimateTravelmate lain :
1. Shabrina
2. Astin Soekanto
3. Parahita Satiti
4. Dea Sihotang
5. Titiw Akmar
6. Mas Edy Masrur
7. Olive Bendon
8. Leo Anthony
9. Indri Juwono
10. Rembulan
11. Karnadi Lim