Quantcast
Channel: tindak tanduk arsitek
Viewing all 232 articles
Browse latest View live

perempuan yang menangis di dalam mobil ketika turun hujan

$
0
0

rain-in-the-car

Sepertinya langit baru membuka kerannya, ketika rintikan banyu turun satu per satu dari atas. Perempuan itu berlari, menyeberang jalan dan membuka pintu mobilnya, lalu duduk terdiam. Ia bisa saja langsung menyalakan mesin dan berlalu supaya tidak habis dimakan tarif parkir yang menggila.

Bebannya pecah. Satu per satu air mata mengalir di pipinya seiring hujan yang semakin menderas. Mungkin ia memilih menangis di tengah rinai supaya tak ada yang mendengar suaranya. Toh, pelan saja.

Terkadang ia terlalu keras terhadap dirinya sendiri.” Begitu dialog yang tadi didengarnya. Mungkin benar. Mungkin selama ini ia terlalu menuntut sempurna untuk dirinya, sehingga ia pikir orang-orang pun bisa bersikap yang sama. Everything must be right. In order.

Mobil melaju keluar dari pelataran. Tangisnya tak berhenti. Ia tidak sedih, hanya marah. Mungkin pada kehidupannya. Atau ketiadaan telinga yang mendengarnya. Tapi ia memang sudah tidak peduli, karena ia takut teman-temannya sudah bosan apa yang akan ia keluhkan. Maka ia putuskan untuk diam, dan memendam seperlunya. I bertengkar lagi, mungkin salah paham, atau ketidakmengertian.

Bukan satu dua kali ia gagal berteman, karena mempertahankan prinsip. Atau mungkin ego. Atau karena ia selalu berusaha menepati janji untuk melakukan sesuatu, tapi akhirnya ia lelah sendiri. Mungkin ia memang lebih cocok bekerja sendiri daripada dalam tim. Atau lebih pantas sebagai pimpinan yang lalim.

Ia teringat pada satu wajah tenang yang baru dikenalnya. Kadang-kadang bertegur sapa, membahas tentang Indonesia, atau hal-hal penting lain. Rasanya ia ingin menumpahkan cerita padanya. Tapi ia tak tahu di mana pemilik wajah tenang itu. Dan tak berani untuk berusaha menghubunginya. Ia hanya takut gagal berteman lagi. Karenanya ia tak mencoba untuk berbincang tentang hal-hal tak penting, supaya tidak menjadi canggung keduanya. As ordinary as it can be.

Lalu ia menangis lagi. Mungkin bodoh. Tempat favoritnya menangis. Di antara laju ban dan derum kiri kanan, ketika otaknya separuh konsentrasi sementara emosinya berantakan. Di tengah marahnya ia bisa puas menekan klakson mobil sambil mengumpat. Dan air mata berurai di pipinya.

Ia meninggalkan mimpi yang pernah dibangunnya, namun rusak oleh sebuah ingkar. Ketika mulai melangkah, kebohongan tiba di depan matanya dengan bertopeng wajah baik hati. Ia melarikan diri, mengira dirinya sedang merangkai jembatan yang indah ketika sadar bahwa itu hanya ilusi. Satu tamparan untuk menjauh membawanya kembali ke kenyataan. Ia ingat, kala itu ia juga menangis di dalam taksi yang dihentikannya segera sesudah ia berlari keluar dari kafe.

Berjalanlah sekarang. Jika nanti kamu bertemu seseorang yang tidak sama, kamu sudah cukup.” kata seorang teman.

Ia tak lagi bisa nyenyak, ketika memejam mata malam-malam. Tidur tidak lagi memberikan damai, tapi hanya transit sejenak sebelum memulai hari lagi. Sulit untuk benar-benar istirahat sementara pikiran masih melanglang. Setiap hari. Berbulan-bulan. Bertahun. Mungkin ia belum berhasil mengendalikan diri.

Menangis adalah ekspresinya. Untuk menunjukkan manakala ia sedih, marah, atau bahagia.Dan hujan favorit, menyembunyikan semua dalam derasnya. Semoga hujan meluruhkan ingatan kelabu. Tentang yang lalu, supaya ia bisa kembali mengumpulkan keberanian.

Kalibata. 02.04.2016. 22.20



5 hal favorit di film surat dari praha

$
0
0

surat-dari-praha-review-resensi-cover

Aku menonton Surat dari Praha dua hari yang lalu, ketika tahu-tahu punya waktu menonton, tertarik melihat posternya, tetapi sayangnya mal di samping kantor di wilayah Bogor tak lagi memutar film itu. Segera kucari posisi bioskop di Jakarta Selatan yang tak terlalu jauh dari pintu tol. Biasalah, film Indonesia memang sering dianaktirikan sehingga waktu tayangnya tak lama. Karena tak berhasil mendapatkan teman kencan juga, aku nonton sendirian di Kalibata, yang terhitung cukup lumayan untuk pulang ke rumah malamnya.

Padahal aku tak baca resensi apa pun untuk film ini, tapi cerita eksil di negeri seberang selalu menarik perhatianku. Plot cerita yang unik dan kebetulan yang menjadi agak wajar, kemudian dibungkus dengan cerita sejarah yang selama ini disembunyikan dari orang Indonesia. Bahwa ada kerabat yang jauh di luar negeri sana yang tiba-tiba kehilangan kewarganegaraan karena iklim politik yang berubah. Dan nasib seorang sarjana nuklir yang terpuruk tak bisa mengaplikasikan ilmunya.

Semacam alasan kenapa aku benci politik. Sehebat-hebatnya seorang engineer mungkin bisa tak berkrida karena sistem politik. Dan aku memilih menonton film ini tanpa menonton trailer apa pun, dan menemukan beberapa hal yang membuat film ini menarik bagiku dan bisa kuingat lama (bahkan sampai menulis review).

1. Tio Pakusadewo
Selain posternya yang agak misterius, Om Tio Pakusadewo ini yang menarik minatku untuk menonton film Surat dari Praha. Terakhir melihatnya berakting di film Rayya, Om Tio terlihat lebih tua dan lebih kurus, namun aktingnya jempolan sebagai seseorang yang kehilangan tanah airnya, menjalani kehidupan sehari-hari di Praha dengan wajar, sambil sesekali minum, main piano atau bernyanyi. Ialah alasan kenapa Surat dari Praha ini ada.

surat-dari-praha-review-resensi-1-tio-pakusadewo

2. Kemala Dahayu Larasati
Nama karakter yang diperankan oleh Julie Estelle. Nama yang mencuri perhatianku ketika pertama kali disebut terdengar indah mengalun, sangat khas Indonesia. Ditahbiskan pula untuk Julie yang cantik dan anggun, yang karakternya keras walau hatinya hancur.

surat-dari-praha-review-resensi-2-kemala-dahau-larasati

3. Gaun polkadot hitamnya Larasati
Muncul di scene-scene akhir, bahannya tampak ringan melayang jatuh di badan Larasati yang langsing. Langkah-langkahnya menyusur jalan-jalan di Praha dipadu dengan sepatu boots dan tas cangklong. Sederhana tapi meninggalkan kesan yang unik. Dari sejak meninggalkan rumah, naik trem, hingga nongkrong di bar, gaun ini tetap manis dengan suasana santai.

surat-dari-praha-review-resensi-4-gaun

4. Toko buku
Ow, toko buku adalah tempat paling bagus sebagai scene film. Apalagi di sini berupa toko buku kecil dengan rak-rak yang tingginya dari lantai hingga langit-langit, dan cafe mungil di ujungnya. Warna cokelat kayu yang mendominasi membuat suasana menjadi hangat dan intim. Tidak modern, namun terasa begitu akrab. Jika aku di sana, mungkin hampir pasti akan nongkrong di toko buku ini cukup lama.

surat-dari-praha-review-resensi-4-toko-buku

5. Praha
Whoa, Praha atau Prague adalah bucket list sejak aku mengidolakan pesenam-pesenam zaman dulu yang banyak berasal dari ibukota Ceko (dulu ibukota Cekoslowakia). Entah tahun berapa kelak aku bisa menjejakkan kaki di sini, tapi pemandangan kota Praha yang cukup ramai dengan bangunan-bangunan batu yang kuno, membuatku penasaran. Sayang tak banyak sudut kota yang dijelajahi dalam gambar sehingga kurang banyak lansekap kota yang bisa dinikmati penonton.

surat-dari-praha-review-resensi-5-kota

Menjadi eksil di negeri orang memang menyedihkan, tapi selama didampingi oleh teman-teman selama bertahun-tahun berjuang bersama-sama, hidup yang selalu disyukuri menjadi bagian dari perjuangan, termasuk bagaimana untuk memaafkan tanah air yang dulu begitu saja membuang mereka. Mereka tumbuh menjadi manusia bersama-sama, menua bersama, tetapi tetap dengan sekeping memori tentang tanah tumpah darah.

Pink room. 05/02/2016. 23:08
semua foto dari trailer film pada youtube yang ditayangkan di bawah ini.


tugu kunstkring paleis : bercengkrama lewat masa

$
0
0

0-cover-tugu-kunstkring-paleis-review

I hate imperialism. I detest colonialism. And I fear the consequences of their last bitter struggle for life. We are determined, that our nation, and the world as a whole, shall not be the play thing of one small corner of the world.
― Sukarno

Berulang kali aku melewati bangunan Tugu Kunstkring Paleis ini dalam perjalanan melewati Menteng. Lokasi tapaknya memang unik, berbentuk hampir seperti segitiga dengan sisi samping menghadap Cut Nyak Dhien yang merupakan jalan terluar Menteng yang berbatasan dengan Cikini, dan sisi lainnya adalah jalan Teuku Umar, salah satu poros utama kawasan yang menghubungkan antara bundaran di depan tapak, bundaran dengan air mancur, hingga taman Surapati yang merupakan square utama kawasan Menteng.

Daerah Menteng sendiri dikembangkan sebagai pemukiman pada tahun 1890 oleh P.A.J. Moojen dari Belanda yang terinspirasi oleh model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitek pembaharu dari Inggris. Dahulu ketika pusat pemerintahan masih berada di Beos (Jakarta Kota sekarang), Menteng adalah kawasan suburban yang menjadi daerah pemukiman yang elit dengan taman-taman yang berada di dalamnya yang tadinya adalah kebun luas di mana banyak tanaman ‘Menteng’ yang tumbuh di atasnya.

Berada di posisi yang strategis membuat bangunan ini pernah memiliki berbagai fungsi penting juga untuk Menteng. Sejarah mencatat awalnya didirikan sebagai Bataviasche Kunstkring, yang artinya Pusat Seni Batavia yang dibuka pada 17 April 1914 sebagai rumah bagi Nederlandsch-Indische Kunstkring dari Hindia Belanda untuk mempromosikan seni rupa dan dekoratif Hindia. Di sini pernah menampilkan berbagai karya kelas dunia dari Vincent van Gogh, Pablo Picasso, Paul Gauguin, Marc Chagall dan sejenisnya. Ketika zaman berubah tempat ini pernah menjadi markas Madjlis Islam Alaa Indonesia dan kemudian berubah menjadi Kantor Imigrasi yang huruf-hurufnya masih tertempel paten di dinding atas.

Facade

Bagian depan bangunan ini adalah gerbang tiga pintu dengan dua menara yang menggunakan gaya tropis art-deco dengan jejak-jejak neo-klasik peninggalan abad 19. Jelas, bangunan ini berdiri pada zaman Belanda, pada masa yang sama dengan beberapa bangunan lain di Menteng, termasuk gedung N.V de Bouwploeg yang berada tak jauh dari sini. Berdiri di kawasan yang ditetapkan sebagai cagar budaya membuat fasade bangunan tak berubah dari sejak ia berdiri.

Dua menara berdiri di kiri dan kanannya. Salah satu sudah tertutup pohon yang merimbun, sementara satu lagi berdiri di dengan kubah kecil berwarna merah bata. Tulisan Immigrasie NST-Djawa N Immigrasi tertempel paten di dindingnya. Benar, di masa lalu gedung ini adalah salah satu bangunan pemerintahan untuk fungsi Imigrasi. Lokasinya hampir ke tepian Menteng, tapi menghadap satu bundaran yang sepertinya sibuk di masa lalu.

0-c-tugu-kunstkring-paleis-review-arch-facade

0-a-tugu-kunstkring-paleis-review-arch-facade

Foyer

Ruang penerima ini didesain dengan gaya klasik, beberapa sitting groups ditata apik di sini. Sepertinya berada di sini seperti kembali ke zaman kolonial di mana nonik-nonik Belanda masuk dengan anggun.

Sempat juga beberapa waktu yang lalu tempat ini difungsikan sebagai Buddha Bar, yang menuai banyak kontroversi di berbagai kalangan sampai akhirnya ditutup. Pihak managemen hotel Tugu mengambil alih lokasi ini di tahun 2013 dan dengan kecintaan serius terhadap seni,budaya dan Indonesia diizinkan untuk membuka bangunan ini dengan fungsi restoran yang dilengkapi ruang pameran.

0-d-tugu-kunstkring-paleis-review-foyer

0-e-tugu-kunstkring-paleis-review-foyer

0-f-tugu-kunstkring-paleis-review-foyer

Ruang Diponegoro

Ruang utama dan terbesar di sini adalah Ruang Diponegoro, yang sering digunakan sebagai tempat jamuan makan resmi. Meskipun demikian pelanggan juga bebas memilih untuk duduk di meja-meja ini untuk menikmati hidangan dari dapur Tugu Kunstkring. Ruang yang memiliki kapasitas 85 tempat duduk ini didominasi warna merah dan emas dengan lukisan “The Fall of Java” yang berukuran 9×4 m sebagai latar ruangan yang menggambarkan Pangeran Diponegoro usai perang di kediamannya Magelang usai pengkhianatan Jenderal De Cock.

Di tepian terdapat ornamen yang menyerupai tiang, tapi ternyata bukan. Ternyata itu dulu bekas pos penjaga Paku Buwono, kemudian dipasang di sini. Wah, menarik sekali bahwa satu fungsi bisa berubah menjadi fungsi lain yang ornamentik di sini. Ruangan yang didominasi warna merah ini memiliki beberapa dining table dengan berbagai jumlah kursi.

Tugu Kunstring Paleis memiliki layanan menghidangkan makanan dengan Rijsttafel, yaitu makanan yang dihadirkan dalam baki-baki oleh pelayan yang mengenakan pakaian tradisional Betawi dengan diiringi perkusi yang memainkan lagu Ondel-ondel Betawi. Tradisi Rijsttafel ini dahulu sering diadakan di Hotel des Indes, Batavia lampau. Sayangnya, tak ada yang memesan layanan ini ketika aku berkunjung.

1-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-ruang-diponegoro

2-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-ruang-diponegoro

3-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-ruang-diponegoro

4-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-ruang-diponegoro

Suzie Wong Lounge

Terinspirasi oleh film “The World of Suzie Wong”, di sisi sebelah timur adalah Suzie Wong Lounge yang bernuansa oriental. Film dengan setting Hongkong di akhir tahun 1950-an itu berkisah tentang seorang pelacur yang digila-gilai oleh Lomax, seorang pelukis yang tiba di Hongkong. Film ini menjadi hit di tahun 1960-an dan properti filmnya menjadi koleksi berharga dan memberi nuansa romantis.

Beberapa sitting group bergaya oriental termasuk partisi lipat dari kayu yang membagi beberapa bagian. Tak seperti di Ruang Diponegoro yang semuanya bergaya fine dining, suasana di Suzie Wong lebih santai dengan meja dan kursi rendah. Di salah satu sudutnya terdapat bar yang meracik minuman sebagai teman bercengkrama. Sepertinya, area ini untuk mengobrol atau minum kopi yang lebih santai.

Warna merah nuansa Tionghoa yang kental tercitra dari lampion-lampion yang digantung di langit-langit untuk menghangatkan suasana. Di satu sisi diletakkan rickshaw dari Wanchai berjok merah yang mengingatkan pada masa lalu. Suasana yang temaram membuat pengunjung merasa akrab, walau agak sedikit seram. Ornamen-ornamen Tionghoa tersebar di pintu, tiang, ataupun kursi-kursi.

5-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-suzie-wong-lounge

6-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-suzie-wong-lounge

7-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-suzie-wong-lounge

8-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-suzie-wong-lounge

Multatuli

Siapa tak kenal dengan Multatuli, penulis buku Max Havelaar yang terkenal itu? Pria yang terlahir dengan nama Douwes Dekker ini rupanya salah satu favorit pemilik Tugu juga, sehingga salah satu ruang makan privat di belakang Ruang Diponegoro ini dipenuhi kenangan tentang mantan asisten residen di Lebak tersebut yang menyuarakan penderitaan kerja rodi lewat tulisannya itu.

Dalam ruangan yang bisa menjamu 12 orang itu, ditata piring dan gelas beserta tempat lilin kristal yang cantik, dengan kandelir yang menggantung di atasnya. Gambar Multatuli besar di satu sisi ruangan, dan foto-foto kecil maupun artikel tentang dirinya tersemat rapi di sisi-sisi dinding.

Lokasi ruangan yang berada di sisi dalam bangunan membuatnya cukup privat karena tidak bertemu dengan lalu lalang orang yang datang dan pergi, cocok sebagai tempat jamuan resmi.

9-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-multatuli

The Colonial Rijsttafel Room

Terletak di samping Ruang Multatuli, perbedaannya terdapat pada ukuran meja yang bundar dengan kapasitas 8 orang. Dinamakan Rijstaffel karena terinspirasi oleh tradisi menghidangkan makanan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini. Di sini bisa dilihat juga gambar-gambar sejarah Rijstafel yang tertempel di dinding.

12-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-rijsttafel

13-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-rijsttafel

14-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-rijsttafel

15-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-rijsttafel

Soekarno Room 1950

Melangkah ke lantai atas, aku ditunjukkan Ruang Soekarno. Ugh, sesudah pernah memasuki Ruang Soekarno di Tugu Hotel Malang dan Tugu Hotel Blitar, di ruangan ini pun tak kurang pesona sang Proklamator ini yang begitu kuat. Kehidupan Soekarno yang terkenal dengan kecintaannya terhadap seni dan kecantikan tergambarkan pada ruangan dengan meja panjang berkapasittas 24 orang ini. Nuansa merah pada dinding-dindingnya memberi kehangatan berbincang, dan juga membuat pembicaraan bisa lebih intim.

Di satu sudut terdapat foto hitam putih Presiden pertama RI ini dengan beberapa penari Legong dari Bali. Beberapa lukisan antik juga menghiasi ruangan dengan kandelir yang menggantung di atas meja. Sekilas terbayang denting gelas anggur yang saling beradu di tengah gelak tawa ramai yang hangat di situ.

16-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-soekarno

17-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-soekarno

18-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-soekarno

Art Space

Tepat di atas ruang Diponegoro adalah hall besar yang digunakan sebagai pusat seni di masa lalu. Tingginya hampir 8 meter langsung ke langit-langit dengan kuda-kuda yang terekspos dari kayu. Lantai hall ini dari kayu yang di-finishing halus oleh lacquer mengkilap dengan warna gelap yang mendominasi. Di bagian tengah terdapat bar yang cukup besar yang digunakan apabila ada pesta yang cukup besar di situ.

Saat itu sedang berlangsung satu pameran di hall ini di mana papan-papan partisi yang terpasang. Beberapa kali di sini diadakan resital musik, pertunjukan tari, atau balet. Satu panggung panjang di depan bar bisa dijadikan arena untuk para penampil pertunjukan seni ini.

Di samping ruangan art space masih ada lagi dua ruangan privat yang bisa digunakan. Satu ruangan berada di sebelah dalam dengan kapasitas 8 orang, dan satu lagi di pintu menuju luar dengan kapasitas 4 orang. Masih, semuanya bernuansa merah yang hangat.

19-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-space

20-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-space

21-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-space

 

22-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-space

23-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-space

Balcony Van Menteng

Mungkin tempat yang bisa menjadi favorit adalah balkon yang terlihat dari bawah tadi. Beberapa kursi-kursi berpayung dengan dua kursi bisa menjadi tempat berbincang romantis sambil menikmati senja sambil menyesap teh hangat. Silir semilir angin dengan pemandangan menghadap taman, di bawah pepohonan hijau akan makin mengakrabkan obrolan.

24-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-balcony

Bread and Coffee Corner “Bluder Wak Seneng Nio & Bertha”

Kafe mungil di satu sudut luar bangunan ini juga cocok untuk menemani sore yang teduh. Dengan kapasitas 15 orang, kue-kue lezat dihidangkan setiap hari dengan resep tradisional Belanda. Salah satu produk unggulannya di sini adalah Java Robusta Coffee dari Perkebunan Kopi Kawisari Jawa Timur. Jendela-jendela besar di samping menerangi ruangan dengan alami. Kafe ini bisa diakses langsung dari jalan tanpa harus memasuki bangunan utama.

25-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-cafe-bluder

26-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-cafe-bluder

Gallery Shop

Terpesona dengan keunikan ragam interiornya, aku memasuki Tugu Art Gallery, yang memiliki aneka koleksi cinderamata favorit dari aneka lokasi di Indonesia. Berbagai perangkat unik dan antik bercitarasa tinggi dijual di sini dalam rak-rak cantik yang menggambarkan kekhasannya. Batik, tas, notes, mutiara, gelang, boneka, patung, bisa dibeli di sini sebagai hadiah atau koleksi di rumah sendiri. Barang-barang ini membuatku gemas dan ingin memiliki satu koleksi wayang orang yang cantik.

27-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-gallery

28-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-gallery

29-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-art-gallery

Hampir semua sudut dari Tugu Kunstkring Paleis ini begitu menarik dan memanjakan mata untuk menatap setiap detilnya. Tangga menuju lantai dua dengan tegel cap dengan langkan besi yang berukir floral, dipermanis dengan meja kursi jati di bordesnya. Pada satu bordes besar di bawah ruang Soekarno pun diletakkan sofa panjang dengan aneka foto-foto masa lampau yang menemani. Memang agak sedikit takut seperti umumnya berada di bangunan-bangunan tua, ditemani dengan cahaya yang setengah remang.

30-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-stair

31-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-stair

32-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-ornament

33-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-lantern

34-tugu-kunstkring-paleis-review-interior-indri-juwono

Sejarah memang tidak melulu dipandang dari cerita maupun perjanjian-perjanjian di dalamnya. Peninggalan arsitektur yang mampu bertahan lama hingga ratusan tahun kemudian memberi warna cerita dengan fungsi bangunan yang sudah berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Sebuah restoran pun tidak melulu tentang makanan Asia ataupun Western yang menjadi andalannya, di sini bercerita ruang sejarah yang menemani acara makan, memberikan nuansa berbeda yang bisa dipilih antara masing-masing ruangannya. Mengulang eksotis masa lalu, Tugu Kunstkring Paleis ini bercitra amat romantik walau sudah melalui aneka masa.

TUGU KUNSTKRING PALEIS
Gallery, Restaurant & Lounge
11.00 – midnight
Saturday & Sunday
8.00 am – midnight
Open for breakfast, brunch, lunch and dinner

Jl. Teuku Umar 1 Menteng, Jakarta Pusat, Indonesia
kunstkring@tuguhotels.com | +62 21 390 0 899
https://www.tuguhotels.com/restaurants/jakarta/kunstkring/

jakarta-bogor-depok. 13.02.2016. 03:55 AM.


si pelari selfie

$
0
0

adie-riyanto-pergasingan-1

 

Friendship … is born at the moment when one man says to another “What! You too? I thought that no one but myself . . .
― C.S. Lewis

 

Aku pertama kali bertemu dengannya hampir empat tahun yang lalu, tanggal 3 Maret 2012. Siang itu, di Ruang Kenanga Istora Senayan Jakarta, seorang lelaki (sebenarnya kurang pas, karena waktu itu wajahnya seperti anak baru lulus SMA) menyapaku, “Mbak Indri Juwono, ya? Yang di Goodreads Indonesia?” Walaupun aku tak terlalu aktif di komunitas itu, tapi lumayan seneng juga ada yang mengenali (bukti bahwa ketenaran tak perlu terlalu kerja keras #eh). Kami berbincang sedikit di acara peluncuran buku karya Gola Gong yang berjudul Travel Writing. Saat itu mungkin tak satu pun dari kami berdua yang berpikir akan menggeluti dunia travel writing di kemudian hari. Datang ke situ sebagai penggemar Gola Gong saja, titik (dan hal-hal lain yang sebaiknya dilupakan). Dan malamnya, ketika menonton konser Roxette di MEIS, sepertinya aku sudah tidak ingat lagi pada sosok pria yang mengajakku berkenalan suangnya itu. Namanya Adie.

Entah dari mana munculnya, ketika aku mulai banyak menulis tentang perjalanan, nama Adie mulai ikut wara wiri di linimasa twitterku. Perlahan-lahan aku mulai ingat, apalagi ia sempat mention dan mengenalkan diri lagi pernah ketemu denganku di Istora Senayan itu (ini juga sebenarnya aku lupa bagaimana sebenarnya caraku ingat). Karena aku ramah dan baik, aku menyapanya balik. Kuperhatikan foto-foto yang dipajang di twitter, tapi tetap saja aku tak bisa ingat wajah seperti apa dulu waktu kenalan. Ya sudahlah, pokoknya sekarang berteman. Di twitter. Di facebook juga.

Kadang-kadang aku mampir di blognya, adiedoes.blogspot.co.id. Tapi karena platform blog kami tidak sama, jadi aku jarang tahu jika ada tulisan baru. Kadang-kadang kalau aku browsing suatu tempat, tak sengaja mampir ke blog Adie. Tulisannya rapi, pilihan diksinya bagus dan cukup serius.

Nah, pada saat berteman di twitter inilah mulai tektokan karena ia sering sekali meramaikan acara #IDTC Indonesia Travel Chat di twitter yang diadakan Travel Bloggers Indonesia bersama teman-teman penghobi traveling membahas aneka jenis topik menarik tentang traveling. Di acara yang dulu seminggu sekali diadakannya itu Adie menjadi peserta aktif yang sering ikut menjawab aneka pertanyaan yang diajukan, dan suka menyambar-nyambar twit teman-teman lain juga. Di sinilah Adie mulai mencuri perhatian lagi karena foto-fotonya, dan terutama lagi, karena ia sering memposting foto dirinya di salah satu ikon poin di lokasi traveling. Ini beneran hampir tiap #IDTC ada Adie, yang tak ketinggalan menutup acara dengan foto diri.

Esumpeee, ni anak niat banget yaaa.. (begitu pikir host-host #IDTC yang bergantian). Sampai kegigihannya buat foto selfie ini diganjar dengan hadiah dari host #IDTC yang topiknya #SelfieAsyik di lokasi traveling. Iya ampun, pas banget predikat traveler narsis tersemat pada dirinya.

Lewat setahun #IDTC tetap saja nggak pernah ketemu. Mungkin karena kami sama-sama meniti karir sampingan sebagai travel blogger beneran, jadi kebanyakan jalannya, atau kebanyakan kerjanya. Ish, kesannya jadi travel blogger itu sibuk banget ya, padahal sih pencitraannya memang begitu. Adie juga sering ikut anea lomba blog, mengintip dari timeline twitter yang sering kubaca sekelebatan.

adie-riyanto-4-museum-aceh

adie-riyanto-8-bentor

adie-riyanto-7-gunung-gede

Lalu, kenapa tahu-tahu menulis tentang Adie?

Jadi, gara-gara aku mengirim profil untuk mengikuti Lombok Sumbawa Travel Gathering di Lombok November lalu, aku mendapat kesempatan buat piknik bareng pemenang lomba, yang di antaranya adalah Adie! Ha, begitu susahnya ketemu di Jakarta sejak kenal tiga tahun yang lalu, malah rencana ketemunya di Lombok! Benar, Jakarta memang bukan kota biasa, ia propinsi. Lagipula Adie tinggal di Tangerang dan aku di Depok, beda propinsi dan bukan di Jakarta juga. (Lalu apa hubungannya? Ah, sudahlah).

Kami pertama kali ketemu lagi di bandara Cengkareng, bareng Lutfi Retno, yang sudah hampir setahun tinggal di Jakarta, tapi aku juga belum ketemu. Apalagi aku yang seharusnya berangkat dua hari sebelumnya, jadinya malah berangkat bareng Adie dan Lutfi gara-gara bandara LOP tak kunjung dibuka. Langsunglah kami bertiga cela-celaan dan ledek-ledekan, padahal selama ini cuma kenal di twitter saja, tapi koq rasanya sudah kenal lama begitu. Rupanya benar ya, tulisan seseorang ini mencerminkan dirinya. Jadi bisa membaca karakter dari tulisan, padahal tidak ketemu orangnya. Apalagi tulisan-tulisan kami ini non fiksi!

“Adie, bajunya serasi dengan tasnya.”
“Iya, mbak, aku memang kalau jalan membiasakan diri untuk warna baju, tas, sepatu harus matching. Biar enak gitu.”
“Biar enak difoto?”
“Heeeee…”

Selain itu, tentu ingat bahwa kami itu tergila-gila pada buku, jadi kami saling membandingkan buku-buku yang kami bawa sebagai bekal perjalanan. Adi membawa buku Travel Writing-nya Lonely Planet, aku menenteng Eleanor & Park-nya Rainbow Rowell, dan juga Lutfi. Sebagai informasi, Lutfi ini kukenal dari jejaring goodreads juga di jogja, beberapa tahun sebelumnya juga.

adie-riyanto-selfie

Adie ini mengasyikkan sebagai teman jalan, karena hobinya sama, jadi kami saling bercerita tentang buku-buku yang pernah kami baca. Jadi, alih-alih bosan menunggu pesawat yang delay karena debu Rinjani, kami mengobrol seru tentang buku-buku, tentang jalan-jalan, tentang bandara, tentang pesawat, tentang lomba, tentang kesempatan-kesempatan lalu yang mungkin ketemu.

“Lha waktu itu aku ikut acara TravelNBlogID yang pertama sama acaranya Skyscanner di Pullman itu lho, tapi nggak ketemu mbak Indri.”
“Wah, pas TravelNBlogID lagi ke Bandung, kalau pas Skyscanner lagi ke Jepang. Jadi lah blum ketemu. Emang belum waktunya saja, kali.”

Kebetulan juga kami bertiga sudah pernah ke Lombok sebelumnya, jadi saling bercerita tentang pengalaman-pengalaman berada di Lombok, makanan-makanan yang kami incar, juga tempat-tempat indah yang kepingin dikunjungi. Kebetulan lagi, saat itu Barujari, Anak Gunung Rinjani, baru saja erupsi sehingga mengganggu jalur penerbangan selama hampir seminggu. Jadi kedatangan kami ke bandara Cengkareng juga setengah was-was apakah kami bisa diterbangkan atau tidak (Kemudian panitia di Lombok mengirim informasi bahwa bandara LOP sudah dibuka sejak jam tujuh pagi).

“Sebenarnya mestinya aku berangkat seminggu yang lalu, mbak. Mau naik gunung Rinjani dulu sama temanku, terus lanjut ke acara TW Gathering ini. Tapi gara-gara gunungnya erupsi, jadi nggak bisa didaki. Jadi cuma ikut acara ini saja. Tapi nanti sesudah acara sudah janjian sama satu peserta juga, Subhan, untuk jalan-jalan ke Sumbawa.”

Ia sih santai saja karena rencananya batal. Kalau memang alam sudah berkata demikian, mau bilang apa? Adie memang hobi naik gunung, beberapa kali aku membaca di twitter kalau ia berulang kali naik gunung Gede Pangrango, dan beberapa gunung di Pulau Jawa. Aku juga bercerita bahwa tahun sebelumnya aku juga mendaki Gunung Rinjani, walau pun tidak sampai puncak.

“Nanti juga pesawat kita lewat di atas Rinjani. Eh, kalau bisa lewat ya.”

Akhirnya kami berangkat juga ke Lombok sesudah delay hampir 90 menit. Walaupun nggak bisa tidur di jalan, tapi tetap segar ceria begitu pesawat akhirnya mendarat di bandara internasional Lombok. Dan, begitu turun dari pesawat adalah..

“Mbak, fotokan aku di situ dong.” 
Eh, rupanya ini asal muasal foto-foto diri yang bertebaran itu.

adie-riyanto-bandara-lombok

Lalu berlanjut dengan kami berfoto di berbagai ikon-ikon menarik dan wajib. Dasarnya kami sama-sama suka difoto, jadi bergantianlah kami saling memotret diri. Oh, jadi begini foto-foto Adie, mengajak temannya berfoto bareng. Tak lama ia menghilang, dan balik-balik sudah membawa satu kain lombok yang tersampir di bahunya.

“Ada penjualnya di ujung sana, katanya sih setiap hari berjualan di sini dan tutup jam lima.”

Adie memang selalu ramah kepada semua orang yang ditemuinya. Ia cepat akrab dan mengobrol cair dengan penjual, pemandu, atau warga-warga sekitar yang ditemuinya. Ketika kami balik lagi ke bandara sembari menunggu kedatangan Zahra, ia sudah banyak mengobrol yang mengakibatkan kami mendapatkan kain-kain dengan harga lumayan murah. Hal pertama yang ia tanyakan adalah nama, untuk mengundang keakraban lanjutan. Di Desa Tenun Sukarare ia langsung mengajak kenalan mas-mas pemandunya (maafkanlah, aku sudah lupa namanya), menanyakan aslinya dari mana, tempat tinggalnya, sampai tentang sejarah desa ini. Tak heran hal-hal personal ini yang kerap kali membuat tulisannya begitu kaya.

adie-riyanto-sukarare

Ketika kami berperahu ke Lombok Timur, Adie-lah yang akrab mengobrol dengan mas-mas perahu, yang banyak membuka cerita pada kami tentang Gili-gili di Lombok Timur yang indah. Ia begitu luwes mengajak orang berbicara, tidak seperti sedang mencari data, seperti mengobrol biasa. Ternyata ia juga banyak mengambil foto pemandangan sekitar, bukan cuma foto narsis belaka. Asyiknya, ia tidak marah kalau kami meledeknya tentang foto-fotonya itu. Pasrah saja lah, memang hobinya begitu. Kami juga tidak ambil pusing soal itu, karena memang tidak terlalu mengganggu. Candaan dan obrolannya sepanjang jalan membuat perjalanan kami menjadi segar.

adie-riyanto-lombok-timur (2)

Ia mengaku lebih suka bermain-main di gunung dari pada di air. Itu alasan yang dikemukakan ketika ia memilih untuk berada di dalam perahu saja daripada ikut berenang-berenang bersama ikan dan terumbu karang. Sebenarnya ada alasan lainnya, tapi lebih baik jalan bersamanya saja supaya tahu. Hehehe.

adie-riyanto-lombok-timur

Karena Adie suka naik gunung, ia menjadi yang paling depan ketika kami naik bukit Pergasingan. Ia yang memilih jalur-jalur yang mudah dilewati sehingga kami tinggal mengikuti jalan mana yang tadi ia pijak. Ia juga rela menunggu cewek-cewek ini sampai pada titik yang aman, baru melanjutkan perjalanan lagi. Dan ia pantang menyerah! Selama masih kuat nafasnya, ia tetap berusaha untuk membujuk kami berjalan terus sampai puncak Bukit Pergasingan.

“Sudah sampai sini, lho. Puncaknya sudah sedikit lagi dan kita nanti bisa melihat Sembalun di sisi yang lain,” semangatnya melihat kami yang sudah kelelahan sesudah berjalan selama dua jam. Meskipun kalau ia berjalan sendiri, aku yakin ia bisa mencapai puncak ketika momen matahari terbit, tapi ia malah dengan sabar tetap bersama-sama. Jadilah ketika sang surya mulai menampakkan diri, kami masih sabar meniti jalan setapak menuju puncak.

Karena Adie yang sabar, maka kami rela membantunya untuk mewujudkan hobinya untuk berfoto-foto di atas dengan berbagai gaya. Pemandangan Sembalun yang indah membius kami untuk terus merekam lewat lensa. Ah, tak apalah sesekali menolong memotret Adie, karena ia pun meminjamkan buku di ranselnya sebagai properti fotoku.

adie-riyanto-sembalun

adie-riyanto-2-pergasingan

adie-riyanto-6-pergasingan

adie-riyanto-pergasingan-2

Pembawaannya yang ramai dan suka becanda membuat suasana di mobil senantiasa cerah ceria. Dengan santai ia berbalas canda dengan Pungki, menanggapi Aa Yusuf yang pendiam, atau menjadi kakak yang baik untuk Ikhsan. Adie juga selalu menjadi yang paling cepat bangun pagi, sehingga jangan khawatir kesiangan kalau jalan dengan beliau. Bayangkan, ketika kami masih tergolek santai di kasur seusai subuh di hotel d’Oria Senggigi, ia sudah mengirim foto ini.

adie-riyanto-12-senggigi

“Itu siapa yang motoin, Dieeee???”

Nggak heran dengan pembawaannya seperti itu, ia pasti dengan mudah mengobrol dan meminta tolong orang di tepi jalan untuk membantu memotretnya bergaya lari.

Adie yang juga pegawai di salah satu instansi pemerintah ini mengungkapkan juga bahwa ia belum pernah traveling dalam jangka waktu panjang karena terbentur jadwal cuti yang pas-pasan dari kantor. Namun ia begitu mengefektifkan dengan menyiasati tanggal merah sehingga mendapat hari libur yang cukup panjang ditambah cuti. Ia pernah naik kapal empat hari dari Labuan Bajo hingga Lombok, pernah seminggu juga keliling Toraja hingga Tanjung Bira, atau jalan-jalan sampai kilometer nol di Aceh. Postingannya tentang Tanjung Puting sukses meracuniku untuk ke bumi Kalimantan tahun lalu.

Satu rahasia yang membuat kami yang terkantuk-kantuk di pagi buta dalam perjalanan menuju Sumbawa sehingga bangun adalah : kecintaannya pada film AADC (nggak perlu dijelaskan itu kepanjangannya apa, ya).

“Inget ya Ta, salah satu diantara kita, itu siapa yang lebih punya hati atau nggak punya otak?
Tapi kamu nggak punya kedua-duanya deh. Asal kamu tau Ta, kalau diperlakukan kayak gini sih, saya sudah biasa. Tapi satu, nggak usah ada maaf-maafan lagi. Saya setuju kita nggak usah berhubungan lagi.“

Kemudian dialog-dialog AADC yang dihafalnya menghiasi perjalanan kami menuju pelabuhan. Ternyata ia sudah menonton film ini lebih dari 40 kali dan juga membaca buku skrip film yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan film Indonesia kembali ini. Pastilah kami janjian untuk menonton AADC2 yang akan diputar bulan April kelak.

Di kapal menuju Sumbawa, kembali pria asal Nganjuk, Jawa Timur ini menunjukkan keakrabannya dengan salah satu bapak-bapak penumpang kapal yang berbuah dengan foto dirinya di salah satu sudut kapal dengan latar belakang Pulau Sumbawa yang kelabu di kejauhan. Memang dari obrolan-obrolan itu ia mendapat cerita tentang orang-orang yang sering berlalu lalang antara Pelabuhan Khayangan Lombok dan Pototano, Sumbawa.

Di pulau Pasareang, sementara kami asyik berenang-renang di air, Adie malah mendaki bukit yang dipenuhi ilalang sambil berlari-lari ringan. Kami sempat bertanya-tanya dengan siapa ia ke atas, ternyata dengan salah satu awak perahu kecil yang membawa kami berkeliling. Kami yakin 100% bahwa Adie mengambil foto diri di atas sana ketika udara sedang panas begini.

adie-riyanto-3-pergasingan

Si pendaki gunung ini tentu tak menyia-nyiakan kesempatan ketika menemukan bukit kecil di Pulau Kenawa, dan langsung berusaha naik ke atas walau pun yang lain masih bersantai-santai di bawah. Beberapa saat setelah aku puas bermain-main di padang ilalang, aku ikut mendaki ke atas dan menemukannya sedang.. mengeset timer di ponselnya karena ia membuat foto diri. Melihatku tiba di puncak, ia langsung meminta tolong padaku untuk memotretnya. Ha, sayangnya sesudah itu hujan mulai gemerintik turun sehingga sesi selfie tak berlangsung lama. Aa Yusuf yang baru tiba di atas pun kecewa karena tak bisa mengambil gambar.

adie-riyanto-5-kenawa

“Die, kamu itu selalu menyiapkan foto selfie buat #IDTC ya?”
“Wah, aku tuh seneng banget kalau #IDTC mbak, jadi kalau sudah tahu topiknya, walau belum ada pertanyaannya, aku menyiapkan foto-foto satu folder, jadi pas acaranya mulai tinggal langsung upload saja.”

Wah, pantesan stok fotonya selalu berlimpah dan menyemarakkan suasana contohnya di #IDTC Kuliner Negeri Sendiri ini.

Lima hari bersama Adie Riyanto, orang yang selama ini cuma kukenal bersama twit dan tulisannya, ternyata tak jauh berbeda aslinya. Jalan-jalan bersamanya memang hore dan asyik, nggak pernah sepi, bisa berbagi makanan, easy going, jarang ngambek, walaupun terkadang diganggu dengan ajakan (eh, permintaan) untuk memotretnya. Nggak percaya? Coba saja cek twitnya di @adieriyanto. Ia masih available koq. Semoga lekas dapat jodohnya yang pengertian. Terus menulis, terus bertualang, dan tetap membantu teman, ya! Monggo kalau ada yang mau kenalan. Ehehehe..

Disclaimer :
Tulisan ini diceritakan tanpa seizin Adie Riyanto sebelumnya, dan mohon maaf sebelumnya jika ada kata-kata yang menyinggung. Becanda itu, teman. Kalimat-kalimat kutipan juga bukan sepenuhnya persis, tapi kita-kira kata-katanya begitu. Sebagian foto-foto diambil dari twitter @adieriyanto. Semua pendapat adalah personal, tanpa tendensi apa pun.

Ini dua postingan Adie yang kusuka, karena kaitannya dengan arsitektur tentunya. ;)

Astana Mega Jakarta
Saba Sade

Karena 14 Februari 2016, maka Travel Bloggers Indonesia posting bareng tentang #UltimateTravelmate tentang teman perjalanan yang mengesankan. Karena selalu ada cerita di balik canda kan?

Tulisan #UltimateTravelmate lain :
1. Shabrina
2. Astin Soekanto
3. Parahita Satiti
4. Dea Sihotang
5. Titiw Akmar
6. Mas Edy Masrur
7. Olive Bendon
8. Leo Anthony
9. Indri Juwono
10. Rembulan
11. Karnadi Lim


sandyakala d’oria

$
0
0

2-sunset-d-oria-boutique-hotel-lombok

dengan siapa kau memutuskan untuk berbagi senja?

Matahari masih bertengger tanggung ketika satu per satu langkah kaki kami memasuki bangunan lobby hotel bernuansa alami ini. Udara begitu pekat berkeringat, jauh dari kesejukan desa Sembalun yang baru kami tinggalkan. Segelas jus jeruk segar beserta handuk basah dingin menyambut kedatangan kami. Ah, benar-benar pelipur panas yang menemani selepas turun gunung tadi. Masih jam empat sore rupanya.

Lobby D’Oria Boutique Resort ini cukup lapang, berupa satu bangunan tunggal yang terpisah dari kamar-kamar hotelnya. Dua sofa set menemani kami yang melepas penat sesudah terkungkung selama tiga jam dari dalam mobil. Di luar sana, pucuk-pucuk pohon kelapa berkesiut ditiup angin laut. Semacam penanda bahwa lokasi ini berada dekat pantai. Tak sabar ingin mencelupkan ujung-ujung jari kaki ke air asin kembali. Jalan raya Lombok barat Bangsal-Senggigi berada di depannya, sesekali saja mobil berlalu lalang.

20-lobby-d-oria-boutique-hotel-lombok

21-lobby-d-oria-boutique-hotel-lombok

22-lobby-d-oria-boutique-hotel-lombok

23-lobby-d-oria-boutique-hotel-lombok

Lama bersenda gurau dengan teman-teman sebelum masuk ke kamar masing-masing, tetiba waktu senja cepat menjelang. Kami berlarian menyeberang ke tepi pantai untuk menemukan jingga yang bersemburat di angkasa, dan menemukan bahwa matahari sedang bermain petak sembunyi dengan sang mega. Matari meloloskan diri, turun dengan bulatan utuh hingga mencium lautan, bersamaan dengan lembayung yang mewarnai rembang petang.

15-d-oria-boutique-hotel-lombok

13-d-oria-boutique-hotel-lombok

14-d-oria-boutique-hotel-lombok

Di bawah deretan kamar dan tepat di samping bangunan lobby, d’Oria Boutique Resort ini juga dilengkapi dengan kolam renang berukuran sedang untuk menghibur penat tamu-tamu yang berkunjung. Air mancur cantik pun tertumpah dari ornamen dinding yang menghalangi pandangan langsung ke kolam renang dari jalan ini.

16-d-oria-boutique-hotel-lombok

18-swimming-pool-d-oria-boutique-hotel-lombok

Malam ini aku sekamar dengan Icha Maisya asal Jogja, berbagi ruang di Stone Room. Nuansa batu mewarnai kamar kami, tekstur dinding kamar mandi, dan motif-motif pada headboard tempat tidur maupun lemari dan meja. Lantai kayu dan lapisan dinding gedek membuat suasana menjadi lebih hangat. Lampu berdiri di samping tempat tidur dan langit-langit gedek berlapis kain yang menyembunyikan lampu menciptakan suasana lebih temaram. Akrab.

3-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

4-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

5-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

6-b-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

6-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

Kamar mandi kami cukup luas dengan ambiance kuning yang menentramkan. Meja batu yang menumpu satu lavatory dari batu dihiasi satu lampu dinding yang unik. Shower dan kloset berada di sisi sebelahnya yang terpisah. Dilengkapi juga dengan tempat handuk berbentuk tangga panjat yang bersandar di dinding. Kamar mandi super besar ini niscaya bisa dipakai berdua dengan pasangan, dengan atap transparan mengintip langit kelam di atas sana. Hm, seandainya romantis!

9-bath-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

7-bath-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

8-bath-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

10A-bath-room-d-oria-boutique-hotel-lombok

Sebenarnya, kamar ini sepasang dengan kamar lain dalam satu bangunan cottage tunggal beratap gaya lumbung rumah Sasak. Berderet-deret cottage ini di sisi atas dari tapak yang berbukit-bukit ini. Sengaja memang kamar-kamar berada di sisi paling atas supaya mendapatkan pemandangan ke lautan di depan sana. Tangga-tangga batu menghiasi setiap level ketinggian.

Tak hanya itu, di bagian depan pun terdapat restoran dengan tempat duduk berupa gazebo untuk berkumpul yang terletak di tapak yang bertingkat-tingkat. Memang untuk mengatasi perbukitan begini, alokasi tempat yang agak menyebar harus dipadu dengan lansekap dan sirkulasi yang menarik supaya tidak lelah berkeliling.

cover-d-oria-boutique-hotel-lombok

25-restoran-d-oria-boutique-hotel-lombok

26-restoran-d-oria-boutique-hotel-lombok

Dua malam menginap di d’Oria, dipadu suara deburan pantai yang menemani tidur lelap hingga lupa bangun. Yah, kami meninggalkan hotel cantik ini di jam 4 pagi karena mengejar pesawat ke bandara. Dan suasana terbaik di sini adalah senja menuju sandyakala.

d’Oria Boutique Resort Lombok
Alamat: Jl. Raya Senggigi Km. 12, Lendang Luar, Kabupaten Lombok Utara 83354
Telepon:(0370) 693246
www.orialombok.com

Lombok Sumbawa Travel Gathering stories :
mendamba flamboyan di lombok selatan
south lombok : the blue, the pink, the beach
warisan lampau desa adat beleq, sembalun
koran tempo : memburu mentari di bukit pergasingan


seberang ilir jembatan ampera

$
0
0

0-jembatan-ampera-sungai-musi-palembang-1

betapa banyak perjalanan terhenti karena tidak ada jembatan?

Tidak kusangka bahwa Jembatan Ampera yang menjadi ikon kota itu benar-benar strategis sampai-sampai ke mana pun di Palembang sepertinya aku selalu melewati atau sekadar melihat jembatan ini. Tercatat sehari dua kali mondar-mandir lalu di tepinya atau melintas di atasnya. Warna merahnya yang cerah sangat mudah tertangkap mata berpadu dengan biru atau kelabu langit.

Perjalanan ke Palembang tahun 2015 lalu merupakan salah satu favoritku tahun lalu. Bukan saja karena aku terbang dengan tiket gratis dari Citilink, tapi karena di sana aku mendapat banyak teman dan saudara baru dari keluarga BPI Palembang. Walaupun aku tidak ikut komunitas ini, tapi rasa hangat amat terjaga. Bayangkan, baru saja tiba di Bandara Sultan Badaruddin Palembang saja, aku sudah dijemput untuk diantarkan ke tengah kota. 

Kami berkendara mampir mencemil Pempek Beringin, lalu terus menuju tepi Jembatan Ampera, untuk menengok Benteng Kuto Besak. Karena si pengantar ada keperluan, jadi aku dan Bintang hanya berkeliling berdua saja. Tempat yang kukira adalah tempat wisata ini berupa sebuah dinding tinggi yang mengelilingi satu kompleks yang ternyata adalah kompleks Komando Militer, yang tentu saja tidak bisa dimasuki begitu saja.

Benteng Kuto Besak sendiri berdiri pada abad XVIII yang sebenarnya adalah pusat Kesultanan Palembang. Pembangunannya pada tahun 1780 diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin dan dilanjutkan oleh Sultan Mahmud Bahauddin yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Ia juga yang memindahkan pemerintahan dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Secara resmi keraton ini ditempati pada tahun 1797.

1-jembatan-ampera-kuto-besak-palembang

2-jembatan-ampera-kuto-besak-palembang

Cuaca Palembang di bulan Juni benar-benar panas, menjelang tengah hari dengan udara yang begitu cerah. Dari depan Benteng Kuto Besak ini bisa terlihat Jembatan Ampera yang indah memanggil-manggil. Aku dan Bintang berjalan ke tepi sungai Musi yang lebar dan menemukan perahu berlalu lalang. Di siang hari memang tidak banyak orang berjualan, kabarnya cuma malam hari di sini ramai sekali.

Jembatan Ampera dibangun tahun 1962 untuk menghubungkan kota Palembang di bagian Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Usulan pembangunannya sendiri sudah mencuat sejak tahun 1906 ketika masih dalam pendudukan Belanda. Namun hingga Indonesia merdeka, proyek ini tidak terealisasi. Ketika akhirnya Presiden Soekarno menyetujui pembangunan jembatan ini, beliau mensyaratkan adanya ruang terbuka pada kedua ujung jembatan. Sisi tempat aku berada sekarang adalah sisi Ilir. Nama Ampera diberikan sebagai akronim dari Amanat Penderitaan Rakyat, sesudah sebelumnya bernama Jembatan Bung Karno.

Karena posisi kota Palembang yang begitu strategis dengan kapal-kapal dari pelabuhan hingga pedalaman sungai Musi, awalnya jembatan dengan bentang 1117 m dan dibagi menjadi tiga bentang lengkung baja ini bisa diangkat dengan peralatan mekanis dua bandul pemberat di menaranya, sehingga kapal-kapal besar bisa lewat. Karena waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan cukup lama, sekitar 30 menit, maka sejak tahun 1979 aktivitas ini tak lagi dilakukan dengan alasan mengganggu aktivitas penyeberangan di atasnya.

3-jembatan-ampera-sungai-musi-palembang

4-jembatan-ampera-sungai-musi-palembang

5-jembatan-ampera-sungai-musi-palembang

Sempat terus berjalan menuju satu restoran ayam goreng tepung yang terkenal dan spot yang bagus untuk memotret, aku urung memasuki Museum Sultan Mahmud Badaruddin II karena sedang dipakai sebagai tempat pernikahan. Menyeberang jalan, kami tiba di Monumen Perjuangan Rakyat di mana banyak anak-anak muda yang kumpul-kumpul di situ sesudah bubar sekolah. Wah, memang hari Sabtu dan besok libur, pantas saja mereka leyeh-leyeh di sini dan nggak langsung pulang. Plaza di depan Monpera ini memang letaknya amat strategis di mana dilewati aneka bis ke aneka penjuru sehingga amat cocok dijadikan sekadar tempat rendezvous. Kaena siang hari, nggak banyak ketemu pasangan yang sedang kencan juga.

Tidak seperti Benteng Kuto Besak atau Jembatan Ampera yang dibangun sejak zaman Belanda, Monpera ini didirikan 27 tahun yang lalu di mana pemerintah memang sedang giat-giatnya membuat simbol di mana-mana. Sayangnya, sculpture raksasa ini hanya menjadi penarik sentris bagi lalu lintas sekitarnya saja, tapi masih kalah jauh dengan pesona Jembatan Ampera yang berdaya magnet lebih kuat. Padahal monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan pertempuran lima hari lima malam di Palembang pada masa penjajahan Belanda.

8-jembatan-ampera-monpera-palembang

7-jembatan-ampera-monpera-palembang

6-jembatan-ampera-monpera-palembang

Karena panas makin terik, kami menyeberangi jalan Merdeka yang cukup ramai untuk sejenak beristirahat di Masjid Agung Palembang. Tentu saja sembari menunaikan ibadah sholat Dhuhur dan melihat-lihat arsitektur masjidnya yang cantik. Banyak sekali orang yang beribadah di sini dari sekadar pelintas seperti kami atau yang mungkin sudah terbiasa ke sini setiap hari. Alhamdulillah.

Masjid ini memiliki beberapa menara syiar, ada yang kecil atau yang lebar, yang di lantai-lantainya terdapat balkon melingkar yang dikelilingi langkan pengaman. Bagian utama bangunan masjid beratap cungkup tingkat tiga agak mirip dengan arsitektur Cina, dengan jurai berhias ukiran berwarna emas. Ambang jendela yang lengkung dengan profil bertumpuk memberi rasa klasik kolonial pada bangunan ini. Daun-daun jendela berwarna hijau mendominasi sekeliling bangunan dengan kaca patri berhias. Lubang jendela ini cukup unik karena hanya setinggi 15 cm saja dari lantai sehingga memungkinkan pengunjung untuk melompati jendela langsung. Di sisi utara dan selatan terdapat foyer dengan tiang-tiang besar mendominasi, namun agaknya seiring ekstensi luasan masjid, foyer ini tak lagi terlalu berfungsi.

Palembang memang sebuah kota yang dipengaruhi budaya Melayu, Hindia Belanda, juga Cina. Tak sedikit teman-temanku yang beretnis Cina atau berwajah mirip Cina yang memang berasal dari kota Palembang. Karenanya berbagai area bangunan pun dipengaruhi oleh etnis-etnis di sini.

9-jembatan-ampera-masjid-agung-palembang

10-jembatan-ampera-menara-masjid-agung-palembang

12-jembatan-ampera-atap-masjid-agung-palembang

13-jembatan-ampera-pintu-masjid-agung-palembang

14-jembatan-ampera-interior-masjid-agung-palembang

14-jembatan-ampera-pintu-masjid-agung-palembang

15-jembatan-ampera-pintu-masjid-agung-palembang

Dari masjid kami berjalan ke tepi jalan Jendral Sudirman ke satu halte tinggi untuk menunggu bis Trans Musi. Sebenarnya ada beberapa bis yang bisa membawa kami ke hotel, namun karena aku agak parno (akibat terlalu sering mendengar idiom Komplotan Palembang) dan ingin aman, aku menunggu bis Trans Palembang ini. Ternyata nyaman sekali seperti tak kalah dengan bis saudaranya di ibukota. Ada banyak jalur bus Trans Musi ini ke berbagai daerah, tapi aku hanya mencoba yang menuju hotel tempatku menginap saja. Selang setengah jam, tibalah aku di depan lobby hotel Red Planet yang menjadi tempat tinggalku dua malam ke depan. Pas jam 14.00, waktunya tidur kembali karena tadi bangun terlalu pagi.

16-jembatan-ampera-trans-musi-palembang

17-jembatan-ampera-trans-musi-palembang

18-jembatan-ampera-trans-musi-palembang

Rupanya keakraban tidak berhenti di sini karena Adhyt, salah satu anggota BPI Palembang menelepon dan mengajak jalan-jalan malam bersama teman-temannya. Kami bertemu di depan hotel dan berkenalan dengan beberapa orang lagi. Kami menuju Martabak Har yang ternyata enak sekali. Pantas saja martabak ini menjadi salah satu signature food di Palembang.

19-jembatan-ampera-martabak-har-palembang

Putri, salah satu teman baru kami mengajak untuk menghabiskan sebagian malam minggu di Museum Purbakala. Wah, rupanya sedang ada event kesenian di sana sehingga bisa menyaksikan berbagai pentas budaya Palembang. “Kalau sedang tidak ada event, museum ini sepi dan jarang ada yang datang,” ceritanya. Kami menonton beberapa pertunjukan dan berjalan-jalan sekeliling. Di siang hari Museum ini dibuka untuk umum dan menyimpan aneka benda purbakala seperti beberapa prasasti. Rupanya malam itu sedang ada Festival Sriwijaya yang digelar beberapa hari, dan rupanya cukup menarik minat warga Palembang untuk hadir ke sana.

20-jembatan-ampera-taman-purbakala-palembang

21-jembatan-ampera-taman-purbakala-palembang

22-jembatan-ampera-taman-purbakala-palembang

23-jembatan-ampera-taman-purbakala-palembang

Sesudah itu tetiba tercetus ide untuk melihat keramaian di Jembatan Ampera pada malam hari. Betul juga, kan aku belum melihat-lihat lampu-lampu indah di malam hari itu. Rasanya memang lokasi-lokasi di Palembang tak jauh sehingga dalam beberapa saat kendaraan kami sudah merapat di Benteng Kuto Besak, dan kami kembali berjalan-jalan di tepian sungai. Kali ini tak seperti tadi siang, tepi sungai Musi ini ramai sekali oleh penjaja aneka makanan.

Sambil melihat kanan kiri dan berjaga, kami terus berjalan hingga satu dermaga kecil menjorok yang berada tepat di depan Jembatan Ampera. Warna merah, ungu, hijau, biru, bergantian menerangi kolom-kolom utama jembatan. Tak banyak lagi kapal yang menderu-deru berlalu di bawahnya. Mungkin mereka sekarang menepi dan beristirahat.

24-jembatan-ampera-lampu-malam-palembang

25-jembatan-ampera-lampu-malam-palembang

Kami mendaki tangga menuju jalan raya yang melintas menuju jembatan. Lalu lintas cukup ramai dengan kendaraan berlalu lalang cukup sering. “Kalau di sini dulu banyak jambret, mbak. Keluarin hape di sini bisa-bisa disambar. Harus hati-hati,” pesan Adhyt. Wah, aku jadi agak gentar untuk mengeluarkan kamera untuk memotret. “Tapi sekarang sudah lebih aman, mbak. Lagi pula kan kita jagain,” tenangnya.

Jembatan dengan tinggi menara 63 m ini sangat kuat sebagai ikon kota Palembang. Karena dengan tidak banyaknya bangunan di sekelilingnya sehingga ia dominan sebagai vista. Untunglah jembatan ini tak lagi diangkat, karena bisa terbayang kemacetan yang akan terjadi karena antrian. Seandainya terangkat, kapal dengan lebar 60 meter dan tinggi maksimum 44,5 meter bisa melewati sungai Musi hingga ke dalam. Saat ini hanya bisa dilewati oleh kapal dengan tinggi sembilan meter.

Aku dan Adhyt menyeberang jalan, karena di sisi kami pencahayaan agak kurang. Untung di sisi sana cukup terang sehingga bisa mengabadikan menara-menaranya yang disinari lampu-lampu yang indah. Tak lama aku berada di sisi seberang, kami kembali menyeberang. Memang agak susah sampai ada mobil yang rela berhenti dan menyilakan kami melintas. Tapi tiba-tiba..

26-jembatan-ampera-lampu-malam-palembang

BRAK!

Aku terkapar di tengah jalan dengan kamera di pangkuanku. Adhyt juga tergeletak tak jauh dari tempatku. Sembari kaget dan menyadari apa yang terjadi, ternyata baru saja ada motor yang ngebut dan menabrak kami berdua. Kami baru melihat motor itu juga jatuh di ujung sana, dan pengendaranya yang berusaha membangunkan motornya lagi. Teman-teman yang berada di seberang jalan menghambur menolong kami, menarik supaya aku dan Adhyt tak disambar mobil yang iseng ngebut.

Aku memeriksa lengan kiriku yang rupanya berdarah-darah. Kucoba menggerak-gerakannya tapi ternyata masih bisa. Ah, tak apa. Putri membelikan plester untuk menutup lukaku. Aku menganggapnya sebagai salah satu momen unik di Palembang, walaupun bukan kenangan yang manis. Sampai kini kalau sikut kiriku terbentur sesuatu, aku jadi teringat Palembang. Jembatan Ampera, memang nostalgia.

Golden bridge, silver bridge or diamond bridge; it doesn’t matter! As long as the bridge takes you across the other side, it is a good bridge!
― Mehmet Murat ildan

Pulomas, 02.03.2016.


riak menari sungai musi

$
0
0

0-cover-musi-palembang-kapal-XX


dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya

― Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni

Sumatera adalah titik istimewa karena salah satu sisinya yang menghadap ke Selat Malaka, sebagai jalur persinggahan atas pelayaran jarak jauh dari Eropa ke Cina. Setelah pelayaran berbulan-bulan di Samudera Hindia, laut tenang di Selat Malaka menjadikan pesisir Sumatera sebagai pelabuhan alami yang merupakan tempat aman untuk reparasi kapal serta berdagang kapur barus, kemenyan, emas, dan lada. Tak pelak lagi, bandar-bandar di sisi timur Sumatera menjadi berposisi strategis sebagai ruang timbunan barang dagangan dan Sriwijaya adalah salah satu bandar yang bersinar. 

Keistimewaan kerajaan Sriwijaya dengan adanya sungai Musi sebagai denyut nadi yang menghantar perekonomian dari muara hingga ke tengah hulu menuju hilir. Sungai ini membawa aneka hasil bumi untuk diperdagangkan ke negeri seberang, dengan kapal-kapal kayu hasil karya pengrajin di masa itu. Di pedalaman hulu sungai Musi berada, terdapat teh, kopi, karet hingga sawit yang dahulu penjualannya melewati sungai.

Bahkan di zaman kejayaannya, tanah Sriwijaya adalah jujugan pembelajaran dari para cendekia dari daratan-daratan seberang, di mana mereka belajar banyak ilmu yang diterangkan dari perguruan-perguruan yang mahsyur. Sungai Musi sebagai penghubung ke pedalaman membuat akses pendatang baik yang belajar maupun berdagang lebih mudah untuk berkontak langsung dengan penduduk pribumi. Lambat laun, sisi sungai menjadi berkembang sebagai halaman muka dari kehidupan sosial sehari-hari.

Potensi Sriwijaya dengan pelabuhannya pun menjadi salah satu titik terpenting Nusantara. Betapa tidak, pelayaran-pelayaran dari Maluku, Makassar atau Tanah Jawa yang hendak ke luar Nusantara menjadikan titik ini atau pelabuhan Muaro Jambi sebagai tempat transit menuju bandar-bandar yang lebih jauh. Dari persinggungan transportasi di masa itu, tibalah pendatang-pendatang dari Cina, Arab, dan tanah Jawa bolak balik datang ke bumi Sriwijaya ini untuk berniaga sutra, keramik, dan aneka barang lainnya. yang berakulturasi dengan penduduk setempat. Beberapa bukti peninggalannya adalah keping-keping emas dan keramik yang bisa ditemukan di beberapa kedalaman sungai Musi. Dari Prasasti Kedukan Bukit pun menjelaskan tentang penemuan tanah sebagai pusat pemerintahan yang kini menjadi kota Palembang.

590px-Srivijaya_Empire_id.svg

Di tepi Sungai Musi yang melintasi kota Palembang kini banyak berseliweran perahu kayu yang difungsikan sebagai speedboat atau taksi air yang menghubungkan antara sisi hulu dan hilir sejumlah daerah di Palembang dan Sungai Musi. Salah satu titik pengrajin perahu yang sudah turun temurun terdapat di Desa Kemang Bejalu Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Kayu yang digunakan adalah kayu bungur (Lagerstroemia speciosa pers) yang bisa diperoleh dari hutan-hutan milik warga di Sekayu. Kayu ini menjadi pilihan penting karena sifatnya yang tidak menyerap air sehingga bagus digunakan sebagai rangka dan lapisan luar perahu.

Melintas sungai Musi ke arah utara dengan perahu kayu yang berjalan santai, harus bersiap-siap terempas ombak apabila kapal yang lebih kencang melintas di sisi kiri atau kanan. Ratusan orang hilir mudik setiap harinya menggunakan perahu sebagai alat transportasi yang nyaman dan murah. Tak semua mau memutar hingga jembatan Ampera untuk bisa mencapai seberang. Karena itu perahu-perahu ini jadi andalan untuk melintas sungai selebar kira-kira 504 meter di kota Palembang ini.

2-musi-palembang-kapal-kayu-sewaan

3-musi-palembang-kapal-kayu-sewaan

4-musi-palembang-kapal-kayu-sewaan

5-a-musi-palembang-kapal-kayu-sewaan

5-musi-palembang-kapal-kayu-sewaan

Dari seberang Ilir Sungai Musi, berderet-deret rumah rakit di kawasan Seberang Ulu yang berdiri di atas bantaran sungai. Kawasan ini dikenal sebagai daerah Pecinan karena banyak etnis Tionghoa yang tinggal di situ akibat pemisahan wilayah Ulu dan Ilir yang dilakukan oleh kesultanan pada abad 16. Dengan berdirinya Benteng Kuto Besak sebagai keraton pada masa itu, pihak pemerintahan menetapkan kawasan seberang Ulu untuk pendatang dari Siam, Jawa, Eropa, Arab, Melayu, dan lain-lain. Jika tidak dibangun jembatan Ampera pada tahun 1962, tentunya Palembang Ulu dan Ilir tidak pernah menjadi satu. Salah satu spot terkenal di Palembang adalah Kampung Kapitan, yang sekarang menjadi salah satu titik tujuan wisata.

Rumah-rumah di tepian ini menghadirkan berbagai aktivitas tepian sungai. Beberapa tempat terlihat cenderung kumuh dan terbengkalai, dengan sampah-sampah yang menepi dan membuat langkah menjadi gamang. Tak sedikit WC di tepi sungai, bersamaan dengan irama mencuci di pagi hari. Beberapa penduduk yang berjiwa bisnis membuat kios-kios solar yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna perahu motor yang berlalu lalang apabila membutuhkan bahan bakar. Warung-warung apung ini cukup mudah ditemui di tepian.

6-musi-rumah-kayu-seberang-ulu

7-musi-rumah-kayu-seberang-ulu

8-musi-rumah-kayu-seberang-ulu

9-musi-rumah-kayu-seberang-ulu

10-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-kios-solar

11-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-kios-solar

Saat melintasi sungai Musi, jamak dilihat tongkang pasir yang menggali dari dasar sungai. Selain upaya penambangan, memang dasar sungai Musi mengalami pendangkalan cukup serius hingga ke arah muara, sehingga dibutuhkan pengerukan sehingga kedalaman air mencapai level yang dibutuhkan kapal besar untuk lewat. Tak heran, semakin ke arah hilir, di mana kegiatan industri semakin tinggi, semakin banyak kapal-kapal besar yang berseliweran, atau hanya menjangkar di tengah sungai atau dibantu kapal-kapal pandu yang bisa menarik kapal besar untuk bisa merapat di dermaga.

Pertumbuhan pemukiman di tepian sungai Musi berlangsung linier, dari satu tepian dan terus memanjang menutup muka sungai, mungkin supaya lebih dekat dengan jalur transportasi sehari-hari itu makin berkembang ke arah daratan tertumpuk dengan rumah lainnya yang melapis hingga tepi jalan raya yang cukup berjarak dari tepi sungai. Dengan pendangkalan sungai akibat endapan, daerah ini menjadi rentan terhadap banjir apabila tiba-tiba ada volume air yang meningkat.

13-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-kios-solar

14-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-anak-anak

15-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-kios-solar

16-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-dermaga-kapal

17-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-dermaga-kapal

Jika disisi sungai seberang Ilir cukup lumayan tertata karena lebih banyak bangunan publik yang berdiri disana beserta pusat pemerintahan. Seberang Ulu mulai dikembangkan pembangunan, seiring dengan dibangunnya Stadion Jakabaring yang menjadi magnet baru bagi dunia olahraga, sehingga jalan-jalannya menjadi lebih mulus. Lagipula, jalan trans Sumatera juga harus melintas sisi ini.

Sungai Musi marak dengan aneka kegiatan pariwisata, mulai dari tepi sungai di Seberang Ilir yang selalu ramai di akhir pekan, juga even tahunan seperti Festival Sriwijaya, satu acara kesenian di tepi sungai, Musi Triboatton, pertandingan olahraga di sungai, juga menjadi tuan rumah untuk menyaksikan fenomena alam gerhana matahari total yang diperkirakan berlangsung tanggal 9 Maret 2016. Dengan aneka pesona Palembang yang cukup banyak, tak dipungkiri bahwa Sungai Musi menyimpan begitu banyak potensi bahkan sekadar untuk berperahu di tengah sungai.

18-musi-rumah-kayu-seberang-ulu-jembatan-ampera

Satu daerah industri di sisi seberang ilir yang didominasi oleh pabrik pupuk yang berskala nasional yang sudah berdiri bertahun-tahun, memanfaatkan sungai Musi sebagai jalur transportasi maupun angkutan yang cukup sibuk berlalu lalang setiap harinya. Belasan kapal besar berlalu lalang dengan kecepatan sedang untuk mensuplai aneka kebutuhan, mulai dari angkutan kontainer, bahan baku, alat berat, juga angkutan energi.

Jalur air ini mungkin memang lebih efektif daripada lewat darat dan membebani struktur jalanan. Walaupun pemeliharaan sungai pun tidak mudah karena kapal-kapal ini memerlukan kedalaman muka air tertentu sehingga mereka tidak kandas di jalur sungai. Pengerukan harus senantiasa dilakukan rutin supaya jalur ini bisa terlalui dengan lancar.

21-sungai-musi-kapal-besi-besar

22-sungai-musi-kapal

23-sungai-musi-kapal-container-field-pupuk-sriwijaya

24-sungai-musi-kapal-besi-besar-jangkar

25-sungai-musi-kapal-besi-besar-jangkar-pupuk-sriwijaya

26-sungai-musi-kapal-besi-besar-sandar-dermaga

Tapi perlu diingat, bahwa sungai Musi ini hidup setiap hari, ada atau tidak ada festival atau keramaian yang diadakan berbagai pihak. Keistimewaan kota yang memiliki waterfront ini karena sungai ini masih dijadikan jalur transportasi sehari-hari, baik penduduk, turis, maupun pelaku industri. Gemerlap hiruk pikuk sungai Musi ini memang menjanjikan suasana memesona yang menjadikan sungai ini sebagai muka kota yang semestinya indah, namun juga menyimpan banyak persoalan lingkungan serius. Pencemaran sungai akibat aktivitas rumah tangga dan industri, kerusakan daerah aliran sungai, tingginya laju endapan, fasade perumahan yang tidak selalu sedap dipandang menjadi beberapa persoalan yang menghantui sungai ini sebelum kelak menjadi aset yang amat membanggakan sebagai kota air yang cantik.

Di hulu sana, masih ada petani ikan di keramba, sementara di hilir, kapal-kapal keluar masuk yang menunjang kegiatan industri juga tak kalah ramainya. Pemeliharaan sungai ini mutlak diperlukan karena banyak sekali keterkaitan ruang-ruang sosial, budaya, maupun industri dengan sungai Musi, karena ia sebagai nadi tanah Bumi Sriwijaya, dipelihara untuk tetap mengalir hingga muara.

Serpong, 06.03.2016. 11.33
peta dari wikipedia kerajaan Sriwijaya
tentang Palembang :
seberang ilir jembatan ampera

 

27-sungai-musi-kapal-pabrik-pupuk-sriwijaya

28-sungai-musi-kapal-pabrik-pupuk-sriwijaya

29-sungai-musi-kapal-pulau-kemaro

30-sungai-musi-kapal-jembatan-ampera

 

 


tentang jarak pulau kemaro

$
0
0

1-pulau-kemaro-palembang

Ada legenda seorang putri raja bernama Siti Fatimah yang disunting oleh seorang saudagar Tionghoa yang bernama Tan Bun An pada zaman kerajaan Palembang. Siti Fatimah diajak ke daratan Tiongkok untuk bertemu dengan orang tua Tan Bun An. Setelah di sana beberapa waktu, Tan Bun An beserta istri pamit pulang ke Palembang dan dihadiahi tujuh buah guci. Sesampai di perairan Musi dekat Pulau Kemaro, Tan Bun An hendak melihat hadiah yang diberikan. Begitu dibuka Tan Bun An kaget sekali karena isinya hanya sawi-sawi asin. Tanpa berpikir langsung dibuangnya guci-cuci tersebut ke sungai, tapi ternyata guci terakhir jatuh dan pecah di atas dek perahu layar, tan tampaklah hadiah-hadiah di dalamnya. Tan Bun An langsung melompat ke dalam sungai untuk mencari guci-guci tersebut, diikuti seorang pengawalnya. Siti Fatimah ikut terjun ke air mencari suaminya. Hingga kini penduduk sekitar mendatangi pulau Kemaro juga untuk mengenang tiga orang tersebut.

Pulau Kemaro, adalah tentang jarak. Tentang daratan mengapung yang dicapai tigapuluh menit berperahu dari Jembatan Ampera. Tentang berada di tengah sungai Musi selebar 1350 m. Tentang pulau yang berjarak dengan hujan, karenanya dinamakan Kemarau.

Pulau Kemaro, adalah tentang jarak. Tentang beberapa depa yang memisahkan klenteng Toa Pekong dengan pagoda. Tentang klenteng yang selalu ramai oleh orang-orang yang bersembahyang, dari satu tempat yang berjarak. Tentang kisah menyedihkan yang memisahkan pulau dengan penghuninya.

Pulau Kemaro, adalah tentang jarak. Tentang plaza luas di sekitar pagoda, memberi spasial untuk menikmati tinggi bangunan. Tentang pepohonan yang berdiri cukup jauh, memberi ruang supaya sang naga-naga bisa menjaga.

Jarak, menjadi sebuah bahasa. Karena tanpa jarak, bagaimana akan terbit rindu?

perjalanan 2015.06.14
ditulis di pulomas 2016.03.14, 12:18

sumber kutipan : prasasti di pulau kemaro

 

2A-pulau-kemaro-palembang

2-pulau-kemaro-palembang

3-pulau-kemaro-palembang

DCIM100MEDIA

5-pulau-kemaro-palembang

6-pulau-kemaro-palembang

7-pulau-kemaro-palembang

8-pulau-kemaro-palembang

9-pulau-kemaro-palembang

10-pulau-kemaro-palembang

11-pulau-kemaro-palembang

12-pulau-kemaro-palembang

13-pulau-kemaro-palembang

15-pulau-kemaro-palembang

16-pulau-kemaro-palembang

17-pulau-kemaro-palembang

DCIM100MEDIA

14-pulau-kemaro-palembang



menilik ketinggian korowai lewat arsitektur

$
0
0

Papua, sang mutiara dari timur ini menyimpan rahasia yang disembunyikan dalam jalur-jalur yang sulit dilalui, perjalanan berhari-hari yang membuat banyak bagian dari pulau ini terisolasi dari perhatian negeri. “Dari Jayapura kami terbang ke Dekai, kemudian naik kapal selama 2 hari hingga Bumama, lalu berjalan kaki menembus hutan selama 2 hari hingga desa Yafufla, titik sebelum memasuki hutan tempat tinggal suku Korowai, yang masih harus ditempuh 2 jam perjalanan,” jelas Kevin Aditya Geovanni, ketua pelaksana Ekskursi Arsitektur ke pedalaman Korowai dalam pembukaan pameran dokumentasi arsitektur Menggapai Tonggak Cakrawala, di Museum Nasional 14-20 Maret 2016.

Siapa yang tak ingin tahu Papua, pulau besar di ujung timur nusantara, yang menyimpan aneka pesona, mulai dari hutan lebat, bawah laut yang indah, puncak-puncak gunung bersalju, penduduknya yang misterius, hingga perut-perut buminya berisi kekayaan yang mengundang decak serakah segelintir orang negeri.

Arsitektur tradisional sebagai salah satu karsa pembentukan ruang tinggal menjadi hal yang berusaha didokumentasikan sebagai warisan khazanah arsitektur nusantara, adalah program tahunan dari Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang berlangsung sejak tahun 2000 mulai ke Sumba, NTT hingga saat ini sudah berkeliling berbagai provinsi di Indonesia. “Saya deg-degan memantau kabar dari para mahasiswa yang melakukan perjalanan ke Korowai ini. Sering sekali mereka tak mengirim pesan karena kurangnya jaringan telepon di sana. Alhamdulillah mereka kembali dengan selamat,” kata Prof. Dr. Ir. Yandi Adi Yatmo, ketua Departemen Arsitektur FTUI yang memberikan izin ekskursi ini.

Aku mengobrol dengan Monica, salah satu anggota tim yang ikut dalam perjalanan selama 45 hari, termasuk ikut menginap di salah satu kekhasan dari suku Korowai ini, rumah pohon. Tak kusangka, gadis berperawakan mungil ini termasuk salah satu tim advance yang memanggul ranselnya sendiri membelah bumi Papua yang indah. “Nggak pakai porter, semua bawaan kita harus dibawa sendiri,” jawabnya sembari memperlihatkan buku Ekskursi Korowai yang juga bisa dipesan selama pameran.

Pameran diawali dengan peta Indonesia yang terbuat dengan kayu, berisi titik-titik rekam jejak perjalanan ekskursi arsitektur yang sudah dilakukan oleh Departemen Arsitektur UI selama ini. Hall besar yang mengikutinya menceritakan beberapa dokumentasi singkat tentang beberapa perjalanan, seperti ke Takpala Alor, Suku Anak Dalam Jambi, Kampung Bajau Wakatobi, dan banyak tempat lagi.

Memasuki lorong selanjutnya, diawali dengan palu batu yang menjadi salah satu senjata suku Korowai, Kevin melanjutkan penjelasannya tentang budaya mereka. “Karena mereka hidupnya berladang, jadi tinggalnya berpindah-pindah. Dusun atau boluf adalah tempat tinggal sekelompok dengan marga tertentu, yang biasanya dibatasi oleh kali atau sungai kecil,” jelas Kevin. Tim advance sempat tinggal Wahonom, salah satu desa yang penduduknya membangun rumah di atas pohon. Penduduk ini hanya hidup dari hasil hutan yang kemudian dikumpulkan untuk hidup, berladang di sekitarnya, lalu berpindah. “Sagu adalah makanan pokok dari suku ini, yang pohonnya bisa dimanfaatkan lagi untuk berbagai keperluan,” sambungnya.

Kanya, salah satu peserta tim advance yang pergi lebih dulu sebelum tim besar juga membantu menjelaskan tentang rumah tinggi, salah satu kekayaan vernakular negeri Indonesia ini. “Rumah tinggi dibangun karena tapak lokasi yang masih rawa-rawa, ketakutan akan binatang buas, juga sebagai tempat perlindungan di saat perang antar suku,” jelasnya. Banyaknya pohon tinggi yang menaungi hutan menjadi salah satu cara bertinggal menyesuaikan kebutuhan ruang, sebagai pelindung kehidupan.

“Rumah tinggi ini dibangun di atas satu pohon Matoa dengan tinggi sekitar 7-9 meter, dengan alas melebar di antara batang-batang pohonnya. Sementara untuk alas, tiang, bahkan atap rumah, mereka menggunakan bahan pohon sagu, yang isinya menjadi bahan makanan sehari-hari. Pohon-pohon sagu ini begitu mudah tersebar di sekeliling hutan, sehingga mereka tinggal menggunakannya saja,” jelas Kevin sambil memperlihatkan maket rumah Korowai. “Tungku-tungku yang ada di dalamnya menandakan bahwa di situ ada satu keluarga,” sambungnya. Dalam setiap rumah tinggi, dihuni oleh satu keluarga besar di mana terdapat beberapa keluarga kecil juga yang masing-masing memiliki tungku sendiri. Hal ini agak mirip dengan rumah di Badui dalam yang juga setiap keluarga kecil ditandai dengan tungku.

Rumah beratap model pelana ini dibagi juga menjadi dua bagian, timur barat yang memisahkan area perempuan dan laki-laki. Seperti juga dalam banyak rumah di Indonesia Timur, sosok perempuan menjadi penting menjiwai rumah, menjaga lumbung dan bahan makanan. “Pembangunan rumah tinggi ini dilakukan selama 4-6 hari sambil bergotong royong oleh penduduk laki-laki, sementara penduduk perempuan yang mencari bahan pembangun rumah,” Krystle menceritakan kunjungannya ke rumah ini. “Mereka tinggal di situ sampai lapuk, atau bahan makanan habis, lalu pindah daerah membangun rumah baru lagi. Tak ada upacara atau pemilihan waktu tertentu secara khusus sebelum memulainya.”

Aneka sketsa yang menjelaskan detail-detail rumah pohon ini terpampang cantik dengan instalasi kayu yang menarik. Di tengah ruangan tergeletak satu batang kayu yang sudah ditatah menjadi takik-takik yang dipergunakan sebagai tangga naik. Foto-foto dan video pembuatan rumah ini pun bisa dilihat selama pameran ini.

Di tepi sungai terdapat kampung Yafufla yang juga dihuni oleh orang Korowai. Setiap hari orang-orang yang tinggal di rumah tinggi juga menuju sungai untuk mencari ikan dan air untuk kebutuhan sehari-hari. Di kampung ini pemukiman juga tumbuh namun tidak di atas pohon, melainkan berderet linier mengikuti aliran sungai. Mungkin kemudahan mendapatkan air ini yang membuat pola hidup di pohon berangsur-angsur pindah ke sungai.

Aku jadi berpikir, jika aku kelak sempat melakukan perjalanan ke sana, apakah rumah-rumah tinggi ini nanti masih ada? Atau kebutuhan dan persinggungan dengan orang-orang asing akan cepat membuat mereka berubah? Atau rumah ini tetap ada demi memenuhi kebutuhan turisme dan eksotisme? “Penduduknya bisa-bisa terlalu cepat menyerap apa yang datang dari luar dan menganggap lebih maju dan lebih baik,” aku berdiskusi dengan Krystle. Memang ini selalu menjadi pertanyaan dilematis, akankah “kemajuan pembangunan” membuat penduduk lokal merasa tersisih, atau mereka bisa menjaga kebudayaannya atas kesadaran sendiri?

Jalur pameran  ditutup dengan sketsa rumah tinggi yang diwarnai bersama oleh anak-anak Korowai, yang menghasilkan aneka warna imajinatif, bukan hanya coklat dan hijau seperti warna yang menjadi pola tertanam selama ini. Biarkan mereka melepaskan imaji dengan warna cerah, secantik cenderawasih.

  

Pameran : Menggapai Tonggak Cakrawala
Ekskursi Arsitektur Korowai Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Museum Nasional 14-20 Maret 2016
Jakarta Pusat

foto ke-12 : Monica dan Kevin
foto ke-36 : bersama Krystle dan Kanya


semua foto diambil dengan kamera tablet di lokasi pameran, ditulis di kereta tidur dari Kolkata menuju Varanasi, India.

jumat, 17.03.2016. 05:07 IST.


inspirasi dialog rumah sandri

$
0
0

cover-rumah-sandri-gaharu

“To be creative means to be in love with life. You can be creative only if you love life enough that you want to enhance its beauty, you want to bring a little more music to it, a little more poetry to it, a little more dance to it.”
Osho

“Rumahmu ini Sandri banget, ya!” ujarku dalam satu kesempatan kesekian kalinya ke kediaman teman kuliahku di kawasan Cipete ini. Sandri yang kukenal sejak masa kuliah dengan gayanya yang ajaib dan unik dengan berbagai asesoris menempel di badannya, masih tidak berubah sampai kini. Masih berprofesi sebagai arsitek dan menikah dengan Didit, seorang desainer grafis, mereka mendesain rumahnya dengan nyaman sesuai dengan karakter masing-masing. Walaupun mengusung gaya yang agak mirip, tapi baik Sandri maupun Didit punya ciri khas masing-masing. 

Kebetulan Ciki dan Ayu dan Vanessa sepupunya juga sedang berkunjung ke rumah Sandri ketika aku ke sana. “Jadi memang gue ngedesain rumah ini sebagai tempat nongkrong, soalnya kan selama ini suka kalau ketemu, ngobrol-ngobrol di cafe yang asyik gitu. Nah, kenapa nggak suasana ini dipindahkan ke rumah, sehingga selain nggak banyak nongkrong di luar lagi, teman-teman juga betah main ke sini,” jelas Sandri. Benar juga sih, apalagi kami bukan lagi gadis-gadis belia yang bisa begitu saja berkumpul dengan teman-teman, tapi sekarang ada buntut yang sering minta ikut.

rumah-sandri-gaharu-1

Sementara kami berbincang di taman depan, anak-anak berkumpul ramai-ramai di ruang bermain di dalam. Taman ini salah satu lokasi yang ikonik sekali, karena hampir semua teman yang mampir pasti berfoto-foto di sini. Dinding yang ditumbuhi sulur-sulur tanaman merambat menjadi latar belakang taman mungil yang dilengkapi dengan satu bangku taman dari besi tempa. Satu tutup drum dari besi bertuliskan “Don’t fill Your HEAD with Worries” berwarna hijau kuning, kontras tertempel di dinding.

rumah-sandri-gaharu-22

Kalau sedang berkumpul, memang taman ini tempat pemberhentian yang pas sebelum masuk rumah. Kadang-kadang Sandri mengeluarkan peralatan melukisnya supaya anak-anak bisa asyik menuangkan kreativitasnya di situ tanpa mengotori rumah. “Makanya, anak-anak betah main di sini. Bahkan Ayu juga sering menitipkan anak di sini kalau ia hendak rapat selama beberapa jam. Anak-anak sudah akrab banget, sih,” katanya sambil tertawa lebar.

Kami memasuki ruang tamu lewat satu pintu berwarna putih yang menurut Sandri sudah sering berganti karakter. “Kalau gue mau nyoba finishing apa di tempat klien gitu, gue coba dulu di rumah. Kalau hasilnya bagus, baru diterapkan yang benar,” ia bercerita.

Ruang tamu adalah satu tempat yang paling menyita perhatian pertama. Satu sepeda motor tua parkir di situ, dengan dinding berlapis kayu yang berasal dari limbah pabrik gitar. “Waktu gue main ke sana, mata gue liat kayu-kayu ini. Teksturnya kan unik tuh, jadi gue beli aja. Ternyata keren juga ya dipasang di dinding,” Sandri berkisah tentang dindingnya yang juga dipenuhi aneka pernik antik. “Nggak sengaja diniatin juga nyarinya, kadang gue pas lagi jalan-jalan, atau lihat garage sale, nemu yang lucu, dibeli aja,” sambungnya.

Sofa merah, meja lipat dan piano juga ikut mendominasi ruang tamu ini. Kalau tidak berkumpul di luar, teman-teman Sandri suka menghabiskan waktu di sini sambil bersenda gurau. Memang suasana di sini terasa santai dan akrab apalagi sambil mata tak bosan memandang aneka koleksi Sandri dan Didit yang tertempel di dinding.

rumah-sandri-gaharu-3

rumah-sandri-gaharu-6

rumah-sandri-gaharu-7

Ruang berikutnya di balik ruang tamu adalah ruang makan yang dibatasi oleh dinding dengan rangka cable tray. Itu lho, rak tempat meletakkan kabel yang biasanya terletak di mal. Kalau sesekali lewat tempat parkir dan menengok ke atas, cable tray ini pasti kelihatan. Rangka besi ini dilapis karton kardus sebagai sekat antara ruang makan dan ruang tamu. “Supaya aman, ketabrak anak-anak juga nggak apa-apa. Lagipula kalau rusak, murah koq gantinya, ini cuma kardus,” cerita ibu muda dari tiga anak, Arka, Sachi, dan Sabia ini.

Di ruang makan ini juga menjadi pusat kegiatan rumahan, tempat yang dilewati sehari-hari. Selain meja makan besar, juga dilengkapi dengan meja makan kecil untuk anak-anak, lemari buku yang tinggi hingga langit-langit, dan rak tempat menyimpan pernik-pernik dan hiasan rumah.

“Nah, kalau sekat ke kamar anak dan dapur, gue pakai polycarbonat, soalnya kan transparan juga kayak kaca, tapi aman. Ketabrak anak-anak juga nggak masalah,” Sandri menjelaskan dua pintu di ruang makan yang satu menuju dapur dan satu lagi menuju area beristirahat.

Dapur rumah Sandri cukup luas namun simpel, terdapat satu meja panjang berisi kompor, lemari makan, heater, microwave di satu sisi, dan mesin cuci serta papan setrika di ruangan berukuran 4×5 meter itu. Karena dinding-dindingnya yang transparan, cahaya matahari masuk dengan mudah dan menerangi seluruh ruangan.

rumah-sandri-gaharu-8

Di sisi lainnya, aku menemukan ruang bermain anak yang begitu guyub. Satu rak besar dan panjang berisi boneka dan mainan, membuat anak-anak betah memainkan aneka ragam permainan yang merangsang saraf motorik maupun ide-ide kreatif mereka. Pantas saja kalau anak-anak bermain di sini riuh rendah sendiri. Kalau kami sedang berkumpul satu angkatan, anak-anak walaupun baru kenal juga langsung akrab karena permainan-permainan ini.

rumah-sandri-gaharu-11

Sandri menunjukkan kamar anak-anaknya, “Kalau di kamar anak-anak, gue juga pakai dinding dari rangka cable tray dengan penutup polycarbonat. Simpel dan cepat, mudah dibongkar lagi juga.” Satu tenda dome berada di dalam kamar anak beserta tempat tidur susun menjadi satu keunikan lagi dari kamar anak-anak ini. Di ruangan sebelahnya, terhampar satu bed rendah untuk anak-anak tidur juga. “Supaya ada pengalaman tidur yang bermacam-macam,” kata Sandri.

rumah-sandri-gaharu-9

rumah-sandri-gaharu-10

rumah-sandri-gaharu-12

rumah-sandri-gaharu-13

“Rumah ini kan didesain berdua, San. Sempet rame nggak memutuskan maunya siapa?” tanyaku kembali di taman. “Yah, pasti ada berantem-berantem dikit kalau memutuskan apa mau ditaruh di mana. But it just fine, masing-masing punya karakter sendiri dan ternyata bagus juga dikompromikan satu sama lain.”

“Berarti rumah ini semacam dialog antara kalian berdua?”
“Yaaa, that’s it! Rumah ini kan didesainnya tumbuh, ada dialog-dialog di antara kami berdua sejalan dengan perkembangan keluarga kami. Dari ruang waktu kami masih berdua saja, kemudian lahir anak-anak satu demi satu, menjadi dialog yang berbeda-beda yang menjawab kebutuhannya. This is looks like my conversation with my husband,” Sandri menjawab dengan riang tentang rumah yang ditempatinya hampir enam tahun ini. “Didit itu kadang-kadang bisa baca pikiran gue. Waktu ulang tahun, dia kasih gue lemari papan dart game yang keren banget, dan akhirnya gue pakai sebagai tempat naro make up di kamar mandi.”

“Kalau sudut yang Sandri banget dan Didit banget, mana San?”
“Nah, kalau Didit itu yang di ruang kerjanya dia ada lemari mobil-mobilannya, yang nemenin dia kerja juga. Kalau gue itu lemari sepatu-sepatu gue, dan koleksi CD yang di ruang tamu ini.”

rumah-sandri-gaharu-14

rumah-sandri-gaharu-15

rumah-sandri-gaharu-16

“Kadang-kadang memang kami dapat barang, terus dimodifikasi buat jadi apa, di pojok lucu yang bisa dijadikan benda bermanfaat. Nah, ini salah satu sudut favorit buat kalian foto-foto, di bawahnya kursi sutradara, siamese merah dan tahu nggak lampu atas itu tadinya roda becak!” ceritanya makin seru.

rumah-sandri-gaharu-17

rumah-sandri-gaharu-18

rumah-sandri-gaharu-19

rumah-sandri-gaharu-20

rumah-sandri-gaharu-21

Ah, mengasyikkan sekali bincang-bincang dengan Sandri sore itu. Rumah yang hidup beserta penghuni-penghuninya yang begitu mencintai kediamannya, dibangun bagian per bagian dengan penuh rasa. Rasanya tak salah kalau menyebut rumah ini : a happiness conversation.

chitchat at 31.01.2016
written between varanasi-agra-jodhpur-delhi | 26.03.2016

rumah-sandri-gaharu-2


kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut

$
0
0

kansai-international-airport-japan-3

It can hardly be a coincidence that no language on earth has ever produced the expression, ‘As pretty as an airport.’
― Douglas Adams, The Long Dark Tea-Time of the Soul

Aku pertama kali mendengar nama Bandar Udara Kansai di Osaka ini adalah ketika aku mengambil mata kuliah Struktur dan Konstruksi di semester 5. Pada mata kuliah yang mengajarkan tentang bangunan bentang lebar ini, beberapa contoh diberikan seperti stadion, jembatan atau bandara. Beberapa kebutuhan fungsi ruang memang membutuhkan jarak antar kolom yang lebih jauh, sehingga teknologi bentang lebar yang ditemukan oleh arsitek dan ahli-ahli konstruksi ini menarik untuk dipelajari.

Gambar goresan tangan arsitek Renzo Piano yang mensketsa tema ‘lepas landas’ menjadi dasar desainnya untuk mengembangkan fungsi-fungsi yang dibutuhkan oleh bandara internasional ini. Bandar udara dengan kode KIX ini berdiri pada tahun 1994 dengan dua area, yaitu daerah landasan pesawat dan bangunan bandaranya sendiri dengan termasuk fungsi penerimaan penumpang dan area komersial.

goresan tangan renzo piano kansai international-airport
Bandara ini terletak di tengah-tengah pulau buatan yang berada di teluk Osaka, lepas jauh dari daratan di mana kota Osaka berada. Dimaksudkan sebagai gerbang masuk negeri matahari terbit ini selain Haneda Tokyo, lokasinya cukup strategis yang terhubung dengan mudah dengan kota-kota besar di propinsi Kansai, seperti Kobe, Kyoto, dan Osaka. Satu jembatan panjang untuk mobil maupun kereta menghubungkan tanah reklamasi yang menghabiskan 21.000.000 m3 ini dengan daratan.

Beruntunglah aku mendapat kesempatan untuk mengunjungi negeri matahari terbit ini beberapa waktu yang lalu dan mendarat di bandara Kansai sesudah enam jam perjalanan dengan pesawat dari Indonesia. Serasa semua angan masa kuliahku kembali ketika aku menyusuri lorong-lorongnya perlahan-lahan. Sebagian besar penumpang pesawatku orang Jepang walau pun tak sedikit orang Indonesia juga yang bepergian melalui terminal bandara ini. Terminal internasional ini memiliki panjang 1.7 km, dengan 42 gerbang keberangkatan dan dapat menangani hingga 100.000 penumpang per hari. Struktur ringan dirancang untuk menahan gempa yang sering mempengaruhi daerah ini. Ide untuk denah bandara berasal dari bentuk glider, dengan bangunan dalam sebagai badan pesawatnya, dan terminal yang memanjang layaknya sayap pesawat.

kansai

tiba di bandara kansai

Setelah melalui garbarata, aku melalui koridor panjang yang melayang di atas ruang tunggu yang lebar pada terminal keberangkatan yang panjang itu. Di bawah sana, kursi-kursi cantik berwarna-warni tempat penumpang menunggu waktu keberangkatan di ruangan berkaca lebar dan struktur atap lengkung dengan rangka batang ruang. Seorang ibu-ibu cantik memberitahuku bahwa nanti penumpang yang baru tiba harus naik kereta yang terlihat di samping koridor tempat kami berjalan. Berhubung ini pertama kali kedatanganku ke sini, jadi aku manut saja dengan penjelasan beliau.

Puas mengagumi koridor, aku menuju lobby untuk mengantri naik satu kabin kereta yang menghubungkan bangunan ini ke bangunan lainnya. Aku agak tercengang dengan kecanggihan teknologi di sini, tapi berusaha mengikuti arus supaya tidak terlihat norak. Mengikuti arus orang-orang, aku tiba di bagian imigrasi yang cukup ramai. Rupanya banyak sekali orang yang mengunjungi Jepang maupun baru pulang ke Jepang sehingga antrian tidak terhindarkan.

kansai-international-airport-japan-2

kansai-international-airport-japan-11

Selesai urusan imigrasi, barulah aku tiba di ruangan besar di mana ransel besarku dari bagasi sudah tergeletak dan tinggal kuambil tanpa menunggu lagi. Setelah melewati xray-detector, aku keluar menuju ruang tunggu sambil menanti penerbangan temanku yang tiba dari Korea. Ruangan ini berupa atrium yang bisa melihat tepian empat lantai bandara dan menghubungkan dengan akses-akses ke jalur kereta atau bis menuju Osaka atau kota-kota lain.

Tidak perlu merasa bosan menunggu di sini karena banyak sekali pusat-pusat informasi kota yang bisa dilihat-lihat, lengkap dengan brosur-brosur tempat wisata dan tempat makan di kota-kota tersebut. Ada juga kios-kios yang menjual SIM Card Jepang yang bisa dibeli langsung. Tapi aku lebih memilih wifi airport yang gratis tentunya. Asyiknya lagi, terdapat beberapa meja dengan power outlet tempat aku bisa mencharge baterai ponsel yang sekarat. Bahkan kalau mau bekerja sebentar sambil membuka laptop juga bisa lho! Bahkan anak-anak pun sepertinya tidak akan bosan menunggu di sini, karena disediakan pojok bermainnya.

Karena terminal kedatangan ini terhubung langsung dengan stasiun kereta Kansai, maka amat mudah untuk berjalan kaki di sini, kemudian membeli kartu Japan Rail Pass wilayah Kansai untuk 4 hari mendatang, baru kemudian menaiki kereta yang masuk dalam jangkauan JRP menuju Osaka.

kansai-international-airport-japan-7

kansai-international-airport-japan-5

kansai-international-airport-japan-4

kansai-international-airport-japan-6

kansai-international-airport-japan-9

kansai-international-airport-japan-16

kansai-international-airport-japan-8

menginap di bandara kansai

Kedua kalinya ke bandara ini, kembali di Bandara Kansai jam setengah sebelas malam usai perjalanan panjang dengan kereta cepat dari Nagasaki di sore hari harinya. Karena besok siang aku akan terbang kembali ke Indonesia, maka aku memutuskan untuk menginap di bandara saja, daripada harus turun di Osaka dan ribet mencari hostel. Turun dari kereta yang langsung tiba di lantai dua bandara, aku melintasi jembatan yang terbentang di atas ruang tunggu area kedatangan.

Langsung masuk ke area ruang tunggu keberangkatan, rupanya banyak juga orang yang bermalam di sini sambil mengambil ‘lahan’ empat kursi sebagai tempat tidur mereka. Minimarket 24 jam buka di dua sudutnya, memudahkanku untuk membeli makanan pengganjal lapar. Walaupun toko-toko sudah tutup, namun suasana di bandara ini masih hidup, tanpa keramaian yang berarti. Setiap orang menyibukkan diri dengan urusannya masing-masing, tanpa bersuara keras, sehingga tetap tenang.

Aku melipir menuju praying room yang berada di ujung lantai dua yang syukurlah, tak terkunci. Di dalam ada seorang ibu dari China yang sedang berdoa dengan khusyu’ di atas kursi, sementara aku melepas kaus kaki, berwudhu dan menunaikan sholat di alas karpet yang bersih dan empuk. Memang ruangan ini tak dikhususkan untuk umat muslim saja, dari berbagai kepercayaan pun bisa berdoa di sini karena disediakan juga berbagai kitab suci di raknya. Karena lelah, aku menyelonjorkan kaki dan tidur di situ hingga pagi datang.

Sebelum petugas membersihkan ruangan di pagi hari, aku bangun dan bersiap-siap pindah. Pagi yang sudah mulai menggeliat menampakkan kesibukan berbagai orang yang lalu lalang di ruang tunggu keberangkatan. Suara koper ditarik, pengumuman-pengumuman dikumandangkan, harum kopi di kafe-kafe menguar dari gelas-gelas di tangan.

Tempatku berada sekarang adalah bangunan Terminal 1 yang terdiri dari empat lantai. Lantai pertama adalah terminal kedatangan internasional, sementara lantai dua difungsikan sebagai terminal keberangkatan dan kedatangan domestik. Lantai dua ini dilengkapi dengan berbagai gerai bank, juga lounge ekslusif untuk ruang nyaman menunggu. Tidak sulit dengan informasi di sini yang bisa dengan mudah didapatkan di pusat informasi terdekat.

Jika ingin membeli oleh-oleh atau souvenir yang belum sempat didapatkan di perjalanan, bisa dicari di gerai-gerai makanan di lantai tiga. Walaupun petugasnya tidak terlalu lancar berbahasa inggris, aku cukup menunjukkan foto Baumkuchen titipan seorang teman dan mereka langsung mencarikan sambil tersenyum ramah. Di lantai ini juga banyak terdapat gerai-gerai pakaian dengan merk Jepang atau merk internasional apabila ingin membawakan sebagai buah tangan.

kansai-international-airport-japan-12

kansai-international-airport-japan-13

kansai-international-airport-japan-14

kansai-international-airport-japan-15

Mendekati waktu check-in, aku naik ke lantai paling atas dan menemukan aneka gerai check-in untuk memproses waktu keberangkatan. Usai merapikan barang bawaanku di ransel, aku mengantri dan menunjukkan paspor di salah satu titik berlogo maskapai negara Indonesia. Rangka batang ruang menumpu atap di atasnya, busur-busur lengkung yang menaungi keseluruhan bangunan.

Bentuk atap dikembangkan dari studi antara kebutuhan struktur dan ventilasi. Diupayakan bahwa udara bisa melewati ruangan dari belakang (stasiun) hingga ke depan (runway). Lintasan prediksi aliran udara ini yang menjadikan oleh bentuk atap yang menjadi membusur seperti ini yang diikuti dengan ducting udara yang menggantung pada langit-langit yang terekspos rangkanya.

kansai-international-airport-japan-17

kansai-international-airport-japan-18

kansai-international-airport-japan-19

kansai-international-airport-japan-21

Aku mengantri untuk pemeriksaan imigrasi, melalui satu gerbang lagi tanpa kesulitan berarti. Ternyata, di balik ruang imigrasi banyak sekali toko-toko berderet dengan merk internasional. Selasarnya yang cukup lega membuat cukup nyaman berwara-wiri di sini. Berdasarkan petunjuk salah satu petugas, aku menuju salah satu pojok dan menemukan kamar mandi! Ya, tentu naik turun area bandara yang luas ini membuatku berkeringat apalagi memang aku belum mandi sejak kemarin sore. Terdapat tiga kubikal fiberglass di dalam ruang mandi dengan pengatur air panas dan dingin.

kansai-international-airport-japan-22

kansai-international-airport-japan-23

kansai-international-airport-japan-25

Setelah segar, aku berjalan turun menuju lobby aerotrain untuk naik kereta menuju terminal ruang tunggu yang panjang. Deretan kursi warna-warni menyambutku seperti sepuluh hari kedatanganku yang lalu. 42 buah gerbang keberangkatan yang berderet seperti konsep bangunan, sebagai sayap. Fasade yang didominasi oleh kaca terang membebaskan pandangan ke arah runway, sambil memperhatikan pesawat datang dan pergi. Saat mengudara, atap baja lengkung ini berakhir pada ujung yang berhenti dengan halus, menyatu dengan daratan di sekitarnya. Pulau kecil di ujung Osaka ini perlahan-lahan menjauh.

perjalanan 05.09.2014
ditulis 19.01.2016, antara depok-sentul dan awan-awan di udara.

data : http://www.rpbw.com/project/35/kansai-international-airport-terminal/

kansai-international-airport-japan-26


osaka : tradisional, modern, dan hura-hura

$
0
0

0-cover-osaka-castle-TEXT


Anywhere there is life, there are eyes. And things, too, speak to those who have ears to hear.
― Eiji Yoshikawa: Taiko

“Ini istananya Hideyoshi Toyotomi?” Aku kagum melihat istana besar yang selama ini hanya ada dalam benak, dari buku-buku yang kubaca. Hideyoshi Toyotomi kukenal dari buku Taiko karya Eiji Yoshikawa yang beberapa tahun yang lalu menemani perjalananku ke kantor. Taiko mengisahkan perjalanan seorang pengantar sandal, hingga menjadi seorang panglima besar kerajaan Jepang di tahun 1586. Buku ini menjadi salah satu buku yang mempengaruhi hidupku tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Dalam buku Taiko dikisahkan tentang Jepang pada abad ke-16, ketika keshogunan tercerai berai. Hideyoshi yang lahir sebagai anak petani, datang sebagai abdi Oda Nobunaga seorang daimyo di provinsi Owari, mempelajari sekitar dan memohon kesempatan bertempur sehingga akhirnya ia bisa menjadi salah satu pelindung Kaisar. Dengan kesetiaannya yang tinggi akhirnya ia mendapatkan kepercayaan untuk memerintah di satu propinsi, dan berlanjut dengan penaklukan daerah-daerah lain di Jepang hingga akhirnya ia menjadi seorang Taiko, yang berkedudukan di Osaka dan mendirikan istana di bekas kuil Ishiyama Honganji. Dengan sentral pada istana, penduduk yang sudah bermukim sejak lokasi ini menjadi kuil, makin meluas dan menjadi cikal bakal kota. Sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Edo, Osaka menjadi pusat pemerintahan Jepang karena tempatnya yang strategis di tepi lautan sebagai pusat ekonomi dan transportasi.

sejarah dalam osaka castle

Osaka Castle atau istana Osaka adalah destinasi pertama yang dikunjungi aku dan Windu setibanya kami di sana. Dengan waktu setengah hari dan belum bisa check in, maka kami berdua memilih naik kereta ke istana ini, yang ternyata agak cukup jauh dari stasiun subway Tanimachi, dan bonus jalan kaki yang agak lumayan juga dari gerbang hingga istananya.

Dengan tiket masuk seharga 600 yen, kami masuk ke area istana setinggi delapan level yang kini difungsikan sebagai museum. Sesudah kematian Oda Nobunaga, Hideyoshi Toyotomi sebagai mengambil alih peran politik dan memulai pembangunan istana pada tahun 1583. Bangunan ini dimaksudkan sebagai tempat tinggal  sebagai pimpinan Jepang walau ia lebih banyak berada di Kyoto. Sesudah kematiannya, istana ini diperebutkan oleh klan Tokugawa dan jatuh pada Summer War Osaka di tahun 1615.

1-osaka-castle-gate

4-osaka-castle-restoration

Sesudah masa restorasi Meiji, Istana Osaka dan sekelilingnya dipergunakan sepagai pangkalan tentara. Menara utama kembali direkonstruksi pada tahun 1931 dan akhirnya masuk pada Registered Cultural Properties of Japan pada tahun 1997. Area di seputar istana yang hancur karena perang dunia ke-2 pun direstorasi menjadi historical site park.

Setiap level bangunan tidak terlalu luas, namun ada petunjuk untuk mengelilingi satu alur untuk mengikuti cerita tentang sejarah Hideyoshi Toyotomi, sang Taiko. Beberapa ruangan bahkan mengeluarkan aturan dilarang memotret, sehingga tidak bisa merekam gambar di situ. Berbagai cerita sejarah, mulai dari rumah masa kecil, hingga pakaian kebesaran dan senjata ditampilkan di sini.

Satu bagian menarik ada di level 5 yaitu miniatur dari “Summer War of Osaka” yang ditampilkan dengan banyak boneka mini dengan berbagai adegan peperangan. Adegan peperangan ini dilukiskan begitu detail, lengkap dengan panji-panji, pengendara kuda dan tombak-tombak. Aku membayangkan adegan-adegan pertempuran yang kubaca di buku Taiko ini terlukiskan di sini. Ratusan, bahkan ribuan prajurit dan samurai termasuk panglimanya turun ke medan perang menjalankan strategi tempur.

2-osaka-castle-summer-war-siege

3-osaka-castle-summer-war-siege

Dalam pertempuran musim dingin Osaka tahun 1614, Tokugawa Ieyasu yang sebelumnya menjadi sekutu, memimpin serangan besar menyerbu Hideyori Toyotomi, anak Hideyoshi, yang hanya mampu bertahan dalam istana Osaka. Di musim panas berikutnya, kembali Ieyasu mengirim lagi pasukannya dan meruntuhkan istana. Hideyori melakukan seppuku atas kekalahannya ini.

Di level tujuh juga ditampilkan diorama dari kehidupan Hideyoshi Toyotomi berupa hologram hidup yang bergerak pada maket-maket rumah yang ada di dalam kotak kaca. Menarik sekali mengamati hal ini dari satu kotak kaca ke kotak kaca yang lain, mulai dari rumah sederhana hingga berdirinya istana. Titik puncak dari bangunan ini adalah level delapan, berupa panoramic view ke segala arah dari teras dengan ketinggian 50 m dari tanah. Dari sini bisa dilihat lansekap Osaka dari kejauhan, termasuk taman luas di area istana yang tradisional, dan bangunan-bangunan tinggi modern yang memenuhi pandangan.

5-osaka-castle-scenery-view-city

6-osaka-castle-guard

Karena sudah sore, tidak semua bangunan di sekitar bisa dimasuki. Sebagian kompleks ini dilindungi oleh dinding tinggi terbuat dari batu super besar dan kokoh. Benteng batu ini menjadi batas pertahanan terhadap istana bagian dalam. Sebagian lain dilindungi dengan parit besar dan dalam (uchibori), dengan jembatan hanya di satu tempat di belakang istana, Gokuraku Bridge.

7-osaka-castle-inside-sakura-gate

10-osaka-castle-guardwall-bigwall

8-osaka-castle-outside-sakura-gate

9-osaka-castle-moat-canal-uchibori

Keluar melalui Sakura Gate, langkah kaki dilanjutkan menuju Hokoku Shrine (foto 1&2), kuil tempat berdoa. Rupanya banyak juga orang Jepang yang mampir ke sini dan ikut mendoakan. Kami juga melewati Shudokan (foto 3) yang terlihat seperti balai latihan pengawal kerajaan, dan saat kami lewat sedang ada latihan karate di dalamnya. Karena sudah sore, beberapa taman cantik seperti Nishinomaru Garden tidak lagi bisa dimasuki.

11-osaka-castle-hokoku-shrine

12-osaka-castle-hokoku-shrine

13-osaka-castle-shudokan-karate

Melanjutkan perjalanan melalui Ota Gate yang merupakan gerbang terluar di atas parit besar pelindung lapis kedua (sotobori) terhadap Istana Osaka. Dinding-dinding kanal terlihat curam dan licin, dan sepertinya hanya kenekatan saja yang bisa melalui kanal dalam itu dan memanjat dinding. Aku berbincang dengan Windu, pasti jalan itu cuma bisa dilewati oleh ninja, sambil membayangkan adegan ninja memanjat dinding benteng seperti di film-film. Kami beristirahat sore di taman depannya, sebelum kembali ke stasiun.

14-osaka-castle-ota-gate-inner-courtyard

15-osaka-castle-ota-gate-outer-courtyard

16-osaka-castle-ota-gate-outer-courtyard

17-osaka-castle-ota-gate-outer-courtyard-moat

tennoji nan modern

Dengan kereta bawah tanah kami menuju Tennoji, satu distrik di Osaka yang di masa lalu adalah salah satu daerah barrier terhadap kota Osaka. Sebenarnya tujuan kami ke Shitennoji Shrine, salah satu kuil di kawasan itu. Tapi karena sudah gelap, ternyata tempat ini sudah tutup dan kami hanya menemukan sisi depannya dengan berbagai patung-patung. Jadi aku dan Windu menyusur jalan-jalan di Tennoji, bertemu dengan orang-orang Jepang yang baru pulang bekerja, berjalan dengan sedikit santai. Mungkin selama ini yang ada dalam pikiranku adalah orang-orang Jepang yang selalu berjalan cepat, namun ternyata nggak juga, tuh.

Pada jalur pedestrian ini jamak bertemu dengan tangga keluar dari stasiun bawah tanah. Rupanya memang ada jalur berlapis lagi di bawah jalan yang aku pijak ini. Pastinya terdapat jalur subway di dalam sana dan jalur pejalan kaki menuju tempat perhentiannya. Yang unik, banyak tempat parkir sepeda di dekat akses ke subway tersebut. Rupanya orang-orang ini memakai sepeda dari rumah ke stasiun dan diparkir di dekat situ. Sebenarnya juga ada beberapa tempat sepeda gratis yang bisa digunakan dari satu area parkir ke area parkir yang lain.

19-tennoji-osaka-bicycle-park

Tepat di depan stasiun Tennoji, cukup ramai dengan orang berlalu lalang dan mobil-mobil lewat. Di kejauhan aku melihat struktur jembatan penyeberangan yang cantik. Sepertinya bangunan ini menghubungkan antara dua mal di kiri dan kanannya. Membentang dengan tumpuan kolom-kolom di bawahnya, jembatan ini dinaungi oleh atap alumunium komposit yang menyerupai daun yang menggeliat. Rangka besi berbentuk V menopang atap-atap tersebut.

18-tennoji-osaka-pedestrian-bridge

Di dalam stasiun sendiri yang berukuran cukup besar dan lapang, rupanya banyak sekali orang di sini. Pasti karena ini memang sudah jam pulang kantor sehingga aneka tipe manusia Jepang nampak, mulai dari pekerja kantoran hingga anak sekolah yang terlihat masih mengenakan seragam.

Sesudah membeli karcis lewat mesin otomatis, kami melewati gate elektronik dan masuk ke kereta yang masuk jaringan JR (Japan Rail). Keretanya tak jauh beda dengan KRL di Indonesia (yang memang diimpor dari Jepang), dan melewati jalur bawah tanah terus hingga ke stasiun Namba.

20-tennoji-osaka-JR-station

21-tennoji-osaka-JR-station

22-tennoji-osaka-JR-station

hura-hura dotonbori

Nah, kemudian masalahnya mulai. Baik aku dan Windu belum mengunduh peta Osaka sekitar Dotonbori – Namba, sehingga ketika keluar dari stasiun tidak tahu harus berjalan ke arah mana. Aku hanya memelototi peta periplus yang kupunya, sambil berusaha berorientasi kira-kira jalan ke mana yang harus kami ambil, mengingat di depan kami ada perlimaan ke berbagai arah.

Akhirnya mengikuti insting yang kuat (karena jalanan pun sudah cukup sepi) kami berjalan ke arah kanan dan terus, akhirnya menemukan ujung lain dari stasiun Namba. Memang area stasiun ini cukup besar, karena mengintegrasikan berbagai moda angkutan umum, tak hanya satu macam kereta bawah tanah, namun beberapa macam dan juga ditambah dengan kereta di jalan layang di atas. Coba bayangkan berapa lapis kehidupan di jalan raya Osaka ini.

Lorong-lorong Dotonbori tampak lebih ramai daripada ketika kulewati siang tadi. Aneka penjual makanan menjajakan dagangannya sambil berseru-seru riang. Aku dan Windu memilih satu restoran yang menjual okonomiyaki, satu bentuk makanan khas Jepang mirip dengan telur dadar tebal dan berisi aneka bumbu dan cumi. Nyaman sekali rasanya mengisi perut sesudah berputar tak tentu arah tadi.

Tentu saja okonomiyaki saja tak cukup. Gara-gara terlalu sering baca komik Jepang yang tokohnya selalu beli takoyaki di depan stasiun, jadilah kami menyambangi satu kios takoyaki yang berjualan dengan pan super besar, yang sekali masak bisa hingga 64 bola-bola takoyaki. Huwow! Aku memesan delapan takoyaki yang dicemil di tengah hingar bingar Dotonbori yang asyik.

23-dotonbori-osaka-nightlife

24-dotonbori-osaka-nightlife

26-dotonbori-osaka-nightlife-takoyaki

Dotonbori ini semacam pusat keramaian dengan aneka toko dan restoran yang menjual aneka macam barang dan makanan. Karena tidak boleh dilewati mobil, maka pejalan kaki maupun sepeda bisa melenggang dengan santai sambil melihat kanan dan kiri. Dari mulai toko kaos kaki, toko pernik pernik, toko oleh-oleh (yang bisa beli KitKat aneka rasa), dan terutama juga tukang takoyaki incaranku. Aneka toko satu harga, toko obat, gerai pakaian yang merknya terkenal di Indonesia, mudah ditemukan di kawasan ini. Oh iya, Takashimaya, mall yang terkenal di Singapura itu, di sini adalah mall ramai yang menyatu dengan stasiun Namba, tak jauh dari Dotonbori.

Untuk kembali ke hotel tempat kami tinggal, kami harus melintasi jembatan di atas sungai yang indah di balik Dotonbori. Sungai yang tidak seberapa lebar ini sangat bersih dengan beberapa jembatan kayu yang melintas di atasnya. Beberapa restoran yang bermuka dua memiliki area duduk-duduk juga menghadap ke sungai, sementara sisi lainnya menghadap jalan. Beberapa toko malah menyengajakan juga memiliki dua pintu keluar, ke jalan dan ke bantaran tepi sungai.

Pantulan bangunan-bangunan berlampu ini berkilau indah di sungai, menjadikan pemandangan ini rasanya romantis dan enggan pulang. Banyak sekali kaum muda mudi Jepang yang menghabiskan waktu dari Dotonbori hingga tepi sungai ini. Jembatan kayu yang melintasi atas sungai pun menjadi tempat parkir sepeda.

27-dotonbori-osaka-nightlife-river-bridge

28-dotonbori-osaka-nightlife-river-bridge

29-dotonbori-osaka-nightlife-river-bridge

30-dotonbori-osaka-nightlife-river-bridge

31-dotonbori-osaka-nightlife-river-bridge

melewati siang di osaka

Apa dengan segala keramaian di malam hari membuat kawasan ini berantakan? Tidak! Dotonbori sudah rapi lagi di pagi hari, tak nampak sampah berserakan atau tumpahan minyak dari gorengan semalam. Suasana pagi terlihat lebih hening, hanya terdengar suara langkah orang yang berjalan. Tak ada musik atau suara bersahut-sahutan.

32-dotonbori-osaka-daylife-river-bridge

33-dotonbori-osaka-daylife-river-bridge

35-dotonbori-osaka-daylife-store-retail

Jika berkeliling di sekitar sini, paling asyik adalah jalan-jalan nggak jelas mengelilingi satu area, dan sebenarnya tak terlalu sulit dijalani karena hampir semua jalan-jalannya berpadu dengan sistem grid, sehingga orientasi timur barat cukup mudah dikenali. Jalan-jalan yang tidak terlalu besar ramai dengan orang bersepeda atau berjalan kaki yang mereka akan mengantri dengan tertib jika hendak menyeberang di lampu lalu lintas. Bunyi tut tut tut jamak terdengar di setiap zebra cross yang hendak dilalui. Jika tak ingin lewat bawah, bisa melintasi jembatan penyeberangan yang bersilangan di bawah jalan layang. Keselamatan masing-masing orang benar-benar dijaga di sini. Melintasi kota-kota, gedung National Bunraku Theater, pasar buah-buahan, toko elektronik, pos polisi, orang berjalan, menemukan mobil jemputan sekolah, dan mal Big Camera yang harganya bikin ngiler, banyak sekali yang bisa dilihat dalam satu waktu. Dan sepertinya, amat menyenangkan menggunakan sepeda.

36-osaka-national-bunraku-theater

37-osaka-subway-train

38-osaka-bicycle-life

39-osaka-children-bus

39-osaka-pedestrian-bridge

40-osaka-vending-machine


perjalanan 05.09.2014 osaka. special thanks to Windu Sari.
ditulis di depok 04.04.2016 00:30 WIB


menyepi di engyoji himeji

$
0
0

0-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-cover

To dwellers in a wood, almost every species of tree has its voice as well as its feature.
― Thomas Hardy, Under the Greenwood Tree

“Kota ini cocok untuk menghabiskan masa tua, ya,” demikian pendapat Windu, kira-kira 30 menit sesudah kami menginjakkan kaki di Himeji, satu kota di sebelah barat Osaka, yang ditempuh dalam satu jam kereta antar kota. Sesudah tiba di terminal bus dan mengetahui bahwa bis menuju Mount Shosa masih berangkat 30 menit kemudian, kami memilih untuk berjalan-jalan berkeliling sambil membeli bekal di gerai minimarket siap saji.

Suasana Himeji jauh berbeda dengan Osaka. Tak banyak mobil berlalu lalang, bis yang sesekali lewat, udara sejuk yang berangin, bangunan-bangunan yang tertata rapi, orang-orang yang berjalan santai, lambat, tidak terburu-buru. Kami sering bertemu dengan serombongan orang tua yang sepertinya juga sedang bervakansi di kota ini.

Saking asyiknya berjalan-jalan, kami hampir ketinggalan bis no 8 yang hendak berangkat ke Mount Shosha. Untung supir bisnya baik dan berhenti sejenak mempersilakan kami masuk sebelum memulai perjalanan. Kami memperlihatkan tiket seharga 1300 yen yang sudah dibeli termasuk tiket kereta gantung di sana.

1-himeji-japan-bus-to-mount-shosha

2-himeji-japan-city

Ikon terkenal di tengah kota Himeji adalah istananya yang didominasi warna putih, dan merupakan salah satu istana kekuasaan Hideyoshi Toyotomi juga. Karena keterbatasan waktu, istana ini hanya kami nikmati dalam bis saja, terus menuju Mount Shosha. Jalan sedikit berliku-liku dan mendaki, dengan pemandangan rumah kayu ataupun sawah di kanan kiri, sampai akhirnya tiba di satu area parkir dan pengemudi bis memberi tahu bahwa kaki gunung adalah tempat pemberhentian terakhirnya.

Tidak perlu berlelah-lelah mendaki gunung, karena tersedia kereta gantung hingga ketinggian. Tiket bus yang sudah digabung dengan tiket kereta gantung itu pun diperiksa lagi, dan bersama-sama memasuki kereta gantung yang berukuran cukup besar, muat kira-kira dua belas orang bersama dengan rombongan kakek dan nenek yang hendak berziarah ke kuil-kuil di atas sana.

3-himeji-japan-mount-shosha-ropeway

4-himeji-japan-mount-shosha-ropeway

5-himeji-japan-mount-shosha-ropeway

Rasanya seperti anak kecil lagi, di tengah keramahan kakek dan nenek itu yang serasa menjaga kami, melihat pemandangan Himeji di kiri dan kanan, ketika kereta gantung itu naik sedikit demi sedikit, hingga ketinggian mencapai di atas Mount Shosha. Sesudah diperiksa petugas di gerbang, kami naik bis kecil yang melewati jalan berliku-liku hingga dekat area kuil Engyoji, tempat kami akan berjalan kaki mengeksplor sekeliling.

Tempat ini sedang tidak terlalu ramai kecuali oleh orang-orang yang sedang beribadah. Bangunan kayu mendominasi sekeliling seolah tak berubah selama ratusan tahun. Berdiri di tengah-tengah hutan maple, aku membayangkan suasana yang terjadi apabila ke sini pada musim gugur. Beberapa daun maple sudah terlihat memerah cantik sebagai latar bawah di kaki kuil. Tidak terdengar riuh rendah canda tawa, semua berjalan dalam lambat.

Maniden

Kuil Maniden berdiri di tepi tebing, dengan tiang-tiang kayu yang menyangga dengan jarak sekitar satu meter. Sebagian bangunan ini berdiri di atas tebing di atas sana. Kami menaiki tangga hingga beranda kuil yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Sekeliling kuil menggunakan beranda kayu yang sebagian melayang dan sebagian berdiri di atas tanah. Sepertinya kayu-kayu ini sudah cukup tua umurnya sehingga kokoh berdiri sebagai struktur.

Langkan kayu setinggi kira-kira satu meter mengamankan orang-orang yang berlalu lalang di atasnya. Aku mengetes, apakah susunan kayu ini bisa berderit seperti yang pernah kubaca di novel-novel Jepang tentang papan lantai sedemikian hingga cepat mengetahui apabila ada orang yang memasuki area rumahnya.

6-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden

9-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden-n

Bagian entrance dinaungi oleh kanopi lengkung yang khas ditopang oleh struktur kayu yang rumit namun indah. Berbagai kayu bertumpuk dan dikunci tanpa menggunakan paku. Struktur ini dimaksudkan supaya lentur dan bisa mengikuti arah gerak bumi apabila terjadi gempa. Hanya ada satu ruangan luas di dalam kuil yang untuk bersembahyang yang didatangi beberapa orang untuk berdoa.

10-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden-n

12-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden

16-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden

Salah satu keunikan adalah sistem pintu ganda pada hampir keseluruhan dinding. Pintu arah luar berbahan kayu solid yang menggunakan engsel pivot yang ditanam ke kaki-kaki dengan serutan yang amat halus dengan dua pasang pintu yang masing-masing terangkai dengan engsel kupu-kupu. Sementara pintu bagian dalam semi transparan kotak-kotak dengan sistem geser yang bergerak di atas rel kayu. Sistem dua pintu ini memungkinkan adanya berbagai kebutuhan di dalam bangunan, bisa dibuat privat dengan tertutup semua, semi privat dengan hanya membuka bagian luar, atau publik juga semua pintu dibuka.

13-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden

14-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden

15-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden

17-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden

Di bagian dalam terdapat satu ruangan besar dan satu area berdoa yang dibatasi oleh dinding kayu kotak-kotak. Aroma dupa tersebar di mana-mana, menguarkan suasana yang syahdu dan cukup mistis. Hening dan perlahan ditengarai suara angin di luar membuat tempat ini terasa damai.

19-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden-n

18-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden-n

20-himeji-japan-mount-shosha-engyoji-maniden-n

Mitsunodo

Kami berjalan lagi di tengah hutan-hutan dan menemukan tiga bangunan yang dikenal sebagai Mitsunodo, yaitu Daikodo (main hall), Jikido (lodging dan dining hall, sekarang sebagai ruang pamer benda-benda berharga) dan Jogyodo (gymnasium). Area ini terkenal sebagai lokasi syuting film The Last Samurai yang dibintangi oleh Tom Cruise beberapa tahun yang lalu.

21-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-daikodo-n

Karena Daikodo dan Jogyodo tidak bisa dimasuki, kami masuk ke Jikido yang ternyata dibuka untuk umum, karena sekarang tempat ini dipergunakan sebagai semacam sekolah asrama untuk belajar keagamaan. Jikido ini berlantai dua, di mana bagian bawah ada hall besar untuk belajar, dan bagian atas yang menjadi area ruang pamer.

Berbeda dengan Maniden yang menggunakan pintu ganda, di Jikido ini hanya dinding bagian depannya bisa dibuka dengan mengangkat ke atas dan digantung. Tampak bilah kayu berkotak-kotak ini sebagian terbuka 90 derajat dengan pengait gantung dari besi. Setiap modul berukuran kira-kira 2 m yang berjajar di keseluruhan jalur depannya.

Menariknya, di Jikido ini ada seorang biksu penjaga yang menawarkan menuliskan kaligrafi dan cap pada buku cap yang aku bawa dengan imbalan tertentu. Dengan tenang mereka menorehkan tinta sehingga tercipta kaligrafi yang cantik. Menjelang kami meninggalkan tempat itu, beberapa pelajar berseragam hijau tua memasuki ruangan dan mulai mengambil tempat duduk di tepi jendela untuk mengerjakan tugas-tugas mereka.

24-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jikido-n

25-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jikido-n

27-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jikido

29-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jikido-n

28-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jikido-n

26-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jikido-n

Walaupun Daikodo tidak bisa dimasuki, tapi aku juga mengamati bagian depannya yang berupa rangkaian pintu yang mirip dengan Maniden, yaitu pintu dengan engsel pivot yang membuka ke arah luar. Pagar kayu menghalangi kami untuk masuk ke dalamnya. Bangunan ini beratap dua tumpuk, kanopi sebelah bawah untuk menaungi bukaan-bukaan pintu, sementara yang atas untuk menutup keseluruhan bangunan bagian atas. Cita rasa konstruksi kayu yang begitu rumit dan indah dan sudah berusia bertahun-tahun ini mengagumkan, sampai-sampai menimbulkan tanya dalam hatiku : apa di masa kini masih ada orang-orang yang punya kemampuan crafting yang konstruktif seperti ini, ya?

22-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-daikodo-n

Jogyodo yang dahulu berfungsi sebagai gymnasium atau ruang berlatih olah gerak, memiliki denah memanjang dengan teras besar di depannya dan pintu-pintu besar juga ke arah bagian dalam. Agaknya tiga bangunan ini memang dahulu sebagai satu perguruan dengan fungsi masing-masing yang saling menunjang. Tanah lapang di depan ketiganya adalah tempat berkumpul orang-orang yang belajar di sini.

23-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jogyodo-n

30-himeji-mount-shosha-engyoji-mitsunodo-jikido-n

Desa

Di sebelah belakang Mitsunodo, masih terdapat beberapa bangunan seperti rumah-rumah, kuil kecil, menara, yang keseluruhannya juga masih terbuat dari kayu. Konstruksi bangunan ini relatif lebih sederhana jika dibandingkan dengan kuil-kuil tersebut tadi. Sayangnya, desa ini sudah tidak berpenghuni, sehingga hanya dijadikan sebagai museum ikonik dari kehidupan di Engyoji pada masa lampau.

31-himeji-mount-shosha-engyoji-village

32-himeji-mount-shosha-engyoji-village

33-himeji-mount-shosha-engyoji-village

34-himeji-mount-shosha-engyoji-village

Berjalan di tengah hutan, di bawah rimbunnya daun maple yang mulai memerah, tanpa sedikit pun suara kendaraan bermotor, memang cocok untuk menyepi, menjauh dari kehidupan duniawi, belajar tentang keseimbangan alam. Berguru untuk mengalahkan diri sendiri, bukan sekadar menang. Atau menyendiri jika sudah lelah dari hiruk pikuk kota, berbicara kepada dedaunan, air, tanah, atau awan-awan di udara.

perjalanan 6 September 2014, Himeji. special thanks to Windu Sari.
ditulis di Pulomas 18.04.2016


himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao ando

$
0
0

0-cover-1

“What is it to die but to stand naked in the wind and to melt into the sun?”
― Kahlil Gibran, The Prophet

Orang Jepang sangat terkenal dengan kebiasaannya membaca. Sering dilihat dari berbagai ilustrasi, orang Jepang yang membaca di kereta, di bis, di taman, atau di banyak tempat. Mereka mempelajari tulisan-tulisan sastra sejak kecil, mulai dari legenda hingga cerita, kemudian sebagian menulis cerita juga di masa dewasa, dan tak sedikit yang mengembangkan dirinya dengan cerita bergambar. Maka tak heran, berbagai bangunan untuk mengakomodasi kecintaan rakyat Jepang terhadap literasi ini dibangun, salah satunya yang sengaja kukunjungi ketika berada di kota Himeji.

Selagi masih di kota ini, aku menemukan bahwa ada karya Tadao Ando yang berada di kota tersebut, yaitu Himeji Museum of Literature. Letaknya yang tak jauh dari jalur bis yang kami lewati sesudah turun dari Mount Shosha, tempat Kuil Engyoji berada. Hanya berjarak sekitar 200-an meter, kami menemukan dua bangunan dengan bentuk massa solid yang saling bersebelahan.

Museum of Literature ini dibangun untuk memperingati ulang tahun keseratus dari kota Himeji, yang didedikasikan untuk Tetsuro Watsuji filsuf (1889 – 1960) dan delapan penulis lokal lainnya. Terdiri dari bangunan utama dan annex dibangun pada tahun 1996 untuk melayani sebagai perpustakaan dan arsip dari karya-karya penulis Ryotaro Shiba. Di antara keduanya terdapat bangunan bokeitei, dibangun oleh keluarga Hamamoto.

2-himeji-museum-of-literature

1-himeji-museum-of-literature

Melewati ramp panjang dengan kolam yang bertingkat-tingkat di sampingnya, aku masuk menuju pintu yang terbuka di sebelah dalam. Bagian utama museum ini berbentuk silinder yang bisa disusuri jika ingin menikmati sequence museum. Satu set layar kotak-kotak menceritakan tentang sejarah sastra Jepang, yang sayangnya ditulis dalam bahasa kanji sehingga aku tidak bisa tahu artinya. Aku merasa bahwa bentuk melengkung ini merepresentasikan literasi yang tak berujung, tidak bersudut pada ruang-ruang tertentu,sehingga membuatnya bisa ditafsirkan dengan rasa.

 

4c-himeji-museum-of-literature

4-himeji-museum-of-literature

5-himeji-museum-of-literature

Silinder ini berlantai dua yang dihubungkan dengan ramp melingkar ke bagian atas dengan langkan besi kotak-kotak untuk mengamankan pengunjung. Di beberapa tempat, terdapat sitting groups sebagai tempat diskusi pengunjung museum dengan pemandangan ke arah luar bangunan. Di bagian luar, tampak jelas bentuk silinder berbahan precast concrete ini membentuk ruang yang menjadi bagian utama museum.

6c-himeji-museum-of-literature

6-himeji-museum-of-literature

7-himeji-museum-of-literature

8-himeji-museum-of-literature

Bentuk silinder ini dikombinasikan dengan dua kubus, yang memotong dan bersilangan dengan sudut 30 derajat. Di sisi luar lantai dua, terdapat anjungan yang menjorok ke ruang luar, di mana ketika berdiri di situ bisa melihat langsung kota Himeji dari kejauhan, juga bangunan Istana Himeji yang putih. Satu ramp panjang langsung menuju area belakang berada di tengah kolam bertingkat yang mengalirkan air hingga pintu masuk.

9-himeji-museum-of-literature

11-himeji-museum-of-literature

10-himeji-museum-of-literature

12-himeji-museum-of-literature

13-himeji-museum-of-literature

Namun ruang-ruang yang terjadi karena perpotongan ini dijadikan area pendukung dari fungsi museum, seperti ruang diskusi, ruang seminar, ruang latihan yang digunakan bersama-sama. Literasi yang tidak hanya mengalir, tapi juga berbatas dengan bidang-bidang keilmuan. Orientasi terhadap Himeji Castle, adalah penghormatan terhadap sejarah kota yang menaungi dan melindungi kota. Warna beton yang asli dan telanjang tidak kontras terhadap keseluruhan warna istana yang putih.

14-himeji-museum-of-literature

15-himeji-museum-of-literature

16-himeji-museum-of-literature

17-himeji-museum-of-literature

Bangunan kedua, yaitu Annex building, berfungsi sebagai perpustakaan yang menyimpan karya-karya Ryotaro Shiba. Fasade depannya dengan kaca sangat mendominasi dan diperkuat dengan adanya kolam di bagian depan yang membuat efek pantulan cermin dari fasadenya. Memasuki bagian-bagian ruangan ini terasa begitu membahagiakan, karena dipenuhi buku di mana-mana.

Sirip-sirip kusen yang berulang bisa diinterpretasikan sebagai deretan buku yang berjajar. Paduan antara massa transparan dan solid, mengutarakan semangat dari literasi yang tidak hanya berat dibaca, namun juga harus ringan dipahami. Sebagai panduan ilmu dan dokumentasi sejarah literasi, tempat ini harus bisa menampung banyak kalangan, baik dari yang meriset, maupun anak-anak yang belajar sastra. Di sini dikumpulkan koleksi tulisan dari Ryotaro Shiba, seorang penulis Jepang terkenal dengan novelnya tentang peristiwa sejarah di Jepang dan di Timur Laut Asia, serta esai sejarah dan budaya nya yang berkaitan dengan Jepang dan hubungannya dengan seluruh dunia.

18a-himeji-museum-of-literature

18b-himeji-museum-of-literature

18-himeji-museum-of-literature

Tentu saja, buku-buku diletakkan di area tertutup yang terlindungi dari sinar matahari, dan dilengkapi dengan ruangan berpendingin udara. Satu ruangan favoritku berada di tengah-tengah, dengan ruang baca yang turun di bagian tengahnya. Kubayangkan, pasti asyik sekali untuk melakukan riset di sini.

20-himeji-museum-of-literature

23-himeji-museum-of-literature

Alunan musik klasik menemani sepenjang penjelajahan di bangunan Annex ini, yang ruang dalamnya didominasi oleh material kayu. Sisi-sisi luar yang terang bersebelahan dengan ruang-ruang diskusi yang memaksimalkan pencahayaan alami. Museum ini juga mengakomodasi disabilitas, bisa dilihat dari penggunaan ramp yang sejak tadi ada di mana-mana, juga ada area kasar di sebelum naik tangga sebagai penanda untuk tunanetra.

19-himeji-museum-of-literature

22-himeji-museum-of-literature

21-himeji-museum-of-literature

24-himeji-museum-of-literature

Selain dua bangunan modern ini, di antaranya terdapat bangunan bokeitei, rumah tradisional Jepang yang dibangun dari kayu, lengkap dengan pintu-pintu gesernya yang berlapis kertas. Tatami dengan ukuran yang tetap menghampar di lantai, dengan teras samping yang menggantung dan berpadu dengan pintu kedua dari kaca untuk menghalau udara dingin. Rupanya, ini model untuk rumah Jepang yang sengaja diletakkan dalam kompleks museum.

25-himeji-museum-of-literature

26-himeji-museum-of-literature

27-himeji-museum-of-literature

28-himeji-museum-of-literature

29-himeji-museum-of-literature

30-himeji-museum-of-literature

Tadao Ando memang salah satu arsitek Jepang yang banyak dikenali bahkan oleh kalangan yang bukan arsitek. Dan salah satu karyanya ini yang mengolah bentuk-bentuk geometris dari beton-beton ekspos menjadi salah satu cirinya, selain tarikan orientasi ke sumbu-sumbu yang kuat di sekitarnya. Penghargaan terhadap literasi Jepang ditunjukkan dengan dibangunnya Museum ini di kota Himeji.

perjalanan 6 September 2014, Himeji. special thanks to Windu Sari.
ditulis di Pulomas 10.05.2016

tentang jepang :
kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut
osaka : tradisional, modern, dan hura-hura
menyepi di engyoji himeji


nara heritage walk : kota pejalan kaki

$
0
0

0-nara-japan-buddha-hall-kofukuji-X

“No one saves us but ourselves. No one can and no one may. We ourselves must walk the path.”
― Gautama Buddha, Sayings Of Buddha

Sudah lama aku mendengar tentang kota Nara di Jepang, yang digadang-gadang sebagai sister-city dari beberapa kota di Indonesia. Dengan penjelasan seorang teman yang baru dari sana dan letaknya yang tidak terlalu jauh dari kota tinggalku dan Windu, membuatku mencari pengalaman baru di kota taman yang istimewa ini. Nara ditempuh dalam waktu sekitar satu jam dengan kereta dari Osaka. Jejaring JR Pass membuat kami hanya menunjukkan kartu saja dalam perjalanan di area prefektural Kansai ini.

Yang istimewa, kota Nara ini bisa dijelajahi sambil berjalan kaki. Pertama kali tiba di stasiun Nara, kami langsung menuju bangunan Tourist Information Center. Di situ kami bisa memdapatkan peta kota Nara beserta jalur umum yang dilewati sembari berjalan kaki. Seorang bapak tua akan menjelaskan dalam bahasa Inggris yang baik, tentang tempat-tempat yang bisa kami kunjungi. “You can walk to these place by four to six hours,” sambil menandai dengan pensil merah. Gambar rusa yang lucu menghiasi peta wisata kami, yang merupakan simbol kota Nara.

Apa yang paling menarik dari menjelajah kota selain berjalan kaki? Di antara langkah-langkah menapaki ditemani arcade toko berwarna-warni. Ruang pedestrian yang lega dan lapang tanpa takut pedagang kaki lima berkeliaran. Berbagai material penutup jalan, mulai dari batu hingga semen, bergantian dalam komposisi yang memanjakan kaki.

1-nara-japan-jr-station

2-nara-japan-information-center

3-nara-japan-road-walk

4-nara-japan-road-walk

5-nara-japan-road-walk

6-nara-japan-road-walk

7-nara-japan-road-walk

Kofukuji Temple

Ada satu kungkungan yang menghalangi pandangan, seolah besar berada di dalamnya. Rupanya kuil utama Kofukuji sedang direnovasi, demikian pengumuman tertulis. Hanya umpag bulat tempat dudukan kayu-kayu yang kelak akan berdiri menopang atap bangunan yang besar dan sedang dikerjakan oleh artisan-artisan andal di dalamnya. Kayu-kayu utama diganti dan diremajakan kembali sehingga Kofukuji Temple akan tetap berdiri tanpa mengubah wajah aslinya.

Situs ini didirikan pada tahun 669 SM oleh salah satu istri dari Fujiwara Kamatari, sebagai tempat beribadah keluarga Fujiwara yang sebenarnya berdiri di Kyoto, namun dipindahkan ke Nara dan diberi nama baru yaitu Kofukuji. Diselamatkan dengan penobatannya sebagai salah satu World Heritage, kompleks situs ini memiliki berbagai bangunan yang menarik untuk diziarahi.

15-nara-japan-buddha-hall-kofukuji

Goju-no-to (Five Storied Pagoda) adalah bangunan yang sangat menyita perhatian. Warna kayunya yang sudah menghitam menandakan zaman demi zaman yang sudah dilalui oleh bangunan ini. Tersohor di banyak tempat sebagai ikon kota Nara, pagoda ini dilindungi dengan pagar di sekelilingnya sehingga orang tidak bisa sembarangan masuk. Berdiri kokoh sebagai simbol kemegahan di masa lalu, bangunan ini begitu menyita perhatian di hari yang terik dengan langit biru ini.

8-nara-japan-five-stories-pagoda-kofukuji

Di sebelahnya, Tokon-do (East Budhha’s Hall) tempat berziarah dan memanjatkan doa. Sebuah genta besar dengan tali merah panjang dihela berkali-kali oleh peziarah sebelum mereka masuk dan berdoa. Sekeliling Tokon-do ini terdapat teras yang cukup besar mengelilingi. Pintu-pintu kayu yang besar dan berat membatasi bagian dalam dan luar. Rasa penasaran membuatku berkeliling dan mengamati detail demi detail dari sambungan atap yang pernah diukir oleh para artisan Jepang ini.

9-nara-japan-buddha-hall-kofukuji

10-nara-japan-buddha-hall-kofukuji

12-nara-japan-buddha-hall-kofukuji

10-nara-japan-buddha-hall-kofukuji

14-nara-japan-buddha-hall-kofukuji

Tak jauh dari kuil tersebut terdapat Kokuho-kan (Kohfukuji Temple Treasure hall) yang di dalamnya terdapat berbagai macam koleksi situs ini termasuk aneka patung Buddha yang dibuat dari berbagai macam bahan, mulai dari batu, besi, perunggu, kuningan, hingga lapis keemasan. Tetapi kami tidak boleh mengabadikan koleksi tersebut dengan kamera, sehingga aku dan Windu hanya mengamati bagian luarnya saja.

13-a-nara-japan-treasure-hall-kofukuji

Selain itu, juga ada Nan’en-do (South Octagonal Hall) yang berada di selatan dengan Sanju-no-to (Three Stories Pagoda) yang mendampinginya. Jadi, sementara bangunan utama Chukon-do direnovasi, namun bangunan pendukungnya yang berada di selatan dan utara tetap bisa ditilik. Melihat dari orientasi arah, kuil ini menghadap ke arah timur, menatap matahari terbit.

9-a-nara-japan-nan-en-do-kohfukuji

Di belakang area Kofukuji Temple, berhadapan dengan Nara Prefecture Government Office, hijau dipandang mata dengan taman-taman luas tempat rusa-rusa berkeliaran dengan bebas. Hewan ini mengendus dan mengikuti bau-bauan dari biskuit khas yang menjadi makanannya.

Rusa-rusa ini merupakan bagian paling dirindukan dari kota Nara, karena mereka begitu manis untuk dilewatkan begitu saja disapa, melenggang dengan kaki-kaki jenjang seolah tak peduli dengan sekitar, namun selalu waspada terhadap yang mengintai. Menikmati di tengah rerimbun pohon tempat mereka hidup, walaupun hanya beberapa meter jaraknya dari jalan aspal yang dihindari. Tapak kaki yang selalu merindukan tanah, asli sebagai tempat berpijak.

16-nara-japan-deer-park

17-nara-japan-deer-park

18-nara-japan-deer-park

Yoshikien Garden

Kaki-kaki kami menapaki tangga batu yang tidak seberapa besar itu memasuki satu pekarangan tradisional dengan kolam, semak, dan pepohonan dan rumah kayu yang tersembunyi di dalamnya. Rumah ini mengambang berdiri di atas tanah setinggi sekitar 60 cm, dengan alas batu besar sebagai pelangkah naik. Teras kayu di sekeliling rumah dibatasi dengan pintu-pintu kaca ke arah dalam. Uniknya, pintu-pintu ini berdiri di dalam rel kayu yang kelak bisa digeser dengan menyorongkan daunnya hingga ke ujung. Sebuah tangkapan daun pintu di ujung menjadi wadahnya apabila keseluruhan ruangan dibuka. Hamparan tatami dengan ukuran teratur bisa diintip dari tepian.

19-nara-japan-Yoshikien-Garden

22-nara-japan-Yoshikien-Garden

20-nara-japan-Yoshikien-Garden

21-nara-japan-Yoshikien-Garden

23-nara-japan-Yoshikien-Garden

    Keunikan bangunan ini, wadah daun pintu yang ditahan atas dan bawah. Perhatikan juga pola pertemuan kayu pada bagian sudut teras.

24-nara-japan-Yoshikien-Garden

Taman ini dinikmati dengan menyusuri jalur pejalan dari batu-batu alami, naik dan turun tangga di tengah naungan pohon maple. Seandainya musim gugur datang, pasti warna jingga akan mendominasi lorong ini. Kami menemukan sebuah rumah kayu berwarna kuning berdiri di ujungnya. Tiang-tiang kayu dengan batang tak lurus menyangga bagian atap yang menjorok keluar. Rangka bambu untuk menahan perletakan atapnya. Dari bagian utama bangunan, penutup jerami yang tebal dengan bubungan berbentuk khas sebagai atapnya. Rangka bambu sebagai salah satu material khas Jepang mendominasi bangunan ini. Jerami ini bisa sampai 30 cm tebalnya, cukup kuat juga untuk menahan hawa di musim dingin.

25-nara-japan-Yoshikien-Garden

26-nara-japan-Yoshikien-Garden

28-nara-japan-Yoshikien-Garden

27-nara-japan-Yoshikien-Garden

    Wadah daun pintu berupa lemari tertutup untuk melindungi material kertas yang mengisi daun pintu. Pola pertemuan kayu pada sudut teras hanya diagonal biasa.
Isuien Garden

Dua lembar brosur menemani langkah kami memasuki Isuien Garden, melintasi promenade panjang tempat kami menemukan Sanshu Tei, peristirahatan untuk menikmati Yoshiki river yang cantik, di tengah taman Jepang yang melingkungi. Aneka cukuran pepohonan yang membentuk pola bulat, disusun dengan komposisi naik turun tinggi rendah yang dramatis tanpa simetris di depan air yang tenang, memberi ketenangan bagi siapa pun yang memandang.

Dua mangkuk teh masih tertinggal di atas meja, menandakan tidak lama sebelumnya ada penikmat yang menghabiskan waktu di sini sambil menikmati lansekap depan yang cantik. Mungkin sambil berkontemplasi. Teras rumah yang tidak terlalu besar mungkin hanya sebagai tempat berdiam sementara sebelum melangkah masuk ke rumah dengan tatami ini. Hampir hangat seperti rasa pulang, tapi kurang tanpa penghuni tetapnya. Ruang-ruang terlindungi oleh pintu ganda, daun pintu yang berlapis kertas dan daun pintu kaca, berfungsi bersama di segala musim. Jika di luar terasa dingin dan masih tetap ingin memandang, pintu kaca tidak akan menghalangi mata ke arah taman.

30-nara-japan-isuien-Garden

31-nara-japan-isuien-Garden

32-nara-japan-isuien-Garden

33-nara-japan-isuien-Garden

    Teras yang terbuat dari jelujur bambu dan kayu, komposisi unik dan manis berpadu dengan tangkapan pintu kaca di bagian luar dan lemari pintu kertas di bagian dalam.

34-nara-japan-isuien-Garden

35-nara-japan-isuien-Garden

36-nara-japan-isuien-Garden

37-nara-japan-isuien-Garden

Rumah lain di dalam taman scenic ini lebih besar namun tertutup untuk umum. Daun-daun pintu kaca menutupi di bagian luar terasnya, tidak berhimpit seperti di rumah sebelumnya. Masih dengan atap jerami tebal yang mendominasi, aku mengintip ke dalam ruang tatami yang senyap di dalam. Mungkinkah pernah ada kehidupan, atau tempat ini hanyalah peristirahatan? Masih memperhatikan ujung-ujung tempat kayu bertemu, dengan pola yang lagi-lagi berbeda.

38-nara-japan-isuien-Garden

39-nara-japan-isuien-Garden

40-nara-japan-isuien-Garden

41-nara-japan-isuien-Garden

    Pertemuan kayu secara diagonal dengan saling susun, cara yang cukup umum digunakan untuk mengakhiri pertemuan. Pintu-pintu kaca di sisi luar, untuk melalui koridor teras yang terlindung.
Todai-ji Temple

Gerbang besar dan tinggi menyambut kami setiba di area Todaiji Temple, diikuti oleh selasar panjang yang mengelilingi inner courtyard di depan kuil bersejarah ini. Setiap dari kami harus melintasi selasar untuk sampai di depan kuil utama, Daibutsuden, yang mulai dibangun tahun 747 Masehi. Di tengah hari yang terik begini muncul dua pilihan apakah berjalan sepanjang selasar, atau melintasi lantai batu bersama ratusan orang lainnya menuju aula besar utama?

42-nara-japan-todaiji-temple

43-nara-japan-todaiji-temple

Daibutsen terdengar riuh rendah dengan berbagai peziarah yang menikmati patung-patung kayu yang dipahat oleh berbagai artisan Jepang pada masanya. Tiang-tiang kayu seukuran pelukan berdiri menaungi atap besar yang menjadi rumah bagi segala patung-patung raksasa tersebut. Setiap tiang dibungkus oleh bilah-bilah kayu yang dilingkari cincin besi dan pasak untuk menahan kulit luar tersebut. Balok-balok kayu menghubungkan antar tiang di bagian atas, sebagian bersusun dua, sebagian bersusun empat. Di ketinggian puncak, balok tersebut menopang langit-langit yang berbentuk kotak-kotak wafel, menutupi pandangan langsung ke struktur kuda-kuda atapnya.

44-nara-japan-todaiji-temple

45-nara-japan-todaiji-temple

47-nara-japan-todaiji-temple

Patung Buddha Daibutsu perunggu berukuran raksasa dengan pose bersila menjelaskan skala ruang di bangunan ini yang mencapai ketinggian 48,74 m dengan panjang 57,01 m dan lebar 50,08 m. Beberapa patung kayu menemani di dalamnya beserta maket kayu beberapa bangunan yang berada di Nara. Pintu-pintu kayu raksasa membatasi ruang luar dan dalam, sementara di dalam dilindungi oleh pintu jeruji sebagai pengaman berlapis. Tiba di sudut keluar terdapat banyak toko cinderamata untuk membeli sekadar kenangan dari kota taman yang ditinggali rusa-rusa jinak ini.

48-nara-japan-todaiji-temple

50-nara-japan-todaiji-temple

51-nara-japan-todaiji-temple

52-nara-japan-todaiji-temple

Nigatsu-do Hall dan Sangatsu-do Hall

Tangga-tangga batu yang mendaki harus kami lalui menuju Bell Tower, pusat pemberitahuan awal di masa dinasti Fujiwara. Terus mendaki hingga nampak dua bangunan Sangatsudo Hall di bawah dan Nigatsu-do Hall di atas. Lelah mendaki sesudah beberapa menit menjadi alasan tepat untuk beristirahat selama beberapa jenak di sini.

53-nara-japan-todaiji-temple-steps-bell-tower

54-nara-japan-todaiji-bell-tower

Nigatsu-do Hall (Hall of the Second Month) menjadi tempat menarik untuk mengamati Todai-ji dan sekitarnya. Berdiri di ketinggian yang cukup setelah melalui lagi puluhan tangga dengan altar-altar nama yang berjajar (dan menimbulkan tanya, apakah yang tertulis di situ adalah nama?), jalur yang kami lalui tadi terlihat di balik rerimbun pepohonan. Situs ini cukup populer didatangi oleh sekelompok anak sekolah yang berseragam beramai-ramai yang mungkin untuk mempelajari sejarah di sini. Selain melalui tangga batu tadi, juga ada tangga yang dibangun di sisi kuil yang tertutup atap hingga teras yang mengelilingi kuil. Dibangun tahun 752, kuil ini sempat terbakar di tahun 1667 dan dibangun ulang di tahun 1669. Pusat keramaian di sini terjadi pada festival yang berlangsung di sekitar bulan Maret, di mana para biksu akan menyalakan obor dan lentera sebagai tanda kesuksesan pada tahun tersebut.

55-nara-japan-todaiji-temple-nigatsudo-hall

56-nara-japan-todaiji-temple-nigatsudo-hall

57-nara-japan-todaiji-temple-nigatsudo-hall

58-nara-japan-todaiji-temple-nigatsudo-hall

59-nara-japan-todaiji-temple-nigatsudo-hall

60-nara-japan-todaiji-temple-nigatsudo-hall

Sementara itu Sangatsu-do Hall (Hall of the Third Month) diyakini sebagai bangunan tertua di kompleks Todai-Ji yang ditemukan pada tahun 733. Tidak terlalu banyak yang ikut mampir ke bangunan ini, mungkin karena sudah lelah usai mendaki Nigatsu-do Hall.

61-nara-japan-todaiji-temple-sangatsudo-hall

 

Rusa-rusa menemani perjalanan kami ke kuil selanjutnya, melintasi Wakakusayama hill di sebelah kiri yang hijau, walaupun demikian tidak lagi menarik minat kami untuk mendakinya karena sudah cukup lelah. Naungan pepohonan di kanan dan kiri serta angin yang bersemilir agak memberi semangat untuk mencapai titik selanjutnya.

62-nara-japan-wakakusayama-hill

63-nara-japan-kasuga-taisha

64-nara-japan-kasuga-taisha

Kasuga Taisha Shrine

Melintasi jalan berbatu dan jembatan kayu berlangkan merah, kami tiba di kuil terakhir yang merupakan tempat favoritku. Nuansa warna merah mendominasi tiang-tiang kayu yang menopang bangunan ini sejak mulai di gerbang Keigamon gate. Tiang-tiang batu dengan lampu di dalamnya seakan mengucapkan selamat datang pada kami yang tiba pada penghujung hari.

65-nara-japan-kasuga-taisha

66-nara-japan-kasuga-taisha

67-nara-japan-kasuga-taisha

Disebut juga Temple of Lantern, lentera-lentera ini menggantung hampir di semua bagian bangunan. Terbuat dari perunggu maupun kuningan, dengan jarak yang tidak membuat mereka berdenting bertabrakan, aku membayangkan ketika malam hari dan semua lentera ini menyala, pasti akan sangat indah di sini. Tapi ternyata semua lentera ini hanya menyala pada saat festival yang berlangsung sekitar bulan Maret atau Agustus.

68-nara-japan-kasuga-taisha

 

69-nara-japan-kasuga-taisha

 

Kuil utama di sini adalah Chumon Oro, yang didepannya terdapat Omiya Style Lantern dari kayu. Sayangnya mungkin karena hari sudah menjelang petang, kuil ini tak bisa lagi dimasuki, sehingga kami hanya berjalan di area luarnya yang tak kalah menarik dengan aneka lentera bergantungan di seputaran kuil. Beberapa bangunan yang berada di dalam juga menggantungkan lentera di sekelilingnya. Area kuil yang dikelilingi oleh selasar panjang ini bisa mudah dikenali dengan berbagai gantungan lentera di antara tiang-tiang merah.

70-nara-japan-kasuga-taisha

71-nara-japan-kasuga-taisha

72-nara-japan-kasuga-taisha-x

74-nara-japan-kasuga-taisha

75-nara-japan-kasuga-taisha

75-a-nara-japan-kasuga-taisha

Berjalan menuju pintu keluar di Nanmon Gate, kami menemukan banyak sekali tiang-tiang batu dengan lentera di dalamnya seolah sebagai penunjuk arah untuk kembali ke jalan utama. Ditemani pepohonan yang menjulurkan kanopinya, pasti menjadi sangat romantis melewati lorong ini ketika senja tiba. Apalagi jika festival kelak, ketika semua lentera ini menyala di bawah naungan daun-daun yang berdesir gemerisik.

76-nara-japan-kasuga-taisha

77-nara-japan-kasuga-taisha

78-nara-japan-kasuga-taisha

79-nara-japan-kasuga-taisha

80-nara-japan-kasuga-taisha

Nara National Museum

Agak menyesal tiba di depan museum ini ketika jam sudah menunjukkan waktu pukul lima tiga puluh, karena petugasnya mengatakan the gate is closed, dan aku tak bisa lagi mencoba menggali sejarah tentang Nara dari dalam bangunan ini. Tapi ternyata daerah sekitarnya pun cukup menarik untuk diamati. Karena museum ini berada di tengah-tengah taman terbuka yang banyak orang berlalu lalang dan tentu saja rusa cantik yang mondar mandir di halamannya. Bangunan museum yang memanjang dengan atap bergelombang dari bahan yang aku belum tahu itu apa, mendominasi jalur sepanjang Himurojinja Kokuritsuhabukutsukan. Bangunan ini menjadi salah satu modernitas yang kutemui sejak perjalananku keliling kota Nara hari ini. Tanpa menjadi terlalu dominan, massa bangunan memilih untuk bersikap natural menyatu terhadap lansekap sekitarnya, dengan warna yang tak berbeda dengan hutan dan pepohonan di sekitarnya.

82-nara-japan-national-museum

81-nara-japan-national-museum

Sarusawa Ike Pond

Langkah demi langkah menyusuri berbagai jejak kota selama hampir 9 jam membuat kami harus berhenti cukup lama untuk mengistirahatkan kaki. Danau di depan Kofukuji Temple ini menjadi tempat yang tepat untuk melepas penat, ditemani langit yang mulai meremang hingga cahaya bulan yang perlahan terang. Air danau yang tak beriak memantulkan bangunan, lampu, hingga perahu sebelum cahaya menghilang dan gelap datang.

83-nara-japan-sarusawa-ike-pond

10 hours walk at Nara, Summer-Autumn Day, 07 September 2014.
Special thanks to Windu Sari.

tentang jepang :
kansai international airport, gerbang masuk jepang dari tengah laut
osaka : tradisional, modern, dan hura-hura
menyepi di engyoji himeji
himeji museum of literature, bahasa arsitektur tadao ando



giveaway cirebon : enam tahun blog

$
0
0

4-batik-trusmi-giveaway

I love writing and people love me writing so I love them too.

Aku punya rahasia menulis.
Aku tidak bisa melanjutkan tulisan, apabila tidak menemukan kalimat pertama.
Kalimat pertama adalah kunci.

Ingatkah kalian apa yang terjadi dalam hidupmu ketika umurmu 6 tahun? Aku sih ingat, ketika dulu duduk di kelas 2 SD (karena masuk SD di umur 5 tahun) dan menerima rapor terbagus sepanjang sejarah aku terima rapor selama 12 tahun, tidak tahu kenapa bisa sebagus itu padahal rasanya sih sekolah sambil bermain-main saja. Belajar, gembira, mengerjakan pe-er, setiap pulang sekolah bermain karet, petak umpet, jajan di pinggir sekolah, berlarian mengejar layang-layang, menonton film anak-anak di TVRI jam 17.30, dan mengerjakan pe-er hingga lagu Garuda Pancasila berkumandang dari layar kaca.

Tanpa terasa, blog tindaktandukarsitek.com ini sudah sampai di tahun ke enamnya pada tanggal 20 Mei 2016! Usia yang jika setara dengan anak kecil adalah saat mendapatkan pendidikan formal yang terarah. Jika dibilang, usia enam tahun adalah masa lucu-lucunya, masa bermain-main asyik tetapi harus belajar disiplin. Mengenakan seragam baru, penuh semangat untuk belajar, mencari hal-hal baru dalam hidupnya. Entah kalau ada yang bilang bahwa pendidikan itu membelenggu, tapi aku termasuk yang berpikir bahwa pendidikan itu mencerahkan, diimbangi oleh pencerahan dari alam sekitar dan tentu saja cukup bermain.

Tantangan terbesar untuk tetap konsisten menulis selama 6 tahun adalah mood dan waktu. Mengatasi waktu yang tidak bisa ditambah, adalah mencuri-curi waktu istirahat untuk mencurahkan isi kepala ke dalam tulisan, memilih-milih foto, dan tentu saja itu harus dilakukan dengan mood yang bagus. Tetapi menulis adalah pilihanku untuk menyegarkan pikiran dari kepenatan pekerjaan sehari-hari yang berhubungan dengan gambar, diagram, matriks, dan angka.

    Menulis itu keseimbangan dari keseharian yang riuh dan teratur. Seperti anak umur 6 tahun yang sehari-hari tak teratur kemudian diseimbangkan dengan keteraturan. Equilibrium dari otak kiri dan otak kanan. Mencurahkan apa yang ada di kepala supaya tidak terlalu penuh. Ide. Cerita. Opini. Ilmu. Curahan hati. Dan banyak hal.

Dan satu hal yang ingin sekali aku capai sejak tahun lalu hingga tahun depan adalah mempopulerkan kota kelahiranku, CIREBON. Kota tempat aku melewatkan liburan setiap tahun di masa kecilku dulu. Kota budaya yang harus berbenah untuk menggali kesadaran lokal bahwa di sini ada kekayaan humanis yang tersembunyi. Kota tepi laut dengan pemandangan gunung Ciremai yang indah dan selalu membuatku rindu. GIVEAWAY!

Ada DUA LEMBAR BATIK DENGAN MOTIF KUPU DAN MEGAMENDUNG yang ada di gambar di atas. Kain ini motifnya kece bisa kamu jadikan kemeja, dress, dijadikan tas, buat mempopulerkan batik Indonesia, asal jangan dijadikan kain gendong anak (karena cuma 2 meter panjangnya), yang akan dibagikan dengan mengikuti cara mudah berikut :

1. Komen di bawah ini bahwa anda pembaca tercinta untuk mengikuti giveaway ini. Jangan lupa sebutkan akun twitter atau facebookmu.
2. Bagikan di akun sosmed salah satu tulisan di bawah ini

solo traveling at cirebon : bersendiri di kota udang
keraton kasepuhan : penanda masa cakrabuana
keraton kanoman : tetap putih di tengah keramaian
keraton kacirebonan : ingatan muda sejarah keluarga
tamansari goa sunyaragi, persinggahan sepi
cirebon : mudik dan perut yang manja

coming soon :
kibaran mega mendung di batik trusmi
ziarah keramik gunung jati

3. Pengguna twitter : FOLLOW dan mention akun @miss_almayra, beri caption menarik tentang Cirebon, dan bagikan salah satu dari link di atas, dan mention 1 temanmu tambahkan tagar #GA6Cirebon
Pengguna facebook : LIKE dan mention akun Tindak Tanduk Arsitek, beri caption menarik tentang Cirebon, dan bagikan salah satu dari link di atas, dan mention 1 temanmu tambahkan tagar #GA6Cirebon

CONTOH
komen di kolom komen dibawah :

Kak Indri, aku pengen banget ke Cirebon buat ke Goa Sunyaragi looh, ini aku share di twitterku @miss_cantik_banget

Postingan di twitter
(jangan lupa FOLLOW dulu)
Pengen banget ke Cirebon ke Goa Sunyaragi kayak ditulis @miss_almayra di https://tindaktandukarsitek.com/2015/07/13/tamansari-goa-sunyaragi-persinggahan-sepi/ ngajak @kakak_ganteng_banget (contoh aja nih) #GA6Cirebon

atau

Postingan di facebook (jangan lupa LIKE dulu)
Seru banget sepertinya jalan ke Goa Sunyaragi seperti ditulis di (mention) Tindak Tanduk Arsitek di link https://tindaktandukarsitek.com/2015/07/13/tamansari-goa-sunyaragi-persinggahan-sepi/ Ngajak (mention) Kakak Ganteng Banget, ah! #GA

Bisa juga dibalik, share dulu atau komen dulu di bawah, yang gampang saja buat kalian lah, pembaca tersayang.

Dan satu lagi kabar manisnya, kalau anak-anak umur enam tahun harus masuk SD atas keputusan orangtuanya, maka tahun ini satu-satunya penulis untuk blog ini memutuskan untuk kembali lagi ke bangku sekolah.
Giveaway ini dibuka sampai tanggal 1 Juni 2016 dan diumumkan DUA ORANG PEMENANG pada tanggal 3 Juni 2016. Jangan sampai ketinggalan.

GOOD LUCK!

Giveaway-cirebon-6-tahun


ivory by ayola hotel, menangkup rindu pada bandung

$
0
0

IVORY-AYOLA


Katanya, Bandung itu tempat melabuhkan rindu.

Kota ini selalu memberikan aura kangen yang begitu kental, pada jalan-jalan di bawah pohon, udara sejuk berhembus, tukang somay hokkie dan es krim durian di trotoar, senyum manis mojang priangan dari sudut-sudut toko, kafe-kafe kopi yang hangat, percakapan santai di taman berteman bajigur, celoteh sunda yang penuh canda, hingga teriakan aceh merdeka dari dalam angkot.

Dan pusat seputaran rindu itu adalah poros Dago-Merdeka-Riau-Supratman, pusat kota yang menjadi riuh oleh penduduk asli maupun pendatang, pusat kemacetan di kala akhir pekan, namun juga tempat strategis menghabiskan kenangan, terlingkungi oleh kanopi-kanopi pohon yang romantis, seakan memanggil-manggil untuk pulang.

Pada sore hari di Jumat yang macet, aku tiba di Bandung. Turun dari bis di Leuwipanjang, berharap macet tak menghadang ketika menuju pusat keramaian. Taksi berjalan pelan di sekitar lapangan Tegallega, ruang terbuka ramai di selatan kota. Menembus hingga jalan Lingkar Selatan yang kuingat pembangunannya saat SD dulu, melintasi perempatan jalan Buahbatu, terus hingga bertemu simpang jalan Ahmad Yani. Kami mulai memasuki jalan RE Martadinata yang tak pernah kutahu alasannya lebih dikenal sebagai jalan Riau. Mungkin karena sekitarnya penuh jalan dengan nama propinsi yang membuat kenangan nama lama tak pernah pudar dari ingatan.

Di depan kantor pos yang berseberangan dengan Heritage Factory Outlet, taksi berbelok ke kanan. Tak sampai seratus meter kemudian ia berbelok ke kiri, memasuki jalan Bahureksa, dan berhenti di depan Hotel Ivory by Ayola, tempat kami akan berakhir pekan.

Pintu kaca besar menyambut kedatangan kami dengan interior lobby yang bernuansa kayu hangat. Satu sofa besar sepertinya ingin memeluk empuk sambil menunggu pengecekan reservasi dari resepsionis. Dan yang paling menarik dan langsung ingin memamerkan ke teman-teman pecinta adalah rak buku di depan, dengan berbagai koleksi buku terbaru, novel, biografi, maupun buku pengetahuan anak. Dua sitting groups di area ini begitu menggoda untuk duduk dan menikmati membaca sambil istirahat.

resepsionis yang ramah

resepsionis yang ramah

rak buku cantik

rak buku cantik

ruang tunggu

ruang tunggu

bisa sambil membaca di sini

bisa sambil membaca di sini

Kami mendapat kamar di lantai tiga dengan pemandangan jendela besar ke jalan besar. Tak terdengar Bandung yang begitu hiruk pikuk, karena Jalan Bahureksa ini relatif lengang dan tenang. Ah, tapi jika masih ingin mencari keramaian, cukup langkahkan kaki ke ujung dan temukan jalan Riau dan jalan Merdeka.

Yang membuatnya menarik, adalah kasur bulu angsa yang besar dan seru empuknya. Nuansa hangat ditangkap dari furnitur kayu berpadu selimut merah di atas kasur. Satu sofa besar di ujung kamar, meja rias dengan cermin besar, rak televisi dengan tayangan tivi kabel, meja kopi mungil untuk menyeduh yang hangat. Kamar mandi dengan shower dan wc duduk cukup nyaman untuk menyegarkan diri sejenak.

lift lobby

lift lobby

deluxe-room-city-view

deluxe room city view

buat guling-gulingan asyik

buat guling-gulingan asyik

kamar mandi minimalis

kamar mandi minimalis

Sesuai kebutuhan pelanggannya, terdapat beberapa tipe kamar di Ivory by Ayola, selain Deluxe City View yang kami tempati, juga ada Superior dan Family Room. Ivory juga menyediakan berbagai meeting room yang bisa disewa dalam berbagai ukuran kapasitas. Lokasi di tengah kota yang hanya selemparan batu dari Gedung Sate, atau gedung-gedung pemerintahan di sekitar Gasibu, membuat tempat ini menjadi pilihan suasana rapat yang nyaman dan tenang.

family room

family room

double bed room

double bed room

Ketika malam perlahan turun, duduk-duduk di Everjoy cafe yang bersebelahan dengan Ivory menjadi pilihan yang sangat tepat. Beberapa anak muda yang sedang berkumpul juga menjadikan kafe ini untuk menghabiskan akhir pekan. Begitu pekat dengan nuansa retro, rasa nostalgia pun kembali menggeliat dari koleksi-koleksi mainan lawas yang dipajang di sini. Lampu-lampu downlight yang dipasang di atas langit-langit kayu membuat mata fokus terhadap pendar cahaya yang juga jatuh pada aneka mural yang unik.

Aneka tempat duduk bisa dipilih sebagaimana memilih menunya juga. Duduk di sofa empuk beramai-ramai atau berdua di depan meja kayu? Di bagian dalam cafe yang hangat, atau di bagian luar menikmati angin semilir? Memilih sop buntut bakar atau spaghetti?

mainan lawas penggugah kenangan

mainan lawas penggugah kenangan

berkumpul di akhir pekan

berkumpul di akhir pekan

ruang tengah yang hangat

ruang tengah yang hangat

sisi dalam yang privat

sisi dalam yang privat

penganan sebelum malam

penganan sebelum malam

would you share?

would you share?

bakery corner

bakery corner

sop buntut bakar

sop buntut bakar

Ketika pagi tiba, riuh rendah dari orang-orang yang menikmati sarapan pun memenuhi kafe ini. Aneka menu dari deretan nasi kuning dan kerabatnya yang berderet dalam pinggan, ketupat dan sayur yang juga memanggil di sebelahnya, menu ala barat dengan roti dan segala selainya bersanding dengan pisang rebus, ubi rebus, kentang dan bolen yang bisa bergantian memenuhi perutmu. Pilihan sereal yang ringan pun tersedia.

Bagian dalam kafe mengesankan interior yang hangat dengan pilihan dinding bata ekspos pada satu sisi, dan dinding warna natural kelabu di sisi lainnya. Furnitur kayu, langit-langit dari belahan kayu, maupun lemari sekat yang didominasi kayu dan kaca memberikan kesan intim dan dekat untuk bercakap. Jok kursi empuk dengan berbagai macam warna tempat menghempaskan badan selagi makan, dalam pilihan berkumpul sejumlah teman yang bergabung.

buffet sarapan

buffet sarapan

bubur ayam pilihan

bubur ayam pilihan

makan yang mana dulu?

makan yang mana dulu?

pojok asyik untuk mengunyah

pojok asyik untuk mengunyah

roti eropa atau ubi rebus?

roti eropa atau ubi rebus?

dari satu pojok

dari satu pojok

sitting groups yang bisa dipilih

sitting groups yang bisa dipilih

Dan yang teristimewa dari itu, kopi.
Pagi itu aku menyesap cappucino hangat dari pojok andalan Everjoy Cafe ini. Setiap kami mendapatkan satu kupon untuk merasakan harumnya aneka kopi yang menjadi koleksi. Tiga mesin kopi, satu mesin kopi besar, dan dua labu menjadi latar yang menarik dari pojok kopi ini. Coffe of the day yang disajikan pilihan dari berbagai daerah di Indonesia atau luar negeri. Pas sebagai penutup pagi yang sibuk.

kopi hari ini

kopi hari ini

Sebagai tempat berkumpul antar kawan, lokasi Ivory yang sangat strategis ini membuat teman-teman lama mampir untuk bersua, sekadar membicarakan diskon buku di mana atau berkenalan antar anak-anak yang terbawa. Di satu sudut paling favorit sebagai latar kami bercanda tertawa sambil bercengkrama tentang kota. Ah, sudah lama rasanya sejak kami pertama kali kenal, dan kota Bandung selalu menjadi kenangan yang manis. Ivory dan rak bukunya yang menggoda membuat teman-teman ini merasa nyaman untuk mengobrol berlama-lama.

nongkrong di luar

nongkrong di luar

pergola kayu yang hangat

pergola kayu yang hangat

interior everjoy

interior everjoy

membaca dengan santai

membaca dengan santai

dinding bata ekspose menguatkan karakter

dinding bata ekspose menguatkan karakter

sekat berisi aneka koleksi

sekat berisi aneka koleksi

mural sebagai ciri khas

mural sebagai ciri khas

sop buntut yang lezat

sop buntut yang lezat

pasta kegemaran

pasta kegemaran

Dari kenal sebagai anggota klub buku, dahulu kami sering sekali berburu. Meskipun punya genre kesukaan yang berbeda-beda, tapi setiap obrolan selalu bisa mengalir lancar, karena kami juga membahas kota, sekolah, reuni, dan anak-anak. Sejurnya aku hanya tinggal beberapa tahun di kota ini, semestinya tak cukup untuk membuat ikatan kuat di sini. Tapi bertemu dengan mereka dan teman lain yang kini menyebar di berbagai belahan Indonesia, selalu membuatku melangkahkan kaki kembali.

di sudut favorit

di sudut favorit

selasar di depan lift

selasar di depan lift

books, sure! goodreads bandung.

books, sure! goodreads bandung.

Dari sini, tak jauh ke jalan Riau untuk belanja, ke jalan Dago untuk cuci mata, ke taman kantor walikota untuk silaturahmi, ke Gedung Sate untuk bertemu sejarah, ke GOR Saparua untuk berolahraga, ke jalan Ganesa untuk melihat sekolah, ke taman-taman terdekat sekadar untuk melepas lelah akan keseharian.

Bandung memang selalu menuai rindu, membereskan kenangan-kenangan tercecer, cerita kala kita membaca, berkelindan di bawah pucuk-pucuk kanopi pohon, mengingat masa remaja, masa belajar, hingga masa mengajar kembali.

Ivory By Ayola Hotel
Jl. Bahureksa No. 3, Bandung – Jawa Barat 40115
Web: http://www.topotels.com/ivory-ayola
Instagram : @ivorybyayola & @everjoycafe

40-ivory-ayola-bandung-everjoy-cafe-meet-up


berjalan kaki di bandung, sejarah kota dan asia afrika

$
0
0

bandung-dago

“Bahwasanya, matahari bukan terbit karena ayam jantan berkokok, tetapi ayam jantan berkokok karena matahari terbit!”
Soekarno – Indonesia Menggugat, 1930

Berkeliling Bandung, adalah mengurai kenangan tentang sejarah bangsa yang terserak di sini. Tidak hanya bagi kawasan Pasundan dan sekitarnya, tapi pada dunia ketiga yang berupaya untuk berubah. Tahun 1955, untuk pertama kalinya Konferensi Asia Afrika dilaksanakan, dihelat sebagai pertemuan antar kepala negara untuk menciptakan dunia yang lebih damai.

Kontur kota yang berbukit-bukit dan udara sejuk setiap pagi tentu menjadi salah satu paremeter untuk kegiatan yang tidak menaikkan emosi, berjalan dari satu-satu bangunan yang tersebar di berbagai tempat, memberi cerita akan warna kota pada suatu masa. Jejak-jejak arsitektur yang fana dan tertinggal untuk dinikmati hingga kini, menjadi suatu pertanda wajah kota pernah seperti apa.

Poros-poros tengah kota yang mewarnai perjalanan Asia Afrika, memberikan cerita dalam setiap langkah di bawah rimbun pohon Ki Hujan yang mendominasi, cerita tentang fasade-fasade pernah menjadi apa dan berupaya tetap dijaga. Satu dari sedikit kota yang percaya bahwa sejarah arsitekturnya adalah unik, karenanya terus ada dan dijaga.

Walaupun demikian, berjalan kaki di Bandung melewati bangunan-bangunan ini bisa dilakukan dengan cukup menyenangkan, mudah dan juga asyik. Bisa memakan waktu sekitar 2-4 jam untuk melewati satu per satu, namun di bawah rerimbun pohon dan jajanan yang bertebaran, juga pemandangan yang berubah-ubah, perjalanan ini cukup direkomendasikan.

GEDUNG DWIWARNA

Dulu, gedung yang dibangun tahun 1940 oleh G. Hendrik ini pernah memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai tempat Indische Pensioen Fondsen atau Dana Pensiun se-Indonesia, kemudian berubah menjadi Gedung Kempei, Gedung Rekomba, Gedung DPR Negara Pasundan, Gedung DPRD Jawa Barat, hingga kini menjadi Gedung Kanwil Ditjen Perbendaharaan Jawa Barat. Fungsi spesialnya karena bangunan ini pernah menjadi sekretariat KAA tahun 1955. Karena kegunaannya sekarang sebagai kantor, sehingga butuh izin terlebih dahulu untuk memasuki bangunan ini, meskipun demikian, area depan dan lobby dengan plakat bersejarah masih mudah dimasuki oleh umum. Gedung yang berlokasi di Jl WR Supratman ini menjadi titik pertama untuk menjalani rute.

gedung dwi warna

gedung dwi warna

tampakk depan gedung dwiwarna, supratman

tampakk depan gedung dwiwarna, supratman

interior gedung dwiwarna

interior gedung dwiwarna

GEDUNG SATE

Memadukan berbagai unsur arsitektur, seperti jendela dengan tema Moor Spanyol, dan Rennaisance Italia untuk bangunannya menjadi ciri gedung yang dibangun oleh Ir. J. Gerber ini. Pada bagian atapnya gaya atap pura Bali atau pagoda Thailand menjadi model atap yang bertumpuk. Di puncaknya terdapat “tusuk sate” dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden, yaitu jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Uniknya lagi, gedung ini dibangun dengan orientasi arah menghadap Gunung Tangkuban Perahu. Penampakan gunung yang ditendang Sangkuriang ini cukup jelas dari ruangan puncak Gedung Sate saat udara cerah.

dari puncak gedung

dari puncak gedung

memandang tangkuban

memandang tangkuban

RUMAH JALAN GEMPOL

Tak jauh dari situ, melewati rumah-rumah di Jalan Gempol yang masih amat kental nuansa pasundannya, dengan dinding kayu dan atap panggang pe dengan genteng tanah liat yang kecil-kecil, ditambah pohon rambutan yang meneduhi rumah. Tak jauh dari sini ada kupat tahu Gempol yang terkenal juga Roti Gempol yang tak kalah mahsyur untuk sekadar pengganjal perut sejenak.

rumah kayu masa lalu

rumah kayu masa lalu

GEREJA KATOLIK BEBAS “S-ALBANUS”

Karena jalur yang dilewati adalah daerah pemukiman, maka sangat mudah ditemukan bangunan keagamaan yang menunjang aktivitas sosial di sekitarnya, seperti gereja ini. Namun seiringnya berjalannya waktu, fungsi-fungsi ruangnya pun berubah. Sekarang, bangunan satu lantai ini dikelola oleh salah satu yayasan sebagai tempat kursus bahasa Belanda.

gereja ubah fungsi

gereja ubah fungsi

GOR SAPARUA

Salah satu gedung dengan ruang terbuka di Bandung yang marak dengan berbagai aktivitas olahraga setiap harinya. Di hari Sabtu sore atau Minggu pagi, bisa ditemukan anak-anak yang bermain roller blade dan skateboard di sini, beserta orang-orang dewasa yang jogging atau bersepeda keliling lapangan. Gedungnya sendiri sering digunakan untuk pertandingan basket dan bulutangkis dengan kapasitas 4000 orang. Posisi strategis dan aura selalu berjiwa muda di sini membuat lokasi ini juga sering dijadikan helatan konser musik.

coba lewatkan minggu pagi di sini

coba lewatkan minggu pagi di sini

GEDUNG JAARBEURS

Konon kabarnya, gedung ini dahulu tahun 1920-1941 dan difungsikan sebagai tempat menyelenggarakan pameran dagang tahunan dan menjadi tujuan wisata pada expatriat Hindia Belanda yang sedang bertugas di Indonesia, juga ruang temu dari para pengusaha dari Bandung maupun mancanegara untuk berbicara bisnis mereka. Gedung tipe kolonial dengan arsitek C.P. Wolff Schomaker dan R.L.A. Schomaker ini dihiasi dengan tiga patung torso di bagian depan, yang juga pernah digugat karena tidak sopan. Sekarang fungsinya menjadi Makodiklat TNI AD dengan fasade tetap dipertahankan.

tiga torso menyangga

tiga torso menyangga

TAMAN LALU LINTAS

Ruang terbuka hijau yang selalu menjadi rujukan bermain anak-anak se-Bandung Raya ini didirikan pada tahun 1955, tahun yang sama dengan terselenggaranya KAA di Bandung. Area ini merupakan area pembelajaran lalu lintas untuk anak-anak dengan segala moda transportasi darat yang ada di dalamnya, jalur kereta api, jalur bersepeda, beserta dengan segala rambu yang bisa diamati dengan pendamping. Jujur saja, aku mengalami masa kecil dengan bermain-main di sini, dan sekarang teman-temanku pun masih suka bermain di sini beserta anak-anaknya. Taman ini memang penuh kenangan berbagai generasi.

GEREJA KATEDRAL BANDUNG

Lokasinya yang berada di antara SD Banjarsari dan SD Merdeka membuatku selalu memperhatikan bangunan ini sejak kecil karena bentuk atap dengan kemiringan yang super curam tersebut dari dalam mobil antar jemput. Juga dibangun oleh C.P. Wolff Schomaker, gereja di Jl Merdeka ini masih digunakan oleh umat Katolik hingga sekarang.

bagaimana cara mengganti gentingnya?

bagaimana cara mengganti gentingnya?

TAMAN VANDA

Tepat di depan Katedral yang berseberangan dengan Kantor Walikota Bandung ini berdiri Bioskop Vanda, yang dahulu sempat punya nama Bioskop Rex dan Bioskop Panti Karya. Dulu sewaktu kecil kuingat pernah menonton film Si Kabayan Saba Kota yang dibintangi alm Didi Petet di sini. Namun seiring dengan menurunnya pasar bioskop, membuat usaha ini tutup dan akhirnya bangunannya dibongkar dan berubah menjadi taman Vanda pada tahun 2015, ruang terbuka untuk bersosialisasi penduduk Bandung menikmati keramaian kota.

taman vanda di sudut merdeka

taman vanda di sudut merdeka

dari tepi jalan bandung

dari tepi jalan bandung

BALAIKOTA BANDUNG

Gedung di jalan Wastukencana ini adalah salah satu yang paling populer di sekitar Bandung karena taman-taman terbuka di sekitarnya yang sering sekali digunakan warga Bandung untuk bercengkrama. Di sore hari banyak orang berolahraga, berkomunitas, hingga keluarga muda yang sedang mengasuh balitanya bermain-main di situ, sampai mojang-mojang geulis yang menghabiskan waktu hingga senja menjelang di taman kota yang ramah dengan warganya ini.

GEDUNG INDONESIA MENGGUGAT

Tanggal 2 Desember 1930, Soekarno membacakan Pledoi terkenal berjudul Indonesia Menggugat (Indonesië Klaagt Aan) di bangunan yang berfungsi sebagai Den Landraad Te Bandoeng sejak tahun 1917 ini. Pledoi yang di sebagai pembelaan sekaligus kegeraman pada penangkapannya sebagai redaktur media Fikiran Rakjat yang dianggap meresahkan pemerintahan Belanda di masa itu. Saat ini, bangunan ini lebih banyak berfungsi sebagai ruang pamer, ruang-ruang diskusi bertukar pikiran, juga kelas-kelas menulis atau seni yang sering diadakan di sini. Salah satu pojok menarik untuk menghabiskan sepi di Bandung atau bersua dengan teman seperjuangan.

gedung indonesia menggugat

gedung indonesia menggugat

ruang pledoi indonesia menggugat

ruang pledoi indonesia menggugat

bersama soekarno

bersama soekarno

kurasi seni

kurasi seni

JALAN BRAGA

Salah satu jalan yang terkenalsebagai pusat kegiatan niaga, tempat kaum muda zaman dahulu berakhir pekan, berbelanja, berdansa-dansi, berjalan-jalan di arcade toko-toko yang berjajar. Lebih sering nampak kendaraan padat merayap di sini karena banyak juga restoran-restoran lucu yang mengundang untuk mampir dan penasaran mencoba makanannya. Salah satu film terkenal dari novel Dewi ‘Dee’ Lestari yang berjudul Madre juga mengambil setting di salah satu toko yang berderet. Di trotoarnya juga bisa ditemukan aneka penjual lukisan maupun sketsa wajah yang cantik. Yang uniknya, jalan raya di Braga tidak menggunakan aspal, melainkan batu andesit lempeng yang disusun.

braga dan batu andesit

braga dan batu andesit

fasade toko masa lampau

fasade toko masa lampau

penjual lukisan di braga

penjual lukisan di braga

pojok braga

pojok braga

PENJARA BANCEUY

Terletak di Jalan Banceuy yang kini berubah wajah menjadi pusat onderdil mobil, penjara ini pernah menjadi tempat ditahannya para pelaku kriminal sejak didirikan tahun 1877. Bersama dua rekannya Gatot Mangkoepradja dan Maskoen Somadipraja, Bung Karno pernah dijebloskan di sini setelah ditangkap pada akhir Desember 1929. Sekarang bangunan ini sudah lenyap, hanya menyisakan sel nomor 5 dan salah satu menara pengawasnya dalam kondisi yang tidak terlalu terawat.

sisa sel tak terawat

sisa sel tak terawat

GEDUNG SWARHA

Bangunan yang berada di ujung alun-alun Bandung ini dahulu berfungsi sebagai hotel yang menampung peserta KAA beserta Hotel Savoy Homann, Hotel Preanger dan Hotel Braga. Bagian bawahnya yang sekarang menjadi toko kain, pernah menjadi media center untk meliput konferensi tersebut, karena letaknya yang berhadapan dengan Kantor Pos Besar Bandung sehingga memudahkan pengiriman berita.

sudut alun-alun

sudut alun-alun

GEDUNG MERDEKA

Inilah bangunan utama yang dipergunakan sebagai tempat untuk menggelar Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Dibangun tahun 1895, gedung yang sebelumnya bernama Societet Concordia ini adalah gedung pertemuan yang hanya boleh didatangi oleh orang Belanda, di sana mereka berpesta sambil dansa dansi dan menyaksikan pertunjukan kesenian. Juga dirancang oleh CP Wolf Schomaker, penutup lantai gedung ini adalai granit yang didatangkan dari Italia, dengan tempat minum bersantai dari bahan kayu pilihan yang disebut chickenhout. Kandelir kristal yang gemerlap tergantung membuat suasana ruangan menjadi semarak.

Sayap kiri gedung ini dijadikan Museum Konferensi Asia Afrika yang dirancang oleh arsitek A.F. Aalbers. Selain memiliki ruang pamer tetap, di sini juga dilengkapi dengan perpustakaan dengan koleksi sejumlah buku mengenai sosial, politik, dan budaya negara-negara Asia Afrika serta negara-negara lain. Terdapat satu ruangan audio visual yang menayangkan video dokumenter tentang kondisi dunia tahun 1950 dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Ruangan paling besar di sini adalah ruang konferensi yang menjadi ruang utama penyelenggaraan acara dengan berhias bendera berjajar dari berbagai negara peserta.

sumber : aptikom

sumber : aptikom

interior ruang konferensi asia afrika

interior ruang konferensi asia afrika

antara gedung dan cikapundung

antara gedung dan cikapundung

Kota Bandung memang menyimpan beragam cerita bersejarah tentang perubahan wajah kota yang perlahan-lahan, dari sekelompok lingkung bangun yang memiliki nilai sejarah sehingga menggelitik rasa ingin tahu tentang asalnya. Sejak dahulu hingga sekarang, pesona alaminya membuatnya hanya bersolek sedikit cantik dengan potensi dibanjiri oleh pelancong yang ingin menghabiskan rasa nostalgi. Rekomendasi penginapan Bandung di sekitar jalur Supratman-Merdeka-AsiaAfrika ini adalah Ivory by Ayola yang tenang, strategis dan mudah dicapai, dan bisa dibaca review-nya.

p.s. Sebagian foto adalah koleksi Goodreads Bandung dari beberapa acara. Sebagai seseorang yang beberapa kali tinggal di Bandung dan cukup sering bolak balik ke Bandung beberapa tahun ini, ternyata aku tak punya banyak foto dari beberapa gedung bersejarah ini, sehingga mungkin tulisan ini akan diedit lain waktu dengan foto yang baru.

catatan : Fotoku yang berbaju jingga itu tahun 2010 waktu itu sedang acara Bandung Citywalk dari Nol kilometer-Gedung Merdeka, hingga Gedung Sate. Sementara yang foto berbaju hitam itu 2015 napak tilas KAA dengan rute Gedung Dwiwarna-Gedung Sate terus hingga Gedung Merdeka.

wilujeng sumping, baraya…

0-bandung

alun-alun


mega mendung dalam batik trusmi

$
0
0

0-cover-batik-trusmi-cirebon-x

“Apa guna warna langit dan bunyi jengkerik? Apa guna sajak dan siul? Yang buruk dari kapitalisme adalah menyingkirkan hal-hal yang percuma.”
― Goenawan Mohamad, Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali

Berulang kali aku pulang ke Cirebon, bisa dibilang aku tidak pernah menyempatkan diri ke pusat batik Trusmi yang terkenal itu, karena lokasinya yang cukup jauh dari rumah keluarga. Padahal motif mega mendungnya yang terkenal itu terpapar hampir di semua tempat khas di Cirebon.

Ternyata, lokasi sentra batik di daerah Trusmi ini cukup mudah dicapai, bisa naik angkot GP tujuan Plered dan turun di depan gerbang besar bertuliskan selamat datang di Trusmi. Bisa berjalan kaki sambil melihat-lihat kanan kiri aneka toko batik yang berjajar di sepanjang jalan, atau naik becak sampai satu sentra batik terbesarnya yang berjarak sekitar 300 m dari jalan raya Cirebon-Plered.

Di dalam sentra batik terbesar ini, memang seperti berkonsep one stop shopping saja, yaitu aneka macam motif kain batik dalam berbagai bahan dan kualitas dijual di sini. Baik masih berupa kain, maupun sudah dijahit menjadi baju. Kabarnya, sentra batik ini dahulu pasar dengan los kecil-kecil, namun kemudian diremajakan menjadi satu toko besar seperti ini dengan banyak pengrajin lokal yang mengisi.

1-batik-trusmi-cirebon

2-batik-trusmi-cirebon

3-batik-trusmi-cirebon

4-batik-trusmi-cirebon

5-batik-trusmi-cirebon

Motif megamendung yang menjadi primadona ini melambangkan awan yang dianggap sebagai dunia atas. Motif ini sangat mudah dikenali dengan garis awan berupa bulatan atau lingkaran yang ditarik melancip ke samping. Pada awal pembuatan motif mega mendung ini selalu didominasi warna biru, karena dalam proses pembuatannya ada campur tangan laki-laki. Warna biru juga melambangkan warna langit yang luas dan hujan pembawa kesuburan.

8-batik-trusmi-mega-mendung-cirebon

9-batik-trusmi-mega-mendung-cirebon

Rasanya gemas berada di dalam toko dengan aneka motif batik yang indah dari bahan katun yang adem di badan, membuatku kepingin memborong aneka motif batik ini. Batik megamendung pun sudah mulai mengalami perkembangan dengan warna-warna lain yang bisa menjadi pilihan. Sementara itu, motif lain yang juga cantik dan khas dari Cirebon adalah motif kupu yang lebar membentang pada kain putih. Selain batik cetak, di sini juga ada batik cap dan batik tulis pada ruang khusus

Di toko batik Trusmi ini juga dijual berbagai model pakaian jadi dengan bahan dasar batik sehingga apabila butuh mendadak bisa langsung dipakai dari berbagai pilihan di sini. Sayangnya kebanyakan aku menemukan ukurannya besar sehingga agak tenggelam di badan mungil ini. Jadi aku memilih untuk membeli beberapa helai kain untuk stok pakaian kantoran nanti.

6-batik-trusmi-cirebon

7-batik-tulis-trusmi-cirebon

10-batik-trusmi-pakaian-jadi-cirebon

11-batik-trusmi-pakaian-jadi-cirebon

Tak cuma berjualan batik untuk baju, di sini juga banyak aneka pernik olahan batik juga pernik kayu dan logam yang biasa untuk hiasan meja. Malah aku menemukan aneka model dakon permainan anak-anak yang bisa dipilih bentuk yang sesuai.

12-batik-trusmi-pernik-cantik-cirebon

13A-batik-trusmi-pernik-cantik-dakon-congklak-cirebon

13B-batik-trusmi-pernik-cantik-dakon-congklak-cirebon

Di bagian depan dari sentra batik ini sering juga ada pengrajin yang sengaja melukis lilin pada batik tulis yang dikerjakannya sehingga pengunjung bisa mengamati proses pembuatan batik tulis dengan motif megamendung Cirebon ini, langsung pada pengerjaannya.

Jika membawa kendaraan sendiri, saat paling cocok untuk ke Batik Trusmi adalah saat kepulangan kembali ke Jakarta, karena begitu keluar dari area Trusmi dan berbelok ke barat, sudah tidak jauh sampai ke gerbang tol Palimanan untuk kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta via tol Cipali. Tapi hati-hati, jangan mengantuk ketika menyetir karena jalannya lurus sekali.

14-batik-tulis-trusmi-pengrajin-cirebon

15-batik-tulis-trusmi-pengrajin-cirebon


ziarah keramik gunung jati

$
0
0

0-ziarah-keramik-gunung-jati

Suatu hari, pernahkah kau teringat bahwa
ziarah adalah berkencan dengan sepi?
Menuju ruang persinggahan antara yang fana
dan baka dalam tetumbuh batu nisan.
Di sini, mengingat kembali hal muasal yang terjadi
ratusan tahun lalu,
ketika nama-nama itu masih hidup.

Dinding-dinding putih itu berbicara
tentang negeri jauh,
Menyeberang lautan, asal dari Ratu Ong Tien.
Serupa keramik yang menempuh perjalanan
panjang untuk menemani sang puteri,
dipersunting Sunan Gunung Jati

Tanah ini akan menjadi rumah bagimu,
demikian kata sang Sunan.
Maka datanglah perangkat cantik pecah belah
dari jauh untuk membuatnya betah
Nuansa biru dan putih yang mengingatkan
pada laut dan langit yang luas
Serta keemasan dan hijau dari tanah asal

1-ziarah-keramik-gunung-jati

2-ziarah-keramik-gunung-jati

3-ziarah-keramik-gunung-jati

4-ziarah-keramik-gunung-jati

5-ziarah-keramik-gunung-jati

6-ziarah-keramik-gunung-jati

7-ziarah-keramik-gunung-jati

8-ziarah-keramik-gunung-jati

9-ziarah-keramik-gunung-jati

Ziarah tidak lagi tentang sepi,
Diiringi dzikir dan doa yang terlantun bersama
Ruang batas fana dan baka tidak lagi sunyi
Namun menjadi tempat berkumpul bagi sekitar,
sekadar mengais rezeki

Dinding-dinding menjadi batas atas nisan-nisan
Kedudukan di masa fana menentukan
posisi monumen penanda
Dalam hati bertutur tentang logika
Di hadapan-Nya, semua sama.

10-ziarah-keramik-gunung-jati

11-ziarah-keramik-gunung-jati

12-ziarah-keramik-gunung-jati

13-ziarah-keramik-gunung-jati

14-ziarah-keramik-gunung-jati

15-ziarah-keramik-gunung-jati

16-ziarah-keramik-gunung-jati

17-ziarah-keramik-gunung-jati

18-ziarah-keramik-gunung-jati

19-ziarah-keramik-gunung-jati

20-ziarah-keramik-gunung-jati

21-ziarah-keramik-gunung-jati

22-ziarah-keramik-gunung-jati

23-ziarah-keramik-gunung-jati

24-ziarah-keramik-gunung-jati

25-ziarah-keramik-gunung-jati

26-ziarah-keramik-gunung-jati

27-ziarah-keramik-gunung-jati

28-ziarah-keramik-gunung-jati

29-ziarah-keramik-gunung-jati


Viewing all 232 articles
Browse latest View live


Latest Images