Quantcast
Channel: tindak tanduk arsitek
Viewing all 237 articles
Browse latest View live

rasa desa di villa soegi jogja

$
0
0

cover

Kira-kira jam delapan pagi waktu Solo, aku membuka aplikasi HotelQuickly di ponsel untuk mendapatkan deal terbaik hari itu di Jogja, kota tempat aku menginap malam hari nanti. Kenapa baru pesan? Iya, karena aplikasi HotelQuickly hanya untuk pemesanan pada hari ini dan keesokan harinya. Dan jam delapan pagi adalah jam dibuka deal untuk hari itu, makanya harus buru-buru booking sebelum kehabisan kamar di hotel favorit. Nah! Harus quick, kan? Apalagi aku punya voucher IDR 300.000 ketika acara press conference-nya, nggak salah kalau dipakai, nih!

Aku menjatuhkan pilihan pada salah satu chain hotel yang berlokasi di Kusumonegaran, yang saat itu memasang harga sekitar IDR 80.000 (tentunya harga tercantum setelah dipotong voucher). Widiihh, murah banget kan? Langsung aku klik hotelnya dan ‘book a room’. Aah, tapi karena sinyal di perjalanan kereta Solo dan Jogja yang putus sambung, ketika akhirnya mendapatkan kepastian, didapat pesan ‘your room already taken by another user’. Ouch, gigit jari, deh.

Lima belas menit kemudian ternyata ada tawaran lagi di hotel yang sama dengan harga IDR 115.000. Buru-buru aku ‘book a room’ dan konfirmasi pembayaran. Eh, lima menit kemudian muncul pemberitahuan bahwa pesananku dibatalkan karena (lagi-lagi) kamar sudah diambil oleh orang lain. Oh, rupanya ini asyiknya memakai apps HotelQuickly ini. Rasanya seperti berkompetisi dengan orang-orang sekitar demi mendapatkan harga termurah di hari itu. Seperti berebut di supermarket demi dapat barang promo yang murah.

Menurut Faustine Tan, salah satu co Founder apps HotelQuickly yang bercerita pada kami pada saat press conference, HotelQuickly menawarkan harga termurah karena yang dijual adalah sisa kamar kosong pada hari itu, salah satu celah unik yang disasar oleh penyedia jasa ini. Alasannya, makin banyak orang yang traveling mendadak dan membutuhkan penginapan bagus dan murah dalam waktu cepat.

Sesudah sinyal agak stabil dan aku tiba di Jogja, aku belum kapok dan tetap mencoba mendapatkan penginapan lewat aplikasi ini. Akhirnya pilihanku jatuh pada Villa Soegi yang bernuansa joglo cantik dengan kolam renang di dalamnya. Lokasinya di Tajem, tak jauh dari bandara Adisucipto. Memang agak jauh dari pusat kota, namun bagiku yang memang mencari tempat beristirahat yang jauh dari hiruk pikuk, sepertinya tempat ini cocok. Apalagi, aku hanya membayar IDR 29500 saja. Murah kan? Kan dipotong voucher.

tergantung voucher yang dimiliki, harga bisa berbeda-beda antar user

tergantung voucher yang dimiliki, harga bisa berbeda-beda antar user

Wah, ternyata booking-ku kali ini berhasil! Tak berapa lama kemudian aku menerima email dari pemilik Villa Soegi bahwa kedatanganku sudah ditunggu di sana. Karena harus menyelesaikan beberapa urusan di siang harinya, aku baru tiba di Villa Soegi malam hari. Sekitar empat kilometer dari Ring Road ke arah utara, tempatnya tidak terlalu sulit ditemukan dengan bantuan google mapsdari titik peta yang dikirim lewat apps HotelQuickly. Kalau bertanya pada orang di jalan, bilang ke arah Jalan raya Tajem, lalu disusuri terus ke utara. Ternyata, Villa Soegi ini berada di tengah-tengah sawah sehingga suasana pedesaannya sangat terasa.

Disambut oleh penjaga villa-nya yang ramah, aku ditawari satu dari tiga kamar yang ada. Langsung aku memilih yang paling jauh dari jalan supaya suasananya tenang. Kamarnya sangat bernuansa etnik dengan satu tempat tidur besar dari kayu jati di tengah, dan satu meja rias. Di sudut ada penggantung mantel dari bambu yang cantik. Yang membuat suasananya hangat, semua dindingnya terbuat dari bata ekspose dengan coating natural. Lantainya dibuat dari tegel cap dengan pola-pola organik yang unik. Aku langsung jatuh cinta dengan kamar yang menyenangkan ini. Apalagi di depannya ada kolam renang yang menggoda, langsung aku mencebur merasakan airnya selama 15 menit. Ahh, di dalam air sebentar bisa melemaskan otot-otot yang seharian beraktivitas.

Villa Soegi ini hanya terdiri dari tiga kamar cantik di satu bangunan joglo, dan satu kamar privat eksklusif dengan satu bangunan joglo lainnya. Di ujung belakang ada ruang servis yang ditinggali oleh keluarga penjaga villa. Sentuhan adat jawa sangat kental di dalam bangunannya mulai dari pemilihan furnitur hingga suasana yang tercipta. Di satu sudut terdapat pendopo joglo kecil untuk duduk-duduk sambil menikmati kolam.

Area penerima dengan bangunan joglo limasan dengan 16 tiang dilengkapi dengan seperangkat kursi tamu model lawasan, juga satu set meja makan antik yang kesemuanya terbuat dari jati. Suasana rumahan sangat terasa kuat di sini dengan sekeliling pekarangan dengan beberapa pohon pisang. Villa Soegi yang berada di tengah kampung ini bisa menghilangkan penat sesudah perjalanan bisnis atau wisata keliling Jogja.

foto1

foto2

foto3

foto4

foto5

foto6

foto7

foto8

foto9

foto11

foto12

foto13x

Aplikasi HotelQuickly bisa diunduh di Playstore Android atau Appstore secara gratis. Kalau sudah punya, bisa masuk ke bagian CREDIT dan REDEEM voucher dari aku. Masukkan kode voucher IJUWO dan dapatkan voucher untuk first bookingmu sebesar IDR 200000. Lumayan banget, kan? Apalagi cakupannya sudah di kota-kota besar dunia. Atau kalau tidak mau ribet mencari, unduh saja di tautan ini lewat ponsel : HotelQuickly.

Satu tips, biasanya aku sudah mengecek harga di apps HotelQuickly beberapa hari sebelumnya, sehingga pada hari H tepat jam 8, aku buru-buru mem-booking hotel incaranku yang kudapat dengan harga murah. Hmm, ini tips yang baik bukan, ya? Sambil mencoba-coba aplikasi ini, sambil mendapat harga yang cocok dengan kantong deh. Saran untuk HotelQuickly, location point di googlemaps diberi nama, supaya kalau dicari ulang tidak tersesat nantinya.

masukkan kode voucher IJUWO dan dapatkan IDR 200000 saat first booking

masukkan kode voucher IJUWO dan dapatkan IDR 200000 saat first booking

Villa Soegi located about four kilometers from outer ring road heading to north, not too far from Adisucipto airport. The place is not too hard to find with google maps from the point of the map that is sent via apps HotelQuickly. If you ask people on the street, say in the direction of Jalan Raya Tajem, then laced continue north. Apparently, Villa Soegi is in the middle of rice fields and gave some rural atmosphere.

Greeted by his guards friendly villa, I was offered one of the three rooms there. I chose the most distant from the road so it would less noisy. Rooms are very ethnic with one large bed of teak in the middle, and a dressing table. In the corner there was a coat hanger from beautiful bamboo. More makes a warm atmosphere, all the walls are made of brick with natural coating. The floor is made of tiles stamped with patterns unique organic. I instantly fell in love with this delightful room. There is a pool that is tempting, I immediately felt the splash of water for 15 minutes. Swimming for a while is relaxing for the muscles after full day of activities.

This Villa Soegi consists of three beautiful rooms in one joglo building, and an exclusive private room with another joglo. At the rear end is service room which is inhabited by the family house keeping. Javanese traditional touch is very strong in the building ranging from the selection of furniture to the atmosphere created. In one corner there is a small joglo to sit while enjoying the pool.

Receiving area with joglo equipped with a set of lawasan chairs models, also a set of antique dining table, all of which are made of teak. Homely atmosphere is felt strongly here with around the yard with a few banana trees. Villa Soegi located in the middle of a village beside a main road, can relieve fatigue after a business trip or a sightseeing tour of Yogyakarta.

I get a reservation for Villa Soegi this by using an e-voucher that I receive from HotelQuickly in mobile applications thus getting a nice price. HotelQuickly applications can be downloaded in the Android Playstore or iOS AppStore for free. If you already have it, get the CREDIT and REDEEM a voucher from me. Enter the e-voucher code IJUWO and get a voucher for your first booking of IDR 200000. Not bad, right? Moreover, you can get thousands of hotel option in the big cities of the world. Or if you do not want complicated search for, download it at this link via your mobile phone: HotelQuickly.

disclaimer : This article is made with subjectivity because I love this apps, the e-vouchers and I liked where I spent the night at the Villa Soegi.

Villa Soegi :
Jl Raya Tajem, Wonokerto
Wedomartani, Sleman, Yogyakarta

HotelQuickly.com
@HotelQuickly
@HotelQuicklyID

Screenshot_2014-12-17-10-06-52



janji kelak menuju dieng

$
0
0

cover


Hai, Ra.
Aku tahu, kamu sedang tidak dekat sekarang, sehingga aku tidak bisa langsung menceritakan padamu. Aku pun tak tahu di mana alamatmu, sehingga aku tak bisa merangkai kata dalam surat dan kutitipkan pada pak pos. Aku hanya tahu bahwa kamu pasti baik-baik saja, ketika kamu bisa membaca tulisanku ini.

Ra, kamu ingat cerita tentang negeri khayalan yang pernah kita imajinasikan sembari menghitung bintang? Kali ini aku berada di sini, bersama teman-teman yang mungkin juga kau kenal lewat dunia maya. Bersama mereka kami merangkai beberapa kisah yang bersama-sama dituliskan.

Ra, negeri ini bernama Dieng, senantiasa berkabut pagi yang bisa kita hembuskan perlahan membentuk gumpalan tipis dari nafas kita. Di sini kita bisa melihat tetes-tetes embun yang berkilau di ujung-ujung daun, sebelum menguap ketika mentari mekar sejenak. Sesudah matahari melewati ujung kepala, udara dingin kembali menyelimutinya, terkadang bercampur dengan tetes-tetes air hujan yang menggenang di mana-mana. Mungkin kamu pernah ke sini, mungkin juga tak sekali.

Dua tahun lalu aku mengunjungi tempat ini di bulan Desember, di mana hujan turun deras sejak aku naik dari Wonosobo, hingga dataran tinggi tempat menginap. Kali ini juga aku ke kembali di bulan Desember, masih dengan suasana yang sama, dengan hujan yang sama, dan awan dan kabut yang sama.

Ra, maukah kau berjanji padaku, ketika hari cerah kelak kau akan menemaniku nanti ke pelataran candi Arjuna? Bukan, aku tidak hendak mengajakmu berfoto dengan teletubbies atau dengan hanoman yang banyak mondar-mandir disitu. Aku juga bukan memintamu membaca sejarah candi seperti biasanya kuamati. Aku ingin mengajakmu melihat pemotongan rambut. Kamu pasti heran, apa istimewanya acara itu?

Begini ceritanya, Ra. Di Dieng ada banyak anak berambut gimbal yang dipercaya adalah keturunan Kiai Kolodete, sesepuh negeri di masa lalu. Anak-anak ini mulai berambut gimbal sekitar umur 2 tahun setelah mengalami masa demam tinggi. Rambut kusut tumbuh begitu saja di bagian bagian kepala mereka. Aneh kan? Mulanya, mereka terbiasa dengan rambut yang tidak bisa disisir itu. Namun lama kelamaan ketika umurnya bertambah dan rambut gimbal menjadi bahan olok-olok teman-temannya, anak-anak ini minta pada orang tuanya supaya rambutnya dipotong.

Kamu past iri, Ra, karena sebelum rambutnya dipotong mereka boleh mengajukan satu permintaan. Dan apa pun permintaan mereka harus dikabulkan sembari dipotong rambutnya, karena jika tidak maka untaian gimbal-gimbal itu akan tumbuh kembali. Untung saja permintaan mereka tidak aneh-aneh, ada yang sekadar minta dibelikan es lilin oleh tetangganya, minta sepeda mini, minta pelihara kambing atau keinginan-keinginan biasa dari seorang anak desa. Memang pernah ada satu anak yang meminta sepeda motor yang dibelikan oleh Kapolsek. Hehe, unik ya, Ra?

Kemarin aku sempat bertemu dengan dua orang anak, yang satu masih gimbal, namun satu lagi sudah dipotong rambutnya. Kami bertemu mereka di Pendopo Whitlam, yang terletak tak jauh dari area candi Arjuna. Kedua anak itu tampak malu bertemu dengan kami yang datang beramai-ramai. Aku jadi berpikir, apakah sejak mereka menjadi gimbal mereka sudah diberitahu bahwa mereka akan menjadi pusat perhatian? Apakah mereka bisa bermain bebas tanpa sesekali dicegat untuk diminta foto? Apakah mereka tahu maksudnya ketika diperkenalkan pada kami?

DSC_0036

DSC_0074-x

Ra, tidak ada yang tahu apa penyebab rambut mereka menjadi gimbal. Tak ada orang tua yang rela memberikan contoh rambut anak gimbalnya pada peneliti untuk diamati sebab ilmiah kenapa rambut jenis ini tumbuh. Mereka percaya bahwa rambut kusut ini sudah suratan takdir yang semestinya hanya dilarung di telaga usai pemberkatan di upacara potong rambut.

Aku ingin mengajakmu ke sini tahun depan, Ra. Semoga kamu bebas dari kesibukanmu pada tanggal 1-2 Agustus 2015. Jadi kita bisa menghabiskan waktu seminggu sebelumnya di sini, berkeliling desa-desa, mengobrol dengan penduduk, bermain-main dengan anak gimbal, atau naik ke puncak Sikunir seperti dulu. Di penghujung kita bisa sama-sama ikuti Dieng Culture Festival, sembari mengamati prosesi pemotongan rambut gimbal.

DSC_0077

DSC_0079

Mungkin kamu akan bertanya, kenapa harus ada festival untuk peristiwa ini? Ritual ini sebenarnya bisa dilakukan sendiri di antara keluarga saja. Tetapi memakan biaya yang tidak sedikit untuk setiap upacara. Apalagi untuk memenuhi macam-macam permintaan anak-anak. Rambut gimbal tidak pandang bulu, ia bisa tumbuh di kepala anak-anak pemilik tanah atau buruh kebun biasa. Akan ada beberapa anak yang akan dipotong rambut gimbalnya di acara ini. Di sini juga akan dibantu untuk memenuhi keinginan masing-masing anak.

Tapi aku tak mau kita hanya menjadi turis sesaat yang memenuhi hasrat keingintahuan untuk datang ke sini. Toh kita tidak akan bisa berada di depan pada saat pengguntingan itu. Biarlah acara ini menjadi sakral untuk mereka, dan kita sebagai orang luar berada pada batas yang mereka izinkan. Akan ada beberapa lapis pengamanan supaya prosesi tetap berjalan dengan tenang. Kali ini prosesi akan dilakukan juga di kompleks candi Arjuna yang tak jauh dari sini.

Aku mendapat cerita bagaimana tahun lalu ada ratusan tenda di luar area candi yang ikut memeriahkan acara. Aku juga melihat bagaimana panitia berusaha tidak juga supaya prosesinya berjalan lancar, namun juga mengantisipasi bagaimana mengatur pengunjung yang membludak di saat acara. Benar, sebagai orang luar kita akan ditempatkan di lingkaran paling luar. Tidak apa-apa buatku, bukankah acara ini adalah ritual masyarakat sini dan harus dihormati? Jangan sampai perhatian mereka terpecah oleh keramaian turis-turis yang sekadar ingin menonton.

IMG_1873

IMG_1875

2

Ra, karena itu aku memintamu datang seminggu sebelumnya, agar kita bisa merasakan suasana desa yang biasa sebelum festival. Kita bisa bersama-sama merasakan denyut kehidupan sebuah desa yang dihembus kabut, mengenal anak-anaknya dengan ramah, bercerita dan mendongeng, bermain sambil belajar, seperti hal-hal yang suka kita lakukan dengan anak-anak.

Terlalu singkat perjumpaanku kemarin dengan mereka, yang hanya dipajang digendong di depan tanpa aku bisa mengenal lebih jauh tentang keseharian mereka, tanpa aku dengar jerit polos anak-anak sambil bermain. Aku ingin melihat mereka di gerak lincahnya sehari-hari, genit pagi ketika hendak berangkat sekolah, tawa riang sambil berlarian, senyum malu tapi penasaran yang sering kulihat di mata anak-anak di belahan lain negeri. Ingin merasakan menghangatkan diri di depan tungku-tungku sambil mengobrol dengan ayah ibu mereka, sambil menyeruput teh manis dan mengemil kentang goreng.

Kamu mau menemaniku lagi, kan? Aku janji akan mengajakmu ke tempat-tempat yang belum kamu datangi dulu. Mungkin kalau ada, kita bisa bersepeda keliling Dieng. Hm, rasanya lebih menarik kalau ada sepeda yang bisa disewa untuk mengelilingi area luas ini ya? Kita bisa lihat beberapa kawah-kawah vulkanis yang masih aktif, kita bisa tengok beberapa telaga batu kapur di sini juga, atau menjelajah sampai tepi-tepi punggungan, melihat kabut jatuh di bawah sana.

Satu lagi, di malam hari kita bisa menerbangkan lampion bersama-sama dengan ratusan pengunjung lainnya. Pasti indah ketika langit temaram itu tiba-tiba diterbangi oleh titik-titik cahaya emas yang dilambangkan sebagai harapan yang diterbangkan tinggi. Kamu pasti memprotes keinginanku yang kamu anggap hanya menyebarkan sampah saja, kan? Ra, lampion tidak terbang terlalu jauh, ia tetap akan turun di sekitar desa-desa ini saja, sehingga sampah sisanya bisa dibersihkan.

Pasti ada banyak hal yang bisa kita lakukan di sini. Tiba-tiba aku tak sabar untuk tiba di tengah tahun depan, kembali menyusuri jalan-jalan berbatu, berlarian di pematang kebun kentang, menghirup udara pagi yang sejuk, dan berbagi senyum dan tawa dengan anak-anak di sini, seperti yang kita lihat di film Negeri di bawah Kabut beberapa tahun silam.

Ra, aku banyak mendapat teman baru selama perjalananku ke sini. Ada orang-orang yang selama ini hanya bertemu di dunia maya saja, namun ketika bersua bisa saling ringan menyapa. Dengan mereka aku bertukar cerita sehari-hari. Berbagi juga tentang pengalaman selama menjalani dua hari bersama. Ceritaku tidaklah cukup di sini, sehingga aku ingin juga berbagi cerita mereka yang juga mendapat undangan dari Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Tengah, supaya kau tak canggung lagi juga bila kelak kuperkenalkan. Jawa Tengah juga menyimpan potensi-potensi lain yang cantik untuk dikunjungi.

Alid Abdul – Empat Kuliner Wajib Wonosobo
Andika Awan – Keseruan #FamTripJateng 2014
Ari Murdiyanto – Pondok Wisata Tambi, Tempat Bermalam di Tengah Kebun Teh
Dzofar – Wisata Jawa Tengah: Keajaiban Rambut Gimbal di Dieng
Fahmi Anhar – Kumpul Travel Bloggers di Wonosobo
Firsta – From Plant to Pot : Tambi Tea Plantation
Idah Ceris – Bonus Plus-Plus Dari Bukit Sidengkeng
Krisna KS – Carica?? Ya Dieng!!
Oryza – Kisah Kyai Kolodete dan Rambut Gimbal di Kalangan Masyarakat Dieng
Putri Normalita – Visit Jateng : Anak Gimbal dan ‘Warna’ di Telaga Warna
Rijal Fahmi – Kisah Perjalanan Teh Tambi
Rinta Dita – Mencari Hangat dalam Semangkok Mie Ongklok
Wihikan Wijna – Mengenal Jawa Tengah Bareng Travel Blogger
Yofangga Rayson – Ayo Piknik, Jangan Kaya Orang Susah
Yusmei – Rambut Gembel, Antara Rezeki dan Cobaan

Tak sabar ingin bertemu denganmu lagi dan menunggu kisahmu yang baru. Tak tahu juga apakah kita akan bertemu di waktu dekat atau baru sempat pada Dieng Culture Festival di 1-2 Agustus 2015 mendatang? Pikirkan tawaranku, ya. Sambil terus kita bertukar catatan di sini, halaman yang mungkin kamu buka setiap hari. Terima kasih sudah membacanya, Raya.

Salam hangat,
In.

IMG_3690


sinjang lawang : sungai dalam goa

$
0
0

DSCN0738

Percaya tidak, dulu aku sering menjelajah goa? Sewaktu zaman kuliah dulu, hampir tiap bulan aku keluar masuk goa. Baju coverall, helm boom, sepatu boots, senter, webbing, carabiner, selalu menemani ranselku. Baju basah, bau dan berlumpur selalu menjadi oleh-oleh dari perjalanan yang bisa dilakukan siang atau malam itu. Bebas! Di goa kan gelap, jadi tidak ada masalah tentang waktunya.

Sebenarnya aku cuma mengelilingi goa-goa di Jawa Barat, mulai dari kawasan goa di Citeureup, kawasan goa di Buniayu, Sukabumi, sampai goa-goa di area Bayah pun pernah kujelajahi keluar masuk selama berhari-hari. Kalau ingat masa-masa itu rasanya asyik sekali. Sayang, ketika waktu penjelajahan ke Luweng Jaran Jawa Timur dan sampai ke Maros Sulawesi, aku harus kembali lagi berkutat dengan modul kuliah yang memaksaku lulus. Bakti terhadap orang tua ternyata lebih besar dari ambisi masuk goa.

Setelah sekian lamanya (sengaja tidak menyebutkan berapa tahun) tidak mengamati stalagtit, stalagmit, gordyn, column, terkadang kangen juga duduk-duduk di udara lembab dan gelap itu. Membaui aroma kelelawar, kecipuk titik air yang menetes pelan, berjalan mengendap pelan, lobang-lobang yang sempit, tanah yang licin. Kata seorang teman, di caving ini ada pelajaran semua divisi, ada gunung hutan di luar ketika harus mencari mulut goa, ada rock climbing ketika ada jalur di dalam yang harus kita panjat, ada olah raga air sambil menyusuri sungai bawah tanah, dan ada keberanian yang harus ditumbuhkan ketika berjalan berjam-jam dalam gelap.

Beberapa tahun terakhir ini aku juga mengunjungi goa juga, sih. Tapi goa wisata yang tidak terlalu membutuhkan latihan fisik untuk memasukinya. Aku sempat ke Goa Pawon di kawasan Citatah, namun kondisinya sudah banyak ornamen yang rusak. Aku juga mengunjungi Batu Cave di Kuala Lumpur yang benar-benar goa wisata, hanya saja tangga untuk menaiki sampai atas benar-benar menguras tenaga.

Awal Desember kemarin aku diajak oleh Blibur.com untuk mengunjungi satu destinasi wisata di kawasan Pangandaran yang bertajuk Goa Sinjang Lawang. Sebagai (mantan) pencinta goa, tentu aku tidak menampik penawaran menarik ini. Apalagi di sini juga akan ada sungai yang diarungi di dalam goa. Berhubung tempat ini belum lama dijadikan sebagai daya tarik wisata, jadi aku semangat juga untuk ikut ke sana.

Pangandaran sendiri dicapai dalam waktu sekitar tujuh jam dari Jakarta, atau sekitar lima jam dari Bandung ke arah Tasikmalaya dan Ciamis. Di situ, rombongan kami yang menggunakan bis kecil dijemput oleh pemandu yang mengendarai sepeda motor, ke arah Sinjang Lawang melalui desa-desa. Hujan mengguyur pagi itu agak membuat gentar karena takut debit air sungai bawah akan tinggi nanti. Perjalanan melintasi desa ini pun tak kalah lama, hampir dua jam!

Untunglah kelelahan kami di bis itu terbayar dengan sepiring nasi timbel dengan lauk sayur dan sambel yang meredakan keroncongan perut setelah berada di jalan yang terguncang-guncang berbatu. Kenyang makan, kami beriringan menuju sungai sambil dibawakan ban untuk menghanyutkan kami. Hah? Kenapa sungai? Tentu saja karena sungai melintasi bagian dalam goa ini, dan asyik bukan kalau menggunakan ban untuk mengarunginya?

So, here we go!

DSCN0620
base camp operator cave tubing goa sinjang lawang

DSCN0625

Felicia, four years travelmate. Bela-belain ikut kuis supaya bisa jalan bareng ke goa ini sama aku. Sebelum memulai perjalanan kami berpose dulu. Demi kenyamanan berbasah-basahan, kami janjian pakai pakaian renang. Yuhu!

DSCN0632
Rombongan blibur sebelum mengarungi sungai. Sepertinya sih tidak ada yang takut air. Wajah-wajahnya begitu sumringah karena habis sarapan. Semua siap diceburkan ke air dan kegelapan.

DSCN0637
Lepas dari start point, kami harus menyusuri jalan setapak yang diperkirakan licin sewaktu hujan. Jangan memakai sandal jepit karena berisiko licin dan putus di jalan, atau hilang di sungai. Pakai sandal karet atau sandal gunung ringan untuk mempernyaman.

DSCN0639

DSCN0643

Ini dia sungai Cijulang. Kami harus melalui sungai ini dulu dengan ban besar hingga mulut goa di depan.  Kelihatan riaknya tidak?

DSCN0640

Bersiap memasuki air. Harus hati-hati karena agak licin. Duduk di ban harus di posisi yang nyaman, dan memakai ban dengan ukuran yang tepat.

DSCN0649

Ejie yang baru saja jatuh tetap nekat untuk mengikuti pengarungan ini. Liburan memang tantangan.

DSCN0650
Kiki dapat kesempatan gratis buat mencoba cave tubing. Cave=goa dan tubing=tube ban yang kami pakai untuk mengarung.

DSCN0657
Bima si videografer asyik dengan tongkat ajaibnya yang dijaga dengan baik sepanjang jalan.

DSCN0674
Mas Jalul dari Blibur pun berenang dengan pelampung saja mengiringi yang memakai ban.

DSCN0653

DSCN0652

DSCN0666
Jadi, satu per satu dari kami akan dihanyutkan di sungai ini sampai ke mulut goa di ujung sana melewati beberapa jeram kecil.  Aku sendiri sempat terbalik di satu patahan yang berarus deras. Tapi tidak apa-apa, karena airnya tidak terlalu dalam.

DSCN0704
Jalur pengarungan dalam goa kami sepanjang kira-kira 500 m. Di dalam banyak sekali ornamen menarik seperti gordyn, batu payung, dan lobang-lobang kelelawar. Di dalam goa ini tidak terlalu banyak stalagtit dan stalagmit, lebih banyak banyak batu karang besar yang mendominasi. Karena gelap sekali, tidak terlalu banyak foto yang bisa aku ambil. Selain lewat air, disamping juga bisa menyusur dengan berjalan di batu-batu besar.

Di tengah-tengah pengarungan terdapat batu besar dengan lubang di atasnya tempat masuknya cahaya luar. Kami harus naik batu ini sambil berhati-hati karena agak licin, atau jalan melalui sungai di sebelahnya. Karena beramai-raman, naik ke batu ini harus bergantian. Dingin dan kuyup melingkupi badan termasuk lembab kurang udara di sini.

DSCN0715

DSCN0717

DSCN0718

DSCN0731

Sampai di sisi goa yang lain, kami bisa beristirahat sejenak. Arus dalam goa tidak terlalu kencang, air pun tidak terlalu dalam. Di sini kami bisa beristirahat dan duduk-duduk setelah mengarung kira-kira satu jam. Bagaimana rasanya? Lapar tentu!

DSCN0744

DSCN0745

Jika air pasang, tinggi muka air di dalam goa bisa mencapai tiga meter.  Di sisi-sisi bisa dilihat bekas garis air ini yang akan sampai di ketinggian ini kira-kira bulan Januari atau Februari.

Penduduk menamai goa ini Sinjang Lawang karena tatahan goa yang menyerupai motif batik pasundan dengan nama Sinjang, sementara Lawang sendiri yang berarti pintu, diartikan sebagai pintu masuk goa, demikian dijelaskan oleh operator trip lokal yang cukup sigap dan cekatan membantu kami.

So, berani masuk goa? Jangan lupa bawa selalu tiga petuah ini : Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but time!

Let’s go caving!

Lihat juga lewat video karya Bima Satria ini..

trip : 12-14 Desember, Goa Sinjang Lawang, Pangandaran

thanks to blibur.com !!!


peduli budaya lokal untuk pariwisata indonesia

$
0
0

DSC_0586

Hujan gerimis sejak sore mengiringi akhir hari pergantian tahun, kecipuknya ditingkahi oleh lari anak-anak yang bermain di lapangan. Suara petasan pun beradu dengan nyala kembang api, yang menerangi langit malam yang tak berbintang tertutup awan. Aku baru pulang dari pulau seberang, mengingat banyak hal yang kulalui di tahun ini, di mana aku sering melawat baik luar maupun dalam negeri.

Selamat malam Bapak Arief Yahya, Wakil Indonesia untuk mengembangkan potensi-potensi wisata di negeri ini, kepadanya aku titipkan surat untuk pariwisata Indonesia yang lebih baik di tangan anda, Menteri Pariwisata.

Halo Indonesia,
Perkenalkan aku Indri Juwono, seorang arsitek yang hobi berjalan-jalan menyusuri kota dan desa, mengamati lingkungan bangunan dan manusia, mengamati keistimewaan satu-satu daerah, bercerita lewat tulisan tentang tempat-tempat yang dilaluinya.

Dari pengamatan di berbagai tempat di luar negeri, ada begitu banyak tempat dengan nilai budaya yang unik yang selalu ramai didatangi turis (termasuk aku). Lihatlah banyak orang mendatangi Little India di Singapura atau daerah Pecinannya sekeadar untuk mencari obyek fotografi yang menarik. Atau ruas jalan di Kyoto, Jepang dengan rumah-rumah khas Jepang yang menjadikan area tersebut cantik dan menarik utntuk disusuri sambil berjalan kaki.

Aku jadi teringat di Indonesia bangunan-bangunan dengan karakteristik budaya yang tinggi tidak terlalu mendapat perhatian sebagai salah satu potensi wisata yang diunggulkan. Bangunan yang merupakan peninggalan sejarah hanya berdiri di tempatnya saja, tetapi tidak didukung oleh lingkungan sekitarnya yang tetap berantakan.

Di Semarang, ada satu kawasan Pecinan yang sangat populer untuk dijelajahi sambil berjalan kaki, namun areanya berbaur dengan toko-toko biasa dan tanpa petunjuk arah dan informasi di setiap tempatnya, sehingga tanpa pengetahuan yang harus dicari dulu lewat internet atau buku-buku, pengunjung bisa tersesat dan tidak mendapatkan banyak hal di situ. Padahal banyak hal yang menarik yang bisa dilihat di situ seperti jika saja dibuat menjadi satu jalur unggulan wisata karena jejak Semarang sebagai salah satu kota pendaratan dari Tiongkok di masa lalu sangat nyata di sini.

Jika ingin meningkatkan potensi wisata di sini, perlu ditambahkan petunjuk-petunjuk yang jelas dan brosur di beberapa tempat sehingga pengembangan kawasan ini terintegrasi sebagai satu kawasan yang menjadi salah satu tujuan utama. Pecinan Semarang dan Pasar Semawisnya seharusnya takkan kalah dengan kawasan Heritage Malaka dan Jonker Streetnya di Malaysia.

klenteng kay tak sie semarang

klenteng kay tak sie semarang

pasar semawis di malam hari

pasar semawis di malam hari

Halo Indonesia,
Potensi yang sama sebenarnya juga dimiliki oleh Yogyakarta dan Cirebon. Menariknya berada di kota Yogya sambil berjalan kaki di sekitar keraton, atau naik becak sambil mengobrol tentang sejarah satu tempat dan lainnya, melihat-lihat area perumahan lawas yang rapi. Meskipun belum sempurna, kota Yogya sudah sangat kuat potensinya sebagai kota budaya dan wisata, juga karena setiap warganya paham dan mencintai potensi daerahnya.

sudut keraton yogyakarta

sudut keraton yogyakarta

Di Cirebon, dengan tiga keraton yang letaknya juga tidak berjauhan masih kurang petunjuk arah yang jelas antar lokasi. Kawasan sekitar keraton pun tidak bersih dan nyaman untuk dilalui. Kondisi jalur pejalan kakinya yang kotor dan acak-acakan kerap membuat orang enggan untuk melaluinya. Sebagai kota dengan ciri khas budaya yang kuat, Cirebon semestinya bisa mencontoh Yogyakarta menuju kota dengan basis wisata untuk membuat jalur wisata yang jelas, sehingga memudahkan turis yang datang untuk juga mengagumi kekayaan kota ini, tidak hanya sekadar wisata kuliner saja.

Demikian juga kota-kota lain dengan potensi bangunan bersejarah yang unik, perlu disadari bahwa potensi ini sangat besar karena di negara-negara lain justru ini yang banyak dibanjiri pelancong, mencari sesuatu yang unik dan hanya ada satu-satunya di situ. Informasi yang memadai tentang destinasi dan pencapaiannya juga harus diintegrasikan dengan obyek menarik di sekitarnya sehingga tercapai satu cultural zone yang menarik.

keraton kasepuhan cirebon

keraton kasepuhan cirebon

masjid kasepuhan

masjid kasepuhan

Halo Indonesia,
Aku juga suka berkunjung ke desa-desa di Indonesia. Melihat bagaimana manusia hidup di rumah-rumah adat di sudut-sudut negeri. Mengunjungi Kampung Naga, Jawa Barat, ditemani pemandu terampil yang menjelaskan tentang desa mereka, sejarah, hingga kehidupan masyarakat dan pola bermukimnya. Pemandu ini penduduk asli Kampung Naga yang dilatih untuk memperkenalkan desanya, sehingga mereka juga yang mendapatkan dampak langsung dari kunjungan pelancong seperti aku.

aktivitas niaga di kampung naga

aktivitas niaga di kampung naga

Dua tahun lalu aku juga mampir ke desa Tumori di Nias. Di sana hanya ada satu kawan yang menjelaskan tentang bagian-bagian rumah adat ini yang bercerita bahwa tidak terlalu banyak orang datang ke desa ini kecuali memang tertarik dengan bangunan. Seandainya lebih banyak orang desanya yang lebih paham dengan sejarah daerah dan menarik orang untuk datang ke sana, potensi desa untuk menjadi daerah tujuan wisata akan semakin meningkat.

rumah tetua di tumori, nias

rumah tetua di tumori, nias

Di Wae Rebo, Manggarai, penduduknya belajar untuk memahami budaya mereka sendiri dalam kehidupannya. Mereka bisa dengan mudah bercerita tentang daerahnya, pembangunan rumah-rumah adatnya, desa tempat mereka tinggal, kebiasaan sehari-hari. Penduduknya bisa menjadi pemandu yang baik karena mereka bangga dengan daerahnya.

rumah adat ang dibangun kembali

rumah adat ang dibangun kembali

Aku mampir di rumah adat di Koanara, Moni, Flores atas ajakan seorang gadis manis yang masih duduk di kelas 6 SD. Ia bersemangat untuk mengantarku melihat rumah adat, mengenalkanku pada seorang nenek yang tinggal di dalamnya, menjelaskan bagian-bagian yang ia tahu. Gadis bernama Maria ini juga mengajakku melihat-lihat pasar dan mengunjungi gereja tempat ia beribadah di hari Minggu. Ia bercita-cita menjadi pemandu wisata ketika besar nanti. Rasa cinta pada daerah membuatnya ingin membuat orang lebih banyak lagi datang ke Moni.

maria, gadis manis dari moni

maria, gadis manis dari moni

Tapi,
Aku juga berpikir, apakah orang-orang di desa-desa itu juga merasa nyaman apabila dikunjungi oleh pelancong? Apakah mereka merasa sebagai tontonan atau penonton saja? Apakah mereka menganggap pelancong sebagai tamu atau bagian dari mereka? Apakah mereka lebih suka jika lebih banyak orang yang berdatangan ke desa mereka?

Aku sering melihat mereka balik menonton kami, orang asing yang bertandang ke daerah tempat tinggal mereka dengan alasan belajar, atau hanya jalan-jalan belaka yang mungkin dipandang merupakan salah satu kemewahan. Terkadang aku malu memberi jawaban ‘hanya jalan-jalan saja’ tanpa ada misi lain, menjadi turis yang mengorek kehidupan di rumah-rumah adat.

Halo Indonesia,
Aku percaya, jika di suatu tempat yang digerakkan adalah orang daerahnya, dan ia mencintai daerahnya dengan sepenuh hati, maka ia akan menjaga keasliannya dengan sepenuh hati, sehingga tidak hanya diminati pengunjung, namun juga mendatangkan kebaikan untuk daerahnya sendiri. Kesiapan manusia di daerah tujuan wisata adalah faktor penting sehingga mereka tidak hanya menjadi penonton atau yang ditonton saja, namun juga punya peran besar dalam melestarikan potensi wisata daerahnya.

Aku percaya masih ada orang-orang yang berhati bersih dan tidak silau pada uang semata dan menggadaikan kekayaan wisata daerahnya untuk rusak dieksploitasi dalam waktu singkat. Dunia memang berubah, tapi ada beberapa bagian yang bertahan untuk bercerita tentang kearifan mengadaptasi iklim dan kebutuhan dan terbukti selamat selama ratusan tahun.

Semarang, Jogja, Cirebon, Kampung Naga, Nias, Wae Rebo, Moni, hanyalah contoh potensi keunikan budaya di lokasi-lokasi mereka, kekhasan yang cuma ada satu-satunya di tempat mereka. Peninggalan budaya sebagai identitas yang memperkuat lokasi sebagai tempat tujuan wisata.

Pak Arief,
Tolong perkuat wisata budaya Indonesia dengan memperjelas informasi, buat zoning dan jalur area yang terarah, kembangkan potensi sumber daya manusia, buat mereka bangga dengan keistimewaan lokalitas. Juga disinergikan dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang rapi, jalur transportasi yang memadai, juga perangkat-perangkat wisata yang lain, berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, untuk meningkatkan kualitas pariwisata negeri ini.

Sehingga Indonesia menjadi tuan rumah yang baik, selain mengundang namun juga bisa memberikan kenangan indah yang mengesankan bagi tamu-tamu yang datang ke setiap sudut Indonesia. Berikan tamu-tamu itu apa yang sepantasnya sesuai yang sudah mereka keluarkan.

Negeri yang dicintai, Indonesia.

Indri Juwono – indrijuwono@gmail.com
Mari nyalakan lilin, untuk menjadi obor semangat, berjalan, merasakan, berdialog, menulis tanpa pamrih untuk Indonesia.
bersama-sama Travel Blogger Indonesia menulis surat untuk Menteri Pariwisata

silakan kunjungi surat yang lain di :
Lenny Lim – Surat Untuk Menteri Pariwisata
Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat untuk Menteri Pariwisata
Vika Octavia – Pariwisata Indonesia : Telur dulu atau Ayam dulu?
Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka untuk Menteri Pariwisata
Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia dan Segala Problematikanya
Titi Akmar – Secercah asa untuk Pariwisata Indonesia
Parahita Satiti – Surat untuk Pak Arief Yahya
Yofangga Rayson – Pak Menteri, Padamu Kutitipkan Wisata Negeri
Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia
Matius Nugie – Merenda Asa untuk Pariwisata Kota Indonesia
Olive Bendon – Indonesia, Belajarlah pada Malaysia
Bobby Ertanto – Dear Menteri Pariwisata Indonesia
Danan Wahyu – Repackage Visit Indonesia Year
Firsta Yunida – Thought and Testimonial : Tourism in Indonesia
Felicia Lasmana – Target 1 Juta Wisman Per Bulan menurut seorang Biolog, Pejalan, dan Blogger


[giveaway] kalender tintin aviation 2015

$
0
0

image3

Macassar tower? This is Golf Tango Fox. We are just passing over Sumbawa. Nothing to report. We’ll call you again before we reach the Darwin control zone. Over and out.
Tintin – Flight 714

Adakah teman-teman yang takut terbang? Atau adakah teman-teman yang begitu berani untuk sering terbang bepergian menjelajah angkasa dengan kecepatan tinggi? Ingatkah masa-masa menyenangkan bermain pesawat terbang kertas? Pernahkah berlarian di lapangan sambil memandang pesawat lewat?

Sewaktu kecil, aku beberapa kali terbang dengan pesawat dari Jakarta ke Medan. Orangtuaku bercerita kalau aku bermain di pesawat dengan seorang anak bule, dan mengobrol dengan bahasa masing-masing. Aku tak pernah ingat masa itu, karena ketika itu umurku masih 2 tahun. Kali lain aku pernah menunggu di kaunter check-in di Cengkareng hampir 2 jam karena sistem komputernya mati dan boarding pass harus ditulis dengan tangan. Pernah juga aku terguncang dalam pesawat karena cuaca buruk sehingga aku berdoa khusyu sepanjang perjalanan.

Kebiasaan naik pesawat low cost carrier pun membuatku punya kebiasaan membawa bekal naik pesawat, dan lupa ketika naik pesawat full service, aku asyik mengunyah mie goreng kesukaan ketika baki makanan yang termasuk dalam pelayanan tiba. kekenyangan dong! Terakhir pengalaman tak normal dengan pesawat adalah terlambat check-in sehingga tidak diperkenankan masuk pesawat dan harus menunggu lima jam untuk ikut pesawat berikutnya.

Kedua, ada yang ngefans sama Tintin? Aku! Tintin dan petualangannya menjadi penyemangat jalan-jalanku sewaktu kecil, saat remaja, hingga sekarang. Wartawan penuh keberuntungan dengan anjing Snowy-nya dan bisa mengendarai apa saja ini punya banyak pengalaman dengan terbang. Tapi entah kenapa cerita favoritku adalah yang berjudul Flight 714. Oh, alasannya tentu karena ada adegan Jakarta Kemayoran di buku itu, dan dialog berbahasa Indonesia ketika diceritakan pesawat dibajak dan turun ke pulau Komodo.

319-ed

Ah, pasti banyak di antara kalian yang memiliki kenangan dengan pesawat, cerita menyenangkan atau cerita menyebalkan atau cerita seru. Ada juga pasti di antara kalian yang tergila-gila dengan komik Tintin ini seperti aku.

Ada SATU kalender meja TINTIN yang bertema AVIATION untuk menemani meja kerjamu yang akan aku kirimkan ke alamatmu. Kalendernya manis untuk dipajang di meja, berukuran kartu pos diselipkan di akrilik bening, plus satu pin wartawan berjambul ini dalam satu kotak cantik. Jangan khawatir, tahunnya 2015 kok. Seperti gambar di atas, namun tidak termasuk pesawat mainan dan latar birunya.

Mau?

Pertama :
Follow twitterku @miss_almayra dan follow blog Tindak Tanduk Arsitek (bisa melalui tombol follow bagi pengguna wordpress atau submit lewat email di kolom sebelah)
Kedua :
Beri komentar di bawah ini dengan bercerita tentang pengalamanmu dengan pesawat, turun pesawat, atau pengalaman terkait lainnya, yang senang atau susah, tapi jangan sedih.
Tulis dengan format :

    Nama – akun twitter
    Email
    Cerita pengalaman

Ketiga :
Share link postingan giveaway ini lewat media sosial dan ajak dan mention temanmu untuk ikut bergabung dan @miss_almayra #kalenderTintin

Giveaway ini akan ditutup pada tanggal 5 Januari 2015 jam 23.59 dan dipilih cerita yang paling sip, diumumkan tanggal 6 Januari 2015 sore supaya tidak terlalu lama mengirim kalendernya.

Ikut mengucapkan bela sungkawa atas musibah pesawat AirAsia Surabaya-Singapura tanggal 28 Desember 2014. Tetap ikhlas dan jangan takut terbang, ya.

Good luck!


flores flow #1 : fly to kelimutu

$
0
0

IMG_1505

The reason birds can fly and we can’t is simply because they have perfect faith, for to have faith is to have wings.”
― J.M. Barrie, The Little White Bird

“Dalam beberapa saat, pesawat ini akan mendarat di Bandar udara Komodo, Labuan Bajo..”
Lho? Kok di Labuan Bajo? Tujuanku kan mau ke Ende? Aku melihat gugusan pulau-pulau di laut Flores lewat jendela sambil bertengok-tengok pada pramugari yang sudah duduk manis di kursinya itu dalam posisi mau mendarat.

Drama urusan pesawat ini belum selesai rupanya. Setelah dua hari sebelumnya skedul penerbangan TransNusa Denpasar-Ende dibatalkan sepihak sehingga aku kelimpungan mencari tiket baru, tadi di bandara Ngurah Rai pun gate penerbangan Wings Air pindah dari gate 3 ke gate 5 tanpa pengumuman, sehingga kami berlari-lari pindah gate karena ada petugas keliling menanyakan : Ende? Ende? Dan sekarang pesawat ternyata mendaratnya di Labuan Bajo. Huwow!

ende, right?

ende, right?

Jadi, Labuan Bajo itu ada di Flores bagian barat, sementara Ende ada di Flores bagian timur. Kira-kira 390 km jauhnya menurut google maps. “Mbak, jadi pesawat ini ke Ende, kan?” tanyaku pada pramugari manis ketika pesawat ATR 72 berbaling-baling itu mendarat di landasan bandara. “Iya, mbak. Nanti ke Ende. Ini mengangkut penumpang di Labuan Bajo yang mau ke Kupang.”

Ealah, ternyata pesawat ini transit di mana-mana seperti angkot. Catatan untuk pesawat tujuan pulau-pulau gugusan timur ini, rajin-rajinlah bertanya di penjaga gate supaya tidak sesat atau ketinggalan pesawat jadinya. Ternyata penerbanganku ini adalah gabungan jadwal DPS-LBJ dan DPS-ENE yang digabung lagi dengan LBJ-KOE. Padahal dijual dengan jadwal terpisah, loh.

Penerbangan Denpasar-Labuan Bajo adalah jalur yang indah. Aku sarankan untuk mengambil tempat duduk di sebelah kiri, karena pesawat akan terbang di sebelah kanan gugusan pulau-pulau Lombok, Sumbawa, Kepulauan Komodo. Jika cuaca cerah, Gunung Rinjani dan Tambora bisa terlihat jelas keindahannya, di tengah kontur hijau berbukit-bukit pulau-pulau tersebut. Dari atas laut Flores yang terbentang antara Pulau Sumbawa dan Flores ada banyak pulau-pulau cantik yang bertebaran di bawah, dengan bentuk-bentuk unik yang khas.

meninggalkan Bali

meninggalkan Bali

di atas pulau sumbawa

di atas pulau sumbawa

tepian sumbawa timur

tepian sumbawa timur

menjelang labuan bajo

menjelang labuan bajo

Kami berdua diminta pindah ke bagian depan pesawat untuk menyeimbangkan beban karena sebagian besar penumpang turun di Labuan Bajo. Wah, wah ternyata sekarang kami berada di deretan kanan. Semoga saja yang dilihat di samping bukan hanya laut. Ternyata pesawat mengudara di atas pulau Flores sehingga bentang alamnya terlihat jelas dari angkasa melalui jendela kanan. Jenis pesawat ATR 72 yang hanya bisa terbang di maksimum ketinggian hanya di 25.000 kaki membuat leluasa melihat apa yang ada di bawah sana. Udara cerah dan bersih di siang hari membuat kami tak sabar untuk mendarat.

Akhirnya pesawat baling-baling itu mendarat dengan satu hentakan yang cukup bisa ditolerir penumpang di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende, dalam kondisi langit cerah tanpa awan hampir jam 3 siang, sehingga panasnya, hmm, ini Indonesia, bung. Rasanya mataharinya ada dua di sini. Bandaranya tidak terlalu besar, hanya ada satu ruangan seukuran 10×8 sebagai ruang kedatangan dengan banyak supir mobil sewaan yang berkerumun di sekitar pintu keluar. Kami berkenalan dengan empat turis Belanda yang hendak pergi ke Moni juga. Hmm, mungkin bisa share mobil sewaan?

gerbang bandara Ende

gerbang bandara Ende

Aku yang bertekad naik kendaraan umum saja berkeras untuk tidak meladeni permintaan supir-supir itu. Mereka menawarkan harga Rp. 300.000,- per mobil untuk membawa ke Ende, atau Rp. 100.000/orang jika kami sharing mobil dengan pejalan lain. Sama saja mahalnya, kan? Kesal dengan tarik-tarikan yang begitu ramai, aku meminta untuk diantarkan saja ke terminal untuk naik bis tujuan Maumere. “Nggak sanggup, bang. Bajetnya nggak sampai segitu,” kataku jujur. Kami pamit dengan keempat traveler Belanda itu sambil berjanji bertemu lagi esok hari.

Satu mobil bersedia mengantar kami ke terminal Ende dengan ongkos Rp. 50.000 yang masih sanggup kami tanggung berdua. Dari terminal Ende kami menemukan travel menuju Maumere dengan ongkos Rp. 50.000 per orang. Dengan begitu, berdua jadi Rp. 100.000 saja! Travel memakai mobil Suzuki APV hitam, yang sudah hampir penuh ketika kami berdua naik. Aku duduk di belakang, bersebelahan dengan seorang bapak-bapak tua yang hendak ke Lembata. “Nanti malam saya sampai Maumere, menginap di sana, besok naik kapal ke Adonara. Jalan darat lagi, lalu naik kapal lagi ke Lembata. Paling cepat Senin pagi saya baru sampai Lembata,” ceritanya. Aku tahu pulau Lembata karena pernah menjadi salah satu judul pemenang Khatulistiwa Literary Award beberapa tahun silam. Mungkin jika waktu perjalanan lebih renggang di kesempatan yang lain, aku akan mampir pulau itu.

Kami melewati mobil sewaan empat orang turis Belanda yang tadi bertemu kami di bandara. Mereka sedang asyik memotret sawah terasering di tepi jalan. Ah, melihat sawah mungkin sudah begitu terbiasa untuk kami, yang warga negeri Indonesia itu. Mobil melaju terus melalui jalan dengan tebing-tebing batu di kiri jalan, dan jurang di tepi kanan. “Kalau musim hujan, di sini sering longsor, ” tukas bapak yang hendak ke Lembata itu. “Kalau jalan sudah ditutup, nggak ada yang bisa lewat lagi,” sambungnya. “Padahal ini jalan satu-satunya ke Maumere, Pak?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk.

Hmm, sebenarnya aku tertarik untuk terbang dulu ke Maumere baru naik travel ke Moni. Tapi karena jadwal penerbangan ke Maumere dari Bali terlalu mepet dengan jadwal ketibaanku ke Bali, jadi aku mengurungkan niat ini dan memutuskan mengambil penerbangan ke Ende saja. Tentu lebih lengkap rasanya jika overland ini dimulai dari ujung timur hingga ujung barat. Tapi kan masih ada yang lebih timur lagi? Tapi kan? Terus? Ah, manusia memang tidak pernah puas. Selalu ingin mengeksplorasi tempat-tempat baru. Negeri cantik ini terlalu indah untuk dijelajahi dalam waktu singkat.

Aku membuka tasku dan mengeluarkan sebungkus buah anggur. Kutawarkan buah itu pada penumpang-penumpang yang lain. Walaupun baru kenal, namun kami sudah mengobrol-obrol dengan ramai. Benar kata teman-teman, di Flores orangnya ramah-ramah. Kami banyak mengobrol sepanjang perjalanan.

Setelah melewati beberapa desa, naik turun naik berbagai bukit, kami tiba di Moni. Udara dingin menyergap seketika begitu kami keluar dari mobil. Aku meregangkan badan, memandang gunung di belakang, tempat danau Kelimutu berada. Mungkin Danau Kelimutu ada di pikiran utama setiap orang yang datang ke Moni. Ya, mau apa lagi ke Moni kalau tidak ke Danau Kelimutu? Dan ketika akhirnya aku tiba di tepi Danau Kelimutu, wah! Tempat ini memang layak untuk diimpi-impikan.

    Aku datang ke Kelimutu untuk sebuah alasan, mungkin terdengar biasa saja karena banyak orang yang ke sini atas alasan yang sama, melihat danau tiga warna seperti yang ada di uang Rp.5000 di masa kecilku dulu. Tapi untuk menuju ke satu tempat dengan biaya yang cukup mahal membutuhkan alasan yang cukup kuat, bukan hanya sekadar ‘jalan-jalan’ belaka. Kalau alasanku memang karena pemandangan di selembar uang, sejujurnya memang karena itu. Tidak perlu mencari alasan lain yang lebih filosofis. Sederhana saja.

Aku dan Jay berjalan bersama dua orang dari Spanyol yang sama-sama menyewa mobil bersama kami pada jam 4 pagi. Sinar purnama masih menemani jalan penuh tikungan di atas bukit ketika mobil Toyota Avanza itu naik terus menuju start point ke danau tiga warna itu. Tarif masuk untuk wisatawan domestik sebesar Rp. 7500,- sementara untuk wisatawan mancanegara sebesar Rp.225.000,- untuk hari libur. Aku melongo melihat besarnya perbedaan antara tiket masuk itu. Hmm, apakah pengelolaan tempat wisata di Danau Kelimutu sudah begitu bagusnya sehingga patut dibayar wisatawan mancanegara begitu mahal? Aku mengingat beberapa bulan sebelumnya ketika aku pergi ke negeri sakura, banyak tempat wisata yang memasang tarif cukup mahal untuk wisatawan yang bukan warga negara itu.

Dari tempat parkir kami berempat mendaki tangga batu dengan diterangi cahaya senter. Ada petunjuk di beberapa tempat menggunakan bahasa Indonesia sehingga aku menjelaskannya pada mereka. Tapi ketika tidak ada petunjuk lagi, ternyata mereka lebih canggih! Berkalungkan GPS, mereka menemukan jalan menuju danau pertama Tiwu Ata Polo atau disebut danau untuk roh-roh jahat. Kami naik ke atas tepian danau itu, namun karena masih agak gelap dan tidak bisa melihat apa-apa sehingga kami turun lagi dan meneruskan berjalan di jalan setapak berbatu itu ke danau selanjutnya. Kabut pagi menemani perjalanan ini. Aku mengatur napas sejenak, mengingat latihan lari yang kujalani beberapa bulan ini. Udara dingin membuatku merapatkan jaket merah tua yang kupakai dan menutupkan tudungnya di kepalaku.

Kami melalui jalur menanjak di tangga batu yang cukup panjang selama kira-kira 15-20 menit hingga sampai pelataran dengan tugu di atasnya. Ada beberapa penjual kopi dan selendang yang menggelar barang dagangannya di bawah tugu. Bersamaan dengan kami, ada empat turis mancanegara yang sudah tiba terlebih dahulu ke titik tugu tersebut. Seperti kuamati dari Moni semalam, sepertinya wisatawan lokal yang berada di kawasan ini hanya kami berdua.

Karena masih penuh kabut, kami tidak bisa melihat danau Tiwu Ata Mbupu (danau bagi arwah orang tua) dengan jelas. Gumpalan-gumpalan putih masih agak menutupi warna danau yang kali ini berwarna biru gelap itu. Agak ngeri memandang ke bawah, takut terpeleset sedikit lalu jatuh. Aku hanya berpegangan pada sisi pagar dan melongok-longok ke bawah, berpikir kenapa warna danau ini bisa biru gelap seperti ini?

tiwu ata mbupu  (danau untuk arwah orang tua)

tiwu ata mbupu
(danau untuk arwah orang tua)

penjelasan warna danau

penjelasan warna danau

Ketika matahari mulai muncul dari balik kabut, warna danau berikutnya Tiwu Nua Muri Koo Fai (danau bagi arwah muda mudi) mulai tampak jelas. Hijau toska cerah mendominasi pandangan kami. Pasti banyak sekali kandungan belerang di bawah sana. Hampir semua wisatawan yang berada di sana mengarahkan kameranya ketika semburat jingga perlahan muncul di angkasa.

Danau ini luar biasa cantiknya. Angin bertiup ringan menghembuskan rambutku yang berombak-ombak. Udara segar yang dihirup memenuhi rongga dadaku. Latar pegunungan di kejauhan, memberi lansekap indah pada dua danau tak beriak itu. Tiwu Ata Polo terlihat di samping jauh Tiwu Nua Muri Koo Fai. Tak heran tempat ini banyak diimpikan oleh para pejalan yang mampir ke Pulau Flores.

Aku terdiam lama di samping pagar memandangi kedua danau tersebut. Rasanya ingin menunggu semburat jingga itu merekah dan kabut naik supaya makin melihat keindahan dua danau itu. Ingin tersenyum lebar dan bahagia sekali berada di sini. Since I was young, this place is something might be only in my imaginary all this time, watching through magazine or television. Dan sekarang aku berada di sini, di tepian mimpiku. Seandainya aku punya sayap seperti burung Gerugiwa yang kicauannya terdengar di sepanjang jalan tadi, tentu aku akan memandang ketiga danau tersebut dari udara, mengagumi keindahan ciptaan Yang Kuasa.

tiwu nua muri koo fai (danau untuk arwah muda mudi)

tiwu nua muri koo fai
(danau untuk arwah muda mudi)

tugu tempat menunggu matahari terbit foto: jay

tugu tempat menunggu matahari terbit
foto: jay

    Kalau nggak nekad, nggak akan ke mana-mana, In.

    Aku teringat dengan berbagai persiapan yang kulakukan untuk bisa tiba di sini. Dari membeli tiket promo ke Denpasar dari Jogja, menyisihkan dana THR, membeli tiket Trans Nusa yang ternyata batal terbang, pontang-panting dengan sinyal ketika mendadak hunting tiket baru, persiapan rute dengan mencereweti banyak orang yang pernah ke sini, mencari info dari blog hingga tengah malam, belanja dari jauh, packing, hingga… berhenti bekerja.

    Aku memutuskan berhenti dari kantor tempatku bekerja sebulan sebelum perjalanan ini dimulai. Aku ingin lebih santai, tidak diburu-buru pekerjaan, dan melakukan perjalanan dengan santai. Bukan jenuh, aku hanya ingin berhenti bekerja dan mengambil waktu luang saja. Dan pergi jauh ke timur adalah salah satu impianku sejak dulu.

    And I thank you who dare to accompany me. Meskipun hanya sekadar menuntaskan janji.

jalur turun dari puncak gunung kelimutu

jay turun dari puncak gunung kelimutu

tangga yang tadi kami lalui mendaki  foto : jay

tangga yang tadi kami lalui mendaki
foto : jay

Kami menuruni tangga ketika matahari sudah mulai naik dan langit mulai cerah biru. Jalur yang kami naiki tadi ternyata cukup panjang namun indah sekali. Kami turun sendiri-sendiri sambil mengabadikan lansekap savana yang menghampar di situ. Di bawah kami berbelok lagi ke danau pertama tadi, Tiwu Ata Polo. Menurut brosur yang diterima, danau pertama ini kadang-kadang bisa berwarna cokelat. Ketika kami ke sana danaunya berwarna hijau toska, sama dengan Tiwu Nua Muri Koo Fai di sebelahnya. Masyarakat setempat mempercayai perubahan warna pada ketiga danau tersebut berkaitan dengan dinamika sosial politik yang ada di Indonesia.

tiwu ata polo (danau arwah orang jahat0 foto : jay

tiwu ata polo
(danau arwah orang jahat0
foto : jay

Di bawah terdapat tanah lapang tempat memberi makan arwah leluhur yang dilaksanakan pada saat Festival Kelimutu yang disebut Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata. Masyarakat Lio percaya bahwa arwah orang yang meninggal akan tinggal di salah satu dari tiga danau di puncak Kelimutu, tergantung perbuatan selama hidupnya. Ah, semoga acara-acara ritual ini kelak bisa terus dilakukan oleh warga sekitar tanpa terlalu banyak penonton yang merusak kesakralan acaranya.

jalanan yang mulai melandai

jalanan yang mulai melandai

tempat memberi makan arwah

tempat memberi makan arwah

Kami bertemu dengan serombongan keluarga yang bercakap-cakap dalam bahasa Flores yang hendak berwisata melihat danau Kelimutu. Aku tersenyum lebar menyapa mereka yang sudah terlihat agak lelah mendaki tangga-tangga di awal. Senang sekali melihat bahwa obyek wisata ini tidak hanya dinikmati oleh orang asing, tapi warga sendiri juga memilih tempat ini sebagai tempat mengisi liburan. Untung biaya yang dibebankan pada warga lokal cukup murah dan terjangkau.

Hai, Indonesia. Aku tidak akan pernah puas menjelajah negerimu dan menyapa ramah warganya, yang merupakan saudaraku juga. I have my faith.

DSC_3431

perjalanan 8-9 nopember 2014
ditulis di pojok adiguna | 12 januari 2015

cerita selanjutnya : Maria, gadis kecil penunjuk rumah adat di Koanara


flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara

$
0
0

IMG_5954

No one lights a lamp in order to hide it behind the door: the purpose of light is to create more light, to open people’s eyes, to reveal the marvels around.
― Paulo Coelho

Apalagi yang bisa kulakukan di Moni sesudah turun dari Kelimutu? Pemilik penginapan menyarankan untuk berjalan-jalan melihat rumah adat di arah bawah, dekat pasar. “Jalan saja terus, nanti belok kiri,” katanya.

Tak jauh dari penginapan kami (sesungguhnya tidak ada tempat jauh di Moni) kami berjalan menuju keramaian di di depan pasar yang masih beraktivitas. Benar kata teman-teman yang pernah ke pulau Flores, di sini penuh keramahan yang tidak terbantahkan. Orang-orang lokal tersenyum seperti ucapan selamat datang. Tulus.

Beberapa orang berkumpul di tepi jalan menunggu kendaraan usai mereka beribadah di gereja. Beberapa anak-anak bermain-main. Ada satu pick-up berisi orang-orang yang hendak pulang ke desanya. Berdesakan, tapi mereka tetap tersenyum. Tak ada sorak usil mengomentari pendatang seperti kami. Aku tidak merasa asing di tengah-tengah mereka.

berdesakan dalam mobil

berdesakan dalam mobil

“Hei, Where do you come from?”
“Me? Indonesia!”
“Kamu mau lihat rumah adat?”

Eih, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang menyapaku dengan sebutan ‘kamu’. Aku terkikik dalam hati, “Iya, kita mau lihat rumah adat. Kamu bisa antar?”
Ia tertawa riang. Sorot matanya cerah memancarkan kecerdasan. Diam-diam aku kagum pada keberaniannya. Tinggi anak perempuan ini sebahuku, rambutnya ikal dibando merah cerah. Sepertinya ia baru pulang beribadah di gereja.

“Kamu dari Indonesia mana?”
“Aku dari Jawa. Dari Jakarta.”

Satu temannya yang masih malu-malu berjalan mengiringinya. Gadis kecil ini lucu.
“Nama kamu siapa?”
“Maria..”
“Kelas berapa?”
“Kelas 6..”

Kami berjalan sekitar lima menit sementara ia asyik berceloteh dan tetap menyapaku dengan ‘kamu’. Aku membiarkannya. Menganggapnya salah juga belum tentu. Di kebudayaan yang berbeda, lebih baik menghormati cara dan budaya masing-masing. Aku merangkul pundaknya akrab. Di satu pelataran, ia menunjukkan, “Ini rumah adatnya!” sambil tetap tersenyum lebar. “Boleh aku masuk?” izinku. Ia menyilakan aku untuk masuk sesudah membuka alas kaki.

Rumah adat di desa Koanara ini memiliki bagian teras panjang terbuat dari bilah-bilah bambu dengan disangga kayu-kayu. Masuk ke bagian dalamnya, ada satu kotak yang harus diinjak sambil menunduk masuk. Dengan merendahkan badan ketika masuk, dianggap menghormati tuan rumah. Di area pertama ini tidak ada banyak benda, juga sebagai ruang penerima, meletakkan alat-alat yang digunakan sehari-hari. Di area ini, posisinya lebih tinggi dari teras, alas bawahnya kayu yang berjajar. Penerangan pada area ini hanya terdapat dari pintu tempat kami masuk tadi.

sa'o ria dengan atap menjuntai ke bawah

sa’o ria dengan atap menjuntai ke bawah

Maria mengajakku masuk ke bagian yang lebih dalam. Aku sempat ragu memasuki bagian dalamnya, karena kupikir area ini khusus untuk keluarga, dan kami tetamu bukan bagian dari situ. Tapi ia tetap memaksaku ikut masuk. Untuk masuk ke bagian lebih dalam ini pun aku juga harus menunduk memasuki ambang pintu yang rendah. Di dalam ada seorang ibu tua yang sedang mengiris-iris sayur. Ia mempersilakanku duduk dan mengamat-amati rumahnya.

“Di sini kegiatannya apa saja, mama?” sapaku. Mama adalah sapaan umum di Flores untuk seorang perempuan. “Ya, kami di sini memasak, makan, tidur juga di sini,” sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.

Aku mengamati sekeliling. Ruangan tengah ini tidak terlalu lebar hanya berukuran sekitar 4×4 meter. Penerangan hanya berasal dari celah-celah atap. Di tepian-tepian balok kayunya diletakkan mangkuk-mangkuk tanah liat yang dipergunakan untuk keperluan upacara. Di situ juga digantung tampah dan aneka peralatan memasak lainnya. Tapi meskipun tidak terlalu terang, namun udara di dalam bangunan rumah adat ini tidak lembab. Atap yang tinggi tanpa langit-langit membuat udara di dalam tidak terperangkap di dalam dan mencari jalan keluar lewat celah-celah cahaya.

langkan untuk menyimpan benda-benda upacara

langkan untuk menyimpan benda-benda upacara

tenun yang tersampir di samping

tenun yang tersampir di samping

Tak berapa lama kami di situ, Maria memanggilkan seorang bapak yang rupanya adalah salah satu tetua adat di sini. Bapak Antonius Sumbena ini memiliki jabatan adat yaitu Masalaki Riabawa Ine Ama. Beliau menjelaskan bahwa rumah adat yang kami masuki bernama Sa’o Ria Laki Ine Ongga Ame, yang sudah berumur hampir 200 tahun. Bahan-bahan kayu untuk membangun rumah ini berasal dari hutan di Kelimutu yang ditebang dengan serangkaian upacara. Rumah ini baru direnovasi dengan mengganti atap ilalangnya. Satu rumah membutuhkan 24 tusuk ilalang ukuran 1 meter panjangnya.

Sa’o berarti rumah, dan Ria berarti besar. Laki Ine adalah pemberian tanah, sementara Ongga Ame adalah nama leluhur. Sebagai bangunan utama, Sa’o Ria terlihat besar dan luas daripada rumah lain di sekitarnya. Rumah panggung yang besar ini tidak memiliki jendela. Atap Sa’o Ria yang membentang hingga turun ke batas lantainya membuat dindingnya tidak nampak jelas. Sa’o Ria membentang tinggi, makin ke atas mengecil, hingga bubungan yang memanjang sejajar dengan pintu masuknya.

tumpuan batu berdiri di atas pelataran tumpukan batu pipih

tumpuan batu berdiri di atas pelataran tumpukan batu pipih

tumpuan kolong bangunan sa'o ria

tumpuan kolong bangunan sa’o ria

Kami keluar lagi sampai di teras tempat kami bercakap-cakap tadi. Teras ini menggantung di atas tumpuan batu yang menjadi pondasi umpak untuk pembangunan Sa’o Ria. Teras tempat kami duduk yang berbentuk bale-bale dibagi menjadi dua bagian, yaitu Tenda Lo’o, bagian terendah tempat beristirahat sebelum memasuki ruangan dalam, atau tempat mama-mama mengawasi anak-anaknya bermain sambil memberi makan babi. Kemudian Tenda Ria, yaitu bale-bale panjang yang memanjang sepanjang tampak depan Sa’o Ria yang sering juga digunakan untuk menerima dan menjamu tamu. Tepat di sebelum masuk ke pintu depan, jalur jalannya ditandai dengan bilah kayu. Di tangga masuknya ada tanduk kerbau yang dulu dijadikan pengorbanan ketika didirikan Sa’o Ria ini.

jalan masuk di atas tanduk

jalan masuk di atas tanduk

Secara vertikal rumah adat ini dibagi dalam tiga ruang, yaitu Lewu (kolong), One (ruang tengah), dan Padha (loteng). Sebenarnya, orang luar seperti aku hanya boleh sampai bagian luar, tidak sampai masuk ke bagian One, tempat bertemu dengan Mama tadi. One merupakan ruang bersosialisasi seluruh anggota keluarga adat, dan merupakan pusat kegiatan. Di sini penghuninya tidur, akan, memasak, dan melakukan berbagai sosial bersama-sama.

mama memasak di dalam rumah

mama memasak di dalam rumah

peralatan masak untuk upacara

peralatan masak untuk upacara

tumpukan kayu bakar

tumpukan kayu bakar

One terbuka hingga ke Isi (Bubungan). Ia merupakan rahim Sa’o Ria. Pada sudut kanan belakangnya terdapat sebuah ruang suci yang dianamakan Wisu Lulu. Pada Wisu Lulu ini diletakan barang-barang pusaka (keramat) antara lain sejumlah Watu Pore (batu perjanjian antara nenek moyang dengan suku-suku lain mengenai batas-batas tanah Moni). Juga terdapat Watu Pa’a, yakni batu untuk menaruh persembahan bagi roh-roh nenek moyang. Selain itu, juga terdapat Roe Kiwi (piring pusaka), Sau (parang), Sue (gading), dan Sundu(Kelewang).  [sumber : tiga danau warna]

balok isi hubu yang melintang di tengah ruangan

balok isi hubu yang melintang di tengah ruangan

cahaya masuk melalui celah-celah bubungan atap ilalang

cahaya masuk melalui celah-celah bubungan atap ilalang

tali ola theo untuk menghubungkan duna supernatural dengan manusia mengikat keranjang timbi theo

tali ola theo untuk menghubungkan duna supernatural dengan manusia mengikat keranjang timbi theo

Di satu kampung adat di Koanara yang tidak terlalu besar ini terdapat dua rumah adat yaitu Sa’o Ria dan Sa’o Kedha. Setiap Sa’o Ria adalah tempat tinggal Ata Laki Pu’u beserta saudara-saudaranya yang tinggal di dalamnya, juga sebagai ibu dan bapak, naungan bagi suku untuk menjamin kesatuan seluruh warganya karena Sa’o Ria dibangun dengan gotong-royong, maka ia mempersatukan seluruh anggota suku. Sementara Sa’o Kedha tidak berdinding karena hanya digunakan sebagai tempat pertemuan adat beberapa kali setahun. Jika Sa’o Ria dianggap sebagai simbol wanita untuk keberlangsungan kehidupan, maka Sa’o Kedha dianggap sebagai simbol lelaki yang memimpin.

sa'o kedha tempat pertemuan

sa’o kedha tempat pertemuan

Di depan Sa’o Ria tempat Maria tadi mengajakku terdapat pelataran dengan tiang kayu dengan kepala batu bersusun yang dinamakan Saga. Mama menjelaskan bahwa batu tersebut untuk mempersembahkan sirih pinang untuk Du’a Ngga’e (Tuhan). Ketika kami datang, masih ada kerangka bambu sebagai naungan untuk persiapan upacara. Di Sa’o Ria ini tempat diadakan upacara-upacara religius, seperti upacara pertanian, kelahiran, perkawinan dan kematian dengan keramaian di halamannya.

maria dan adik-adiknya beserta pak antonius di pintu masuk yang rendah, mama di samping saga

maria dan adik-adiknya beserta pak antonius di pintu masuk yang rendah,
mama di samping saga

Di seberang Sa’o Ria terdapat dua bangunan terbuka yaitu Kuwu dan Kebo. Kuwu digunakan untuk menjamu tamu-tamu yang datang atau kadang untuk menyimpan peti jenazah sebelum upacara pemakaman, sementara Kebo berfungsi sebagai lumbung tempat menyimpan cadangan makanan. Juga ada Lewa, naungan kecil tempat memasak makanan untuk upacara.

kuwu di depan sa'o ria

kuwu di depan sa’o ria

detil ukiran pada kepala tiang kuwu

detil ukiran pada kepala tiang kuwu

lewa, tempat memasak

lewa, tempat memasak

Aku berhati-hati berjalan di sekitar pelataran supaya tidak salah menginjak tempat-tempat yang mungkin suci bagi masyarakat setempat. Jangan mencoba-coba untuk berkeliling kampung adat sendiri tanpa pemandu, karena kita tidak pernah tahu mana tempat terlarang atau tidak. Aku meminta Maria menemaniku ke samping Kanga, yaitu sebuah pelataran bundar dengan susunan batu-batu pipih mengelilinginya. Karena ini tempat suci, tidak boleh dinaiki di atasnya. Tempat ini merupakan tempat suci dan simbol kekuasaan. Di situlah nenek moyang dikuburkan dan disuguhi upacara persembahan juga menyambut Du’a Ngga’e dalam upacara adat.

undakan susun batu

undakan susun batu

kanga melingkar

kanga melingkar

Baik Mama maupun Pak Antonius berharap supaya ada perhatian dari pihak terkait tentang keberlangsungan perawatan rumah adat ini. “Atap harus diganti lima tahun sekali. Jika dulu ilalang bisa mudah dicari, sekarang kami harus beli dari jauh dan mahal.” Rupanya dana dari sumbangan sukarela ketika turis datang pun mungkin tak cukup untuk merawat. Rumah adat adalah salah satu aset budaya yang harus dipertahankan karena keunikannya.

adik-adik manis di depan pintu

adik-adik manis di depan pintu

maria, yang gigih mengajakku mengunjungi rumah adat

maria, yang gigih mengajakku mengunjungi rumah adat

Kami keluar dari area desa adat itu melalui satu rumah panggung dengan atap ilalang. Seorang bapak yang berdiri di dekat bangunan itu menjelaskan, “Ini dulu pusat informasi Koanara, dibangun oleh orang-orang dari kota. Tapi sayang, sekarang tutup. Tidak ada yang mengelola lagi. Kalau mau bertanya tentang rumah adat, harus ke Pak Antonius.” Aku mengucapkan terima kasih atas informasinya dan bercerita bahwa kami sudah bertemu dengan Pak Antonius.

pusat informasi koanara?

pusat informasi koanara?

Ya, Sa’o Ria ini salah satu aset bangunan istimewa di Koanara dan masih dihuni, sehingga orang masih bisa mempelajari tidak hanya bangunannya saja, namun juga kebiasaan-kebiasaan penghuni untuk memanfaatkan ruang-ruangnya. Mungkin juga pusat informasi itu harus dihidupkan dengan pengelolaan dari masyarakat sendiri sehingga mendapat hasil yang lebih optimal.

“Maria, kamu pandai sekali. Nanti kalau sudah besar kamu mau jadi pemandu wisata?” Ia mengangguk. Keramahannya mendorongku untuk menyemangati belajarnya. Ia ikut mendengarkan penjelasan Pak Antonius dan Mama dengan seksama. Aku ajak ia kembali ke penginapan untuk mengambil hadiah untuknya, “Kamu suka membaca? Mau aku kasih buku?”
“Suka! Aku biasa membaca di sekolah..”

pasar dan gadis-cantik yang menemani

pasar dan gadis-cantik yang menemani

Maria menemaniku kembali ke penginapan melalui pasar yang hanya buka beberapa kali sehari. Hari Minggu itu, pasar ramai dengan orang-orang berjualan. Mungkin karena bebarengan dengan orang-orang yang beribadah di gereja yang tak jauh dari situ. Ini titik keramaian masyarakat Moni. Maria menunjukkan sekolahnya di sebelah pasar, dan gereja tempat ia beribadah tadi pagi. Wajahnya sumringah ketika kupenuhi janjiku memberinya buku, “Membacanya gantian dengan teman-temannya, yaa..”

IMG_1524
berkenalan dengan Maria pada 09.11.14
ditulis di kereta 17.01.15

lebih lengkap tentang Sa’o Ria : tigadanauwarna.blogspot.com

cerita sebelumnya : flores flow #1 : fly to kelimutu!


flores flow #3 : debu lintas trans ende – bajawa

$
0
0

DSC_0482

This is a roadside attraction,’ said Wednesday. ‘One of the finest. Which means it is a place of power.’
― Neil Gaiman, American Gods

Kadang-kadang keberuntungan itu memang begitu saja datangnya. Tiba-tiba saja aku ditawari supir yang kendaraannya kosong seusai mengantar tamu ke Maumere dan akan kembali lagi ke Labuan Bajo. Dengan harga lumayan miring, aku deal satu mobil dan supir yang akan mengantar kami siang ini ke Ende dan menginap di Bajawa hingga Denge start point Wae Rebo, besok. Naik mobil sewaan menaikkan budget kami menjadi dua kali lipat daripada rencana naik kendaraan umum, tapi perjalanan menjadi lebih santai dan bisa mampir tempat-tempat menarik yang dilewati.

Aku duduk di samping mas Agus, supir kami yang mengendarai mobilnya dengan tangkas. Seperti biasa di perjalanan, aku selalu suka duduk di depan, supaya pandangan mata lebih luas juga sambil mengobrol macam-macam dengan supirnya. Aku memang cerewet.
“Jalanan di Flores sudah lama bagus seperti ini, Mas?” tanyaku.
“Ini sudah kira-kira lima tahunan. Jalannya sendiri sudah sejak tahun 1925,” ceritanya. Ia menunjukkan batu yang dipasangi penanda pembangunan jalan Trans Flores ini selepas bukit-bukit batu dari Moni.

penanda jalan trans flores. 31.08.1925

penanda jalan trans flores. 31.08.1925

jalan dengan tebing batu yang bisa longsor ketika hujan

jalan dengan tebing batu yang bisa longsor ketika hujan

desa di tengah hutan kemiri

desa di tengah hutan kemiri

Mas Agus membawa kami ke kota Ende, yang sudah kami lalui ketika datang ke Pulau Flores ini kemarin. Karakter kota Ende yang berbukit-bukit mungkin membuat kota ini cukup memakan energi jika dikelilingi sambil naik sepeda. Karena tidak punya tujuan di Ende dan aku tidak berhasil menghubungi kak Tuteh (yang banyak direkomendasikan untuk ditemui jika berkunjung ke sini), aku hanya mampir ke Rumah Pengasingan Bung Karno yang ternyata sudah tutup. Sayang sekali, padahal aku ingin sekali melihat rumah bapak bangsa ini ketika diasingkan selama bertahun-tahun.

pagar rumah pengasingan bung karno

pagar rumah pengasingan bung karno

tempat tinggal sang proklamator di ende

tempat tinggal sang proklamator di ende

Rasanya pasti menyenangkan tinggal di Ende, ya. Bisa melihat pantai setiap hari, ombak bergulung-gulung, memililih tepian yang indah sambil melamun. Duh, rasanya ingin berhenti dan melukis atau sekadar menulis puisi di sini. Aku membuka jendela dan membiarkan angin memberantakkan rambutku. Udara laut yang tercium asin segar menyeruak masuk ke dalam mobil. “Nggak usah pakai AC dulu, Mas. Enak suasananya di sini,” pintaku pada mas Agus.

Kemarin aku sudah melihat tengah kota dari udara dan kini di sisi tepinya dengan tebing di sisi kanan dan pantai di sisi kiri. Pepohonan yang meranggas di tepi memberi siluet yang indah sebagai latar depan laut di belakangnya. Jalanan masih mulus di tepi laut itu tanpa guncangan berarti. Mas Agus banyak bercerita, “Kalau jalan dari Labuan Bajo sampai Maumere memang lewatnya jalan ini. Biasanya perjalanan 2-3 hari sampai sana. Tapi pernah ada tamu yang minta satu hari 24 jam sampai Maumere.”
“Hah? Apa nggak capek menyetir 24 jam begitu? Sendiri menyetirnya?”
“Iya, sendiri. Kalau balik dari Maumere juga biasanya lanjut terus sampai Labuan Bajo. Kalau sekarang sama dengan tujuan Indri. Istirahat dulu di Bajawa.”
Jalanan di depan kami tidak terlalu ramai. Kendaraan umum juga tidak tampak sama sekali.
“Kenapa jarang kendaraan umum di sini?,” tanyaku.
“Biasanya kalau dari Maumere memang ramainya pagi, karena ada kapal mendarat. Jadi yang lewat jam segini memang tinggal kendaraan pribadi saja,” sambungnya. Saat itu sudah sore, hampir jam empat dan suasana jalanan memang lumayan sepi.

tepi pantai ende

tepi pantai ende

ingin melukis di sini

ingin melukis di sini

Tiba-tiba Mas Agus menghentikan mobilnya, “Ini pantai Batu Biru.”
Aku keluar dan melihat banyak bebatuan bulat yang menghampar begitu saja di tepi pantai. Ada beberapa gundukan batu biru di tepi dengan berbagai tonaliti warna biru telur asin. Batu-batu itu ditumpuk berdasarkan ukuran dan (mungkin) kualitasnya. Turun ke pantainya, lebih banyak lagi batu-batu yang menghampar. Aku melihat ke arah barat. Langit biru, laut biru dan batu-batu biru ini seperti tidak berbatas. Jika saja tidak ada pasir kelabu, sepertinya warna bebatuan ini akan menyatu dengan laut.

batu biru yang sudah disortir

batu biru yang sudah disortir

pekerja pengumpul batu di pantai

pekerja pengumpul batu di pantai

hamparan batu di pantai

hamparan batu di pantai

Mobil berjalan lagi. Di tepi jalan kami melihat naungan sederhana tempat orang menyortir batu-batu ini. “Biasanya orang ambil batu ini untuk hiasan taman, atau untuk di hotel-hotel,” cerita Mas Agus. Aku teringat pada pengumpulan pasir merah di Nias, juga bulir-bulir pasir sebesar merica di Kuta, Lombok. Apakah batu-batu ini akan menjadi barang komoditi? Aku menunjuk ke tebing di sebelah kanan kami. Tebing itu sewarna dengan batu-batu yang tadi menghampar, biru yang menyejukkan mata. Apakah lama kelamaan tebing itu akan berubah menjadi butiran-butiran segenggaman tangan?

tebing yang kelak menjadi batu bulat

tebing yang kelak menjadi batu bulat

batu menjadi komoditas?

batu menjadi komoditas?

Mobil terus melaju ke arah barat. Di satu persimpangan, Mas Agus menunjukkan jalan, “Ini Mbay. Kalau mau ke Riung, jalannya ke sana, arah utara.” Duh, sewaktu mencari info tentang transportasi di Flores, Kak Wisnu, Kak Bolang, Kak Tuteh menyarankan untuk mampir ke Riung juga. Tapi setelah menghitung-hitung waktu perjalanan kami, sepertinya aku tidak cukup kalau harus mampir ke sana juga. Dan ketiga orang tersebut mengatakan, sayang sekali nggak mampir Riung, tanggung lho.

Jalanan yang tadinya mulus lama kelamaan berubah menjadi jalan tanah merah. Kering sekali iklim di sini, beda dengan daerah Moni yang dingin. Hutan pohon kemiri memenuhi kiri dan kanan, potongan tebing tanah merah membuat jalanan ini berdebu tebal.
“Apa nama tempat ini, Mas?”
“Ini Aigela. Sebentar lagi kita istirahat di warung depan.”
Di tepi jalan banyak teronggok beton-beton saluran yang akan ditanam. Mungkin saluran ini untuk mengalirkan hujan supaya tidak menggenangi jalan. Tebing-tebing tanah merah itu tidak disangga talud apa pun, sehingga aku khawatir apabila musim hujan nanti, tanah merah itu bisa longsor ke jalan.
“Kalau hujan di sini pasti licin sekali, ya?”
“Kalau hujan harus hati-hati sekali. Jalannya berlekuk-lekuk, kalau malam ketemunya truk.”
“Aman? Ada penodongan gitu, nggak?”
“Nggak sih. Jalanan di sini cukup aman. Cuma memang kalau jalan malam harus hati-hati, kalau mobilnya ada apa-apa jarak ke desa-desa cukup jauh.”

jalanan di Aigela

jalanan di Aigela

rumah di tepian tanah merah

rumah di tepian tanah merah

Aku masih memperhatikan jalanan ini. Di kota-kota kecil dengan hanya ada satu jalan raya begini, pola kotanya akan menjadi linier. Pemukiman akan dibangun mendekati jalan raya, berderet di tepiannya, lalu beberapa menerus ke belakang mendekati kebun-kebun. Pemukiman di tepi jalan memudahkan transportasi apabila ingin berpindah kota atau mengangkut barang hasil kebun mereka. Di atas tebing-tebing tanah merah, ada rumah-rumah yang berderet, sementara di tepian lembah juga demikian. Sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan juga dibangun di sepanjang jalan ini. Jika dilihat dari udara, tampak sekali pola bermukim yang linier.

kantor pemerintahan di tepi jalan

kantor pemerintahan di tepi jalan

Kami berhenti di satu warung makan, yang hanya satu-satunya di jalan berdebu ini, kata mas Agus. Karena aku lelah dan pusing, aku hanya memesan segelas teh manis untuk menghangatkan perut. Lucunya, di sini kami menemukan saos merk Sanjaya. Tentu saja yang punya nama kegirangan dan berusaha mengabadikan botol saos itu. Mas Agus hanya meminum kopi, katanya supaya ia kuat menyetirnya sampai Bajawa.

Di sekitar warung banyak sekali terdapat pohon kemiri. Sejak kemarin, aku penasaran sekali dengan hutan kemiri yang bertebaran mulai dari Moni hingga Aigela ini. Pohonnya tinggi besar seperti pohon mangga dan berbunga putih kekuningan yang cantik. Jika melihat jauh ke bawah lembah pohon kemiri tampak seperti gerumbul perdu dan bebungaan. Mas Agus mengeluarkan seplastik buah kemiri dari laci dashboard-nya, “Kalau mau, ambil saja. Kalau sudah matang, buah kemiri kulitnya keras. Kalau nanti sempat lewat satu desa di sebelum Labuan Bajo, ada penduduk yang membuka kemiri dengan cara membungkus biji kemiri dengan daun pandan, lalu dipukulkan ke batu. Pecah itu kulit, bijinya bisa diambil.” Oh, begitu rupanya buah kemiri dihasilkan.

buah kemiri yang belum dikupas

buah kemiri yang belum dikupas

hutan kemiri menggerumbul

hutan kemiri menggerumbul

pohon kemiri yang berdiri gagah di tepi jalan

pohon kemiri yang berdiri gagah di tepi jalan

Di sekitar warung ada seekor babi gemuk yang berkeliaran. Aku agak takut melihat babi itu yang berjalan agak gontai tapi perlahan-lahan mendekat. Si anak pemilik warung yang masih balita malah berjalan dengan berani ke arah anak-anak babi yang berlarian lucu seperti kucing. “Euu, kalau di tanah Jawa kita mainan sama kucing, di sini sama babi, ya?” heranku. Babi memang merupakan peliharaan pokok di sini. Sekali beranak bisa 6-8 ekor. Memberi makannya pun tidak sulit, bisa makan apa saja termasuk sisa-sisa makanan kita. Jika sudah besar bisa dijual, atau dipotong sendiri pada perayaan-perayaan tertentu.

babi yang malas

babi yang malas

anak-anak babi

anak-anak babi

Hari semakin gelap ketika kami meninggalkan Aigela menuju Bajawa. Menjelang rembang petang, langit bersemburat jingga dan menbuat semua benda di sekitar kami menjadi siluet yang indah. Perbukitan yang jauh di belakang memberi latar lansekap yang mempesona. Jam setengah tujuh malam jalanan menurun, ketika mas Agus akhirnya berkata, “Ini Bajawa. Udaranya akan dingin nanti malam.” Kami menuju rumah seorang teman yang kebetulan bersedia menampung.

Perjalanan : 09.11.2014
ditulis : 27.01.2015 : 00.34

DSC_0587

DSC_0596

cerita sebelumnya :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara



flores flow #4 : luba, do’a dari kaki gunung inerie

$
0
0

cover

Apa yang kamu harapkan dari menjejakkan kaki di sebuah tanah berbentuk persegi, di bawah sinar matahari yang cerah pagi hari, dikelilingi rumah-rumah yang tidak bisa berbicara kepadamu?

Maka kamu akan melangkah pada rumah terdekat di mana ada seorang lelaki tua dengan tenun-tenun berwarna warni bergelantungan di depannya. Ia bertanya dari mana asalmu, dan menawarkan seplastik kopi untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Sembari tersenyum wajahnya menjelaskan bahwa ia tertinggal di sini sementara yang berbadan lebih kuat darinya berada di kebun untuk merawat apa yang mereka tanam beberapa saat sebelumnya.

“Kopi ini takarannya satu cangkir. Harganya lima ribu.”

Tanpa bahasa yang cakap, tak perlu penjelasan banyak bahwa selendang-selendang berwarna-warni yang terhampar bisa ditukar dengan beberapa rupiah yang tidak sedikit untuk dibawa pulang. Pertanda juga bahwa ada kegiatan yang dilakukan di sela-sela hari untuk menghasilkan satu karya yang indah.

sa'o luba di sisi kiri bawah

sa’o kaka di sisi kiri bawah

kedua rumah dalam satu level ketinggian

kedua rumah dalam satu level ketinggian tanah

tenun warna warni

tenun warna warni

Rumah-rumah tidak pernah bercerita apa-apa kecuali kamu benar-benar mencari tahu apa yang terjadi di situ. Bangunan kayu yang mengelilingi tanah merah tempat berlindung dari panas maupun hujan yang mungkin turun. Berdiri di atas bongkahan batu, satu kejeniusan lokal untuk menghindari rayap naik hingga ke batang-batang penyangga atap. Hutan-hutan bambu yang mengelilinginya tak perlu mendapatkan siraman residu untuk menghindarkan diri dari serangan hewan pengeropos ini.

Sinar matahari bersinar terik meskipun hari masih dua jam menjelang tengah hari. Langit biru yang mendominasi ditambah beberapa serpihan awan memberi latar kesempurnaan pada elemen-elemen penguat dunia. Warna tanah sebagai elemen penyangga mendominasi perlambang kekuatan. Tak ada yang berani mengubah warna dasar ini. Apa yang sudah diberi oleh alam, tetaplah menyelaraskan. Tidak iri, tanpa menonjol.

Tidak ada kiblat tertentu pada rumah-rumah pendiam ini. Semuanya hanya bermuka pada tanah persegi yang menjadi halaman depan bersama, tempat mungkin menghabiskan waktu di sore hari, atau tempat berkumpul sembari memanjatkan doa kepada sang Hyang. Empat pasang tonggak yang berpasangan di tengah tidak boleh dijadikan tempat bermain, sebagai sarana berbicara pada yang dipuja.

sa'o kaka berdiri di atas tanah

sa’o kaka berdiri di atas tanah

ngadhu perlambang leluhur lelaki, dan bhaga perlambang leluhur perempuan

ngadhu perlambang leluhur lelaki, dan bhaga perlambang leluhur perempuan

Seorang mama duduk sambil menenun kain sebagai kegiatan sehari-harinya. Beranda rumahnya yang beralas bilah bilah bambu yang tipis tahun menemani cermat tangannya memainkan batang dan benang warna di pangkuannya. Ia tersenyum ramah dalam posisinya terpasung alat tenun kesehariannya. Bibirnya terkulum merah oleh sirih kegemaran.

Beranda ini tempat warga saling bertegur sapa, berkumpul sambil bercerita berbagi hari. Beralaskan deretan kayu yang disusun horisontal di atas balok-balok membentang, dengan celah di antaranya untuk mengatasi muai di hari panas atau susut di musim penghujan. Lihatlah ke samping, deretan gigi babi yang sengaja dipamerkan, pertanda sudah seberapa sering penghuninya mengadakan perayaan. Babi sebagai sajian utama, dihidang dalam penuh ria di antara doa-doa.

Seluruh deret depan beranda yang terbuka, memberi jejak selamat datang pada setiap tetamu. Memberi ramah pada siapa yang hadir lewat lapangan di depan. Namun dinding tepi beranda yang setinggi punggung ketika bersandar, membatasi dari sisi kiri dan kanan, mengalihkan jalan bertandang hanya dari depan. Semua cerita hanya dari satu pintu, ditampung di depan, tanpa kasak kusuk di samping atau belakang.

Bilah-bilah bambu ditangkupkan sebagai naungan, dibelah dibagi dua, kemudian dipersatukan lagi untuk melindungi. Batang bambu tidak terbaring utuh bergandengan dengan sesamanya, karena keangkuhan ini tidak akan melindungi. Celah-celah yang mungkin terjadi antara deretan bambu pasti menjadi jalan bagi air hujan untuk mengganggu penghuni beranda. Batang yang pernah tinggal berkelompok ini dibelah dua, disusun berderet dan ditumpuki tangkupan sebelah yang lain, sehingga tidak ada lagi celah untuk menyelisip di antaranya. Satu penyelesaian tradisional yang sederhana tanpa bantuan lembaran anorganik.

penenun kain

penenun kain

selendang tenun yang dijual

selendang tenun yang dijual

atap beranda dari bambu

atap beranda dari bambu

ditumpuk tak bocor dari atas

ditumpuk tak bocor dari atas

saling tumpang mencegah turunnya air lewat celah

saling tumpang mencegah turunnya air lewat celah

Sebuah pintu kayu di atas undakan mengundang untuk mengintip ke dalamnya. Dua anak tangga membuat orang tidak bisa berdiri tegak lagi ketika sampai di undakan teratas. Kepala terpaksa harus ditundukkan karena menyentuh ujung naungan bambu di atasnya. Mungkin kau jadi teringat pada masa kecil ketika tinggimu masih memungkinkan untuk keluar masuk ambang pintu tanpa harus merunduk. Rupanya dewasa adalah pertanda merendahkan kepala sebagai tanda hormat, permisi pada pemilik rumah sebelum melangkahkan kaki menuju ruang pribadi. Ketika akal budi menjadi pedoman sehari-hari, di situlah batas-batas antara mulai dikenali.

“Boleh aku masuk, Ma?”
“Jangan, bukan keluarga tidak boleh masuk.”

Seberapa pentingnya dirimu, tidak berarti apa-apa di sini. Keluarga. Sesuatu ikatan yang sekental darah, seperti apa yang mungkin mengalir ketika mendirikan rumah ini. Satu ruangan dalam yang tidak diperkenankan dilangkahi karena tak ada kekerabatan. Ruang dalam yang dinamakan ‘one‘, rahim ibu yang rahasia, tempat cerita-cerita bermula.

Dua tiang utama di bagian dalam yang mungkin berdiri di atas kepala tertanam di bawahnya, melalui upacara-upacara pembentukan ruang untuk tempat keluarga mereka beranak pinak.

teda one, sebelum masuk ke one yang terlarang untuk tamu

teda one, sebelum masuk ke one yang terlarang untuk tamu

tanduk kerbau dan gigi babi simbol kebanggaan

tanduk kerbau dan gigi babi simbol kebanggaan

Dari luar, pelepah rumbia menutupi bagian-bagian pelindung bangunan dari panas dan hujan. Warnanya yang awalnya kecoklatan perlahan-lahan menua dimakan tahun. Lembabnya di dalam akan senantiasa kering oleh asap yang berteman dengan abu ketika bahan mentah diubah menjadi masakan di bagian belakang. Diikat oleh bubungan di atas, sebagai penyatu keluarga tak terpisahkan.

Kembali ke tanah lapang yang suwung, tak ditemani oleh gelak tawa anak-anak kecuali bocah ingusan yang naik turun undakan depan rumah mama. Udara menghangat ketika matahari beranjak naik di atas ubun-ubun. Sedikit angin tidak menerbangkan debu ketika langkah diayunkan ke pelataran lebih tinggi. Gunung Inerie berdiri damai di kejauhan. Dengan menunduk takzim, makam akan tertangkap mata dengan lindungan tebing di atasnya. Satu komposisi latar gunung kuburan yang membuat hormat menjadi lebih dalam, kepada leluhur atau doa pada yang jauh.

Teriakan anak-anak dari sekolah sebelah memecah kesunyian yang dijaga di siang hari. Desa Luba di tengah hutan-hutan bambu, menyepi dari keramaian kota Bajawa, tetap berdiri di antara doa-doa rakyatnya yang tak putus dipanjatkan.

perjalanan : 10.11.2014
ditulis di : rawamangun-karet-depok-manggarai 04.02.2015. 18:45

rumah sepasang : sa'o saka pu'u dan sa'o saka lobo

rumah sepasang :
sa’o saka pu’u dan sa’o saka lobo

rumah tunggal sa'o saka lobo  (dengan mahkota ata - laki-laki)

rumah tunggal sa’o saka lobo
(dengan mahkota ata – laki-laki)

rumah tunggal sa'o saka pu'u  (dengan mahkota bhaga)

rumah tunggal sa’o saka pu’u
(dengan mahkota anaie – perempuan)

tumpuan teras teda wewa dan tiang yang berdiri di atas batu

tumpuan teras teda wewa dan tiang yang berdiri di atas batu

sambungan-sambungan pada tumpuan lantai rumah

sambungan-sambungan pada tumpuan lantai rumah

tanah lapang bertingkat

tanah lapang bertingkat

makam tempat 'pulang'

makam tempat ‘pulang’

cerita sebelumnya :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa

cerita selanjutnya :
flores flow #5 : loka, batu, dan bena


flores flow #5 : loka, batu dan bena

$
0
0

DSC_0849

    Pernahkah kamu berbicara pada batu? Pernahkah kamu tanya bagaimana rasanya menjadi tumpuan, menjadi sesuatu yang dikuatkan, menjadi tahanan agar beban di atasnya tidak runtuh?

Barangkali kau perlu bertanya pada bebatuan di kampung Bena, yang bisa dicapai dalam satu jam perjalanan dengan kendara bermesin dari Bajawa, sejak kapan mereka berada di sana. Di sini batu tidak hanya diperlakukan sebagai tumpuan, namun juga sebagai pelindung. Bukan sekadar batu kecil untuk melempar anjing, tapi bongkahan sesuatu yang melingkari, mengitari.

Melihat kampung Bena dari ketinggian gerbang masuk, yang tampak adalah dua garis lengkung yang saling bertemu seperti daun, dengan pinggiran meliuk dan tulang tengah yang kuat, demikian, seperti sehelai daun yang menggeliat di genggaman tangan. Tepian itu adalah rumah-rumah yang berderet rapi, tempat kehidupan sehari-hari dijalankan, untuk pulang setiap petang dari ladang.

Panas matahari yang hampir sampai di ubun-ubun, dan langit biru cerah memberi latar indah di balik pemukiman itu. Dua orang mama menyapa dan meminta untuk meninggalkan goresan pesan di bangunan pertama yang ditemui. Bangunan yang mirip sama dengan kampung Luba sebelumnya, sama-sama serumpun di daerah Ngadha, kampung yang bertumpu pada batu.

loka yang terpisah oleh dinding batu

loka yang terpisah oleh dinding batu

dua bhaga dan makam di depannya

dua bhaga dan makam di depannya

tonggak nisan manandai makam di depan bhaga

tonggak nisan manandai makam di depan bhaga

Bebatuan mendominasi lansekap pandanganmu. Tataran tanah yang bertingkat-tingkat itu terpisahkan oleh tumpuan batu-batu yang menahan dinding-dinding tanahnya. Berdirilah di depan dinding batu pertama yang ditemui. Di kanan akan ditemui deretan rumah yang seperti bergandegan satu sama lain. Rumah-rumah kayu ini tidak berdiri renggang dengan halaman masing-masing. Halamannya adalah pelataran di depannya. Loka.

Mulai dari loka seu. Kau bisa menaiki dinding batu itu menuju lapis yang lebih tinggi melalui undakan bebatuan juga. Pipih, belah, tajam, ditata dengan rapi untuk diinjak perlahan. Samping kanan langkah ada batu yang keras, di samping kiri adalah rumah yang lunak, dibangun dari bahan organik yang terus tumbuh dan bisa diganti.

“Permisi, mama..”

Seorang ibu yang menunggu rumah yang ditinggalkan lelaki-lelaki untuk bekerja, duduk di berandanya, Teda Wewa, dengan kaki menjuntai, mengunyah sirih dengan sedap. Di sini, rumah begitu diagungkan. Rumah adalah perlambang keluarga, tempat bertukar cerita sehari-hari, menambah energi, juga beranak pinak.

sepasang nga'dhu pada loka wato

sepasang nga’dhu pada loka wato

sa'o di kiri jalan

sa’o di kiri jalan

    Bagaimana rasa ketika melangkahkan kaki di tengah tumpukan batu lalu seketika anganmu berpikir bahwa waktu tak pernah berputar di sini?

Menaiki rumah dimulai dari tangga batu yang memanjang di sisi depan. Satu undakan batu, dan satu undakan dari bilah-bilah bambu yang dihamparkan. Anak-anak kecil yang belum sekolah berlari naik turun undakan itu. Jika lelah, mereka akan beringsut-ingsut di pojokan mengulik ujung hidungnya yang lebih sering berair.

Dari teda wade bisa langsung menyapa tetangga di kiri dan kanannya tanpa harus turun ke tanah. Batas setinggi sandaran bahu membuat kepala bisa menoleh dan mengobrol, bersapa canda tentang sehari-hari. Antar mereka sebenarnya bisa saling melompat karena jarak yang hanya sepelangkahan. Tapi di sinilah batas pribadi itu ada, ketinggian yang membuat segan. Tumpuan batu yang membuat rumah-rumah deret ini bisa berdiri tinggi, dengan undakan sebagai jalan memutar.

Sa’o Ata adalah perlambang kepala badan dan kaki, ditumpu oleh batu yang kuat, ditunjang tiang-tiang yamg ditebang pada umur yang cukup, dinaungi lembaran ilalang yang ringan dan tebal, seimbang untuk melindungi keluarga yang memanfaatkan ruangnya.

atap teda wewa dari bambu

atap teda wewa dari bambu

undakan di atas batu

undakan di atas batu

alas bambu untuk bersenda gurau

alas bambu untuk bersenda gurau

Memasuki sa’o dari depan adalah permisi terhadap pribadi, dari teda wewa, menuju teda one, hingga tiba di dalam one. Di dalam ruang-ruang pribadi terkandung cerita tentang masa lalu, tentang hal-hal yang dijaga, bukan rahasia namun tak perlu diceritakan. Di sini hanya ada hal-hal baik yang dijaga sejak masa leluhur. Jika sempat berada di dalamnya, berarti sudah dianggap keluarga.

Ada jarak di antara kedua rumah di mana atap-atap ilalang menjuntai jatuh, berjalan di gemerisik helai diterpa angin ringan. Lorong di samping dua sa’o, menuju bagian belakang tempat air-air mengalir, membersihkan banyak hal sebelum masuk lagi. Di belakang tempat bersenda gurau tanpa sekat, hal-hal tidak disembunyikan, berlarian dari ujung ke ujung. Dari sini bisa mengintip kaki-kaki penunjang rumah, melihat itu berdiri kokoh.

sa'o berpasangan

sa’o berpasangan

langkan sebelum 'one'

langkah sebelum ‘one’

lorong di antara dua rumah

lorong di antara dua rumah

    Dan berpikir, seberapa besar batu yang ada di bawah sana? Seberapa dalam tanah di bawah ini hingga mencapai batu-batu padas penahannya. Dan seberapa sering ia bergetar oleh Gunung Inerie di kejauhan?

Tanah lapang di depan deretan rumah membentang dari loka ulu (kepala) hingga loka eko (ekor) berderet dari bawah ke atas, tingkat demi tingkat yang ditahan oleh dinding-dinding batu, tempat berkumpul untuk mendoakan leluhur, ruang terbuka yang dijaga untuk senantiasa ada, tanpa dibalut keserakahan untuk memiliki. Langkah demi langkah di tanah ini melalui tangga yang didaki satu demi satu. Setiap tingkatan adalah loka, halaman dari rumah-rumah yang berada pada ketinggian yang sama. Sembilan loka woe yang dibatasi oleh batu-batu mulai dari titik rendah hingga yang tinggi, loka Seu, loka Dizi Ka’e, loka Wato, loka Deru, loka Dizi Azi, loka Kopa, loka Ngadha, loka Ago dan loka Bena.

Tinggi rendahnya tanah tidak membuat kedudukan rakyat Bena menjadi berbeda. Alam yang memberi tanah dan manusia yang membagi-baginya harus hidup rukun tanpa memandang siapa yang di atas atau di bawah. Batu-batu yang menguatkan tanah dan tidak melongsori satu sama lain. Ture, susunan batu berjajar.

dinding batu pembatas loka

dinding batu pembatas loka

kemiri yang dijemur di tanah lapang

kemiri yang dijemur di tanah lapang

memandang ke bawah dari loka deru

memandang ke bawah dari loka deru

Loka adalah tempat bertemu. Tempat Bhaga, rumah bersyukur dan Nga’dhu kekuatan laki-laki berdiri berdampingan. Juga batu-batu perkasa yang berdiri tegak menjulang ke angkasa, dan altar batu persembahan. Melangkah dengan hati-hati, agar tidak salah menginjak posisi.

“Tidak boleh naik ke sini bukan, Mama?”

Altar batu itu bukan tempat bermain. Di situ doa-doa dipanjatkan pada hari-hari tertentu, di antara ture-ture yang mengelilinginya. Kerasnya batu yang tidak mudah terkikis dan tetap tidak dipindahkan dari tempatnya sesudah ratusan tahun. Ada yang tidak bergerak dan tetap diam di sini, berdiri dan merasakan energi yang begitu kuat. Ini adalah pertunjukan diam di tanah lapang. Ruang yang mengundang orang untuk berkumpul. Batu di dekat dan gunung di kejauhan, pijakan dan ketinggian, seimbang dalam ruang kosmis.

ture dan meja pipih batu

ture dan meja pipih batu

altar di samping bhaga

altar di samping bhaga

di belakangnya, inerie berdiri

di belakangnya, inerie berdiri

    Apa yang kau lihat di ketinggian? Serupa pangkal daun yang membesar, atau seperti ujung helai yang meliuk? Di sini ketinggian adalah ekor, tak ada jalan keluar selain jurang.

Berdiri dari atas eko Bowoza hingga memandang ulu Mangulewa, deretan rumah di kiri dan kanan dan hamparan loka di tengah-tengah. Mulai terasa semilir angin di puncak sini. Beristirahatlah sejenak sambil membaca ke mana udara akan bergerak. Mungkin di titik ini kau bisa mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupmu. Mungkin butuh ketinggian untuk berpikir lebih jernih.

Sabuk hijau melingkari Desa Bena, alam raya di luar sana. Ota ola, begitu istilahnya. Hijau adalah hutan luar yang senantiasa bergerak, tumbuh mengikat udara, dan menjadi penunjang utama kelangsungan desa. Energi terluar yang menjaga keseimbangan. Hutan, rumah, tanah, dan tugu batu, seperti kulit yang berlapis-lapis menjaga harmoni gerak hingga diam. Gerak alami dari hutan, gerak teratur dari manusia dalam rumah, dan gerak perlahan hingga diam di tanah lapang.

“Sudah tidak turun hujan sejak bulan Mei.”

Langit biru terlalu cerah berpadu matahari di atas ubun-ubun. Peluh mulai mengucur di pelipis mengeluarkan sisa air yang sudah ditelan sejak pagi. Tapi Inerie yang berdiri jauh di sana tetap hijau, dikelilingi pepohonan yang tidak mengering, seakan ada sumber air sembunyi di bawah sana yang tetap menghidupi.

jalan setapak di loka yang lebih landai

jalan setapak di loka yang lebih landai

ikatan ilalang dari seberang pengganti atap

ikatan ilalang dari seberang pengganti atap

pertemuan atap bambu

pertemuan atap bambu

ukiran motif organik

ukiran motif organik

loka dizi azi yang lebih rendah posisinya

loka dizi azi yang lebih rendah posisinya

dari bowoza, memandang sabuk hijau yang melingkari

dari bowoza, memandang sabuk hijau yang melingkari

Aku mengitari Bena hanya sekitar dua jam sebelum di tengah hari. Tidak ada pemandu yang menemaniku berkeliling, sehingga semua yang kutuliskan berdasarkan interpretasiku terhadap tipologi kampung dan literatur yang kubaca. Pada jam aku mampir ke sana, hampir semua penduduk lelaki pergi ke kebun untuk bekerja. Ada beberapa mama dan anak-anak balita yang berkeliaran, namun kurang lancar berbahasa Indonesia. Jadi, aku tidak banyak bisa menggali informasi selain dari yang tertulis di sa’o tamu.

IMG_6301Kampung Bena dan kampung Luba memiliki tipikal rumah yang sama, karena sebenarnya mereka masih satu hubungan kekerabatan. Hirarki ruang-ruang di dalamnya sama, pola bermukimnya sama-sama mengitari loka di tengah, hanya bentuk geometris kampungnya yang berbeda. Tidak banyak suara-suara yang terdengar di pagi menjelang siang itu, relatif sangat sepi, karena itu ada interpretasi terhadap batu dan kesunyian. Batu megalithikum mendominasi pandangan dan aura yang ditangkap dari kampung ini.

Banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke kampung ini, untuk melihat bagaimana pola hidup tradisional di kampung ini. Penduduknya sudah terbiasa dengan orang-orang yang berkunjung, sehingga tidak canggung lagi. Ketika aku meninggalkan kampung ini di tengah hari, banyak penduduk yang beristirahat kembali ke rumah untuk makan. Mereka akan menyambut dengan ramah, menawarkan untuk mampir sambil bercengkrama.

perjalanan 10 nopember 2014
ditulis 9 februari 2015
literatur : Arsitektur Vernakular : Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores (Martinus Bambang Susetyarto, Penerbit Padepokan Seni Djayabhinangun, Sukoharjo, 2013)

keterangan :
loka : halaman
nga’dhu : tiang beratap, perlambang kekuatan lelaki
bhaga : bangunan tempat roh nenek moyang, simbol ibu
sa’o : rumah
one : bagian rumah paling dalam

cerita sebelumnya :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie


flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng

$
0
0

DSC_0600

“Aku mau bangun setiap pagi dan melihat anak-anak berangkat sekolah di Flores.”

Niat itu sudah kucetuskan, karena aku akan bangun pagi di tempat-tempat yang berbeda setiap harinya dalam perjalanan keliling pulau ini. Senin pagi di Bajawa, usai menikmati sarapan lezat buatan kak Vita di rumah yang aku tinggali malam itu, aku nongkrong di depan rumah, menunggu tunas-tunas bangsa ini menyongsong hari cerahnya.

Udara Bajawa pagi itu sejuk dan dingin, sebenarnya agak enggan untuk keluar dari selubung jaket. Satu demi satu anak-anak ini lewat, ada yang juga memakai jaket sepertiku, ada yang berseragam putih merah saja, ada yang diantar ibunya, ada yang berombongan dengan teman-temannya. Mereka berjalan kaki ke arah sebelah barat dari rumah kak Vita. Jalanannya mendaki, sehingga mereka tidak berjalan dengan cepat.

Kota Bajawa yang berada di kaki gunung Inerie memang beriklim sejuk dan dingin. Konturnya berbukit-bukit naik turun, sehingga lansekap kotanya cukup menarik. Di jalan utamanya mudah ditemukan beberapa penginapan dengan harga yang tidak terlalu mahal. Semalam kak Vita bercerita, andai saja kami datang tidak kemalaman, mungkin kami bisa mampir di So’a, salah satu sumber air panas yang cukup terkenal. Tapi karena hari ini jalur kami ke arah Bena, jadi tidak bisa mampir ke So’a.

gadis bajawa dengan senyum manis

gadis bajawa dengan senyum manis

karena agak dingin, jadi memakai jaket

karena agak dingin, jadi memakai jaket

jaket tim indonesia kebanggaan

jaket tim indonesia kebanggaan

ditodong foto dulu sebelum sekolah

ditodong foto dulu sebelum sekolah

Mas Agus menjemput kami jam delapan pagi sesudah ia mengisi bensin, “Mengantri di mana-mana, mbak. Katanya akan ada kenaikan BBM juga, ya?” Untuk pulau yang jauh dari Jawa seperti ini, persediaan bahan bakar yang tidak pasti menghantui jasa travel seperti yang dikelola oleh bosnya Mas Agus ini. Apalagi dengan jumlah SPBU yang tidak terlalu banyak juga.

Sebelum meninggalkan kota, aku minta mas Agus mengitari kota Bajawa, dan juga karena Jay ingin menemui teman SMPnya yang baru diangkat menjadi jaksa di kota itu. Aku sih setuju saja. Kapan lagi ke satu kota mampirnya ke Pengadilan Negeri? Kota Bajawa tidak terlalu besar, sehingga dalam beberapa menit kami tiba di depan kantor pengadilan yang berhadapan dengan kantor kabupatennya. Setelah bertegur sapa sebentar, kami melanjutkan perjalanan menuju Ruteng.

Tidak seperti jalur Ende – Bajawa yang melalui tepi laut, lepas dari gerbang kota yang juga kami lalui sebelumnya, kami melewati hutan-hutan bambu, dengan jalan yang berkelak kelok naik dan turun, di beberapa bagian bisa melihat gunung Inerie yang indah. Gunung ini tidak memiliki banyak kontur punggungan, hanya lereng di kanan dan kiri menuju puncak, geometris dasar bentuk segitiga. Tidak setinggi gunung-gunung di Jawa, walaupun hanya 2230 mdpl namun pasti memberikan pemandangan yang mengesankan. Kaki gunungnya dipenuhi oleh gerumbul hutan kemiri dengan bunga-bunga yang putih bermunculan acak.

hutan bambu di jalan

hutan bambu di jalan

gunung pengawas Ngadha, Inerie

gunung pengawas Ngadha, Inerie

Kami mampir ke kampung Luba dan kampung Bena, yang termasuk wilayah Ngadha, dengan pola bermukim yang hampir mirip. Jalan rayanya tidak terlalu besar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Melihat ngarai di kanan atau kiri yang cukup curam, aku lebih memilih jika kami tidak usah bertemu kendaraan lain dari depan.

“Kita lewat jalan pintas, mbak. Nanti langsung sampai di Aimere,” jelas Mas Agus. Wah, ternyata bakal lewat pelabuhan terkenal di Flores itu. Jalan yang kami lewati dari mulai jalan halus lama kelamaan menjadi jalan kerikil dan berbatu-batu. Udara di luar sangat panas sehingga aku tidak membuka jendela dan menikmati AC di dalam mobil. Kami sempat melewati juga beberapa pemukiman adat seperti Nage dan Gurusina, tapi hanya dari tepi jalan saja, tidak mampir ke sana.

Sepanjang jalan kami juga menemukan pemukiman-pemukiman yang berada linier di tepi-tepi jalan. Bentuknya masih sama khas dengan pemukiman di Bena dan Luba, karena daerah ini memang masih masuk wilayah Ngadha, hanya modifikasi pada material atap yang kini menggunakan seng. Aku agak heran dengan penggunaan seng sebagai material pengganti, karena udara di dalamnya akan terasa amat panas, apalagi di musim terik begini. Sementara di berbagai tempat yang tadi dilalui, masih cukup banyak ilalang yang merupakan material utama atap dari rumah tradisional ini.

rumah adat di Bena dengan atap asli ilalang

rumah adat di Bena dengan atap asli ilalang

pemukiman di tepi jalan, beratap seng. panas, kan?

pemukiman di tepi jalan, beratap seng. panas, kan?

anak sekolah desa yang baru pulang di tengah hari

anak sekolah desa yang baru pulang di tengah hari

jalan pintas antar pemukiman di Ngadha

jalan pintas antar pemukiman di Ngadha

“Aimere…”
Nama kota ini terdengar indah di telingaku. Pelabuhan tempat kapal-kapal bersandar dari Kupang, Rote, atau Sumba ini adalah kota pertama yang kami temui sesudah berjam-jam meninggalkan Bajawa. Dari atas bukit kami bisa melihat pelabuhannya, terus sampai tak sadar ketika lewat di depannya. Mas Agus terus membawa kami ke tempat penyulingan arak yang berada di tepi jalan.

pohon meranggas sendiri di perjalanan

pohon meranggas sendiri di perjalanan

di atas pelabuhan Aimere

di atas pelabuhan Aimere

“Arak diambil dari pohon nira di atas sana, kemudian disuling di sini,” jelas ibu-ibu pemilik tempat penyulingan ini. Di sini terdapat tiga jenis arak kelas 1, 2, dan 3 tergantung dari kadar yang dihasilkan. “Mau mencicipi? Ayo sudah sampai sini..” mas Agus menawarkan. Hemm, coba tidak ya? “Sesendok saja, mas!” kataku nekat. Aku mendekatkan arak itu ke mulutku, dan.. blah! Lidahku rasanya terbakar. Mulut yang hampir tidak pernah menerima minuman keras ini ternyata masih tidak bisa terima juga. “Awas mas Agus jangan minum, masih harus menyupir jauh, nih..”

shelter penyulingan arak

shelter penyulingan arak

labu penyulingan

labu penyulingan

arak kelas satu, dua, dan tiga. mencobanya pakai sloki kayu itu.

arak kelas satu, dua, dan tiga. mencobanya pakai sloki kayu itu.

Kami meneruskan perjalanan dan mampir untuk makan siang sebentar di Borong. Di sinilah pertama kali aku menjajal kopi Flores yang mahsyur itu. Dan sop ikannya, lezat sekali! Ikan dengan potongan besar dengan kuah agak asam menyegarkan hari kami yang panas itu. Tapi tentu tak lupa aku juga meminta kelapa muda untuk mengobati tenggorokan yang haus. Langit di luar luar biasa cerahnya. Biru dengan sedikit awan.

Lepas dari tepi laut, jalanan mulai mendaki menuju Ruteng. Karena mulai lelah, jalur ini pun juga mulai membosankan. Kelak kelok, naik turun, hutan lagi, sawah, sampai aku menemukan pemandangan menarik. Ada satu spot dengan pemandangan yang cukup menarik yang membuatku meminta mas Agus berhenti. Eh, ternyata di tempat aku berhenti ada anak-anak yang menonton aku memotret.

“Kalian suka baca?” tanyaku antusias. Aku sangat suka melihat anak-anak yang berani menyapa tanpa malu-malu. Sesudah mengobrol sebentar, aku mengeluarkan salah satu buku dan memberikannya pada mereka. Mereka berebutan menerimanya. Tapi ada seorang bapak yang menyeberang jalan dan mengambil buku itu untuk ia baca-baca. Ah, mungkin ia ingin memeriksa buku ini cocok untuk anak-anak atau tidak. Kami berpamitan untuk meneruskan perjalanan.

sawah penangkap perhatian

sawah penangkap perhatian

kayu bakar dijual di tepi jalan. ada banyak komposisi kayu bakar yang menarik untuk difoto

kayu bakar dijual di tepi jalan. ada banyak komposisi kayu bakar yang menarik untuk difoto

meninggalkan jejak yang semoga berguna

meninggalkan jejak yang semoga berguna

Hujan turun.
Langit sudah tidak sepanas tadi. “Ini sudah masuk daerah Manggarai,” jelas mas Agus. Wah, ini rupanya tempat asli nama salah satu tempat terpadat di Jakarta. Kabarnya, daerah Manggarai di Jakarta memang banyak berasal dari Manggarai Flores ini. Iklim lokal di Manggarai tidak sepanas jalur Aigela kemarin atau Aimere tadi. “Kalau di sini sering turun hujan, mbak,” sambungnya. Benar saja, hujan tipis-tipis menemani sisa perjalanan kami hingga tiba di balik tembok besar.

“Itu danau Ranamese di balik tembok.”
“Hah, kenapa ditembokin, mas?”
“Soalnya kalau tidak ada temboknya, mobil-mobil pada berhenti di situ.”
“Kan nggak apa-apa, mas..” aku masih heran.
“Ini tikungan, kan bahaya kalau banyak mobil berhenti. Kalau mau ke tepi danaunya, harus turun ke bawah,” tunjuk mas Agus.

danau ranamese

danau ranamese

Kami hanya sebentar di situ. Rupanya aku benar-benar sudah merasa cukup lelah. Berkendara di mobil selama berjam-jam mulai membuatku bosan ingin lekas sampai. Untung mas Agus mengingatkan bahwa Ruteng sudah tidak terlalu jauh lagi. Benar saja, tak lama kemudian ponselku sudah mendapat sinyal lagi, pertanda kami sudah memasuki kota. Hujan lumayan deras mengguyur ketika kami tiba di depan gereja katedral dan berbelok untuk menuju tujuan kami malam itu, desa Denge, di kaki Wae Rebo.

Wae Rebo? Yap, aku memang menuju ke sana! Itu tujuan utamaku datang ke Flores, untuk mengunjungi pemukiman adat yang berada di atas gunung dan baru direhabilitasi pemukimannya oleh sekelompok tim arsitek dari Jakarta, yang merupakan senior sealmamaterku juga. Jalan dari Ruteng ke Wae Rebo cukup sempit dan menurun, apalagi di tengah hujan yang menderu. Setelah 10 menit mulai memasuki perbukitan, sinyal ponselku hilang lagi. Hujan di tengah tebing dan ngarai, agak membuatku ngeri di dalam mobil. Apalagi jalanan naik dan turun dengan kemiringan yang lumayan curam.

Perjalanan kami menuju arah selatan, terus melalui jalanan naik turun bukit sampai akhirnya kami menemukan desa-desa di tepi hamparan sawah yang begitu indah. Ternyata di balik hutan-hutan dari kota tadi, desa-desa di sini begitu hidup dari hasil-hasil pertanian. Hujan yang sudah berhenti membuat matahari senja menemani perjalanan di jalan berbatu-batu itu. Mas Agus cukup terampil mengemudikan mobilnya di antara jalan yang sangat tidak bisa dibilang bagus ini.

jalan berkabut dari ruteng

jalan berkabut dari ruteng

menuju senja

menuju senja

mengikuti sawah

mengikuti sawah

“Nanti makin bagus lihat senja di tepi laut, mbak,” cerita Mas Agus. Hah, laut? Bukannya Wae Rebo di atas gunung? “Dintor itu di tepi laut, baru nanti naik lagi ke atas sampai habis jalan aspalnya,” sambungnya. Aku mengambil peta dan melihat di mana sebenarnya posisi kami. Posisi kami berkedip di GPS memang menunjukkan lokasi menuju tepi laut. Jalan rusak pun sudah tidak kuindahkan, sawah, kebun, hutan, rumah-rumah yang dilewati dengan bau tanah yang harum sesudah hujan membuat kami asyik menikmati pemandangan sore hingga sampai di tepi laut. Tidak ada pasir putih di sini, hanya bebatuan hitam dengan sleret lembayung di belakang dan pulau Mules yang tampak tidak jauh.

Ketika gelap benar-benar datang, kami tiba di Dintor. Namun karena tidak hendak menginap di Wae Rebo Lodge di Dintor, aku meminta Mas Agus terus sampai atas. Kami tiba di desa Denge hampir jam setengah delapan malam disambut oleh Bapak Blasius Monta yang ramah. Ah, aku merasa sudah pernah bertemu bapak ini di buku Wae Rebo yang kubaca…

Hmm, besok pagi aku akan bertemu anak-anak sekolah lagi tidak, ya?

DSC_0278_01

DSC_0282_01

perjalanan : 10 Nopember 2014
ditulis : 13 Februari 2015

cerita sebelumnya :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie
flores flow #5 : loka, batu, dan bena


flores flow #7 : 14 tindak tanduk asyik di wae rebo !

$
0
0

IMG_2114

Apa yang bisa kamu lakukan di satu pemukiman adat yang berjarak 3 jam berjalan kaki dari desa terdekat? Perjalanan ditemani desau angin, riuhnya burung-burung bernyanyi, gemericik air, ditemani patok-patok jarak yang membuat perjalananmu terasa makin dekat? Wae Rebo, harmoni pemukiman di atas bukit, di mana keselarasan dijaga, kehidupan yang tersembunyi, adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia. Tidak menyia-nyiakan kesempatan berada di sana, jauh dari penatnya kehidupan kota sehari-hari, hirau dari bising kendaraan bermotor, ketika semua hal di sini berjalan begitu lambat.

Perjalanan ke Wae Rebo dilakukan kira-kira 2 hari sebelum Festival Penti dimulai. Sebenarnya menarik juga untuk tetap tinggal sampai ketika festival berlangsung, tapi melihat persiapan mereka juga merupakan satu pengalaman tersendiri. Karena festival ini, penduduk Wae Rebo bisa naik turun sampai dua kali sehari! Jika pendatang seperti aku membutuhkan empat jam untuk naik dan tiga jam untuk turun, warga asli Wae Rebo bisa naik sambil membawa beban bahan makanan satu hingga dua jam, dan turun hanya satu jam! Bahkan kami naik bebarengan dengan satu anak kecil berumur dua atau tiga tahun yang tidak digendong sama sekali. Hebat sekali!

Berjalan ke Desa Wae Rebo harus ditemani pemandu supaya kami tidak tersesat dan salah melangkah kae daerah terlarang. Mereka juga bercerita tentang desa dan kebiasaan-kebiasaan setempat. Sembari berjalan selama tiga jam, dapat banyak sekali cerita tentang desa.
Jadi, tindak tanduk apa yang asyik di Wae Rebo?

1. berkenalan
Penduduk Wae Rebo terkenal sangat ramah. Mereka akan mengulurkan tangan untuk berkenalan setiap kali bertemu. Karena akan ada Festival Penti, maka penduduknya bekerja bakti dengan membersihkan dan merapikan jalur sepanjang naik. Kami ditemani seorang pemandu bernama Pak Aven yang baru naik juga sesudah mengantar anaknya sekolah di Kombo. Ketika kami lewat, mereka akan berhenti dan mengulurkan tangan untuk bersalaman sambil tersenyum ramah. Pak Vitalis dan Pak Wilibrodus menemani kami berjalan sambil mengangkat ayam dan beras. Ketika di sungai aku bertemu seorang bapak bernama Petrus. Sambil berjalan lagi, kenalan lagi dua kali dengan bapak bernama Petrus yang sedang merapikan jalan setapak. Menjelang desa, bertemu lagi dengan seseorang bapak bernama sama.
“Pak, di sini banyak yang bernama Petrus?”
“Ada empat, sepertinya sudah bertemu semua, ya?”

14-1

2. menunggu
Setelah empat jam berjalan ditambah duduk-duduk sebentar, kami tiba di bangunan istirahat yang digunakan untuk menunggu. Pak Aven membunyikan kentongan untuk memberi kode untuk mama-mama bahwa ada tamu datang dari jauh. Kami harus menunggu beberapa saat karena memang harus menghormati tradisi yang ada. Setelah kira-kira dua puluh menit, kami turun dan memasuki Mbaru Gendang untuk meminta ijin kepada tetua supaya diperkenankan untuk tinggal sementara di Wae Rebo. Pak Aven yang membantu menerjemahkan kepada Opa Rafael, tetua yang kami temui saat itu.

14-2

3. minum kopi
Perutku yang terkadang tidak kuat kopi ini ternyata bisa menghabiskan empat gelas kopi sehari di Wae Rebo tanpa merasa mual sedikit pun. Di tengah udara dingin di sini nyaman sekali menenggak kopi sesudah berjalan selama empat jam. Badan yang lelah menjadi lebih segar juga peredaran darah yang lancar. Siang minum kopi, sore minum kopi, bahkan sebelum tidur pun aku minum kopi. Rasanya tidak terlalu pekat, namun enak!

14-3

4. tidur
Ada Mbaru Niang yang dijadikan sebagai tempat menginap tamu selama di Wae Rebo. Di dalamnya terdapat kasur, bantal dan selimut yang bisa dipergunakan. Aku meluruskan badan sejenak sambil memandang atap dari susunan kayu yang dibangun satu dua tahun sebelumnya. Karena denah bangunannya melingkar, maka tidur bersisi-sisian dengan orang-orang lain juga dalam posisi melingkar juga. Menurut Pak Aven, di sini pernah memuat 58 orang.

14-4

5. bertandang
Sembari menunggu senja menjelang, dan ketika orang-orang sudah pulang dari kebun, bisa bertandang ke mbaru niang yang ada di sebelah-sebelah, mengobrol dengan penghuninya. Mereka sudah terbiasa dikunjungi, dan akan menyambut dengan hangat. Tapi menurutku, lebih mudah mengobrol dengan bapak-bapak, karena kalau mama-mama cenderung pemalu. Bapak-bapak akan menghabiskan sore di halaman sambil bermain gitar, atau mengobrol sambil merokok.

14-5

6. memilih biji kopi
Tidak semua penduduk tinggal di Mbaru Niang. Beberapa tinggal di rumah-rumah kayu yang tak jauh dari lapangan bundar Wae Rebo. Di depan halaman rumah mereka ada pohon kopi yang berbuah. Selain di halaman, kopi juga ditanam di kebun-kebun sekitar. Ketika berkunjung ke rumah Pak Aven, beliau menceritakan berbagai macam kopi. Ada robusta, arabica, kopi colombia, bahkan kopi luwak asli. “Luwak di sini berkeliaran di kebun, sehingga asli yang keluar seperti ini,” Pak Aven memperlihatkan kopi yang masih bercampur kotoran luwak yang mengeras.

14-6

7. mendaki bukit
Bagaimana melihat seluruh desa Wae Rebo? Naiklah ke bukit kecil yang ada di sebelahnya tempat perpustakaan berdiri. Ini adalah tempat strategis untuk melihat pemandangan desa di cekungan bawah dengan pegunungan-pegunungan di belakangnya. Sore hari terlihat permainan cahaya matahari memberikan bayangan naungan yang jatuh pada desa, pagi hari pemandangan serupa dilatari oleh gumpalan kabut.

14-7

8. menumbuk kopi
Melihat mama menumbuk kopi sepertinya mudah. Setiap pagi biji-biji kopi yang ditebar itu ditumbuk dan dihaluskan di dalam lesung. Melihatnya sepertinya mudah, tapi begitu dicoba. Alu yang lumayan berat di tangan harus dipukulkan langsung ke dalam lesung untuk menghaluskan biji-biji kopi yang baru disangrai. Untuk anak kota yang biasanya cuma mengangkat pensil sepertiku, pekerjaan ini cukup berat. Terkadang alu lolos tidak masuk pas ke bundaran lesung. Harum kopi menguar selama penumbukan ini. Hmm, wangi!

14-8

9. makan
Makan pagi, siang dan malam di Wae Rebo disiapkan oleh mama-mama yang bergantian memasak. Sewaktu aku ke sana, kami membayar Rp. 250.000,- per orang untuk semalam termasuk untuk makan 3x, biaya menginap, dan iuran untuk perawatan kampung. Masakannya sederhana namun enak untuk mengganjal perut yang selalu lapar karena dingin. Di sela-selanya juga ada penganan untuk dicemil sementara menunggu waktu makan tiba. Paling enak makan kerupuk singkongnya yang krenyes-krenyes mengenyangkan.

14-9

10. mengamati bangunan
Mbaru Niang di Wae Rebo adalah alasan utamaku datang ke sini. Struktur rumah kerucut yang dibangun ulang untuk mempertahankan arsitektur lokal, bagaimana memperlakukan alam sebagai penunjang kehidupan, tentang tanah, ruang-ruang tinggal, budaya yang melingkupi. Banyak waktu yang digunakan untuk mengamat-amati bangunan di sini. Akan ada tulisan tersendiri tentang ini.

14-10

11. membaca cerita untuk anak
Anak-anak adalah alasan keduaku berada di Wae Rebo. Aku sengaja membawa buku untuk berbagi cerita kepada mereka, tentang negeri-negeri yang lain, tentang anak-anak seumur mereka juga. Buku adalah jendela bagi anak-anak ini untuk membangun desanya juga kelak. Selain membaca buku anak, ternyata mereka semua antusias sekali pada buku ‘Pesan dari Wae Rebo’ yang bercerita tentang proses renovasi beberapa bangunan di desanya.

14-11

12. bermain
Seru! Anak-anak balita di Wae Rebo mengisi sore hari dengan bermain. Larutlah dalam keceriaan mereka berlarian, menikmati masa muda yang tidak akan kembali lagi. Walaupun salling pukul, saling ejek, namun mereka kembali berbaikan dan asyik berlompat-lompatan bersama lagi. Aku mengajak mereka bernyanyi dan bersenam, “Kepala, pundak , lutut, kaki.” Berulang-ulang sambil tertawa riang. Puas bermain di sore hari, paginya mereka akan menunggu di depan Mbaru niang untuk tamu untuk mengajak bermain lagi. Semoga kenangannya melekat.

DSC_0382

13. bercengkrama
Walaupun pemalu, tapi masih bisa mengobrol dengan mama-mama sambil menemani mereka memasak. Di Mbaru Gendhang aku bertemu dengan Mama Christina yang bercerita tentang kamar tinggalnya, juga koleksi gelas bermotif bunga yang cantik di lemari di depan kamarnya. Di Mbaru Gendang mereka memasak di dapur yang sama di tengah-tengah, namun beberapa kamar memiliki lemari peralatan makannya sendiri.

14-13

14. memandang bintang
Malam hari di Wae Rebo dengan langit cerah sangat cocok untuk mengamati langit, tidur-tiduran di rumput dan melihat deretan titik-titik bercahaya itu di udara. Ditemani angin pegunungan yang cukup dingin namun tidak kencang, siluet pegunungan di belakangnya membentuk lansekap manis. Seandainya tak ada cahaya dan gelap gulita, bintang pasti terlihat lebih cemerlang.

14-14

Kalau ada hal yang tidak asyik dilakukan di Wae Rebo, maka jawabannya cuma satu. MANDI. Keringat bisa menguap ditelan sejuk. Ada mata air yang bisa digunakan untuk mandi, dan ada kamar mandi juga di belakang Mbaru Niang tamu. Tapi tetap saja, enggan. Mendingan melakukan 14 tindak tanduk asyik di atas. Cerita lebih panjang, tunggu!

photo 1,3,5,7,8,11,13 courtesy of Jay
photo 2,4,6,9,12,14 by myself

Tulisan ini adalah postingan asyik bareng geng Travel Blogger Indonesia untuk memeriahkan 14 Februari, sembari masih masuk dalam rangkaian cerita perjalanan Flores flow. Nggak merayakan kok, cuma memanfaatkan momen. #14on14 love to hug you all!

1. Astin Soekanto  |  Makna Filosofis 14 Motif Tenun dari Nusa Tenggara
2. Danang Saparudin | 14 hal manis dan murah di Inggris
3. Danan Wahyu | 14 alasan mengunjungi Kerinci
4. Arie Okta | 14 Ragam Wisata Tanah Kelahiran
5. Ridwan SK | 14 Barang Yang Sebaiknya Kamu Bawa Ketika Traveling
6. Albert Ghana | 14 Objek Wisata Menarik di Kalimantan Barat
7. Lenny | 14 travel selfie around USA
8. Tekno Bolang | 14 Senja yang Bikin Kamu Galau
9. Fahmi Anhar | 14 Tempat Wisata Menarik di Dubai
10. Wisnu Yuwandono | 14 Foto Romantis di Sekitar Kepulauan Komodo
11. Yofangga | 14 film inspirasi perjalanan
12. Teguh Nugroho | 14 Hal yang Harus Kamu Tahu Tentang Semarang
13. Dea Sihotang | 14 Things to do in Paris
14. Indri Juwono | 14 tindak tanduk asyik di wae rebo!
15. Parahita Satiti | 14 tempat cantik untuk Natarajasana
16. Titiw Akmar | 14 Lagu Momen untuk Traveling
17. Bobby Ertanto | 14 SEO Basic Travel Blogging ala Virus Traveling
18. Adlien | 14 Alasan kenapa harus Traveling Saat Muda
19. Rembulan Indira | 14 Places I want to Share with my Loved One
20. Wira Nurmansyah | 14 Tips Simpel agar Komposisi Foto makin Kece
21. Olive Bendon | 14 Langkah Menikmati Perjalanan tak Biasa
22. Indra Setiawan | 14 Hal yang bisa dilakukan di Palangkaraya


flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus

$
0
0

wae rebo cover

kadang-kadang aku hanya ingin melangkahkan kaki,
menjauh dari deru dan menemukan sepi,
namun lebih daripada itu, ternyata yang kutemukan adalah ramai di hati,
senyum yang tulus, percaya kepada negeri.

Malam sudah bertabur bintang ketika Pak Blasius Monta menyambut kami dengan ramah di rumahnya di Denge. Ini adalah titik terakhir yang bisa dilalui dengan mobil. Kami langsung disuguhi kopi setelah perjalanan panjang dari Bajawa tadi pagi. “Besok pagi, mulai jalan ke Wae Rebo jam tujuh saja. Kalau di atas itu nanti panas pas sebelum masuk hutan,” jelasnya. Aku sudah mengenal namanya dari buku Pesan dari Wae Rebo yang dieditori oleh Pak Yori Antar seorang arsitek sealmamaterku, yang kubaca sejak setahun yang lalu. Karena rekomendasi teman-teman juga aku menginap di Denge supaya dekat dengan start point berjalan kaki.

Ada dua titik menginap di desa bawah yang direkomendasikan sebagai tempat istirahat sebelum mulai pendakian ke Wae Rebo. Selain di homestay milik Pak Blasius, ada juga Wae Rebo Lodge yang berada di Dintor, desa di bawah Denge. Lokasi penginapan milik Martinus Anggo ini cukup indah, berada di tengah sawah dan menghadap laut. Tapi karena aku ingin yang lebih dekat dengan start point, maka aku memilih Denge. Tarif menginap di rumah Pak Blasius sebesar Rp. 175.000,- per orang per malam termasuk makan malam dan sarapan. Di depan rumah Pak Blasius juga terdapat Pusat Informasi Wae Rebo yang berisi data-data tentang desa itu, juga perpustakaan yang bisa diakses oleh warga sekitar. Namun sayang ketika aku ke sana, perpustakaan ini tutup, dan tidak banyak juga anak-anak yang beraktivitas di situ.

bersama pak blasius monta dan pak aven

bersama pak blasius monta dan pak aven

Paginya kami ditemani Pak Aven, seorang penduduk Wae Rebo yang hendak kembali ke atas usai mengantarkan anaknya ke sekolah. “Anak-anak Wae Rebo kalau sudah masuk usia sekolah tidak tinggal di atas lagi, mereka tinggal di Kombo, kira-kira hanya sekitar 15 menit turun dari rumah Pak Blasius,” ia bercerita sambil membawakan tasku. Oh, 15 menit jarak orang Wae Rebo sama dengan jarak yang kutempuh tidak, ya?

Selama satu jam pertama kami berjalan di atas batu-batuan yang katanya akan dibuat jalan raya beraspal. Benar juga kata Pak Blasius, pohon-pohon masih menaungi jalan ini sehingga tidak terasa terlalu panas. Berjalan di atas batu tidak terasa terlalu sulit dan licin. Jalan ini cukup lebar, sekitar 7 meter, sehingga memungkinkan bila kelak nanti ada mobil yang berpapasan. Setiap rombongan turis harus menggunakan jasa pemandu dengan tarif Rp. 150.000,- pulang pergi. Pemandu ini juga yang akan berbicara dengan tetua di Wae Rebo nanti tentang kedatangan kami, juga menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh ke turis.

mulai dari titik desa terakhir

mulai dari titik desa terakhir

“Nah, di depan sana ada pos 1. Ada sungai sebelum masuk hutan. Nanti bisa beristirahat di situ,” kata Pak Aven. Benar saja, begitu jalan batu itu berakhir, kami melompati bebatuan di sungai sampai seberang, baru tampak jalan setapak untuk mulai mendaki ke Wae Rebo. Beberapa orang sedang duduk-duduk di situ juga sambil merokok. Mereka menghampiri kami dan mengajak berkenalan. Tak lupa mereka menawarkan untuk cuci muka atau minum air sungai jernih di samping kami. Karena aku selalu tersugesti minum air setempat supaya lebih kuat, aku meraupkan tangan dan meminum satu dua tegukan.

“Kalau hendak festival Penti, jadi agak banyak yang turun untuk membeli bahan makanan,” cerita Pak Vitalis yang hendak mengangkat beras dan Pak Wilibrodus yang membawa ikatan ayam hidup. “Kenapa tidak memelihara saja ayam di atas?” tanyaku. “Dulu pernah, tapi kena penyakit jadi mati semua,” jawabnya. Pantas cukup banyak juga ayam yang ia bawa.

sungai mengalir yang airnya segar diminum

sungai mengalir yang airnya segar diminum

bertemu opa tetua di wae rebo yang hendak turun

bertemu opa tetua di wae rebo yang hendak turun

Ada satu keluarga kecil yang berjalan beriringan dengan kami. Anaknya berukur kira-kira tiga tahun berjalan digandeng ayahnya, sementara ibunya membawa bawaan di tangannya. “Nanti anak itu terus berjalan sampai atas, Pak Aven?” melihat mereka yang tidak tampak kerepotan sama sekali. “Penduduk sini sudah biasa, sejak kecil sudah naik turun Wae Rebo. Orang yang sudah dewasa bisa naik turun dua kali sehari,” Pak Aven sambil berjalan terus. Jalanan hanya selebar satu setengah meter dinaungi oleh pohon-pohon besar dan rambatan pakis. Karena cukup rimbun, sinar matahari tidak tembus sehingga kami bisa berjalan dengan nyaman. Jalurnya pun cukup landai, masih bisa berlari-lari santai tanpa terengah-engah. Pak Aven menunjukkan beberapa jalur yang katanya ‘jalan lama’, yang lebih curam daripada jalan kami yang memutar.

pak wilibrodus dan pak vitalis, mengiringi kami sampai atas anak kecil yang kuat berjalan.

pak wilibrodus dan pak vitalis, mengiringi kami sampai atas
anak kecil yang kuat berjalan.

jalan setapak yang agak rimbun, sambil bertemu yang kerja bakti

jalan setapak yang agak rimbun, sambil bertemu yang kerja bakti

Satu jam kemudian kami tiba di Pocoroko, yang biasa juga disebut pos 2. Katanya, di sini tempat terakhir ada sinyal ponsel. Aku sih tidak masalah, karena sudah sejak berangkat ponselku kumatikan. Di situ kami juga bertemu beberapa orang yang sedang merapikan jalan setapak itu supaya nyaman dilalui di Festival Penti nanti. Seperti biasa, mereka mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya. Oh, rupanya ini budaya keakraban di sini. Sambil tersenyum ramah aku membalas dan mengajak bercakap-cakap sambil istirahat.

Pak Wilibrodus yang berjalan beriringan dengan kami sambil membawa seikat ayam hidup menjelaskan, “Di hutan ini banyak tanaman beracun, karena itu kalau turis harus dikawal supaya tidak tersesat dan tidak terkena tanaman.” Ia menunjuk satu gerumbulan di lembah, “Seperti yang itu, bisa membuat tangan panas dan gatal-gatal.” Aku memerhatikan tanaman yang berdaun mirip jelatang itu. Udara sekitar lembah cukup sejuk, namun karena sudah berjalan cukup lama bajuku mulai basah oleh keringat. Kami tidak perlu bertanya, “masih jauh, pak?” karena di sepanjang jalan dipasang patok-patok penanda jarak seberapa jauh lagi jarak menuju Wae Rebo. Tidak ada pemukiman lain di jalur perjalanan kami ini.

beristirahat di pos 2

beristirahat di pos 2

pemandangan dari pocoroko

pemandangan dari pocoroko

Sambil berjalan-jalan santai kurang dari satu jam kami sampai di satu sudut dengan bukaan ke lembah. “Itu Wae Rebo,” gumam Pak Aven. Aku menahan napas, tercekat melihat tempat yang selama ini aku impi-impikan sudah hampir di depan mata. Aku diam dan memandangi pemandangan indah itu sampai Pak Aven mengajak melanjutkan perjalanan yang katanya tak sampai setengah jam lagi. Jalanan mulai menurun hingga melintasi jembatan dan pekebunan kopi ada di samping kiri dan kanan kami. Tak lama kami tiba di satu shelter beratap kerucut dan diminta menunggu. Pak Aven memukul kentongan yang ada di pojok. “Ini adalah tanda bahwa ada tamu datang. Nanti mama-mama akan menyiapkan rumah dan makan untuk tamunya. Kita tunggu dulu di sini.”

Sementara kami menunggu, Pak Vitalis dan Pak Wilibrodus melanjutkan langsung ke rumah. “Nanti mampir ke rumah kami, yaa!” sambil berpamitan. Beberapa orang melalui kami yang sedang duduk-duduk sambil melepas lelah. Lamat-lamat terdengar suara orang menangis kencang di kejauhan. Eh, ada apa itu? “Lihat tadi yang berjalan bersama kita? Itu sudah tidak pulang lima belas tahun. Orang tuanya sudah meninggal dua tahun yang lalu. Itu suara kakaknya yang menangis haru karena lama tidak bertemu,” Pak Aven menjelaskan pada wajah kami yang bertanya-tanya. “Kami saling mengenal sejak masih kecil, karena itu ikatan persaudaraan antar penduduk kuat sekali.”

pos ketiga bisa mengintip wae rebo dari sini. masih sanggup tersenyum sesudah berjalan 3.5 jam.

pos ketiga bisa mengintip wae rebo dari sini. masih sanggup tersenyum sesudah berjalan 3.5 jam.

jembatan menuju wae rebo

jembatan menuju wae rebo

pos tunggu

pos tunggu

Aku memasukkan kamera ke dalam tas ketika Pak Aven mengajak untuk memasuki desa untuk menemui sesepuh desa untuk meminta izin tinggal. Begitulah kebiasaan di sini, setiap pengunjung harus melalui ritual yang dilakukan di Mbaru Gendang yang merupakan rumah terbesar, untuk mengutarakan niat kedatangannya. Setelah melalui berbagai keramahan warga Wae Rebo yang kami temui sepanjang jalan tadi, kedatangan kami pun diterima dengan baik. Usai ritual meminta izin, Pak Aven mempersilakan kami untuk beristirahat di Mbaru Niang yang paling depan yang khusus dibangun untuk tamu. Kami pun sudah diizinkan untuk berfoto-foto dengan bebas.

suasana desa wae rebo di siang hari

suasana desa wae rebo di siang hari

Sudah lama aku ingin mengunjungi desa adat Wae Rebo, sejak aku membacanya di koran Kompas sekitar tahun 2009. Melihat Pak Yori Antar, yang pernah jadi dosenku semasa kuliah dulu bisa sampai di Wae Rebo dan menuliskan pengalamannya, membuatku ingin tiba di desa adat ini dan mempelajari arsitektur vernakular serta kehidupan sosial warganya yang membentuk ruang-ruang yang dibutuhkan.

    Berbekal pengalaman dari tanah rantau, Martinus Anggo mencoba berbagi pengalaman kepada masyarakat setempat. Masyarakat yang hidup dari bercocok tanam itu merasa sulit memelihara kampung tradisional Wae Rebo. Martin menawarkan untuk mencari income tambahan selain dari pertanian. Martin meyakinkan bahwa pariwisata adalah aset andalan Wae Rebo yang mampu menjawab keluh kesah dan jeritan hati masyarakat. Meski pada tahun-tahun sebelumnya sudah ada wisatawan yang masuk ke Wae Rebo, masyarakat tetap saja menghadapu dilema atas pilihan itu. Memilih “ya” untuk mengembangkan pariwisata berarti masyarakat tetap berjalan kaki keluar masuk Wae Rebo. Membiarkan jalan setapak menuju Wae Rebo adalah permintaan pariwisata dan juga sebuah tuntutan untuk menyelamatkan hutan Wae Rebo. Sedangkan memilih menolak pariwisata berarti masyarakat tetap hidup miskin karena tidak ada paenghasilan tambahan. Kampung yang belum pernah disentuh oleh kendaraan bermotor sejak bumi terbentuk hingga sekarang ini menjadi beban yang amat berat yang akan diwariskan kepada anak-cucu di Wae Rebo.
    (Martinus Anggo, Bab Awal sebuah Perjuangan, Pesan dari Wae Rebo, hal 37)

Aku memasuki Mbaru Niang yang merupakan bangunan khas Wae Rebo. Bangunan yang kutinggali sementara ini difungsikan sebagai penginapan apabila ada tamu yang datang. Bangunan ini dilengkapi dengan dapur untuk para mama memasak dan juga kamar mandi di bagian belakangnya. “Setiap hari ada kelompok mama-mama yang bergantian mengurusi turis. Jadi dana yang dibayarkan sudah termasuk penginapan dan makan di sini,” kata Pak Aven. “Oh, berarti termasuk biaya perawatan desa juga, ya?” tanyaku. Pak Aven mengiyakan. Sudah seharusnya demikian, karena bangunan tradisional membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit. Memang kedengarannya aneh, karena seharusnya bisa lebih murah, namun perubahan iklim dan tanaman yang berangsur-angsur lama membuat bahan material untuk membangun rumah menjadi makin sulit didapat dan semakin jauh. Ketika aku menginap di sana, kami dikenai Rp. 250.000,- per orang per malam.

Rumah-rumah di Wae Rebo berbentuk kerucut dengan ujung yang menerus sampai ke bawah. Bentuk seperti ini jamak ditemukan di pemukiman-pemukiman adat di kawasan Manggarai Flores ini. Ada tujuh rumah yang berada di desa ini berdiri mengelilingi tanah lapang tempat mereka bersosialisasi dan beraktivitas di pagi dan sore hari. Usia desa ini sudah memasuki generasi ke-18, sementara satu generasi saja mencapai usia 60 tahun.

rumah tempat menginap tamu

rumah tempat menginap tamu

pintu masuk melalui tangga

pintu masuk melalui tangga

tidur di hamparan kasur yang tersedia

tidur di hamparan kasur yang tersedia

lapis kedua dari rumah bersusun

lapis kedua dari rumah bersusun

sambungan dengan dapur

sambungan dengan dapur

tiang-tiang penumpu yang ditanam dan dibungkus plastik dan ijuk, diikat oleh kayu kenti.

tiang-tiang penumpu yang ditanam dan dibungkus plastik dan ijuk, diikat oleh kayu kenti.

menu makan sebagai tamu

menu makan sebagai tamu

mama-mama yang memasak di dapur

mama-mama yang memasak di dapur

Di tengah-tengah kampung ini terdapat compang yaitu lingkaran yang berdinding batu dan di tumbuhi rumput setinggi kira kira 80 cm. Compang menjadi tempat utama masyarakat Wae Rebo melakukan persembahan kepada Tuhan dan leluhur. Berdiri di tengah-tengah desa di tepi compang dapat dirasakan dengan kuat pola melingkar yang menyelubungi kehidupan pemukimannya. Tujuh buah Mbaru Niang melingkari compang di seputar pelataran rumput desa. “Tidak boleh berdiri di atas compang,” pesan Pak Aven.

Di dalam Mbaru Niang fungsi rumah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Nolang dan Lutur. Tidak ada beranda di rumah kerucut ini, hanya bilik kecil yang berfungsi sebagai ruang antara atau foyer sebelum memasuki area Lutur yang merupakan area untuk menerima tamu dan bersosialisasi. Orientasi di dalam Mbaru Niang pun melingkar, sehingga bilik-bilik di dalam yang dijadikan kamar menghadap pada satu arah, yaitu tiang yang dinamakan bongkok yang menjadi titik pusat dari rumah berdenah lingkaran itu. Di badan bongkok ini terdapat takik-takik untuk naik ke lapis lantai yang kebih atas untuk menyimpan cadangan makanan.

Di tengah itu juga terdapat dapur yang merupakan sentra aktivitas seluruh anggota keluarga. Tungku segiempat yang berada di belakang tiang utama selalu ramai oleh mama-mama yang bergantian memasak atau menghangatkan badan. Di atasnya terdapat rak untuk meletakkan kayu bakar. Dengan pengasapan sambil memasak, kayu bakar yang diletakkan akan semakin cepat kering. Uniknya, rak yang digantung ke lapis kedua rumah ini memiliki detil ujung berbentuk bulat, yang bermakna kepala bayi yang keluar dari perut ibunya. Ya, seperti kebanyakan makna rumah di daerah Flores, rumah di Wae Rebo ini pun adalah rumah kaum perempuan.

compang, yang berada di tengah-tengah desa, tempat suci

compang, yang berada di tengah-tengah desa, tempat suci

pintu masuk mbaru gendang, rumah utama degan pelataran batu di depannya

pintu masuk mbaru gendang, rumah utama degan pelataran batu di depannya

di dalam mbaru gendang terdapat 8 bilik hunian, rumah lain hanya 6

di dalam mbaru gendang terdapat 8 bilik hunian, rumah lain hanya 6

bisa juga tidur menghampar di area depannya

bisa juga tidur menghampar di area depannya

perangkat upacara disimpan di mbaru gendang

perangkat upacara disimpan di mbaru gendang

perangkat dapur dari keluarga, mereka selalu memiliki kumpulan cangkir seng

perangkat dapur dari keluarga, mereka selalu memiliki kumpulan cangkir seng

area lutur, dengan dapur di tengah-tengah

area lutur, dengan dapur di tengah-tengah

penggantung kayu bakar di atas tungku, berupa hiasan berbentuk kepala bayi

penggantung kayu bakar di atas tungku, berupa hiasan berbentuk kepala bayi

Mbaru Niang ditumpu tiang-tiang kayu yang ditanam di atas batu di dalam tanah yang menjadi pondasi bangunan ini. Tiang-tiang ini ditanam sedalam 1.5-2 m. Untuk menghindari kelapukan, pada pembangunan terakhir bagian yang masuk ke dalam tanah dilapisi plastik dan diikat dengan ijuk. Penutup atapnya menggunakan ilalang yang didapat dari Pulau Mules. “Jauh sekali, Pak Aven. Memang di sekitar sini tidak ada ilalang yang cukup?” tanyaku sambil membayangkan apa susahnya menanam ilalang. “Pulau Mules ada di depan Dintor sana, ilalangnya cukup bagus, kuat dan panjangnya mencukupi,” jawabnya. Seperti sempat kubaca, ilalang ini berlapis-lapis sehingga membentuk atap tebal yang tidak akan tertembus air ketika hujan. Seluruh proses pembangunan Mbaru Niang yang dikerjakan bergotong royong ini memakan waktu empat bulan, yang tiga bulan di antaranya adalah masa pengadaan material sampai di atas.

tiang ditakik di dasarnya . sambungan antar tiang tanpa menggunakan paku

tiang ditakik di dasarnya. sambungan antar tiang tanpa menggunakan paku

di bagian bawah tungku terdapat perkuatan kayu horisontal di atas tiang-tiang yang tertanam

di bagian bawah tungku terdapat perkuatan kayu horisontal di atas tiang-tiang yang tertanam

Aku mengobrol dengan Judith, seorang turis asal Austria yang mengunungi Wae Rebo hanya dengan pemandu Indonesia saja. Ia bertanya, “What do you want to be in this village?”
“Children! They are so fun, just running everywhere, playing all the time..”
“I want to be the dog! Look they are just lazy, waiting for the food. And this place just like heaven to them!”

Benar, anjing-anjing kampung berkeliaran di sini tanpa mengganggu, mereka bermalas-malasan di pelataran batu depan Mbaru Gendang. Aku yang biasanya takut anjing pun tidak merasa gentar dengan kehadiran mereka. Anjing-anjing ini cenderung mengambil jarak dengan manusia, apalagi yang bagi mereka asing. Jika panas terik, mereka berbaring di bawah Mbaru Niang di antara tiang-tiang penumpunya.

aku dan judith

aku dan judith

anjing-anjing yang banyak berkeliaran, santai

anjing-anjing yang banyak berkeliaran, santai

Sore hari di Wae Rebo adalah saat-saat paling mengasyikkan. Saat matahari mulai surut ke arah barat, ketika orang-orang pulang dari kebun dan anak-anak bermain di pelataran, duduk-duduk di depan Mbaru Niang sambil memandangi semuanya itu. Di sini, waktu seolah tidak penting diukur lewat sebuah jam. Keluar dan melihat tinggi matahari mulai menyerong dan berada sedikit di atas bukit, ketika cahaya kekuningan itu menyoroti sebagian desa. Udara pegunungan tetap sejuk ditimpalimoleh suara burung-burung. Angin yang bertiup semilir juga menggerakkan awan-awan yang seolah menari di langit. Anak-anak berlarian bertemperasan di tanah lapang.

“Halo, namaku Indri. Boleh kenalan?”
Satu-satu mereka memperkenalkan diri. Ada Ronald, Ton, Atris, atau Aten, adiknya Ton yang tidak berbaju, mereka semua merubungiku. Aku membagi-bagikan cup agar-agar dan wafer yang mereka sambut dengan gembira. Seudah itu aku mengeluarkan buku bacaanku untuk diceritakan bersama-sama. Sebenarnya aku agak kecele, karena kukira aku akan banyak bertemu dengan anak-anak usia sekolah di sini. Ternyata begitu memasuki umur 6 tahun mereka dipindahkan ke desa Kombo, yang tak jauh dari Denge, dan pulang seminggu sekali.

Anak-anak ini semua penasaran dengan buku yang kupegang, jadi kubaca beberapa cerita dengan gaya bahasaku sendiri, dan mereka memerhatikan dengan tekun. Tapi satu per satu mulai berlarian di belakang, dan akhirnya aku juga ikut bermain dengan mereka. Kuminta mereka berlari bermain apa saja sambil kuabadikan lewat video. Lucunya, begitu selesai merekam mereka senang sekali melihat wajahnya sendiri. Kemudian kuajari bermain ‘kepala, pundak, lutut, kaki’ berulang-ulang lebih cepat sampai kami tertawa-tawa kelelahan. Hmm, lain kali kalau ke sana lagi akan kuajak main ular naga panjangnya, ah.

membaca buku bersama-sama

membaca buku bersama-sama

pelataran luas membuat asyik berlari

pelataran luas membuat asyik berlari

selalu tertarik dengan orang baru

selalu tertarik dengan orang baru

Ketika ibu-ibu mereka memanggil menyuruh mandi, aku mengisi waktu untuk bertandang ke rumah Pak Aven. Beliau tidak tinggal di Mbaru Niang, melainkan di rumah kayu yang terletak sebelum masuk pelataran bundar Wae Rebo. Ada sekitar lima rumah kayu di dekat kediaman Pak Aven. Di depan rumahnya ada beberapa pohon kopi yang berbuah merah. “Sebenarnya saya punya kamar di Mbaru Gendang sana, tapi memilih tinggal di sini,” ceritanya. Ayahnya, Opa Rafael adalah salah satu sesepuh desa Wae Rebo. Pak Aven tinggal dengan istri dan dua anaknya yang masih balita. Dua anaknya lagi yang lebih besar tinggal di desa Kombo bersama kerabat mereka. “Kalau ditanya berapa penduduk desa Kombo dan berapa penduduk Wae Rebo, jawabnya pasti sama, seratus dua puluh orang. Setiap hari ada orang Wae Rebo turun ke Kombo, atau orang Kombo naik ke Wae Rebo. Semua bersaudara, leluhurnya sama,” cerita Pak Aven. Desa Kombo memang didirikan oleh pendudukan Jepang di tahun 1940-an untuk membangun fasilitas-fasilitas pendidikan untuk masyarakat Wae Rebo di daerah yang lebih dekat dengan keramaian.

Usai meneguk kopi sore, kami naik ke bukit di atas rumah Pak Aven. Di sana ada perpustakaan yang kabarnya dibangun oleh Hatta Rajasa untuk masyarakat Wae Rebo. Sayangnya ketika aku ke sana, perpustakaannya tutup. Padahal aku ingin melihat aktivitas anak-anak di dalam taman ilmu ini sambil membacakan cerita. Tak ada satu pun anak-anak di sini seperti yang pernah kulihat dalam satu tayangan televisi. Melepas kecewaku, aku duduk-duduk di atas bukit sambil memandang keseluruhan desa yang mulai dinaungi bayangan bukit-bukit yang jatuh di halaman.

menumbuk kopi sebelum diseduh

menumbuk kopi sebelum diseduh

bersama mama yang hendak memasak

bersama mama yang hendak memasak

perpustakaan di atas bukit

perpustakaan di atas bukit

Angin lembah bertiup cukup kencang di atas, ditemani semburat jingga di kejauhan sana yang tertutup awan. Dari atas jelas sekali pola melingkar desa yang dibentuk juga dari lingkaran-lingkaran Mbaru Niang. Jika saja pandangan bisa melihat sawah, pasti akan terbaca juga pola melingkar di sawah-sawah tanah Manggarai ini. Aku mendengar bahwa warga Wae Rebo menanam kembali pohon-pohon di hutan yang akan dipergunakan untuk membangun kembali rumah mereka di masa yang akan datang. Kearifan yang diwariskan dari nenek moyang setiap bangunan tradisional nusantara, gantikanlah pada alam atas apa yang telah diambil, untuk tetap tumbuh dan ada penerusnya ketika dibutuhkan kelak.

Inilah prinsip pembangunan dengan material yang berkesinambungan. Walaupun membutuhkan waktu yang lama, namun harus ada upaya dari awal dan sikap bangga dengan lokalitasnya sehingga kebiasaan menanam untuk menggantikan ini bisa terus berlanjut hingga berbagai generasi. Masyarakat Wae Rebo sudah lama mempersiapkan diri sebagai tuan rumah turis mancanegara dengan keramahan dan hati tulus mereka untuk menjaga desanya. Keunikan, ketenangan, dan keindahan di sini semoga tetap berlangsung lama seperti pola melingkar yang mereka miliki. Tak putus menerus. Matahari yang juga bulat pun mulai tenggelam ke peraduannya.

Mohe Wae Rebo!

wae rebo 35 sunset

perjalanan 10-12 november 2014 | ditulis 25.02.2015 batam-jakarta
sebagian foto oleh jay

aku menuju wae rebo melalui kelimutu, moni, ende, bajawa, ruteng di cerita ini :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie
flores flow #5 : loka, batu, dan bena
flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng

simak juga :
flores flow #7 : 14 tindak tanduk asyik di wae rebo
flores flow #9 : anak-anak wae rebo


flores flow #9 : anak-anak wae rebo

$
0
0

anak-anak-wae-rebo-8-j

Lihatlah wajah-wajah polos mereka dengan ingus yang beleleran asyik bermain di pelataran tanpa beban, mengingatkan pada masa kecil yang pernah kau punya. Ketika jungkir walik tak karuan tak mendapat teguran, ketika berdekatan dengan lawan jenis tak meninggalkan kesan. Bahkan juga ketika tak berbaju pun dianggap wajar.

Ingatlah kepada masa di mana rasa ingin tahu selalu menebal, melihat orang baru tanpa rasa gentar, memperkenalkan diri merasa selalu benar. Menari tanpa aturan mengikuti suara hati, melintasi padang sambil berlari, tak malu jika badan masih bau karena belum mandi.

Pernahkah kamu rindu pada masa-masa itu, menebak bentuk awan tanpa takut hujan kan datang? Mendengar deru angin tanpa peduli pada badai siang. Memetik bunga-bunga tanpa tahu kapan berbuah. Mencabuti rumput-rumput tanpa berpikir selalu tumbuh.

Tahukah dunia yang acak seperti segenggam tanah di sini sama benar dengan hempasan ombak di tepi laut sana? Bahwa tawa anak-anak di seluruh negeri seharusnya seperti ini?

    Mereka ada bukan sebagai tontonan, tapi dijadikan teman, diajak bermain, bercerita tentang keseharian. Maka senyum tulus dan tawa ceria yang akan didapat tanpa dibuat-buat. Mereka jarang bertemu petugas kesehatan, yang mungkin datang sebulan sekali, maka janganlah hirau dengan pilek yang tak kunjung henti, di tengah energi yang tak pernah habis berlari. Mereka adalah bagian keseharian dari bumi Indonesia. Tersenyum, bicara, santun, dan dapatkan lebih dari apa yang dikeluarkan.

[memory of chaos | wae rebo | 12.11.14]

ruang aktivitas flores flow #7 : 14 tindak tanduk asyik di wae rebo
ruang arsitektur : flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus

anak-anak-wae-rebo-1-edited

anak-anak-wae-rebo-2-edited

anak-anak-wae-rebo-3

anak-anak-wae-rebo-4

anak-anak-wae-rebo-5

anak-anak-wae-rebo-6-j

anak-anak-wae-rebo-7-j

anak-anak-wae-rebo-9-j-edited

anak-anak-wae-rebo-10-j

anak-anak-wae-rebo-11-j

anak-anak-wae-rebo-12-j

anak-anak-wae-rebo-13-j

anak-anak-wae-rebo-14-j

anak-anak-wae-rebo-15-j

anak-anak-wae-rebo-16-j


flores flow #10 : pulang dari wae rebo naik apa?

$
0
0

bis 8-tampak samping

because he had no place he could stay in without getting tired of it and because there was nowhere to go but everywhere, keep rolling under the stars…
― Jack Kerouac, On the Road

Aku merogoh daypack hijauku sambil memastikan apakah semua peralatan elektronik yang semalam sempat di-charge di rumah Pak Blasius Monta sebelum genset mati sudah kubawa semua. Otokol yang meninggalkan desa Denge satu jam yang lalu masih terguncang-guncang di jalanan berbatu. Udara dini hari yang dingin menghembus dari samping. Hutan-hutan yang dilewati pun masih menyiratkan sepi.

Glek!
Mana charger kameraku? Lalu bagaimana aku memotret dalam tiga hari mendatang? Aku mulai sedikit panik (namun dalam hati panik beneran). Sementara waktu masih menunjukkan jam 4 pagi, hari masih gelap, dan kami semua masih di jalan antara Denge menuju Ruteng, in the middle of nowhere, tidak tahu di mana tepatnya kami berada.

Charger kameraku nggak ada…”
“Kemarin di meja tempat nge-charge iPad dan handphone, sudah kuambil semua.”
“Iya, tapi charger-nya ada di ujung dekat pintu, sedang mengisi baterai cadangan, yang satu sudah kumasukkan di kamera, satu lagi ku-charge.”

Aku terdiam. Berpikir bagaimana cara supaya benda itu kembali ke tanganku. Ada tiga pilihan, pertama menggunakan ojek kembali ke Denge dan mengambil charger lalu meneruskan naik ojek ke Ruteng, biayanya akan mahal sekali. Atau kembali naik otokol ini nanti siang ke Denge, tapi pasti akan memakan waktu lama. Pilihan ketiga menulis surat atau menitip pesan pada Pak Blasius untuk memaketkan charger plus batere kameranya ke Jakarta. Hmm, sepertinya akan butuh waktu jauh lebih lama.

Kemarin sore, setelah tiba lagi di kediaman Pak Blasius Monta sesudah turun dari Wae Rebo dengan berjalan selama 3 jam, kami diberi tahu beliau, apabila mau naik otokol, kendaraannya akan datang pada jam 3 pagi. Jadi kami harus bersiap-siap jam setengah tiga. Alternatif lain selain naik otokol yang hanya bertarif Rp. 30.000,- ini adalah naik ojek (apabila ingin bangun lebih siang) dengan tarif Rp. 200.000,-/orang sampai di jalan raya Ruteng-Labuan Bajo. Sebelum naik ke Wae Rebo dua hari sebelumnya pun kami ditawari seorang supir dari Labuan Bajo yang bersedia menjemput dengan tarif jasa Rp. 1.000.000,- per mobil.

Mempertimbangkan bahwa kami sudah harus mulai berhemat karena overbudget sewaktu menyewa mobil kemarin, jadi naik otokol menjadi pilihan. Tak apalah bangun pagi-pagi buta demi penghematan! Setelah membereskan seluruh packingan supaya besok tidak repot-repot lagi, aku memasang alarm jam 2:30 dan segera pergi tidur.

Teteoooootttttt….
Jam 2 pagi Pak Blasius membangunkan kami dan mengatakan bahwa otokol sudah datang memanggil-manggil, membunyikan klakson di depan! Waduh, tergeragap, aku segera menyambar jaket, mencangklong tas-tas yang sudah siap, tanpa sisiran dan cuci muka, berpamitan pada Pak Blasius, menyapu pandangan ke meja tempat meletakkan berbagai peralatan elektronik kemarin, berlari ke otokol di jalan depan halaman rumah, memanjat naik truk itu lewat roda belakangnya. Aku meraba tanganku. Ups, gelang-gelangku ketinggalan! Tapi ya sudahlah, karena supir otokol sudah menunggu cukup lama (padahal dia kecepetan, ya) dan tidak enak dengan penumpang lain yang berada di truk itu, akhirnya kurelakan gelang-gelang itu.

Tetoooottt…. Otokol melaju turun dari Denge, sambil membunyikan klaksonnya kencang.

Setiap hendak tiba di titik penjemputannya, otokol akan membunyikan klaksonnya kencang-kencang. Lagu sendu tahun 80-an yang biasa terdengar di bis antarkota, dibunyikan kencang-kencang di sini. Galau pagi buta, lah! Penumpang-penumpang ini ada yang sudah siap di tepi jalan, atau harus dijemput oleh si kenek ke dalam rumahnya yang agak mblusuk. Biasanya memang mereka sudah berpesan sejak sore untuk keberangkatan besok paginya. Tak jarang hanya barang saja yang naik mungkin titipan untuk seseorang di kota Ruteng, yang merupakan tujuan akhir otokol ini.

Jadi, begitulah kami terguncang-guncang selama satu jam di dalam kotak kayu di belakang mesin truk, ketika menyadari ada barang penting yang ketinggalan. Duh, gimana ya? Bisa-bisa merusak jadwal kami nih, karena keesokan paginya kami sudah memesan kapal di Labuan Bajo. Diam-diam aku sedikit menangis di pojokan menyesali kecerobohanku. Tak lama bersedih, kami mulai berkasak-kusuk di antara penumpang bagaimana cara mencari kabar ke Denge dan mencoba barangkali mereka ada seseorang kenalan yang bisa dititipi untuk menyusul kami dengan motor.

“Di Denge nggak ada sinyal..”
Dheg. Berarti mau tak mau kami harus kembali ke Denge. Supaya ongkosnya tidak terlalu mahal, maka kami harus balik jauh sebelum jalan raya. Tapi di mana bisa menemukan ojek di jam 5 pagi? Ini di pedesaan, loh!

“Nanti turun saja di Narang, naik ojek balik lagi ke Denge. Nanti tunggu di rumah saudara saya, masih bersaudara dengan Pak Blasius juga,” kata seorang gadis muda yang tadi naik di daerah Dintor. “Jam setengah sepuluh nanti ada bis dari Narang menuju Cancar. Jadi masih sempat kalau nanti setiba di Narang naik ojek kembali ke Denge dan balik lagi, masih terkejar bisnya,” lanjutnya hangat.
“Lalu ojeknya bagaimana?”
“Ini saya hubungi kakak dulu di Narang, ya. Minta supaya dicarikan ojek di sana.”

Ouh. Aku lega sekali.
Masyarakat di sini baik sekali.
Kepada seseorang tak dikenal seperti kami mereka rela repot-repot mencarikan info.

Nurma, nama gadis tadi, benar-benar menghubungi kakaknya di Narang untuk menunggu kami. Setidaknya memang anggaran ekstra kami hanya untuk ojek Narang-Denge-Narang saja nanti. Satu penumpang di belakangku menasihati, “Lain kali bawaannya dimasukkan satu tas saja, biar tidak ketinggalan.” Aku tersenyum getir. Benar juga, ini memang keteledoranku sampai-sampai harus merepotkan orang-orang satu otokol.

Sekitar jam setengah enam pagi kami tiba di Narang, di depan sebuah rumah yang menghadap sawah. Aku menurunkan barang-barang kami dan diperkenalkan pada Bu Mia, kakak yang juga masih bersaudara dengan Pak Blasius. Kami hanya membayar ongkos otokol sebesar Rp 10.000,-/orang. Sementara Nurma melanjutkan perjalanannya, kami disambut hangat oleh pemilik rumah.

Bu Mia menghidangkan kopi sembari kami menjelaskan maksud merepotkannya. Akhirnya diputuskan bahwa Jay yang akan kembali ke Denge mengambil chargerku naik ojek, sementara aku menunggu di sini. Kemudian Bu Mia mencari seseorang yang bersedia mengantar kembali ke Denge.

Setelah mendapatkan ojek, Jay berangkat ke Denge dan aku kembali beramah tamah dengan bu Mia. Ia tinggal dengan suaminya yang menjadi pengajar SMA di Narang beserta seorang anak dan keponakannya. Ia melanjutkan mempersiapkan kebutuhan pagi keluarganya, sementara aku malah nongkrong di tepi jalan untuk menunggu anak-anak sekolah lewat.

jalan desa narang yang dilewati anak sekolah

jalan desa narang yang dilewati anak sekolah

Desa Narang ini tidak terlalu besar. Adanya SMA Negeri di sini membuat tempat ini juga menjadi titik temu dari beberapa desa lainnya di sekeliling. Beberapa anak-anak sekolah lewat mengenakan pakaian pramuka. Wah, aku sampai lupa hari bahwa ini Kamis. Eh, tapi biasanya di hari Kamis kan anak-anak sekolah memakai batik? Mungkin kebijakan di sini berbeda.

Mereka tersenyum malu-malu ketika aku mengarahkan lensa kamera untuk mengabadikan. Beberapa yang sudah lebih besar malah menutupi mukanya. Aku menyapa mereka meminta izin,”Boleh difoto, kak?”
“Jangan, sudah terburu-buru ke sekolah,” tolaknya. Anak sulung bu Mia sudah mengenakan seragamnya dan melambaikan tangan hendak berangkat ke SMA yang sama dengan tempat ayahnya mengajar. Aku tersenyum dan balas melambai.

anak-anak berseragan pramuka yang malu-malu

anak-anak berseragan pramuka yang malu-malu

sekolah SMA Narang di tengah sawah yang dituju dari desa-desa sekitar

sekolah SMA Narang di tengah sawah yang dituju dari desa-desa sekitar

Sesudah jam tujuh pagi dan anak-anak sekolah sudah lewat semua, aku mulai bosan. Kuputuskan untuk membaca saja di teras rumah. Tapi desir angin dari sawah membuatku mengantuk sampai akhirnya bu Mia menawariku untuk beristirahat. Ugh, benar juga. Bangun terlalu pagi membuatku mengantuk. Aku masuk kamar dan tertidur lagi hingga jam delapan.

“Temannya kok belum datang-datang, ya?” Suara Bu Mia membangunkanku. Sudah jam delapan pagi dan kemungkinan bis datang pada jam sembilan. Aku cemas juga sih. Masa kita ketinggalan bis lagi pagi ini? “Nanti kalau gak dapat bisnya, menginap saja satu malam di sini..”

Waduh. Buat perjalanan dengan skedul agak ketat sepertiku, terlambat satu hari bisa bermasalah, nih. Aku tersenyum simpul. “Mudah-mudahan jangan, Bu.” Tapi ini kan kesalahanku juga bagaimana benda ini bisa tertinggal dan memolorkan waktu berjam-jam. Ya, lihat saja nanti deh.

Syukurlah sesudah kami sarapan, Jay datang juga akhirnya. Ongkos ojeknya Rp. 100.000,- PP ditambah ia membelikan bensin sebotol Aqua besar seharga Rp. 20.000,-. Ia membawakan charger, gelang-gelang, dan ikat pinggangku yang juga ketinggalan. Tuh, kan. Ceroboh benar aku. Ia langsung sarapan dan menenggak kopi yang dihidangkan.

    “Tadi sesudah mengambil barang dari rumah Pak Blasius, ban motornya ternyata bocor. Jadi aku jalan kaki sekitar 30 menit turun, sambil melihat-lihat anak-anak berangkat sekolah. Ketemu lagi dengan Pak Aven yang heran, kenapa masih ada di sini lagi. Orang-orang Wae Rebo yang kemarin ketemu kita juga heran, In.
    Tadi aku sempat lewat kampung Kombo, yang banyak dihuni masyarakat Wae Rebo itu. Pemukimannya biasa, seperti yang banyak kita lewati di jalan. Tapi di situ ada sekolah dan fasilitas kesehatan. Lucu melihat anak-anak ini berangkat sekolah, mereka pakai rompi bermotif Wae Rebo. Sayang karena aku buru-buru, tak sempat memotret.
    Sampai di tempat tambal ban, baru diperiksa, ternyata butuh satu tambalan lagi. Jadi menunggu lagi, deh.”

Jam sembilan satu bus 3/4 datang perlahan lewat depan rumah. Horeeee… Kami bisa pulang! Bu Mia melambaikan tangan pada supir bus yang akan ngetem dulu di lapangan, supaya nanti kalau balik lagi berhenti di rumahnya. Kami berpamitan pada Bu Mia dan suaminya yang begitu baik mau direpotkan gara-gara keteledoran ini. Sekaligus kami senang, wah, ada alternatif moda transportasi ke Wae Rebo nih!

Kami mengambil tempat duduk paling depan, di samping Pak supir yang sedang bekerja. Tentu saja kami jadi melihat, medan seperti apa yang ditempuh oleh bis yang hanya beroperasi sekali sehari itu. Ketika sudah meninggalkan kawasan desa, bis memasuki area hutan dengan tebing di kiri dan jurang di kanan. Jalanan yang berbatu-batu dan ber kelak-kelok memang membutuhkan keterampilan dan pengalaman pengemudinya. Beberapa kali aku bergidik dengan manuver pak sopir ketika berbelok di tepi jurang.

jalanan di desa masih mulus di tengah batang kering

jalanan di desa masih mulus di tengah batang kering

lembah kering menjelang siang

lembah kering menjelang siang

Sepertinya, jika ada yang bisa menyetir di jalur ini, pasti kemampuan menyetirnya sudah hebat, dan tahan dengan jalan menanjak berbatu berkelok ini setiap hari. Sudah 35 tahun loh! Tak heran orang-orang di jalur mengandalkan bus ini selain otokol dari Denge/Dintor yang lewat lebih pagi. Tak sekali bus ini berhenti di satu titik untuk mengambil titipan barang dan disampaikan pada penerima di desa tujuan yang masih berada di jalurnya. Cocok sekali pak supir ini menamai bisnya, Harapan Bersama.

    “Usaha bis ini sudah dijalankan sejak tahun 1979. Dari dulu hingga sekarang bis berangkat dari Cancar menuju Narang jam setengah tujuh pagi, kemudian kembali lagi jam sembilan. Sampai lagi di Cancar sekitar jam dua belas siang,” Pak supir menjelaskan padaku.
    “Memang tidak bisa dibuat dua rit sehari, Pak?”
    “Tidak ada yang bisa menggantikan. Bus saya ini memang cuma saya yang menyetir.”

Di satu titik, bis menanjak tersendat dan tiba-tiba berhenti. “Diperiksa dulu, sepertinya lahr-nya kena,” kata Pak Supir melompat turun. Waduh, pikirku. Tapi ya, sudahlah. Aku berhenti memikirkan kapan kami harus tiba, dan mencoba menikmati momen berhenti itu. Sementara pak supir memperbaiki mobilnya, aku turun dan melihat-lihat keadaan sekitar. Salah seorang penumpang menghampiriku dan menunjuk ke atas, “Itu kampung Todo, ada satu Mbaru Niang juga di situ.”

kampung Todo dari kejauhan

kampung Todo dari kejauhan

Wah, asyik! Di puncak bukit di depan sana, terlihat puncak kerucut Mbaru Niang nampak sangat jelas. Aku mengambil lensa tele dan memotret rumah itu, karena kita tentu tak akan mampir ke situ dalam perjalanan sekarang. Kejutan berhenti yang menyenangkan! “Nanti kita lewat Todo juga, Pak?” tanyaku. Penumpang yang berusia kira-kira setengah baya itu mengiyakan. “Tapi cuma sampai jalan besarnya saja. Kalau lihat Mbaru Niangnya harus naik ojek lagi.”

Setelah berhenti hampir satu jam, mesin mobil dinyalakan lagi dan kembali perjalanan yang endut-endutan di jalan berbatu itu dimulai lagi. Tak jauh dari situ, kami memasuki kawasan Todo, dan jalan berubah menjadi mulus beraspal. Ada sekolah yang ramai anak-anak pulang sekolah, ada warung-warung dan pemukiman di tepi jalan. Wah, sudah tengah hari rupanya. Ada persimpangan yang menunjukkan arah menuju rumah Mbaru Niang yang tadi aku lihat dari bawah, tapi kami tak singgah.

bis harapan bersama ketika sedang berhenti tanpa rencana

bis harapan bersama ketika sedang berhenti tanpa rencana

penumpang setia harapan bersama

penumpang setia harapan bersama

daripada bosan menunggu, senyum dulu.

daripada bosan menunggu, senyum dulu.

Di jalan yang lebih mulus dan lebih lebar ini, pak supir lebih santai menjalankan bisnya. Beberapa kali kami bertemu otokol dari arah yang berlawanan. Tidak semua sampai Dintor, tergantung desa-desa sekitarnya. “Kalau yang ke Denge atau Dintor ada tiga, yang berangkat jam lima pun ada,” katanya. Oh, tahu begitu kami tidak terburu-buru kemarin. Aku hanya meringis mendengar penjelasannya. Bis melaju terus berkelak-kelok sampai Pela, yaitu satu titik persimpangan di jalan raya Ruteng – Labuan Bajo, di mana orang bisa naik bis ke Labuan Bajo.

“Kalau bis ini hanya sampai Cancar, kalau otokol sampai Ruteng,” ia menunjukkan satu otokol di tepi jalan yang kami kenali sebagai mobil yang membawa kami dari Denge. Aku memperhatikan jalur yang sudah kami lalui melalui Google map. Rupanya memang kami sudah melintasi separuh lebar pulau Flores sejak pagi-pagi buta tadi.

seperti ini otokol yang menjadi transportasi andalan desa ke kota

seperti ini otokol yang menjadi transportasi andalan desa ke kota

“Kami mau lihat sawah laba-laba, Pak. Nanti kasih tahu turun di mana, ya,” pesanku. Walaupun sudah tengah hari aku tetap tidak mau melewatkan melihat salah satu keunikan sistem pertanian sirkular yang dianut oleh masyarakat Manggara, Flores Barat, ini.

Tapi yang lebih berharga dari sepotong perjalanan ini adalah, orang-orang baik. Aku begitu saja menitipkan kepercayaan pada mereka dan mendapatkan jamuan keramahan yang luar biasa. Di tengah jalan berbatu, hingga saat siang ini, anugerah bertemu orang-orang dari jalur-jalur yang tak kukenal ini, yang membuatku tetap tersenyum, menikmati setiap waktu yang dihabiskan.

“Terima kasih, Pak!” seruku sambil meloncat turun usai membayar ongkos Rp 25.000,-/orang ketika kami diturunkan di satu simpang di Cancar. Perjalanan tiga jam setengah yang berkesan.

Denge-Cancar 13 Nopember 2014.
ditulis di depok-pulomas-senayan-depok 09.03.2015 : 03.05

    Catatan :
    Jalur otokol dari Desa Denge :
    Denge – Dintor – Narang – Pela – Cancar – Ruteng

    Jalur bis Harapan Bersama :
    Narang – Pela – Cancar

    Denge : Nama desa start point sebelum jalan kaki ke Wae Rebo. Terdapat homestay milik Pak Blasius Monta.
    Dintor : Nama desa di bawah Denge, letaknya di tepi laut, umum juga sebagai tempat persinggahan, hanya harus naik kendaraan lagi hingga start point jalan kaki. Ada Wae Rebo Lodge, penginapan yang cukup nyaman milik Pak Martinus Anggo.
    Narang : Nama desa di antara Dintor dan Pela, di tengah persawahan, dengan jadwal bis yang teratur satu kali setiap hari.
    Pela : Nama desa titik persimpangan di jalan raya Ruteng – Labuan Bajo, tempat turun/naik bis antar kota di jalur utama trans Flores.
    Cancar : Nama desa yang terkenal dengan sawah berbentuk jaring laba-laba, terletak di antara Pela dan Ruteng ke arah Timur
    Ruteng : Ibukota Kabupaten Manggarai, bagian barat Flores.

Baca juga :
Di Wae Rebo bisa ngapain saja? lihat : flores flow #7 : 14 tindak tanduk asyik di wae rebo !
Belajar tentang budaya dan arsitektur di : flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus
Berikan sedikit keceriaan di sini : flores flow #9 : anak-anak wae rebo



flores flow #11 : seputar lingkar sawah cancar

$
0
0

spider-web-rice-flores-1

“Nanti jalan terus saja, lalu naik bukit, dari atas sana bisa melihat sawah berbentuk jaring laba-laba,” pesan Pak Supir Harapan Bersama sebelum aku turun.

Hari panas terik.
Di pertigaan banyak orang-orang yang menawarkan jasa ojek menuju bukit.
Aku tetap berjalan dengan ransel 40 liter di punggung dan daypack di dada.
Matahari masih bersinar dengan garang.

    But you already here. Ingat dong perjuangan kamu tadi pagi hingga tiba di sini.

Sebelum belokan ke kiri, aku sudah melihat bukit. Kuikuti saja di mana lembahnya sehingga aku bisa mulai menapaki. Rumah-rumah di kiri dan kanan. Anak sekolah yang berjalan ringan di depanku. Kukejar.

    Hai, kalau mau lihat sawah laba-laba, naik dari mana?
    Terus saja, di bawah menara itu ada jalan.

Pantas saja diingatkan waktu untuk melihat sawah ini di pagi hari. Di saat seharusnya embun-embun membuka hari, ditemani kesejukan udara bersih untuk dihirup. Saat manusia petani masih beraktivitas memeriksa tanamannya, sumber penghidupan mereka. Tapi apa tak layakkah sawah dikunjungi juga di siang hari?

    Kamu nggak apa-apa? Masih kuat?

Satu tikungan ditemukan dengan anak tangga beraturan menuju puncak bukit. Menitipkan ransel dan daypack, melangkah naik hanya membawa alat-alat perekam gambar, untuk pembuktian lokasi dan berbagi. Menapaki satu demi satu, di bawah naungan bambu, hingga tiba di atas disambut tiupan angin yang menghempaskan peluh.

spider-web-rice-flores-2

    Lingkaran.
    Di bawah sana, ada pembagian sempurna. Sudut demi sudut yang terbentuk dari luasan petak. Setiap bilah juring sawah yang ditanami pada masa yang berbeda. Hijau yang berbeda pada tiap lajur. Mungkin pemiliknya berbeda-beda, mungkin juga masih ada hubungan saudara. Terpikirkah bagaimana membagi luasan wilayah sawah itu antar mereka? Apakah angka ajaib 22/7 yang dipergunakan? Apakah rumus-rumus luar biasa tentang luasan menemani pembagian ini? Atau samakah pola melingkar ini dengan rumah Mbaru Niang di kawasan Manggarai ini? Ketika lingkarannya yang sempurna bisa dibagi dengan adil.

Dari tepi jalan, sawah ini serupa hijau lainnya yang sempat ditemui. Rata dalam sejauh pandangan, hanya terlihat tonggak-tonggak berbendera membatasi jarak. Dalam pandang dua dimensi, berada dalam satu elevasi. Semua berubah ketika diamati dari ketinggian. Ujung demi ujung terlihat sejauh sudut mata.

spider-web-rice-flores-3

    Bahwa mata melihat berbeda tergantung ia melihat dari sisi mana. Bahwa yang kupikirkan adalah rumus matematika, alih-alih kearifan warga dalam membagi tanahnya. Bahwa otak ritmisku yang mencari harmonisasi dari lingkaran yang menghampar di bawah sana. Apakah ada pola berulang? Apakah ada deret hitung setiap berapa juring warna hijaunya kembali sama? Dibagi menjadi berapa lingkaran itu? Dibagi menjadi berapa lagi juring-juring itu? Bagaimana dengan luasan di antara titik persinggungan lingkaran?

Beberapa orang turis Eropa naik ke atas bukit dan memotret sawah itu dari atas. Mungkin juga keunikan ini tak ada di negaranya. Mungkin juga mereka mencari sudut yang berbeda. Awan-awan mulai melindungi dari terik matahari. Panas yang tadi membakar muka, perlahan disejukkan. Wajahku pias, menahan haus, mengintip lewat lubang rana.

spider-web-rice-flores-4

    Sawah ini bernama lingko. Berima dengan kata lingkar yang berbentuk sama. Memiliki pusat ditandai dengan kayu teno, ditarik keluar hingga titik lander. Berulang ke samping hingga mengitari lingkaran. Dibagi-bagi lagi setiap potongannya dengan dimensi organis. Mengukur dengan jari, dengan jengkal, ataupun langkah. Karena bukankah tubuh manusia serupa satu konstruksi geometris?

Tidak lebih dari tiga puluh menit berdiri di atas, aku turun. Mungkin sebelum kepalaku makin banyak berpikir alih-alih menikmati hijau. Awan dengan cepat berubah kelabu. Kembali mengangkat ransel dan menyusuri jalan yang sama. Rumah-rumah yang tadi dilewati. Penduduk yang ramah melambaikan tangan. Supir angkutan pedesaan yang menawarkan jasanya. Kembali ke pertigaan tempat Pak Supir menurunkan kami tadi. Bertemu seorang calo travel, yang menawarkan jasa antar ke Labuan Bajo. Duduk di emperan toko bangunan.

Kemudian hujan turun. Deras sekali.

    Bumi ini melingkar. Orbitnya juga melingkar. Matahari pun berbentuk lingkaran. Maka tak ada yang salah dengan sawah lingko tadi. Pun dengan hujan deras sesudah panas terik ini. Semua bekerja dalam siklus. Lingkaran. Kembali ke awal.

Bus datang, pengemudinya berambut gimbal rasta namun berkaus merah muda. Membawa kami melintasi hujan deras, naik turun pegunungan, menaik turunkan penumpang, mengambil barang titipan. Hutan, jurang, lembah, desa, kembali kami lewati. Di satu titik tinggi ia berhenti, memperlihatkan siluet gunung dengan laut sebagai latar di belakangnya. Mungkin ia tahu, perjalanan di senja hari ke arah barat selalu memberikan pemandangan yang menakjubkan. Lembayung, biru, bercampur jingga.

ruteng-labuanbajo-scene

cancar-labuan bajo 13 Nopember 2014.
pink room, 09.03.15 | 00.15

remah perjalanan dari :
flores flow #1 : fly to kelimutu
flores flow #2 : maria, gadis pemandu sa’o ria koanara
flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa
flores flow #4 : luba, doa dari kaki gunung Inerie
flores flow #5 : loka, batu, dan bena
flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng
flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus


flores flow #12 : bukit-bukit kering pulau rinca-komodo

$
0
0

rinca-11

If the bite doesn’t kill the prey outright, the venom will.

Matahari bersinar cukup terik ketika kami tiba di Pulau Rinca, yang termasuk dalam pengelolaan Taman Nasional Pulau Komodo. Dermaga Pulau Rinca hanya berisi empat perahu berukuran sedang. Mungkin sudah sejak pagi turis-turis ini tiba, sehingga menjelang jam 11 begini sudah tidak terlalu ramai. Menyusuri dermaga hingga ke pintu gerbang, ternyata tak ada satu pun ranger yang menyambut di situ. Lho, bagaimana ini? Tapi ada jalan setapak yang bagus ke arah kanan. Bersama dua pasang turis, kami menyusuri perkerasan jalan setapak itu, hingga bertemu gerbang dan satu padang besar kosong di mana jalan setapak ini seperti melayang di atasnya. Sequence yang indah sebagai jalan masuk!

Perbukitan berwarna keemasan terhampar di depan mata. Musim kemarau yang lambat berakhir di sini hanya menyisakan sedikit kehijauan pada pohon-pohon. Langit biru yang membentang di angkasa memberikan kontras ditengarai gugusan mega. Berjalan di tengah padang itu, di ujungnya baru ditemui kantor-kantor pengelola Taman Nasional ini.

Kami masuk salah satu kantor untuk membayar tiket masuk. Untuk wisatawan domestik seperti kami hanya perlu membayar Rp. 20.000,- saja ditambah tiket kamera seharga Rp. 5.000,-/unit. Semua wisatawan diharuskan diantar oleh pemandu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Komodo adalah binatang buas berbahaya yang hidup secara liar di sini. Tentu tidak boleh gegabah dengan mencoba sok-sokan jalan-jalan sendiri di sini. Bisa-bisa ketangkap komodo, nanti.

dermaga pulau rinca

dermaga pulau rinca

gerbang masuk taman nasional yang tersembunyi.

gerbang masuk taman nasional yang tersembunyi.

menyusur tengah padang pulau rinca

menyusur tengah padang pulau rinca

kosong dan hening sebelum masuk hutan

kosong dan hening sebelum masuk hutan

Di dekat kantor pengelola terdapat beberapa bangunan fasilitas yang cukup lengkap. Ada satu tempat duduk-duduk tempat turis bisa beristirahat dan membeli sedikit jajanan. Nuansa alami sangat kental di sini dengan kayu-kayu sebagai tiang dan batu alam yang dibiarkan kasar di dinding. Di langit-langit yang dibiarkan terbuka, berbaris rapi kayu-kayu kecil telanjang dari kulitnya. Toiletnya yang merupakan satu bangunan terpisah sendiri pun berdinding batu-batu dengan atap yang dibiarkan mengambang di atas tembok berdirinya, memberi sela untuk pengudaraan alami.

kantor pengelola di tengah padang.

kantor pengelola di tengah padang.

rest area, atap rumbia dan batang-batang unik

rest area, atap rumbia dan batang-batang unik

Pemandu kami, bernama Pak Samad, membawa kami melintasi halaman hingga tiba di depan beberapa bangunan panggung yang di bawahnya, ada komodo-komodo sedang tidur-tiduran! Mungkin karena panas, komodo ini memilih berteduh dan bermalas-malasan di naungan ini. Komodo ini berwajah garang namun terlihat agak malas. Geraknya pun hanya sedikit menggeleser kiri dan kanan. Beberapa orang mencoba berfoto di tempat yang agak berjarak dengan komodo ini. “Jangan terlalu dekat,” kata pemandu mereka. Walaupun mereka terlihat malas, jangan berharap bisa berpose sambil mengelus-elus mereka misalnya. Binatang berdarah dingin ini ternyata bisa berlari dengan kecepatan hingga 20 km/jam. Satu tips dari pemandu kami, jika kebetulan dikejar komodo, larilah zigzag karena komodo hanya bisa mengejar dalam garis lurus.

komodo bermalas-malasan di bawah bangunan

komodo bermalas-malasan di bawah bangunan

kadal raksasa yang agak dewasa

kadal raksasa yang agak dewasa

Komodo (Varanus komodoensis) adalah binatang berdarah dingin, spesies kadal terbesar di dunia yang hanya ditemukan di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Flores, Gili Motang dan Gili Dasami ini sekarang berada di ambang kepunahan sehingga populasinya dilindungi oleh pemerintah dalam Taman Nasional. Komodo masuk dalam keluarga biawak, yang bisa berjalan di darat maupun berenang di air. Badannya yang besar mungkin disebabkan karena alam tinggalnya yang luas.

Kami memasuki hutan yang kering mengikuti jalur jalan setapak. Ranting dan pohon kering di mana-mana. Warna kecoklatan tanah berbaur dengan batang-batang pohon. Benar saja, komodo bisa menyembunyikan diri di antara lansekap ini. Warna tubuhnya tak bisa dibedakan dengan batang pohon rebah. Mereka bisa bersembunyi dari kewajiban sebagai tontonan. Di Pulau Rinca yang seluas 1000 hektar ini, terdapat kurang lebih 2000 ekor komodo.

Komodo menghasilkan 15-20 butir telur setiap pada masanya. Komodo betina hanya bertelur di satu lubang, namun ia juga menggali banyak lubang di sekitarnya untuk mengelabuhi musuhnya misalnya babi, ular, atau komodo lain. Ia menjaga sarangnya selama tiga bulan, lalu sesudah lewat musim hujan ia baru meninggalkan sarangnya. Biasanya telur menetas sekitar bulan Maret-April setelah berumur sekitar 8-9 bulan. Ukuran bayi yang baru menetas sekitar 35 cm. Setelah keluar dari lubang, anak komodo akan melihat-lihat sekitar karena ia rentan menjadi mangsa predator, termasuk menjadi incaran komodo dewasa. Anak komodo ini akan hidup di atas pohon selama kira-kira tiga tahun dan memakan binatang-binatang di atas pohon seperti cecak atau tokek, namun terkadang turun ke tanah dan mengambil air minum. Di pohon pun, anak komodo tetap harus waspada terhadap predator lain, yaitu burung elang. Tingkat keberhasilan hidup anak komodo cukup rendah, hanya sekitar 16%. Sedihnya, predator bayi komodo ini paling besar adalah para komodo dewasa.

“Kalau terkena gigitan komodo, maka harus segera dilarikan ke Bali untuk diberi antibiotik khusus,” Pak Samad bercerita, pernah ada seorang ranger yang tergigit komodo ketika sedang patroli pagi-pagi. “Mungkin karena belum terlalu terang, sehingga tidak melihat komodo dan terkejar hingga tergigit. Untunglah patrolinya tidak sendiri, sehingga komodo yang menyerang bisa dihalau.”

rinca-3

rinca-4

rinca-5

rinca-6

rinca-7

rinca-8

rinca-9

rinca-10

Jika mau melihat lebih banyak komodo, datanglah di pagi hari, pesan Pak Samad. Karenanya kami tiba di Pulau Komodo jam tujuh pagi. Dermaganya yang panas dan cukup panjang, karena dermaga ini juga dipersiapkan untuk kapal-kapal besar kelak, sehingga tidak terlalu dekat garis pantai. Tepian pulau Komodo penuh dengan pepohonan rindang yang dilalui dalam perjalanan menuju kantor Taman Nasional. Satu keunggulan pengelolaan tempat ini dibanding beberapa taman nasional yang pernah kukunjungi adalah adanya jalur sirkulasi yang jelas untuk pengunjung.

Dari tepi laut hingga kantor harus melalui selasar terbuka dari susunan kayu yang berdiri di atas tanah. Mungkin ini untuk mengamankan pengunjung apabila tiba-tiba ada komodo yang merayap-rayap di tanah. Kami juga melalui bangunan tempat penjualan cinderamata nanti siang dijual.

dermaga pulau Komodo yang jauh menjorok

dermaga pulau Komodo yang jauh menjorok

gerbang selamat datang pulau Komodo

gerbang selamat datang pulau Komodo

selasar kayu melintasi terowongan pohon

selasar kayu melintasi terowongan pohon

Selepas dari kantor pengelola, pemandu membawa kami berkeliling pulau dengan menyusuri jalan setapak yang cukup rapi dibatasi oleh batu-batu kecil di kiri dan kanannya. Berjalan di sini sebenarnya lebih nyaman menggunakan sepatu trekking. Tapi karena kupikir medannya tidak berat, sepatu aku tinggal di Labuan Bajo kemarin. Menurut pemandu kami, terkadang komodo berjemur di atas bukit di pagi hari. Pemandu selalu membawa satu tongkat dengan ujung Y untuk menghalau komodo. Ujung ini dipergunakan untuk menahan tongkat di ketiak supaya tidak licin.

Aku bertemu satu komodo yang sedang beristirahat di bawah pohon, di jalur perjalanan kami. Pulau ini lebih ramai daripada pulau Rinca, dan yang mengerumuni komodo yang sedang asyik melata itu pun cukup banyak. Pemandu kami ini cukup canggih, ia menyuruhku berdiri di belakang komodo sementara ia mengambil foto dengan sudut pandang yang cukup oke.

jalan setapak

jalan setapak

jembatan melintasi sungai yang kering

jembatan melintasi sungai yang kering

komodo di bawah pohon

komodo di bawah pohon

Yang lebih menarik dari pulau ini sebagai salah satu unggulan pariwisata adalah sequence-nya yang indah. Alur perjalanan berubah-ubah mulai dari lorong-lorong kanopi pepohonan kering, jalan berbatu hingga ke puncaknya, gugusan bentang pulau yang kecoklatan kering. Musim kemarau yang panjang tidak menyisakan banyak titik hijau di sini. Hampir semuanya kecoklatan di sekeliling, memberikan aroma kayu-kayu kering berpadu dengan amisnya udara laut. Angin yang sedikit bertiup memberikan sedikit lelah.

Hampir keseluruhan area di pulau Komodo ini kering kemarau sehingga panas teriknya cukup menyiksa. Sesudah bersusah payah mendaki hingga ke puncak Sulphurea Hills demi menemukan komodo yang berjemur, ternyata tak ada satu pun kecuali ranting-ranting kering. Mungkin jam delapan pagi sudah cukup kesiangan untuk komodo, sehingga mereka bersembunyi lagi di hutan-hutan dan enggan menjadi tontonan turis.

Walaupun panas, namun turun dari bukit berbatu tadi aku masih tertarik untuk mendaki satu bukit dengan gazebo di atasnya bernama Fregata Hills. Namanya cantik. Berada di puncaknya yang makin panas karena hari makin siang sebenarnya melelahkan, namun terbayar oleh tangkapan mata gugus tepi pulau yang melengkung di bawah kontras dengan air laut yang membiru.

pulau-komodo-6

pulau-komodo-7

pulau-komodo-9

pulau-komodo-10-sulphurea hills

pulau-komodo-11

pulau-komodo-12

pulau-komodo-13-fregata hills

pulau komodo-12

Kami malah menemukan komodo lagi sekembalinya di bawah di dekat bangunan mess. Jadi timbul pertanyaan, kenapa komodo-komodo ini lebih mudah ditemukan dekat-dekat dengan tempat orang menjaga daripada di hutannya sendiri? Di pulau Rinca pun kemarin begitu. Apa mungkin di sini lebih banyak benda berdaging yang berdarah? Hm. Semoga komodo-komodo ini tidak merencanakan apa-apa.

pulau-komodo-14

pulau-komodo-16

Rinca-Komodo 14-15 Nopember 2015
late night 19.03.2015 | 00:20

cerita sebelumnya :
flores flow #11 : seputar lingkar sawah cancar
flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus
flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng
flores flow #1 : fly to kelimutu


flores flow #13 : tentang laut, kapal, dan hati

$
0
0

1-labuan bajo-harbour

dan orang-orang yang turun dari perahu
membayangkan suatu kerajaan ringkik kuda
di lembah-lembah perbukitan
~ Sapardi Djoko Damono

Berlayar dari Labuan Bajo? Susuri jalan sepanjang tepian laut dan temukan banyak tawaran menggoda dari berbagai agen yang membuka jasanya. Mau kapal phinisi, kapal besar, kapal kecil, tergantung berapa jumlah rekan yang kamu bawa. Ingin berenang, snorkeling, diving, atau hanya berbaring-baring saja di geladak kapal, semua bisa disediakan.

Jalur pelayaran juga beraneka ragam. Jika punya waktu satu hari, bisa ke Pulau Rinca saja atau pulau Komodo saja. Dua hari satu malam, bisa mampir ke kedua pulau habitat kadal raksasa Komodo itu. Tambah satu hari lagi, bisa mampir Pulau Padar yang lengkungannya indah. Titik snorkeling dan diving yang menarik juga akan ditunjukkan oleh pemandu-pemandunya.

Bermalamlah di perairan Pulau Kalong yang tenang, ditemani kepak kelelawar yang berhamburan menjelang malam, mengistirahatkan badan yang lelah usai bermain di Pantai Pink. Amati kampung Komodo di atas air dengan warna-warni uniknya, sempatkanlah berkunjung bila waktu memungkinkan.

Satu yang mungkin tak ada kepastian adalah kondisi alam.

Warna langit tidak pernah bisa dipesan, volume angin tidak bisa diatur, permukaan tenang tidak bisa selamanya sama, pelangi tidak pernah datang atas permintaan. Laut akan selalu berubah. Yang bisa dilakukan manusia adalah belajar selaras, karena melawan alam bisa mengundang bencana. Berlayar mengikuti angin, untuk melambat.

2-labuan bajo-harbour

3-boat-sailing-komodo

4-sailing-komodo-with-phinisi

5-sailing-komodo

6-sailing-komodo

7-sailing-komodo

8-sailing-komodo

9-sailing-komodo

10-phinisi-sailing-komodo

11-komodo-village

12-komodo-village

13-sailing-komodo

14-sailing-komodo-kalong-island

15-sailing-komodo-kalong-sunset

berdiri di pelabuhan, menatap kapal datang dan menepi
orang-orang berteriak, bertambat, atau berlayar jauh pergi.

laut, bersua dan sirnakan semua gundah yang dinanti
di sini angin tidak bertiup kencang dan hujan tidak berderai
di sini ombak tidak beriak hingga senja datang kembali
di sini langit malam begitu cerah menunggu pagi hari.

laut, jika benar dasarmu dalam, bolehkah kutenggelamkan saja rasa di hati?

flores finite.
(janji selesai ditunaikan, pada kehidupan masing-masing kami kembali)
15.11.2014


itinerary : flores flow

$
0
0

flores-udara

Jika mendadak punya tiket promo ke Denpasar dengan selang waktu pulang pergi 9 hari, maka Overland Flores, melintas jalur darat bisa diperhitungkan. Rencanakan berangkat Sabtu pagi dan pulang Minggu di pekan selanjutnya. Alam Flores yang berubah-ubah dari hijau, ke tandus, dan hijau basah, di tengah sinar matahari yang berlimpah, memberikan pengalaman harian yang senantiasa berubah, naik turun, menggeliat, mengelabui ilusi.

Hari 1: Denpasar – Ende – Moni
Pilih penerbangan Denpasar-Ende atau Denpasar-Maumere untuk menuju destinasi pertama, Moni. Penerbangan dilayani oleh Wings Air atau Trans Nusa dengan pesawat ATR baling-baling. Ambil jadwal siang sehingga sampai di bandara tak lebih dari jam 5 sore. Tak usah terburu-buru booking tiket karena harga tiket 4 bulan, 2 bulan, bahkan 2 hari sebelum terbang relatif tak jauh beda, sekali jalan. Trans Nusa lebih murah, namun harus ditanya kepastian terbangnya. Jika tiba di Maumere, bisa naik bis menuju Moni, sementara jika memilih tiba di Ende, naik mobil sewaan ke terminal, lalu naik omprengan sampai Moni. Desa peristirahatan ini terletak di antara Ende dan Maumere.

DPS-ENE Wings Air: Rp. 1.521.650/orang
Airport tax : Rp. 75.000/orang
Mobil Ende-Terminal Ende : Rp. 50.000
Omprengan Terminal Ende-Moni : Rp. 50.000/orang
Penginapan : Rp. 350.000
Makan malam : Rp. 25.000/orang

cerita ke kelimutu lebih lanjut di : flores flow #1 : fly to kelimutu

DSC_3431

Hari 2 : Kelimutu – Ende – Bajawa
Pesona terindah di tempat ini adalah danau Kelimutu, paling bagus didatangi ketika matahari terbit. Sewalah mobil atau motor ke start point pendakian danau Kelimutu kemudian turun dan mampir desa adat Koanara, melihat air terjun kecil atau berendam air hangat. Jika beruntung, bisa mendapatkan tawaran sewa mobil yang usai membawa turis ke Maumere, dan kembali kosong ke Labuan Bajo. Harga tawaran jauh lebih murah daripada sewa mobil dari Moni.

Mobil berangkat ke Ende sekitar jam 2 siang, tiba jam 4 dan berputar-putar kota, mampir museum Bung Karno, kemudian melanjutkan perjalanan mampir pantai Batu Biru dan istirahat makan di Aigela. Hampir jam 8 malam tiba di rumah teman di Bajawa. Sebenarnya cukup banyak penginapan di kota Bajawa yang mudah ditemukan. Udaranya sejuk, dingin dan nyaman. Jika tiba tidak terlalu malam, bisa mampir ke mata air panas di So’a.

Mobil ke Kelimutu : Rp. 100.000/orang
Tiket Kelimutu : Rp. 7.500/orang (domestik)/ Rp. 225.000 (mancanegara)
Tiket mobil : Rp. 10.000
Sumbangan rumah adat : Rp. 50.000
Makan siang : Rp. 27.000
Sewa mobil : Rp. 1.800.000

cerita dari Ende hingga Bajawa bisa diikuti di : flores flow #3 : debu lintas trans ende-bajawa

pantai-batu-biru-ende

Hari 3 : Bajawa – Aimere – Ruteng – Denge
Tak jauh dari kota Bajawa, luangkan waktu untuk singgah ke desa Luba dan desa Bena yang berada di kaki gunung Inerie dan dilalui dalam perjalanan. Nikmati kehidupan desanya, mengamati kontur, menimbang pengalaman dalam cuaca panas terik berkepanjangan hingga Pelabuhan Aimere di tepi laut. Jangan lupa mencoba sop ikan yang lezat di daerah Mborong, dan juga kopi panasnya yang membangunkan mata. Mampirlah sebentar di penyulingan arak, lalu ikuti jalanan yang terus menanjak, melewati Danau Ranamese.

Tiba di Ruteng yang hujan, kota di dataran tinggi yang sejuk, cukup ramai sebagai kota persinggahan. Di tengah rintik, mobil naik bukit dan turun lagi ke selatan, melalui desa-desa di tengah sawah, lumbung padi sepanjang tahun bagi Manggarai hingga menemukan senja di pantai batu-batu Dintor hingga naik sampai desa Denge. Pilihan menginap di homestay Pak Blasius Monta, rumah terakhir sebelum berjalan kaki. Beliau akan mengajak makan malam bersama dan dikenalkan dengan Pak Aven, pemandu ke Wae Rebo.

Sumbangan desa Luba : Rp. 20.000
Sumbangan desa Bena : Rp. 20.000
Makan siang + supir : Rp. 75.000
Homestay di Denge : Rp. 175.000/orang

cerita panasnya perjalanan dari Bajawa hingga malam di Denge bisa diikuti di : flores flow #6 : dingin bajawa, panas aimere, dan hujan ruteng

desa-bena-bajawa

Hari 4 : Wae Rebo
Siapkan kakimu untuk naik ke Wae Rebo selama selama 4 jam lebih melalui jalan berbatu, sungai, dan jalan setapak dengan pemandangan bukit-bukit sekeliling. Setiba di desa disambut oleh satu ritual ucapan selamat datang di Mbaru Gendang. Pelancong menginap di Mbaru Niang tamu, yang dilengkapi oleh tikar, kasur, bantal dan selimut, juga bisa menggunakan dapur dan tiga buah kamar mandi. Makanan akan dimasakkan oleh mama-mama Wae Rebo 3x sehari, khusus untuk tamu saja.
Jika bertandang ke rumah-rumah sekitar, mereka juga menjual kopi atau bijinya saja untuk oleh-oleh dibawa pulang. Sore hari, bermainlah dengan anak-anak Wae Rebo sambil membacakan cerita.

Pemandu : Rp. 125.000
Menginap : Rp. 250.000
Upacara : Rp. 50.000

cerita ruang aktivitas desa di atas bukit : flores flow #7 : 14 tindak tanduk asyik di wae rebo

anak-anak-wae-rebo-10-j

Hari 5 : Wae Rebo
Menghabiskan pagi dengan duduk-duduk di bukit sambil melihat desa yang cantik dari atas ditemani kabut dan udara yang bertiup sepoi-sepoi adalah the art of doing nothing.

Setelah itu mengikuti penduduk beraktivitas memasak, membersihkan rumah, menumbuk kopi, juga mempelajari arsitektur rumah adat ini ditemani mama-mama yang sangat menyenangkan diajak mengobrol dan bercerita kegiatan sehari-hari. Menjelang pulang, menyempatkan mampir ke rumah Pak Aven, pemandu kami dan bercengkrama dengan anak-anaknya yang sudah akrab karena sesorean kemarin bermain bersama. Sesudah makan siang dan dirasa sudah cukup mengamati, berpamitanlah kami dari desa yang indah itu.

Berjalan cukup ringan karena turunan yang dilalui dan jejak tapakan yang mudah dikenali dan tiba jam empat sore di rumah Pak Blasius. Sebenarnya ada pilihan juga naik ojek ke Ruteng saat itu juga, tapi mempertimbangkan biaya penginapan di Ruteng dan malam hari, jadi diputuskan untuk memesan otokol yang akan menjemput jam tiga pagi.

Tip pemandu : Rp. 50.000
Homestay di Denge : Rp. 175.000

cerita tentang hidup bertinggal dan bahasan arsitektur desa : flores flow #8 : wae rebo, melestarikan arsitektur dengan tulus

wae rebo 20 pintu masuk mbaru gendang

Hari 6 : Denge – Narang – Cancar – Labuan Bajo
Persiapkan semua yang hendak dibawa pulang sebaik-baiknya, jangan sampai mengalami hal sepertiku, sudah satu jam perjalanan di otokol meninggalkan Denge, ternyata ada yang tertinggal dan harus diambil kembali. Beruntunglah ada orang baik yang memberitahu jadwal bis dari desa Narang dan tetap bisa ke arah jalan raya hari itu juga. Bis itu adalah salah satu alternatif untuk pulang menuju Ruteng.

Sesampai di jalan raya lagi, jangan melewatkan untuk mengunjungi Cancar, lokasi sawah berbentuk jaring laba-laba yang merupakan satu ciri khas pertanian di kawasan Manggarai. Dan hari itu juga, dengan menumpang bis elf, tibalah kami di tepi laut lagi, Labuan Bajo.

Elf menurunkan kami di depan Hotel Bajo Beach, tempat Pak Figo, yang menjadi operator Sailing Komodo keesokan harinya. Mencari-cari penginapan di Labuan Bajo susah-susah gampang, ada banyak harga dari yang kelas hostel hingga yang mewah. Badan yang lelah membuat memilih tempat istirahat menjadi penting. Dan yang penting, harga yang dibayar pantas untuk fasilitas yang didapat.
Makan malam pun tak sulit dicari, kedai-kedai berderet di tepi laut. Setelah berada di mobil hampir seharian, ikan bakar itu sedap!

Otokol sampai Narang : Rp. 10.000/orang
Ojek Narang – Denge PP : Rp. 100.000
Bis Narang – Cancar : Rp. 20.000/orang
Sumbangan di Cancar : Rp. 20.000
Makan siang : Rp. 25.000/orang
Elf Cancar – Labuan Bajo : Rp. 50.000/orang
Hotel : Rp. 200.000

cerita perjuangan pulang dari Denge : flores flow #10 : pulang dari wae rebo naik apa?

spider-web-rice-flores-3

Hari 7 : Labuan Bajo – Pulau Rinca – Pulau Kalong
Sambil menunggu jadwal keberangkatan kapal, mampirlah ke kantor pos untuk mengirim kabar indah ke pulau seberang. Kapal berangkat jam 9 pagi menuju pulau Rinca, berkeliling di sana, kemudian berlabuh di laut dekat pantai Pink untuk memberi kesempatan menikmati laut dan menceburkan diri. Ada kapal kecil yang bisa dinaiki hingga pantai, namun berenang adalah pilihan yang lebih menarik. Terumbu karang cantik di bawah laut nyaman dinikmati sembari mengayunkan tangan hingga ke pantai.

Hari pertama di laut ini diakhiri dengan senja di tepi pulau Kalong tempat kapal melemparkan jangkar. Langit cerah yang bertaburkan bintang menemani malam di atas geladak kapal.

Kapal : Rp. 2.500.000 (all-in termasuk makan)
Karcis masuk TN Komodo : Rp. 2.500/orang (domestik)/ Rp.25.000 (mancanegara)
Karcis kamera : Rp. 5.000
Pemandu Rinca : Rp. 80.000

cerita tentang Pulau Rinca dan Komodo : flores flow #12 : bukit-bukit kering pulau rinca-komodo

komodo-di-rinca-2

Hari 8 : Pulau Komodo – Kanawa – Labuan Bajo
Pagi-pagi adalah saat tepat untuk melihat komodo di Pulau Komodo, mendaki bukit-bukit keemasan kering, berolahraga pagi sambil menghirup udara segar dari laut. Kemudian berlalu sambil membiarkan hari di berlalu, bersantai-santai di buritan, membiarkan rambut tertiup udara yang beraroma asin. Di satu titik kapal akan berhenti dan menunggu yang berenang mengeksplorasi kedalaman.

Sesudah tengah hari, kapal berhenti di perairan pulau Kanawa. Tidak diperkenankan untuk bersandar di dermaganya sehingga menikmati pesona bawah lautnya pun hanya bisa dari kejauhan. Berenang dan bermain air, menikmati kekayaan bawah laut yang menjadi keunggulan negeri. Kemudian berlayar lagi hingga pelabuhan, menikmati matahari tenggelam dari Tree Top Restaurants.

Hotel : Rp. 385.000
Makan malam : Rp. 30.000

cerita tentang laut : flores flow #13 : tentang laut, kapal, dan hati

7-sailing-komodo

Hari 9 : Labuan Bajo – Denpasar
Ada beberapa kali penerbangan dari Labuan Bajo ke Denpasar, namun yang harganya bagus adalah Trans Nusa pagi, sehingga itulah penerbangan yang dipilih untuk kembali. Setiap perjalanan selalu ada akhir, dan saat berpisah.

Mobil hotel : Rp. 30.000
Airport Tax : Rp. 11.000
LBJ-DPS Trans Nusa : Rp. 934.000

trans-nusa-labuan-bajo

Setiap langkah memiliki kebutuhan masing-masing. Setiap jalan mempunyai pilihannya. Setiap nilai adalah perkiraan, yang disesuaikan dengan diri si pejalan. Ciptakan ceritamu, galilah ceriamu, selaraskan dengan cita dan harapanmu. Kisah ini di November 2014.

It’s not about the destination, but the travel itself.

februari.2014-november.2014-maret.2015


ke mana air ciliwung mengalir?

$
0
0

jakarta-river-ciliwung-aryaduta

Sungai menjadi jalan pulangnya ke rumah tak berwadak, tapi ia selalu tahu di mana harus mengetuk pintu
― Dee, Supernova: Akar

Setiap musim hujan dan air mulai menggenangi Jakarta, ada tiga tempat yang selalu dipantengi status airnya oleh warga Jakatra. Pertama adalah Bendungan Katulampa di Bogor, Pintu Air Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai. Ketiga tempat itu dialiri oleh Sungai Ciliwung, yang bermata air di Gunung Gede. Ketinggian muka air di tempat-tempat itu selalu menjadi informasi siaga banjir di Jakarta. Jika tinggi muka air di Bendungan Katulampa sudah tinggi, siap-siaplah yang berada di hilir untuk menerima limpahan air dengan debit tinggi walaupun volume sungai di Jakarta tidak memenuhi. Akibatnya air meluap dan terjadilah banjir langganan di beberapa titik.

Kemudian musim hujan menjadi akrab dengan terminologi ‘banjir kiriman’. Kabupaten Bogor menjadi kambing hitam sebagai titik hulu sungai yang bercurah hujan tinggi, dan mengalirkan air dalam jumlah besar dalam satu musim dan membanjiri Jakarta. Pembangunan-pembangunan di kawasan Bogor, Puncak, Cianjur, atau dikenal sebagai Bopunjur dituding menjadi biang keladi kurangnya penyerapan air ke dalam tanah. Air yang seharusnya ditampung oleh akar-akar pepohonan tidak menemukan peresapnya dan berlalu saja ke sungai, dan menaikkan debit air di aliran sungai.

Lalu siapa yang harus disalahkan?
Pengembang? Pemerintah? Arsitek?
Tentu, pelaku konstruksilah yang paling sering dimintai tanggung jawab.

Sementara air berjalan dengan lancar di sungai sepanjang Bogor dan Depok, karena muka tanah masih amat tinggi terhadap muka air (sekitar 20-30 m), penduduk Jakarta senantiasa was-was terhadap ancaman air dari selatan yang menuju hilirnya. Sungai Ciliwung yang dalam dan besar, perlahan-lahan mendangkal dan menyempit ketika memasuki kota.

Sungai yang menjadi tempat tinggal favorit sejak jaman dahulu karena kemudahannya untuk beraktivitas lama kelamaan menjadi sesak. Rumah-rumah yang tadinya hanya ada di lembah sempadan sungai makin lama makin banyak dan mendesak ke badan sungai, mengurangi lahan hijau yang seharusnya menjadi tahanan tanah, dan akhirnya semua penuh oleh bangunan. Alih-alih membuat sungai sebagai muka pelataran seperti yang dilakukan di hulu sana, makin ke kota sungai diperlakukan tidak layak. Orang-orang mulai meperlakukan sungai hanya sebagai halaman belakang karena dianggap buruk, tidak pantas dilihat. Tanpa rasa bersalah sampah-sampah dibuang seenaknya karena berpikir sewajarnya karena orang-orang lain melakukan hal yang sama. Hal yang tidak disadari mengakibatkan pendangkalan sungai, sehingga penampangnya tak cukup lagi menampung debit air yang tinggi dari Bogor.

Lalu siapa yang harus disalahkan?
Masyarakat? Pemerintah? Ahli tata kota?
Lagi-lagi salah satu pelaku konstruksi harus bertanggung jawab.

Semakin ke tengah kota, sungai menjadi pemisah antara daerah tertata dan tidak tertata. Salah satu anah sungai Ciliwung yang melintas ke tengah kota, memisahkan daerah Manggarai yang padat dengan Menteng yang elit. Pintu air Manggarai yang selalu dijaga tutupnya karena jika muka air makin tinggi maka daerah Manggarai hingga Bukit Duri akan terbenam. Pintu air inilah yang membuat keputusan apakah jalan protokol Sudirman Thamrin perlu ikut digenangi atau tidak. Bantaran sungai di sekitarnya diperkuat tanggulannya supaya tidak jebol menahan tekanan air yang begitu tinggi. Cerucuk-cerucuk paku bumi ditanam di tepi-tepi, pengerukan-pengerukan dilakukan teratur, air dibiarkan mengalir hingga laut lewat saluran-saluran besar kota.

Anak sungai Ciliwung yang memecah Jakarta Pusat, akan melalui Kramat hingga Pasar Baru, juga memisahkan antara kampung pemukiman dan kampung beton. Siapa yang melihat di balik megahnya Gedung Departemen Perindustrian dipisahkan oleh sungai dengan satu kampung padat, dengan perlakuan terhadap sungai pun berbeda. Di satu sisi ditanggul kuat, di sisi lain hanya membuat penahan terhadap tanah saja. Tapi kesamaan dari kedua massa yang bertolak belakang ini adalah, mereka sama-sama memperlakukan sungai hanya sebagai halaman belakang, tempat membuang segala hal yang ingin mereka sembunyikan dari depan. Sedih.

Lalu siapa yang harus disalahkan lagi?
Pejabat? Pemerintah? Atau LSM Kampung Kota?
Mari mulai mempertanyakan manusia.

Sederet dengan kawasan Istana Negara terus ke utara, banyak saluran-saluran peninggalan jaman Belanda dahulu. Saluran yang mengalirkan pecahan-pecahan sungai Ciliwung itu terukur dalamnya, jarang meluap hingga menggenangi jalan, diperlakukan sebagai latar depan, dijaga bersihnya dan diberi jarak dengan hunian berupa jalan. Tengoklah sungai di depan Pasar Baru, saluran di sepanjang jalan Gajah Mada, kali di tepi Jalan Gunung Sahari, yang semuanya mengalir lancar, dan agak jauh dari tangan-tangan yang seenaknya mengotori.

Tetapi makin ke utara beban tanah di sekitar air mengalir ini pun makin berat. Bangunan-bangunan bertambah tinggi, tanah makin diperkuat, paku-paku bumi semakin dalam ditancapkan setiap hari, setiap minggu, setiap tahun, dan semakin banyak tanah yang ditutup atas nama pembangunan. Sementara kebutuhan air bersih makin meningkat, dan air buangan pun tetap butuh mengalir. Dan di tepi laut, di mana seharusnya air bisa mengalir dengan ringan, bebas ke laut, ditutup.

Tanah diurug, hutan bakau berubah menjadi beton, pantai-pantai berubah menjadi tanggulan, dan setiap orang berlomba-lomba mendapatkan pemandangan terbaik menghadap laut tanpa berpikir bahwa itu menghalangi jalan air yang seharusnya menyelisip lewat sela-selanya. Di hilir air menemukan jalan buntu, sehingga menggenangi ujungnya, di balik bangunan-bangunan beton pencinta keindahan laut itu. Sungai Ciliwung itu, tak menemukan muaranya.

Di depan Ancol, air sungainya hanya berjarak 30 cm dari jalan.
Di Pasar Ikan Sunda Kelapa, air siap untuk menggenangi rumah warga sekitar setiap musim tiba.
Di Kali Angke, musim hujan bisa merendam stasiun kereta sehingga jalur tak bisa beroperasi.

Lalu di mana salahnya?
Hujan sudah jelas setiap tahun, seberapa banyak, seberapa deras. Air tidak pernah salah, ia hanya mencari tempat mengalir, sebagaimana takdirnya dari hulu hingga ke hilir. Ia hanya tidak ingin dihambat, karena pasti diterjang. Air tidak bisa dihentikan, hanya diperlambat dengan memberi pelataran tanah luas untuk laluannya sebelum akhirnya mencapai titik yang lebih rendah lagi. Air menyukai pepohonan, rumput-rumput, semak-semak sebagaimana hijau itu juga menyayanginya dan berharap air selalu hadir. Air bisa ditangkap dengan kolam-kolam besar dan kecil, untuk menyeimbangkan alirannya, juga danau-danau besar buatan yang bukan hanya sebagai area laluan air namun menyeimbangkan tinggi muka air di banyak tempat.

Selalu beri ruang untuk air, untuk berbagi beban dengan sungai sebagai tempat mengalirnya. Tangkap air sebanyak-banyaknya di halaman, untuk membuatnya tidak terlalu cepat pergi, dan bisa digunakan kembali sebagai sumber sendiri.

Less build, keep the water, please.

World Water Day, 22 Maret 2015. Foto dari helipad Hotel Aryaduta Tugu Tani ke arah tenggara.
Posting Bareng Travel Blogger Indonesia. Home. Heart. Indonesia.
ditulis di kereta cawang – depok, di tengah hujan deras.

Wisata Tasik Kenyir, Eco Tourism atau Ego Tourism Park? oleh Olive Bendon
Cerita dari Pesisir Semarang oleh Albert Ghana
Kelana Air oleh Badai Taufan Gio
WWD 2015: Mau Mencemari Sungai Indonesia dengan Berapa Milyar Bakteri Lagi? oleh Imama Lavins
Peduli Lingkungan di Hotel oleh Lenny Lim
Apa itu Ketahanan Air? oleh Titiw Akmar
Wae Latu, Berkah Air Bagi Kampung Sepak Bola oleh Atrasina Adlina
10 Waterfalls. 10 Splashes of Experiences oleh Tracy Chong
ke mana air ciliwung mengalir? oleh Indri Juwono
Nasehat untuk Para Penghujat Hujan oleh Arie Okta


Viewing all 237 articles
Browse latest View live