Quantcast
Channel: tindak tanduk arsitek
Viewing all 237 articles
Browse latest View live

Semarang dalam cerita Semarjawi

$
0
0
 semarjawi

@semarjawi: Dear Bebs, FYI, besok pagi muter reguler #Semarjawi di-close dl ya.

Soalnya besok dicarter Bebeb² dr @TravelNBlogID
Grenggg… Bis merah bertingkat itu meninggalkan halaman Taman Srigunting, Gereja Blenduk. Warna yang kontras dengan lingkungan sekitarnya ini menjadikan bis ini menjadi ikon menarik ketika melalui jalan-jalan di kota Semarang. Matahari jam sembilan pagi di kota Semarang bersinar cerah sekali di atas kota atlas ini, tapi seluruh peserta Travel & Blog 3 yang sudah mengikuti workshop sehari sebelumnya tetap bersemangat untuk naik bis istimewa ini.

Iya, istimewa dong! Seingatku, Semarang sudah lama tidak punya bis tingkat. Dulu memang sewaktu aku masih kecil masih sering nail bis tingkat dari jalan Pemuda hingga Simpang Lima, tapi beberapa kali aku pulang atau lewat kota ini, bis-bis itu sudah tidak beroperasi lagi. Kabarnya sih dipindahkan ke Solo, tapi sekarang pun entah masih beroperasi atau tidak. Jadi, keberadaan Semarjawi ini istimewa, karena bentuknya bis tingkat. Serunya lagi, bis ini akan membawa jalan-jalan keliling kota lama Semarang, dan kita bisa melihat dan belajar sekaligus tentang sejarah kota Semarang di masa lalu, yang peninggalannya tersebar di satu jalur tertentu. Lebih asyik lagi, bis ini tidak menggunakan pengudaraan buatan, melainkan alami karena sisi-sisinya yang terbuka, bahkan atapnya pun terbuka! Menyenangkan sekali melewatkan satu jam dengan naik moda transportasi ini.

Seperti yang banyak tertulis di buku sejarah maupun tentang arsitektur kota, kota Semarang direncanakan oleh Thomas Karsten pada tahun 1916-1920 dan mulai dibangun pada tahun 1936. Perencanaan kota Semarang mulai dari sisi utara yang kini dikenal sebagai Kota Lama Semarang sebagai pusat bisnis perkantoran, karena dekat pelabuhan yang sibuk sebagai jalur transportasi masa lalu, hingga terus ke selatan area bisnis dan niaga, juga area hunian.

Bis Semarjawi membawa penumpangnya mulai dari Kota Lama Semarang, dengan informasi yang tersampaikan lewat loudspeaker yang akan disampaikan live oleh mbak-mbak atau mas pemandu yang akan bercerita tentang bangunan-bangunan yang dilalui. Di kawasan Kota Lama termasuk dalam kawasan niaga perkantoran hingga batas pada jembatan Berok, yang melintasi kali Semarang, yang di zaman kolonial merupakan jalur perdagangan penting karena membawa barang hasil bumi dari pedalaman Jawa hingga Pelabuhan. Gula merupakan satu komoditi unggulan untuk diekspor di masa lalu sehingga aktivitas transportasi laut sangat tinggi. Tak heran di kawasan kota lama banyak sekali perusahaan pelayaran untuk mendukung administrasi aktivitas niaganya.

Lewat dari Kota Lama, tiba di depan titik nol km kota Semarang yang merupakan salah satu penanda bahwa jalan ini merupakan salah satu ruas Jalan pos yang didirikan di zaman Gubernur Jendral Daendels. Kantor pos yang sudah berdiri sejak dulu pun menjadi saksi aktivitas pengiriman surat menyurat ini. Hingga kini, bangunan berarsitektur Hindia Belanda ini masih berfungsi sebagaimana aslinya di masa lalu. Tentu, karena bertukar berita masih menjadi kebutuhan.

“Awas kabel listrik….!!!”
Begitu teman-teman mengingatkan untuk tidak berdiri di atas bis. Memang, di jalan Pemuda yang tidak terlalu ramai ini banyak kabel melintang centang perenang melintasi jalan. Tapi memang bis ini didesain tentu memperhitungkan posisi kabel tinggi kabel, sehingga Matthew, salah seorang teman yang berasal dari Kanada tidak terkena kabel walaupun ia bertubuh jangkung. Kabel-kabel ini memang  agak mengganggu pemandangan ketika memotret.

 IMG_2584

Sepanjang Jalan Pemuda kami memperhatikan area bisnis niaga di masa lalu yang sampai sekarang masih terpelihara. Trotoar sepanjang jalan dan bangunan tanpa halaman dengan fasade merapat jalan menjadi ciri khas kawasan niaga di masa lalu, sehingga pembeli bisa berjalan-jalan sepanjang trotoar dan langsung berhadapan dengan etalase-etalase toko. Seperti ini masih bisa dilihat di jalan-jalan di Eropa, sehingga jalur ini masih asyik untuk dilalui sambil hunting ‘street photography’.

Lebih jauh ke utara, bis Semarjawi melalui area rekreasi di masa lalu. Mal Paragon yang kini berdiri megah, dulunya adalah de Harmonie ballroom, yang digunakan oleh kaum muda Belanda untuk bersosialisasi, berdiskusi, mengobrol, dansa dansi, dan ngopi-ngopi. Dengan berdirinya mal ini di titik yang sama berarti mengambil fungsi ruang kota yang sama dengan rancangan Thomas Karsten di masa lalu. Rancangan kota yang indah, teratur dan bertahan hingga seratus tahun. Di samping tempat berdirinya Mal Paragon, dulu berdiri bioskop Grease, yang kini menjadi hotel Merbabu. Duh, jadi teringat masa kecilku sering menonton film di situ bareng mama.

Hingga lanjut ke kawasan Tugu Muda, kawasan banyak terlindungi oleh pepohonan sehingga suasananya rimbun dan teduh. Duduk di bagian atas bis, harus berhati-hati karena banyak ranting menjulur. Tidak terlalu terasa panas lagi di sini. Oh, karena dulu di sini adalah kawasan pemukiman, dan terlihat halaman-halaman luas di depan rumah-rumah yang masih berderet beberapa di sepanjang jalan.

Paling ujung adalah satu titik ikon penting kota Semarang, yaitu Lawang Sewu dan Tugu Muda. Bis berputar di sini dan kembali melewati jalur yang tadi hingga berputar lebih kanjut di kota lama Semarang. Ketika lewat Wisma Perdamaian yang merupakan rumah dinas Gubernur Jawa Tengah, kepingin rasanya berteriak menyapa bapak yang ramah ini. Eh, tapi ternyata beliau tidak tinggal di situ.

Seru! Kepingin mengulang lagi pengalaman ini, bis tingkat menjadi salah satu transportasi favoritku sesudah kereta api.<

Semarang | 29 Maret 2015 | #TravelNBlog



5 tindak tanduk asyik di batam!

$
0
0

cover-batam

Be like a bridge; be on this side, be on the other side and be on no side! In other words, be in everywhere because the highest wisdom can be attained only by being everywhere!
― Mehmet Murat ildan

“Mau ngapain di Batam, kan tidak ada apa-apanya!” pasti begitu komentar teman-teman yang dimintai rekomendasi tentang pulau kecil ini. “Mampir Batam doang sih, kalau mau ke Singapura!” atau “Tiket ke Batam lebih mahal daripada ke Singapura!” begitu pendapat yang lain juga. Tang ting tung, mungkin pendapat orang berbeda-beda, dilihat dari kepentingan dan cara pandangnya.

Mendengar kata Batam, yang teringat pasti pulau kecil yang berhadapan dengan negeri jiran Singapura. Sejak dikembangkan menjadi daerah industri di tahun 1970-an, pulau yang tadinya tidak ada apa-apanya ini mulai menjadi daerah industri dengan dibangunnya pabrik-pabrik di sana sini, dan berangsur-angsur memunculkan kantung-kantung pemukiman sebagai ruang bertinggal yang tentu membutuhkan pendukungnya sebagai fungsi kota. Nama Batam selalu dibayang-bayangi dengan Singapura, yang hanya sejauh 1/2 jam pelayaran namun memiliki infrastruktur dan wisata yang dipromosikan terus menerus.

Kenapa tidak pola yang diubah, membuat Batam jadi tempat yang dituju untuk wisata dan Singapura jadi tempat mampiran? Mungkin butuh cukup lama untuk pulau ini berbenah hingga mendekati rapinya Singapura, bisa ditambah dengan angkutan umum yang nyaman dan memadai dari ujung pulau hingga ujung lain. Atau membuat peta jalur wisata kuliner untuk satu hari di akhir business trip, sebagai bonus pekerjaan. Bisa juga tur dengan perahu berkeliling bawah area jembatan Barelang yang indah, bisa jadi menyaingi tur perahu di depan Marina Bay Sands Singapura, yang berada di tengah gedung-gedung. Bukit-bukit hijau dan selat biru itu merupakan salah satu ciri khas Indonesia, dan bisa dimulai di Batam, salah satu pintu gerbang Indonesia. Atau kereta gantung keliling Batam? Bukan tidak mungkin di tengah pulau berbukit-bukit ini wisata kereta gantung menjadi pilihan sembari menikmati paduan pemandangan kota, hijau, hingga birunya laut.

Sembari menunggu ide-ide itu mendapat investor yang pas, ada beberapa hal juga yang bisa dilakukan di Batam, setelah business trip di kawasan industri, atau memang punya beberapa saat di sini. Atau memang berniat berwisata saja di Batam, tentu tidak ada yang melarang!

1. Keliling Pulau

Kontur Pulau Batam yang naik turun dan berbukit-bukit membuat asyik untuk dijelajahi dengan mobil maupun motor. Keluar dari bandara sudah disuguhi bukit di kiri dan kanan yang dibelah oleh jalan, terus sampai kota yang agak padat, namun dikelilingi bukit-bukit dan pemukiman yang bertingkat-tingkat. Karena pulaunya kecil, dari beberapa puncak yang terkenal pun bisa langsung melihat laut dan mengamati aktivitas pelayaran di sana.

Agak ke luar kota, jalan raya dibangun di sepanjang tepi laut dan dan berdampingan dengan bukit. Dermaga-dermaga panjang dan cantik berada di sisi kiri dalam perjalanan menuju Piayu. Sepanjang jalan mata akan dimanjakan dengan pemandangan laut biru, jalanan yang sepi, bukit-bukit tandus yang bergantian dengan bukit-bukit hijau.

perbukitan tanah merah yang dibuka untuk jalan

perbukitan tanah merah yang dibuka untuk jalan

dermaga yang menjorok ke laut

dermaga yang menjorok ke laut

2. Keliling Kota

Menjelajahi kota Batam berarti agak siap untuk tersesat. Beberapa nama jalan terlihat sama di googlemaps dan berpotensi membuat ‘lost‘. Coba cari jalan Engku Puteri di Batam, pasti ada beberapa ruas jalan bernama sama. Seperti umumnya jalan-jalan di kota paling menarik ke titik keramaian, Batam punya lapangan Engku Puteri yang ramai dan cihui untuk dikunjungi beramai-ramai. Ada banyak aktivitas yang bisa dilakukan di sini, mulai dari jogging yang sederhana, latihan-latihan dance, bahkan ada rencana dibangun wall climbing!

Di dalam lapangan ini juga ada bangunan MTQ tahun 2014 yang masih sering dikunjungi orang. Jika menginap di hotel-hotel yang tak jauh dari sini, ada banyak keramaian juga yang bisa dikunjungi di kota. Buat yang suka belanja-belanja, bisa jalan-jalan seputaran kawasan Nagoya, yang di situ berderet ruko-ruko menawarkan aneka barang. Jika beruntung, bisa mendapatkan barang berkualitas dengan harga miring.

lapangan engku putri dan gedung mtq

lapangan engku putri dan gedung mtq

holy colour festival ketika pencanangan #WonderfulKepri

holy colour festival ketika pencanangan #WonderfulKepri

3. Keliling Makan

Berada di tengah lautan, makanan paling lezat untuk disantap di sini tentu saja sea food. Uummm, di Batam benar-benar surga makanan laut deh. Restoran sea food bertebaran di setiap sudut. Yang paling khas dari sini dan ditunggu-tunggu adalah Sop Ikan YongKee. Ikan yang dimasak bening bebarengan dengan udang dan teman-temannya, terasa segar di lidah walau dimakan di siang hari bolong. Coba makan seafood lainnya? Mampir di sekitar pelabuhan ada banyak tempat berkumpul aneka binatang laut dalam satu meja! Kepiting, ikan, cumi, kerang, merelakan proteinnya untuk mengisi perut manusia-manusia lapar yang sudah berpanas-panasan keliling Batam seharian.

Dan last but the best, harus coba makan gonggong! Makanan apa itu? Gonggong adalah sejenis kerang yang ditemukan di perairan Batam, biasa direbus dengan sedikit garam, dikeluarkan dari cangkang lalu dicocol sedikit ke sambal baru dimasukkan mulut. Sedap betul! Menurut kabar yang sengaja beredar, gonggong ini berkhasiat meningkatkan stamina juga.

sop ikan yongkee dan udang

sop ikan yongkee dan udang

gonggong, kerang favorit

gonggong, kerang favorit

4. Seberang Jembatan

Sejak dibuka tahun 1998, jembatan Barelang menjadi salah satu ikon Batam yang terkenal. Sayang sekali bila sudah tiba di pulau Batam tetapi tidak menginjakkan kakinya di jembatan yang membentang antara pulau Batam, pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru ini. Memiliki panjang 642 m, salah satu ruas antara Pulau Batam dan Pulau Tonton, bentang lebar jembatan ini yang dinamakan cable-stayed bridge ini ditahan oleh pipa baja yang menarik pelat jalan pada tumpuan piers vertikal yang menahan beban keseluruhan jembatan.

Sebenarnya ada anjuran untuk tidak berhenti di tengah-tengah jembatan karena beban yang dihitung oleh insinyur sipil pasti beban bergerak ketika melintasinya. Jika diijinkan berhenti, pasti akan sangat banyak yang berderet-deret di jembatan dan berfoto-foto dan membebani badan jembatan. Jadi, cukup berhenti sejenak saja untuk mengambil beberapa gambar ikonik, dan menikmati terpaan angin dari ketinggian 38 meter di atas air laut di bawahnya. Di bawah jembatan ini melintas beberapa kapal dagang yang membawa container berwarna-warni dengan latar bukit-bukit kehijauan.

jembatan barelang yang menghubungkan dua pulau

jembatan barelang yang menghubungkan dua pulau

lebar badan jembatan barelang

lebar badan jembatan barelang

pelabuhan kapal besar tak jauh bawah jembatan

pelabuhan kapal besar tak jauh bawah jembatan

5. Keliling Kapal

Di Pulau Batam bagian barat, tepatnya di daerah yang dikelola oleh Golden City di daerah Bengkong, ada salah satu titik menarik juga sebagai potensi wisata. Dari muara sungai akan berlayar Kapal Golden Cheng Ho II yang melayani wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin merasakan sedikit debur samudera seperti yang dilakukan laksamana terkenal penjelajah samudera ini. Kapal yang dibuat di Tiongkok tahun 1991 ini, sudah pernah beroperasi di Singapura dengan paket wisata cruise. Karena kapasitasnya lumayan besar, 150 orang, bisa dicoba beramai-ramai dengan keluarga sembari menikmati perairan sekitar Batam.

Interiornya bernuansa merah dan emas, ciri kejayaan pelaut Tiongkok dengan hiasan naga yang diukir cantik di banyak tempat. Ada dua level di kapal ini, bagian bawah dan bagian atas berupa kabin tertutup dengan kursi-kursi penumpang di dalamnya. Di geladak paling atas bisa menikmati udara segar sambil berdiri merasakan hawa laut yang menyehatkan badan. Walaupun udara Batam sangat terik, tapi naik kapal merupakan satu aktivitas yang perlu dicoba.

kapal golden cheng ho II

kapal golden cheng ho II

ukiran depan dan tangga naik ke geladak

ukiran depan dan tangga naik ke geladak

Lokasi ini termasuk dalam program Jalur Wisata Cheng Ho yang diluncurkan tanggal 21 Februari lalu oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya sambil memberikan penghargaan kepada Tek Po, pemilik kawasan Golden City Bengkong, yang secara konsisten sudah mengembangkan jalur wisata tematik oriental di kawasannya selama beberapa tahun. Nama besar Laksamana Cheng Ho yang sudah menjelajah berbagai samudera dijadikan ikon untuk menghormati kebesaran panglima laut ini di dunia pelayaran.

Laksamana yang sudah memimpin 300 armada sekitar 6 abad silam ini melakukan pelayaran dengan misi perdamaian, diplomatik, dan juga membuka jalur perdagangan. Beberapa titik di Indonesia seperti Aceh, Palembang, Banten, Cirebon, Semarang, Bali, menjadi persinggahan sang panglima di masa lampau.

geladak kapal untuk menikmati pemandangan

geladak kapal untuk menikmati pemandangan

ruang atas kapal

ruang atas kapal

patung singa kecil emas yang pemberani

patung singa kecil emas yang pemberani

Karena Batam merupakan salah satu pintu masuk dengan jumlah wisman terbesar ke Indonesia selain Jakarta dan Bali, maka pulau ini dipilih untuk mempopulerkan Jalur Samudera Cheng Ho dengan didukung oleh potensi-potensi yang sebelumnya sudah dimiliki oleh Pulau Batam ini sendiri. Sebelumnya, Batam sudah dikenal jauh sebagai area industri, karena posisinya yang strategis di ujung Selat Malaka, sehingga memudahkan distribusi dan transportasi laut untuk bisnis-bisnis yang terkait. Tentu, untuk mengurangi penat sehari-hari, bisa mencoba-coba aktivitas-aktivitas di atas. Liburan di Batam bisa asyik juga!

Dan karena lokasinya yang dekat dengan garis katulistiwa, tak heran cuaca di Batam sepanjang hari bisa panas terik dan membuat berpeluh keringat. Tapi semua akan terbayar dengan pemandangan matahari terbenam yang luar biasa. Di Bukit Seraya, di satu kafe tempat menunggu senja sambil mengudap pisang bakar dan kopi susu, pemandangan kota Batam yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan aneka tingginya di bawah, dan pandangan jauh ke laut lepas, memperhatikan kapal-kapal mendekat dan menjauh, sejak mulai matahari ada di setengah cakrawala, hingga menghilang ditelan lembayung.

perjalanan 20-23 Februari 2015 bersama tim Travel Blogger IndonesiaKementerian Pariwisata RI

15-sunset-bukit-seraya-batam


candi gedong songo : menapaki jalan batu bersusun pagi hari

$
0
0

candi-gedong-songo-3-d

    salamku matahari, wangi pohon, dedaunan, kupu-kupu menari,
    embun di pucuk-pucuk rerumputan.
    ikutlah bersama dan menyapa batu-batu, cukup kuatkan kakimu.

Jam ponselku menunjukkan pukul enam pagi ketika kami tiba di pelataran kompleks candi Gedong Songo. Sesudah berada dalam mobil selama hampir satu jam, angin pegunungan berhembus menggigit tulang seketika pintu terbuka. “Wah, tukang karcisnya belum buka. Sarapan dulu, yuk!” ajak Astin yang menyetir mobil sejak jam lima pagi tadi di Semarang mengeluh lapar. Beruntunglah ada satu warung yang menjual mi instan rebus yang mampu mengganjal perut sebelum mulai mendaki.

Candi Gedong Songo terletak tidak jauh dari kota Semarang. Dari Banyumanik, kawasan atas kota Semarang bisa ditempuh dalam waktu satu jam mengendarai mobil menuju arah Ambarawa, kemudian berbelok ke arah barat dan terus mendaki sampai daerah Bandungan. Daerah dataran tinggi yang sering menjadi tempat peristirahatan warga Semarang ini jalannya tidak terlalu lebar sehingga membutuhkan skill yang cukup untuk menyetir belok sambil mendaki begini. Untung Astin cukup piawai mengemudikan mobilnya sampai-sampai tidak mau kugantikan. Mungkin dia tidak percaya pada kemampuan anak kota sepertiku. Setelah beberapa kali berbelak-belok melewati villa-villa asyik dan Pasar Bandungan, kami tiba di pelataran parkir Kompleks Candi Gedong Songo. Untung tadi Astin masih ingat dengan jalannya, sehingga kami bisa sampai. Daripada mengandalkan googlemaps yang sinyalnya timbul tenggelam, lebih disarankan bertanya pada penduduk setempat apabila menemukan persimpangan meragukan.

gerbang depan

gerbang depan

Hingga kami selesai makan dan menuju depan pintu gerbang, petugas loket masih belum ada. Baiklah, daripada menunggu dan kesiangan, lebih baik langsung memasuki titik awal kompleks candi ini. Alasan kami datang pagi-pagi begini memang supaya ketika memulai pendakian tidak terlalu panas, dan udaranya masih segar. Ini memang bukan jalan-jalan biasa, sengaja datang ke kompleks Candi Gedong Songo ini untuk latihan fisik sebelum mendaki gunung benaran beberapa minggu kemudian. Sayangnya karena Astin mengeluh maag-nya kambuh, ia memilih tinggal di mobil dan membiarkan aku, Pra dan Jay untuk mengeksplor candi-candi bertiga saja.

“Kuda, mbak. Biar cepat sampai,” kata seseorang pengurus kuda menawarkan jasanya. Kami menolak dengan halus karena memang niat datang ke sini untuk latihan fisik jadi harus berjalan kaki sambil menggendong ransel. Tidak terlalu berat sih, dan sepertinya jalur mendakinya masih cukup bersahabat denganku. Untungnya, di kompleks candi ini jalur berjalan kaki dan jalur kuda berbeda, sehingga tidak saling mengganggu dan berpapasan di jalan. Lebih menariknya berjalan kaki ini karena sequence yang dilalui mulai candi pertama satu per satu mendaki hingga candi terakhir lebih indah. Perubahan suasana yang terjadi di jalur jalan setapak dan vista yang perlahan-lahan terbuka, apalagi ditambah dengan interpretasi masing-masing candi membuat dialog sepanjang jalan menjadi lebih hidup.

Jika dilihat dari namanya, Candi Gedong Songo berarti Candi Sembilan Bangunan. Sembari menuju titik Candi Gedong I yang tidak jauh dari taman depan, kami berandai-andai jika kompleks candi ini dulunya adalah semacam padepokan tempat berguru para ksatria. Kami mulai berkhayal bahwa Candi Gedong I ini adalah semacam area selamat datang, untuk para ksatria pemula yang baru mulai berguru.

Di Candi Gedong I yang berada di ketinggian 1.208 m terdapat satu candi dengan kondisi yang cukup baik. Candi yang mudah dilihat dari sejak masuk ini selalu menjadi persinggahan pertama dan selalu ramai. Untunglah di pagi hari ini tidak banyak orang yang berada di sini sehingga bisa mengambil gambar dengan mudah. Anatomi candi Hindu ramping yang kemungkinan dibangun pada dinasti Sanjaya kerajaan Mataram itu mengikuti kaidah kepala, badan dan kaki dengan tangga dan pelataran sebagai tumpuannya, bagian badan yang ada relung tempat menyimpan patung, dan cungkup atap sebagai naungan.

candi gedong I, candi tunggal

candi gedong I, candi tunggal

candi gedong I dari depan menuju relung

candi gedong I dari depan menuju relung

Dari area terbuka, kami berjalan melewati warung makan yang belum buka, yang berada di antara hutan pinus. Di kanan berjejer beberapa pondok yang masih tertutup pintu dan jendelanya, sementara di sebelah kiri, wow! Apa yang tersembunyi di balik pagar? Ternyata ada pelataran besar beserta beberapa villa-villa kayu di dalamnya juga terlihat tenda-tenda di situ. Rupanya pelataran itu adalah tempat pertemuan yang bisa disewa apabila ada event yang diselenggarakan di situ. Ada sedikit kesibukan pagi itu, mungkin ada satu perusahaan yang mengadakan family gathering.

Kami agak terengah-engah karena jalanan menanjak tipis namun cukup panjang. “Huih, nanti kalau naik gunung, pasti dengan beban lebih berat, dan waktu lebih lama. Menanjaknya, sama!” tukasku sambil mengatur napas. Aku melangkah satu demi satu hingga melewati villa-villa itu sampai menemukan track menurun. Dan masih di bawah naungan pinus pula!

jalan setapak dari batu dan warung di sampingnya

jalan setapak dari batu dan warung di sampingnya

fasilitas outbond di bawah hutan pinus yang berjajar

fasilitas outbond di bawah hutan pinus yang berjajar

Tapi jalan menurun tak bertahan lama, setelah sepuluh menit berjalan, kembali area terbuka berada dalam pandangan kami, beserta candi kedua berada di atas sana. Untung napas sudah mulai teratur sehingga saat menanjak lagi di perkerasan bebatuan itu mulai terasa lebih mudah dilakukan. Sesampai di candi kedua dan memandang ke bawah, pemandangan indah perbukitan dan danau Rawapening membentang biru di kejauhan. Udara bertiup semilir mencubit kulit yang sedikit keringatan.

Candi Gedong II ini berdiri sendirian, walaupun di depannya terdapat hamparan batu-batu yang nampak seperti umpag dari sebuah bangunan. “Mungkin di masa lalu ada pondok kayu yang berdiri di atas alas bebatuan ini namun sudah musnah termakan cuaca,” kataku. Posisinya yang tepat di depan candi membuatku berpikir demikian. Atau bisa juga susunan itu tempat meletakkan sesajian makanan?

candi gedong II, candi tunggal

candi gedong II, candi tunggal

hamparan batu di depan candi gedong II

hamparan batu di depan candi gedong II

Untunglah jarak Candi Gedong II ke Candi Gedong III tidak terlalu jauh tapi masih lumayan menanjak, sehingga tidak terlalu memakan nafas dan tenaga. Lagi pula sudah mulai mendapat ritme yang nyaman untuk perjalanan ini. Baru satu jam kami berjalan, dan udara masih segar tidak terlalu terik. Dalam bayangan kami, jika dulu kompleks Candi Gedong Songo ini memiliki tingkatan-tingkatan kelas untuk ksatrianya, berarti kami sudah menjejak tahapan ketiga.

Pemandangan dari menuju Candi Gedong III ini membuat dada berdegup, karena gunung-gunung yang melatari candi ini seolah menyatu dalam harmoni susunan candi. Kepala candi yang selaras dengan lansekap alami yang mengitari memberikan rasa merunduk takzim pada pencipta semesta. Bukit tempat candi-candi ini berada, dilingkupi oleh gunung-gunung besar di sekelilingnya.

berjalan terus ke atas, candi gedong II berlatar pegunungan

berjalan terus ke atas, candi gedong II berlatar pegunungan

“Eh, tapi di masa lalu kan candi dibuat sebagai tempat ibadah. Mereka memuja dewa-dewa dan membuat patungnya di dalam candi untuk dipanjatkan do’a,” pikirku. Berarti bisa juga jejak candi ketiga ini adalah tempat ksatria yang ilmunya sudah lebih tinggi daripada di candi I dan II tadi, atau bisa juga salah satu tahapan berdoa sesudah meditasi di candi yang ditemui sebelumnya. Sepertinya kami terlalu banyak berandai-andai. Tapi, bukannya interpretasi atas suatu lokasi itu juga penting untuk menghidupkan cerita?

Candi Gedong III yang berada di ketinggian 1.297 m ini tidak terlalu besar.Terdapat dua candi berukuran sedang, tak terlalu beda jauh dengan candi pertama, beserta dua candi perwaranya yang tidak terlalu lengkap. Sepertinya kedua candi ini berpasangan seolah lelaki pada candi yang lebih tinggi dan candi kedua terlihat lebih merunduk, seolah perlambang perempuan. Padahal, candi yang lebih tinggi dan menghadap barat adalah candi utamanya, dan candi di sampingnya disebut candi apit yang menghadap utara.

Di samping Candi Gedong III juga terdapat dua hamparan batu, yang lagi-lagi membuat aku berkhayal, apa yang dilakukan di masa lalu? Karena hamparan batu ini cukup lebar dan berada di elevasi yang lebih rendah daripada ketiga candi tadi, apakah ini dulu juga merupakan pelataran umpag batu dengan bangunan kayu di atasnya? Jika dahulunya adalah bangunan batu, bencana apakah yang membuatnya tersebar menjadi reruntuhan seperti ini? Karena konstruksi batu tidak pernah menggunakan perekat, hanya cara penyusunan dan batu kunci yang dipasang sedemikian rupa sehingga berdiri tegak.

candi gedong II beserta candi perwara (pengawal)nya

candi gedong II beserta candi perwara (pengawal)nya

beristirahat sejenak sebelum terus melangkah

beristirahat sejenak sebelum terus melangkah

hamparan batu di elevasi bawah candi gedong III, sisa candi atau pendopo?

hamparan batu di elevasi bawah candi gedong III, sisa candi atau pendopo?

Kami mengikuti terus jalur jalan yang diperkeras dengan susunan batu andesit segiempat. Di kanan tebing batu dan lembah di kiri, ditemani desau angin dan cericit burung-burung hutan. Ah, pagi hari memang saat yang tepat untuk memulai perjalanan. Jalanan terus menurun hingga bertemu dengan sumber air panas yang mengepul-ngepul. Air mengalir dialirkan di kolam rendam, namun beberapa sumber panas bumi keluar dari bebatuan kuning yang mengandung sulfur. Sebenarnya pemandian ini cukup mengundang untuk dihampiri dan melemaskan otot, tapi kami memilih lain kali.

villa dan rumah rendam air panas

villa dan rumah rendam air panas

uap panas dari bumi menyeruak dari lubang batu

uap panas dari bumi menyeruak dari lubang batu

Setelah melalui jalan menurun dan menanjak lagi, kami tiba di Candi Gedong IV kami menemukan dua buah candi kecil, yang satu masih terlihat utuh, sementara yang lainnya tinggal reruntuhan saja. Mungkin di zaman dahulu kedua candi ini kembar, seperti Nakula Sadewa yang selalu berdampingan. Area candi IV di ketinggian 1.295 m ini cukup besar, selain 2 candi kecil tadi juga terlihat satu bangunan dengan tapak yang cukup lebar, tersisa bagian kaki candi yang sudah runtuh dan tumpukan batu-batu di sampingnya, kemungkinan adalah penyusun keutuhannya.

Satu candi yang masih utuh juga di sini terlihat cantik dengan meru-meru kecil yang tersusun rapi di sekeliling kepala hingga empat lapisan. Dikitari oleh tumpukan rendah batu-batu seolah rela runtuh demi menjaga berdirinya candi yang masih anggun itu. Apa yang terjadi di masa lalu? Apakah ada pertempuran besar dengan alam di sini?

candi gedong IV dengan reruntuhan di sampingnya

candi gedong IV dengan reruntuhan di sampingnya

salah satu pelataran candi yang badan dan kepalanya runtuh

salah satu pelataran candi yang badan dan kepalanya runtuh

di sisi depannya, candi apit atau perwara?

di sisi depannya, candi apit atau perwara?

candi kembar, satu masih selamat, satu runtuh.

candi kembar, satu masih selamat, satu runtuh.

Di antara Candi Gedong IV dan Candi Gedong V terdapat tanah dan pondok-pondok yang dibangun oleh pengelola untuk beristirahat. Masih sangat sepi di situ, mungkin karena memang kami bertiga pengunjung paling pagi yang naik hari itu. Tanpa membuang-buang waktu kami mendaki tangga menuju Candi Gedong V yang berada di posisi paling tinggi pada 1.308 m. Sejak berjalan dari Candi Gedong III pun sebenarnya puncak Candi Gedong V ini sudah terlihat jelas, karena posisinya yang jauh lebih tinggi dari candi sebelumnya,

Dua buah candi berdampingan, satu yang utama dan masih utuh, dan candi apit di sampingnya hanya ada reruntuhan, bahkan disangga untuk menjaganya tetap berdiri. Juga ditemukan tiga onggokan sisa candi perwara di sampingnya, beserta hamparan baru menerus. Pada sisi candi utama ini terdapat ukiran Ganesya, dewa ilmu pengetahuan yang masih utuh.

Lokasi Candi Gedong V ini yang paling tinggi, dan di sekitarnya pun terlihat agak gersang kurang ada pepohonan. Areanya paling besar dibandingkan yang sebelum-sebelumnya dan posisi candi-candi yang runtuh tersebar di mana-mana. Mungkin juga semakin tinggi hirarki kompleks candi, semakin banyak candi yang dibangun dalam satu areanya untuk acara-acara yang lebih besar.

candi gedong V dan candi apitnya

candi gedong V dan candi apitnya

badan candi dengan patung ganesya di bagian samping

badan candi dengan patung ganesya di bagian samping

sisa candi apit yang terpaksa ditunjang supaya tidak runtuh

sisa candi apit yang terpaksa ditunjang supaya tidak runtuh

Entah karena faktor alam atau kejadian di masa lalu, Candi Gedong VI, VII, hanya tinggal reruntuhannya, sementara Candi Gedong VIII dan XI dikabarkan hilang. Jika dilihat dari beberapa reruntuhan baru di candi-candi sebelumnya, bisa jadi ada satu hal besar yang membuat sebagian wilayah kompleks ini hanya tinggal sejarah saja.

Aku jatuh cinta pada kompleks Candi Gedong Songo ini ketika melihatnya dalam beberapa scene film Rayya, cahaya di atas cahaya, yang dibintangi oleh Titi Rajo Bintang dan Tio Pakusadewo di tahun 2012. Film ini kemudian menjadi film perjalanan favoritku, dan ingin mendatangi tempat-tempat yang ada di situ. Melintasi langkah demi langkah di jalan setapak, berbicara dengan batu, melemparkan ingatan pada masa lampau, tentang tahapan yang harus dilalui satu demi satu. Bertanya-tanya tentang episode kehidupan yang dilalui.

Dari area Candi Gedong V kami bisa melihat pemandangan di bawah, jalur-jalur panjang yang dilalui tadi. Posisi area candi yang terus menaik seperti sebuah hirarki untuk melakukan satu tapa ritual kepercayaan. Pengalaman perjalanan dari satu candi ke candi lain, meniti jalan yang semakin berat, jalur naik dan turun. Berlatih menghadapi tantangan terus menerus membuat semakin kuat. Dan memohon keselarasan dari semesta, dalam gunung-gunung yang dipeluk awan dan langit biru.

Hormati lawanmu, jika kau tak ingin membuang karunia kehormatan yang disematkan kepadamu.
– Rayya

candi-gedong-songo-scenery

perjalanan oktober 2013 | goodreads indonesia semarang | ditulis di reading room, april 2015
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Blog Competition #TravelNBlog 3“ yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID.


filosofi kopi : review film dari bukan penggemar kopi

$
0
0

filosofi-kopi-cover

Peminum kopi itu pemikir, peminum teh itu romantis.

Kata-kata itu pernah kusampaikan pada seorang teman bertahun-tahun yang lalu, dalam satu perdebatan minuman pagi, kemudian dikutip dalam novel yang ditulisnya. Buatku yang tidak kuat minum kopi, kalimat itu untuk menjustifikasikan diriku yang romantis. Padahal sesungguhnya, suka membaca buku puisi ditemani segelas teh sambil memandang hujan itu bisa dilakukan siapa saja. Oh, tapi ternyata lebih banyak waktuku memandang hujan sambil memandangi berkas-berkas gambar dan angka-angka. Sungguh tidak romantis. Pemikir, iya. Apa sebaiknya aku minum kopi saja?

Sedari dulu aku memang jarang meminum kopi, sering mencoba memaksakan diri untuk minum biji hitam dengan merk instan ini sembari mengerjakan tugas-tugas gambar, malah membuat perutku bergemuruh tak karuan, malah memaksaku untuk berbaring menenangkan rasa mual. Jadi, walaupun aku harus berpikir banyak, tapi kopi tidak mampu menjadi teman diskusiku.

kebun kopi

kebun kopi

Sampai satu ketika aku berkunjung ke Belitong dan mampir di Kedai Kopi Kong Djie, dan menemukan bahwa perutku tidak ada masalah dengan kopi seduhannya! Kedainya pun tidak terlalu besar dan suasananya hangat. Aku yakin bahwa berbagai topik diskusi dari yang ringan hingga berat bisa keluar di kedai dengan beberapa meja ini. Kong Djie sendiri melayani pelanggannya sambil tetap berinteraksi sehingga tercipta ruang yang lebih padat. Petualanganku selanjutnya membawaku ke kedai kopi di Malaka, kemudian di Lampung, disajikan di rumah-rumah adat di Flores, yang semuanya ada satu kemiripan, ada ruang yang rekat untuk meminum kopi.

Kopi disajikan di kualitas ruang yang temaram, di antara warna-warna kayu yang kuat, seperti warna yang kuat dari kopi itu sendiri. Disajikan panas-panas bukan oleh barista profesional, namun oleh peracik kopi yang belajar turun temurun sebagai bisnis keluarga. Kopi lokal, begitu kubilang. Kopi yang bisa membangkitkan tenaga lagi setelah lelah berjalan.

kedai kopi kong djie belitong

kedai kopi kong djie belitong

kopi wae rebo

kopi wae rebo

Maka ketika ada tawaran untuk menonton FILOSOFI KOPI yang diangkat dari cerpen berjudul sama di buku bertajuk serupa karya Dee Lestari, aku segera mengiyakan walaupun harus berangkat pagi-pagi sekali dari Depok, menuju Setiabudi XXI. Dahulu pun aku amat suka dengan cerpennya, tentang seorang barista yang amat mencintai dan begitu tergila-gila pada kopi. Ia menciptakan satu racikan yang menurutnya terenak, Ben’s Perfecto.

tiket-filosofi-kopi

Mungkin yang sudah membaca sudah sangat tahu jalan ceritanya, ketika Ben, si barista super narsis dan pede mendapatkan tantangan untuk menyajikan satu racikan untuk memenuhi tantangan seorang kaya untuk menyelamatkan kedai kopi mereka dan menjadi gamang ketika hasil karyanya yang menurutnya racikan terbaik ini, kalah oleh kopi Tiwus, yang menurutnya adalah kopi kampung, yang tidak bisa dibandingkan dengan Ben’s Perfecto yang sudah ia riset berdasarkan pengetahuan per-kopi-an yang ia tahu.

Kedai Filosofi Kopi yang tervisualkan sangat menarik, sebuah toko kelontong tua di kawasan Melawai, di depan lalu lalang yang ramai, tempat orang-orang singgah untuk diskusi atau sekadar chitchat. Ada meja panjang besar sebagai coffee bar sehingga pelanggan bisa langsung melihat bagaimana Ben meracik tiap pesanan untuk mereka. Jarak antara meja-meja dan coffee bar ini juga tidak terlalu lebar, sehingga interaksi antara pelanggan dan barista begitu rekat. Ya, konsep ruang seperti yang ada di kedai-kedai lokal.

“Mas, boleh selfie bareng, nggak?”
“Tapi jangan lama-lama, saya lagi kerja!”

Begitu ajak dua gadis yang mengagumi Ben, barista utama yang ramah di Kedai Filosofi Kopi.

filosofi-kopi-2

filosofi-kopi-4

Chicco Jerikho sebagai Ben, barista ganteng, urakan, dan merasa dirinya adalah peracik kopi paling hebat di ibukota, sangat pas aktingnya di film ini. Rambut gondrongnya, gaya yang seenak udel, ego yang super tinggi, beradu akting dengan Rio Dewanto, yang berperan sebagai Jody, si pemilik kedai kopi yang sangat logis, penuh perhitungan, tidak bisa meracik kopi, dan memiliki ego super tinggi juga.

Jody yang selalu berada di belakang meja kasir, dan menghabiskan malam dengan analisis-analisis bisnisnya, menjalankan Kedai Filosofi Kopi bersama Ben, yang melewatkan hari dengan eksperimen meramu kopi-kopi berkualitas untuk mendapatkan rasa terbaik. Kedua orang yang bersahabat sejak kecil ini memiliki karakter sang amat kuat, amat lelaki, mengungkapkan apa yang menjiwai keseharian mereka. Ketika masalah keuangan melilit kedai kopi tempat mereka melewatkan hari-hari, yang akan berakibat buruk di masa depan pada kecintaan mereka pada kopi, mereka bersitegang. Atas dasar modal atau jiwa terhadap pengolahan kopi.

Dua lelaki. Sulit untuk saling mengalah.

filosofi-kopi-3

filosofi-kopi-1

Scene : di warung. Jody menghampiri Ben yang sedang makan dan menutup kedai Filosofi Kopi.
Jody : Kita harus buka pada jam makan siang. Saat itu pengunjung banyak. Coba, apa yang dicari orang sesudah makan siang. Kopi!
Ben : (melengos) Mbak! Es teh!

Perjalanan mencari kopi terbaik untuk kedai kopi terbaik memang luar biasa. Perjalanan Ben untuk menemukan kopi Tiwus yang katanya lebih enak daripada racikannya ini menariknya kembali pada masa lalu, pada masa-masa ia pertama kali jatuh cinta pada kopi, kebun, bunga, dan buah kopi yang wangi di kampung halamannya. Tentang menyayangi kopi dengan sepenuh hati. Tentang bagaimana memupuk kebun kopi, tentang dahan-dahan yang harus dibuang untuk menyehatkan biji kopi. Tentang menumbuk. Tentang menyeduh. Tentang rahasia yang tidak ia ceritakan.

“Kami merawat dan menyayangi pohon-pohon kopi ini seperti menyayangi Tiwus, anak kami.”

Buku dan film selalu memberikan cara menikmati yang berbeda. Aku sendiri selalu memilih tidak membandingkan keduanya, karena pasti cara penceritaan verbal dan visual akan berbeda. Keduanya memiliki keterbatasan masing-masing, dan ketika sebuah cerita tulisan dibahasakan gambar, ia akan menjadi karya baru yang diapresiasi dengan cara yang berbeda. Untunglah aku terakhir membaca Filosofi Kopi hampir lima tahun yang lalu. Sehingga cerita yang tertempel di otakku tinggal sedikit dan bisa menerima versi visualnya, walaupun ada beberapa yang kurang sreg. But life is about excuse and sacrifice, too.

FILOSOFI KOPI : on cinema 9 April.

foto-foto dari Youtube.
Review ini ditulis karena aku suka dengan bukunya, dan filmnya. Bukan karena memang dapat kesempatan nonton gratis di hari minggu pagi. Benar, ini salah satu film Indonesia yang keren dan patut ditonton. Nonton, ya!


kenangan simpang tugu muda semarang

$
0
0

cover-tugu-muda

selalu ada beberapa kenangan yang tidak pernah pudar…

Yang paling kuingat dari kota Semarang yang pernah menjadi kota tinggalku selama lima tahun, adalah Tugu Muda dan Lawang Sewu. Betapa tidak, rumahku dulu di daerah Karangayu tidak terlalu jauh dari situ sehingga bisa dibilang ke mana pun ayah dan ibuku membawaku di dalam kota Semarang, hampir pasti akan melewati dua ikon menarik Semarang ini.

Diajak ibu belanja ke Pasar Bulu? Selemparan pandangan mata, pasti kulihat Tugu Muda. Ikut ke kantor ayah di dekat Pasar Johar? Untuk mencapai Jalan Pemuda terus hingga ke Johar, melewati Tugu Muda. Olahraga pagi ke Stadion Tri Lomba Juang? Berangkat dari rumah pasti melewati titik ramai ini. Ke Simpang Lima untuk nongkrong-nongkrong dan makan tahu petis? Sebelum melewati jalan Pandanaran pasti lewat Tugu Muda juga. Tak heran, di usiaku yang waktu itu amat belia, Tugu Muda lekat sekali dalam ingatanku sampai bertahun-tahun kemudian, aku kembali lagi ke sana.

Beberapa tahun berikutnya, aku jarang melewati Tugu Muda lagi karena tinggal di berbagai kota dan amat jarang ke Semarang. Kalaupun lewat, mungkin hanya sekilas saja, karena hanya beberapa jam saja di kota atlas ini. Namun beberapa tahun terakhir ini, sepertinya Semarang memanggilku untuk kembali, mengingat kenangan masa kecilku. Dan tentu saja, bayangan Tugu Muda yang begitu kuat kembali menyeruak.

tugu muda 2011

tugu muda 2011

tugu muda 2015

tugu muda 2015

Selain Tugu Muda, kenangan lainku adalah gedung Lawang Sewu. Sewaktu aku kecil, gedung ini adalah tempat dengan tingkat mistis yang amat terkenal, sehingga dibiarkan begitu saja seperti gedung berhantu. Aku hampir-hampir tidak ingat rupa gedung berpintu banyak ini dulu, karena lebih banyak rumor yang beredar. Sewaktu zaman kuliah aku sempat mampir dengan seorang bekas kawan TK, ia bahkan bercerita bahwa tidak ada yang berani merenovasi Lawang Sewu ini, karena pasti memakan tumbal. Tukang-tukang selalu mengalami kecelakaan, pekerjaan yang tak kunjung selesai, dan berbagai mitos. Malah ketika aku lewat di depannya terlihat kusam dan lusuh, dan ada ayam cemani yang berkeliaran di halamannya. Waktu itu aku sempat bergidik, apa ayam yang keseluruhannya berwarna hitam itu ayam jadi-jadian?

lawang sewu 2011

lawang sewu 2011

lawang sewu difoto dari halaman tugu muda bareng rhea, 2011

lawang sewu difoto dari halaman tugu muda bareng rhea, 2011

lawang sewu sewaktu kami pulang dari karimunjawa, 2012

lawang sewu sewaktu kami pulang dari karimunjawa, 2012

lawang sewu sewaktu aku dan @puteriiih pulang dari dieng, 2014 foto di samping tugu muda

lawang sewu sewaktu aku dan @puteriih pulang dari dieng, 2014
foto di samping tugu muda

Jadi, ketika ikut acara TravelNBlog 3 yang diadakan di kota Semarang dan harus mencari penginapan, pikiranku tak jauh-jauh dari Tugu Muda dan Lawang Sewu. Lha, memang memori yang paling menempel memang dua tempat itu, mengalahkan Simpang Lima dan Taman KB. Untunglah aku punya voucher dari Travelio.com yang bisa kugunakan menginap. Buka-buka situs yang masih tergolong baru ini, cukup membantu menentukan lokasi. Mana lokasi yang paling dekat dengan Tugu Muda. Apalagi acara TravelNBlog diadakan di Jalan Pemuda, yang benar-benar tak jauh dari kedua tempat memorial itu, apalagi dalam rangkaian acaranya ada kunjungan ke Lawang Sewu pula.

tampilan travelio.com di iPad. kiri, halaman pertama. kanan, pilihan hotel.

tampilan travelio.com di iPad. kiri, halaman pertama. kanan, pilihan hotel.

Untunglah Travelio.com bisa mencarikan posisi hotel yang kebetulan sekali juga berada di Jalan Pemuda, yaitu Amaris Hotel, salah satu grup Santika, sehingga terpercaya juga servisnya. Dan yang lebih asyiknya ini, kalau pakai Travelio.com, harganya BISA DITAWAR! Sebagai perempuan yang sering membanding-bandingkan harga, tentu saja fitur ini merupakan hal yang menarik, inovatif pula. Nggak perlu menunggu-nunggu lama, tawaran akan segera diberitahukan hasilnya apakah diterima atau ditolak.

awal tampilan sebelum ditawar. masukkan harga tawaranmu!

awal tampilan sebelum ditawar. masukkan harga tawaranmu!

Yay, tawaranku diterima! (sudah pakai voucher, nawar pula) Harganya benar-benar jadi cukup ekonomis, sampai-sampai aku tak perlu mencari teman sekamar lagi (walaupun kalau ada pun tak mengapa). Jelas, aku bakal bisa beristirahat di Amaris Hotel sesudah lelah berkeliling Lawang Sewu nanti. Tidak sampai 200 meter jaraknya, pas kan?

harganya jadi Rp 350.000,; dikurangi voucher, lumayan lah..

harganya jadi Rp 350.000,; dikurangi voucher, lumayan lah..

Di hari pelaksanaan TravelNBlog, dengan membawa bukti cetak pemesananku lewat e-mail, aku lari menyeberang jalan ketika jam makan siang. Kebetulan sekali lokasi Amaris Hotel ini di depan Tourist Information Centre yang menjadi tempat penyelenggaraan TravelNBlog. Strategis bukan cuma untukku, tapi juga tamu-tamu pemerintahan karena juga sangat dekat dari gedung Balaikota Semarang. Apalagi, di bawah Amaris Hotel ini ada toko buku Gramedia. Duh, menggoda banget untukku yang pembaca akut ini untuk mampir. Ternyata tidak ada kesulitan berarti, karena pesananku tidak ada masalah apa pun, dan langsung diberi kunci kamar.

Seusai acara di kelas dan jalan-jalan seru di Lawang Sewu, aku mengangkat ranselku ke lantai 6 (naik lift tentunya) untuk beristirahat. Akhirnya aku mengajak Lestari, blogger Semarang, adik ketemu gede yang juga ikut acara TravelNBlog juga untuk ikut menemaniku menginap di sini. Nggak enak juga tidur sendirian, kan. Yes, ketika bangun pagi, aku bisa langsung melihat Tugu Muda lagi. Semua kenangan masa kecilku itu kembali di sini.

amaris-kunci

amaris-semarang-lobby

amaris-semarang-dining

amaris-semarang-bed

amaris-semarang-table

amaris-semarang-rest

amaris-semarang-morning

Tertarik juga mencoba Travelio.com? Harga di situs ini adalah harga gross, jadi sudah termasuk pajak-pajak yang di situs-situs lain masih harus pusing ditambah (dan dibayar). Jadi harga penawaran jika disetujui, adalah harga yang sama dibayar. Sesuai dengan tagline mereka : Your Trip Your Price, tentukan harga hotelmu. Tahu yang paling aku suka dari Travelio.com? Maskotnya! Singa lucu ini amat menggemaskan ketika ‘bekerja’ dengan pesanan pelanggan.

travelio-cara-kerja

amaris-semarang-bagtag

Tunggu, ya. Bakal ada yang seru di blog ini bareng si unyu Lio! Mau dapat voucher dan nawar juga?

Bisa lihat [giveaway] travelio : interior hotel keren

Ikuti blog ini sambil amati saja apa yang akan ada di twitterku @miss_almayra dan Travelio.com @travelioid.

selamat hari minggu!

19.04.2015


[giveaway] travelio : interior hotel keren

$
0
0

cover-interior-mercure-lift

    @viraindohoy : @miss_almayra buruan sampai sini! Kamarnya bagus!
    Vira mengirimkan lewat twitter gambar kamar yang kami tempati di Lombok tempat kami menginap bulan Oktober tahun lalu. Aku terkikik membaca kicauannya.
    @miss_almayra : @viraindohoy dasar blogger! nyampe hotel pasti langsung foto!
    Dan aku langsung kepingin buru-buru sampai untuk melihat interior ruangan seperti yang ditunjukkan Vira. Menyesal karena sempat ketinggalan pesawat dan harus menunggu lima jam lagi.

Pernahkah kamu memilih tempat menginap di masa liburan berdasarkan interior di dalamnya? Atau memilih tempat menginap untuk bussiness trip berdasarkan interior suasana hotel yang dilihat di situsnya? Atau suka melihat-lihat interior hotel di majalah?

Aku, tentu saja selalu suka memperhatikan detil-detil interior hotel, baik di situs, di buku-buku, di majalah, ataupun di hotel-hotel yang aku inapi, karena tuntutan pekerjaan, dong. Sebagai arsitek yang beberapa kali mendesain hotel, sangat perlu berkoordinasi dengan desainer interior yang akan mempercantik ruangan-ruangan tertentu dari hotel, karena berkaitan dengan desain-desain eksterior, dinding, lantai, dan lain-lain yang saling bertemu.

lobby tugu hotel

lobby tugu hotel

Sebenarnya, apa sih beda arsitek dengan desain interior?

Pertanyan ini sering ditanyakan oleh orang-orang yang mengenalku. Persamaannya, kami sama-sama mendesain untuk bangunan. Arsitek menganalisis kebutuhan ruang berdasarkan fungsi-fungsi yang diminta, mendesain sistem sirkulasi dalam bangunan, penataan ruang, hubungan antar ruang,, memadukan dengan estetika, juga berkoordinasi dengan insinyur sipil untuk membuat bangunan ini bisa berdiri. Arsitek juga memilih material dan warna untuk bangunan yang sedang ia desain untuk mendapatkan nuansa yang diinginkan.

Sementara desainer interior, fungsinya dibutuhkan ketika bangunan itu sudah berdiri. Desainer interior lebih khusus, lebih kompleks ke tata letak dalam satu ruangan. Desainer interior akan memberi rasa dari obyek interior yang ia pilih, misalnya bentuk dan material untuk furnitur, warna dinding, motif-motif lantai, atau naik turunnya langit-langit beserta permainan cahaya di dalam ruangan. Bahkan warna bantal, tirai atau bentuk vas pun ditentukan oleh seorang desainer interior!

Ketika arsitek mendesain hotel, ada beberapa ruangan yang biasanya memerlukan desainer interior khusus untuk menciptakan suasana yang ingin dicapai oleh pemilik hotel supaya pengunjung hotel ini merasa terkesan dan ingin kembali lagi. Ruangan-ruangan ini biasanya ruang publik yang selalu diakses. Kamu pernah terkesan dengan lobby hotel, restoran, atau kamar tempat bermalam? Atau hanya mampir hotel di ruang pertemuan/ballroom? Nah, itu salah satu hasil desainer interior. Apakah arsitek bisa mendesain interior juga? Tentu saja bisa, jika punya peminatan lebih mendetail terhadap bahan dan motif dan pernak-pernik lainnya. Seperti aku, yang sempat beberapa kali mendesain lemari dapur atau kamar set, butuh ketelitian lebih untuk menentukan bentuk handel lemari, misalnya.

sky lounge labuan bajo

sky lounge labuan bajo

Desain interior hotel apa yang aku suka?

Seperti aku yang tidak fanatik pada chain hotel tertentu, aku juga tidak punya style desain interior hotel yang terlalu aku suka. Cuma memang apa yang tampak di situs-situs hotel yang hendak dipilih memang menentukan apakah aku akan menjatuhkan pilihan untuk menginap di situ. Karena aku masih muda, aku tidak terlalu suka dengan gaya yang terlalu berat dan klasik roman, walaupun hotel-hotel mahal banyak yang menggunakan gaya ini karena terlihat elegan dan matang. Rasanya belum waktunya, mungkin kelak kalau sudah pantas untuk tidur di situ. Beberapa gaya interior favoritku adalah :

1. Vintage
Aku selalu suka dengan desain interior yang menggunakan barang-barang lawas, diperbarui lagi, kemudian ditata di ruang-ruang sekarang, dan mengembalikan waktu seolah berada di masa lalu. Barang-barang yang dulunya terlihat sederhana, memberikan suasana hangat dan membumi jika berada di tengah-tengahnya.

tugu lombok

tugu lombok

2. Minimalis
Salah satu style favoritku ketika mendesain, karena tidak terlalu banyak detil dan terlihat sangat bersih dan jujur. Penerapan desain minimalis di dalam kamar hotel yang tidak terlalu luas memberikan fungsionalitas yang kompak, sehingga setiap sudut bisa berfungsi dengan maksimal. Apalagi tidak banyak pernik ini membuat ruangan mudah dibersihkan dan cepat merasa rapi.

fraser menteng, jakarta

fraser menteng, jakarta

3. Kontemporer
Lebih berani daripada minimalis, desain kontemporer memadukan warna-warna dan bentuk-bentuk unik, sehingga yang datang pasti terkesan dan menempel lebih kuat di ingatan. Yang aku suka disini adalah melihat perpaduan materialnya, bagaimana mengkombinasikan sehingga benjadi satu ciri sendiri. Sambil berpikir, desainer interiornya ini dulu pasti kerja keras membuat pola begini.

ibis novena, singapura

ibis novena, singapura

4. Natural
Berada di hotel dengan suasana alam paling menyenangkan ketika liburan. Rasanya tidak perlu ke mana-mana dan menikmati suasana di dalamnya. Dinding-dinding dari bambu atau kayu, kelambu yang menggantung, udara sepoi-sepoi yang menyelisip dari balik bilah-bilah kayu, dan dipadu dengan pemandangan cantik. Kalau sudah begini bisa-bisa lupa pulang.

little woodstock, gili trawangan

little woodstock, gili trawangan

Kalau kamu, interior hotel apa yang menurutmu keren?

Kamu bisa memilih interior hotel keren dari banyak sekali pilihan hotel di Travelio.com, dan berkesempatan memenangkan DUA hadiah berupa VOUCHER HOTEL sebesar Rp. 200.000,- yang bisa digunakan untuk menginap di hotel-hotel yang tersedia di situs Travelio.com. Sudah tahu, kan, bahwa situs ini sambil mem-booking hotel, juga bisa sambil ditawar! Bulan lalu aku sudah membuktikan bahwa aku bisa menawar harga hotel juga, ketika dalam perjalanan ke Semarang. Your Trip, Your Price.

Caranya mudah (anggap saja ini mudah, tapi beneran mudah, kok!)

Syarat pertama : Kamu harus punya akun twitter. Kalau belum punya, segeralah membuat. Kemudian follow twitter aku @miss_almayra dan Travelio.com @travelioid

1. Klik Travelio.com. Kamu akan melihat tampilan di bawah ini. Mudahnya, segera pilih LOKASI di mana kamu ingin berlibur. Kalau aku sih, Bali. Karena banyak hotel-hotel cantik dibangun di Bali, tentunya dengan desain interior yang menarik juga. Masukkan TANGGAL bebas, mau nanti sore pun bisa, atau minggu depan. Atau kamu mau sesuaikan dengan tujuan dan tanggal liburan kamu? Boleh! Selanjutnya, klik Dapatkan Diskonnya!

travelio-1

2. Masuk di halaman yang menunjukkan hotel-hotel di Bali yang bisa kamu pilih. Kamu bisa coba lihat-lihat di kota lain juga, lho. Ada 255 hotel di Bali yang bisa kamu lihat-lihat interiornya. Pilih yang menarik buat kamu berdasarkan teaser yang muncul di samping kanan. Foto-fotonya sangat menggoda untuk dicoba sih.

travelio-2-pilih-hotel

3. Setelah mendapatkan satu yang kira-kira menarik, klik tulisan LIHAT HOTEL yang berwarna biru untuk info lebih spesifiknya lagi tentang hotel yang menarik interiornya ini. Ini akan membuka di tab baru, jadi kamu bisa membuka beberapa hotel sekaligus.

travelio-3-pilih-petitenget

4. Masuk ke tautan hotelnya yang akan menjelaskan deskripsi, galeri foto, lokasi sekitar, tempat menarik terdekat, juga ulasan-ulasan tentang hotel ini. Baca baik-baik untuk informasi yang lebih jelas dan kecocokan denganmu. Bisa scroll terus ke bawah.

travelio-4-petitenget

travelio-5-petitenget-info

5. Lihat GALERI FOTO dan klik satu per satu untuk melihat gambarnya lebih jelas. Lihat baik-baik satu per satu. Mendapatkan interior yang sesuai jiwa dan kepribadian?

travelio-5-petitenget-gallery-photo

travelio-5-petitenget-interior

travelio-6-petitenget-interior-2

6. Kamu bisa simpan gambarnya di hard disk-mu atau memory card sendiri. Jangan hanya di dalam ingatan. Belum cocok? Ulangi lagi langkah nomor satu.

travelio-9-petitenget-save

Sudah siap foto dan link hotelnya? Tinggal melakukan dua hal ini.

SATU
Isi di kolom komentar di bawah dengan format :
Nama :
Akun Twitter :
Interior Hotel keren : [Isi nama hotel] [link profil hotel]
Alasan :

Contoh :

    Nama : Indri Juwono
    Akun Twitter : @miss_almayra
    Interior Hotel keren :
    Petitenget 501 Boutique Lofts
    (http://www.travelio.com/hotel/bali/petitenget-501-boutique-lofts/)
    Alasan : Warna kayunya di interior memberi suasana hangat, seperti berada di tengah kabin di dalam hutan. Sofa-sofanya yang terlihat empuk ini pasti nyaman ditinggali berlama-lama. Apalagi lokasi tempat tidur yang berada di atasnya, sepertinya lebih privat, ya.

DUA
Siapkan fotomu dan Kicaukan pilihanmu di Twitter dengan format :
Hai @miss_almayra @travelioid, ini interior hotel keren versiku : [link profil hotel] #YourTripYourPrice + image hotel

Contoh :

travelio-twitter

Mudah kan, kamu bisa mulai sejak saat kamu mulai membaca ini, dan terus hingga DITUTUP pada tanggal 29 APRIL 2015 jam 06.00 WIB (pagi, menurut Waktu Indonesia Bagian Barat). Jawaban akan dibaca-baca dan mencocokkan syarat dan ketentuan, untuk DIUMUMKAN pada tanggal 30 APRIL 2015, pada jam 20.00 WIB lewat Twitter, one of big day, hari di mana SIM saya habis masa berlakunya.

Selamat memilih interior hotel lewat Travelio.com. Singa lucu Lio akan menemani pencarianmu, nih!
Amati twitter @miss_almayra aku sepanjang periode, ya. Siapa tahu ada bonus-bonus lucu!

lio gembira

Pulomas, 20.04.2015 #ad


earthday2015 : dilema batu kapur

$
0
0

tebing-karst-citatah

The harder you fall, the heavier your heart; the heavier your heart, the stronger you climb; the stronger you climb, the higher your pedestal.
― Criss Jami, Killosophy

Kira-kira sepuluh tahun lebih yang lalu, ketika aku masih kuliah, aku cukup sering berkunjung ke daerah Citeureup, kabupaten Bogor, karena di sana banyak sekali goa-goa kapur yang bisa dikunjungi. Yang kuingat adalah goa Keraton yang bisa masuk horisontal dengan ornamen-ornamen yang indah. Stalagtit yang menggantung, yang terbentuk dari endapan air kapur, disinari cahaya senter kami. Lalu ada beberapa goa vertikal yang sempat kami turuni sebagai latihan menggunakan menggunakan tali statik dibantu dengan jummar untuk naik kembali.

    Beberapa tahun yang lalu aku bertanya lagi pada junior-juniorku tim caving, masih sering ke Citeureup?
    Goanya sudah runtuh, kak.

Tak heran, daerah Citeureup yang merupakan perbukitan kapur ini memang dikelilingi obyek-obyek batu yang sangat menarik. Selain goa-goanya, juga ada tebing Klapa Nunggal yang sering dijadikan tempat latihan panjat tebing dengan struktur overhangnya yang keren. Bukit-bukit ini juga yang membuat dua perusahaan semen raksasa, bermarkas di situ dan mengeksplorasi endapan-endapan putih ini sebagai bahan baku produksinya. Semen yang menjadi bahan baku bangunan ini tidak pernah mengalami masa surut produksi. Setiap saat, setiap hari di setiap pembangunan sudut kota selalu membutuhkan semen.

    Dan aku tercenung. Saat aku menanyakan pada juniorku itu, aku sedang bekerja di salah satu anak perusahaan semen raksasa dengan logo tiga buah lingkaran itu. Aku tahu perkembangan ekspansinya, silo-silo tinggi yang gambarnya berasal dari studio kami.

    Goa-goa dan bukit indah itu, hancur oleh industri manusia.

goa-pawon

Tak lama dari saat itu, aku dan teman-teman berjalan-jalan ke daerah Citatah, Kabupaten Bandung yang terkenal dengan Goa Pawon dan Taman Batu. Hampir seperti di Citeureup, wilayah ini penuh dengan perbukitan kapur yang kadang juga dijadikan tempat latihan panjat tebing. Sesudah berkeliling dalam goa, kami menuju taman batu yang sebenarnya berada di atas Goa Pawon tadi. Tapi kami memilih memakai mobil dan melalui jalan memutar dan membuat kami melewati beberapa penambangan batu kapur.

Di tempat ini, penambangan kapur adalah pekerjaan sehari-hari untuk warga setempat. Kapur digunakan antara lain untuk bahan baku kosmetik, bahan papan gipsum, campuran semen, bahan pemutih, bahkan pasta gigi. Di sebelah kiri tampak workshop kapur yang mengepulkan asap hitam. Di sini kapur yang didapat dengan meledakkan satu sisi perbukitan diolah dengan cara dibakar hingga dihaluskan. Lambat laun, akan habis juga kawasan ini?

Sementara di sisi-sisi karst lainnya, batu kapur amat tua dan keras berevolusi menjadi marmer, yang dijadikan pelapis dinding atau lantai yang mewah pada bangunan-bangunan di kota, memindahkan urat alami pada bebatuan pada pahatan. Marmer yang sejuk menjadi idola untuk dipasang sebagai simbol, terus menerus ditatah, diambil, direnggut dan dipindahkan. Marmer Citatah menjadi salah satu primadona untuk finishing bangunan mewah.

    Di mana aku ketika itu? Apa aku menjadi salah seorang yang merekomendasikan pemakaian marmer di salah satu bangunan yang didesain? Begitu banyakkah kebutuhan manusia akan marmer, sampai harus terus menerus memotong bukit kapur?

    Manusia tidak pernah cukup. Dan aku salah satu perpanjangan tangannya.

citatah-tambang-kapur

Akhir bulan lalu aku mengobrol dengan seorang warga Rembang yang gigih memperjuangkan kota Rembang dan Lasem untuk dilestarikan peninggalan budayanya. “Jika kita berniat melestarikan heritage, apakah kita akan merusak alam? Tentu kita akan jaga,” ujarnya. Dari mulutnya meluncur juga cerita tentang perjuangan warga Rembang yang menolak pengalihfungsian Pegunungan Kendeng menjadi area penambangan bagi pabrik semen yang akan didirikan. Pembangunan pabrik semen dipastikan akan menghancurkan lingkungan karst yang sudah bertahun-tahun menjaga keseimbangan ekologis daerah ini.

Kebutuhan lahan sangat luas pada perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada kehilangan lahan pertanian, hingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Ada 109 mata air, 49 goa, empat sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding goa, makin menguatkan keyakinan bahwa kawasan karst Watuputih harus dilindungi.”(sumber : www.mongabay.co.id)

Pabrik semen lagi? Sebegitu tinggikah permintaan kapur sebagai bahan baku? Aku tercekat dalam hati. Sebegitu besarkah kebutuhan manusia akan bangunan? Sebegitu perlunya mereka untuk selalu memperbaharui tempat tinggal mereka? Seberapa pentingnya bahwa penyelesaian akan fungsi-fungsi ruang adalah sebuah bangunan?

    Dan aku ada di mata rantai itu. Aku ada di tengah-tengah pengguna semen yang maha banyak itu, sebagai pembisik. Sebagai seseorang yang menginginkan impiannya terwujud dengan bantuan olahan kapur itu. Seolah menyetujui pembangunan, penggunaan untuk berbagai material untuk kepentingan manusia. Atau mungkin sekelompok kapital.

    Duh, Bumi. Aku minta maaf.
    Aku mencintai bebatuan dengan membiarkan mereka berada di tempatnya. Tapi aku juga berdiri di sisi yang lain. Bagaimana cara menumbuhkan batu kapur lagi?

stone-garden-citatah

depok.22.april.2015.selamat.hari.bumi.


wayang, upaya memperkuat nilai-nilai luhur bangsa

$
0
0

 

 


Sehabis lesat pasopati, senja datang tergesa, perang terhenti. Seorang ibu meraihmu dalam gugu yang nyeri. Gelombang rindu tak sampai-sampai. Betapapun telah deras berbadai-badai hujan di batinnya, untukmu Karna cukuplah kiranya gerimis wangi ini. Kami dilarang menangisi.‪ #‎karnatandhing_020315‬

Di panggung Mahakarya Indonesia, Nanang Hape mengangkat Karna di tangannya, si ksatria dari Hastina yang dipisahkan dengan kelima saudara-saudaranya Pandawa Lima, dan terpaksa bertarung melawan mereka karena setianya pada sang guru, Duryudana. Lelaki ini, yang berusaha untuk bercerita tentang wayang untuk generasi muda yang sudah mulai melupakan kebiasaan-kebiasaan lama ini.

Aku ingat dulu sewaktu kecil, sering ada pertunjukan wayang kulit di kampung kakekku yang dipentaskan hingga semalam suntuk. Waktu itu aku tidak banyak tahu tentang cerita-cerita ini, tapi pelajaran bahasa Jawa berhasil membuatku penasaran untuk mengetahui lebih banyak kisah-kisah mereka. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Gatotkaca, putera Bima yang perkasa, atau keanggunan Abimanyu yang mewarisi ketampanan Arjuna dan cantiknya Dewi Subadra. Mulailah aku banyak membaca tentang kisah-kisah Pandawa Lima yang semua berakhir dengan perang besar di Kurusetra.

Meski selalu mengetahui bahwa Pandawa menang melawan Kurawa, tidak pernah menyurutkan minat untuk membaca cerita-cerita pendek tentang keteladanan hidup yang diajarkan lewat tokoh-tokoh wayang ini. Lama kelamaan aku tertarik dengan wayang kulit yang merupakan satu bentuk penceritaan yang halus, dengan bahasa setara lantunan lagu. Dalang yang memperlakukan layarnya seperti rumah, akan menjajarkan tokoh-tokohnya dari samping untuk dikeluarkan satu-satu, diawali dan diakhiri dengan gunungan.

“Meskipun cerita wayang sering digambarkan hitam putih, namun sebenarnya ada alasan yang menjadikan perwatakan itu. Misalnya Rahwana yang selalu mengejar-ngejar Sinta, padahal ia sudah tahu kodratnya sebagai raksasa tak mungkin mendapatkan bidadari,” jelas mas Nanang, si  dalang. Mas JJ Rizal yang juga hadir sebagai pembicara menambahkan, “Wayang kulit itu ada dua sisi, kan? Sisi yang menghadap penonton, dan sisi yang menghadap dalang. Jadi tidak semua kisah itu hitam putih.”

Nilai keluhuran bangsa Indonesia berupa kerendahan hati dan kesabaran bisa dilihat dari tokoh Bima, si tokoh gagah perkasa yang tidak pernah menyombongkan kekuatannya, tidak banyak bicara, namun berani maju di medan laga mengayunkan gadanya. Tokoh Karna, yang berada di sisi lawan menunjukkan nilai kegigihan untuk bertarung sampai titik penghabisan, gugur di anak panah pasopati Arjuna, ksatria yang ia tantang juga untuk memperebutkan Drupadi. Selama berhari-hari, Pandawa Lima bekerja sama untuk gotong royong memenangkan perang di padang Kurusetra ini.

Mahakarya Indonesia berusaha memperkenalkan nilai-nilai bangsa, yang seharusnya senantiasa dimiliki oleh putera puteri generasi muda. Cerita wayang yang menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa menjadi satu warisan istimewa yang bisa terus dipupuk untuk keluhuran nilai-nilai yang tertanam kuat.

 
 karakter-karakter wayang yang dijelaskan Nanang Hape
Generasi muda yang belajar mendalang, semangat mas cumi!
  
Wayang kulit, warisan bangsa


Tulisan ini diikutsertakan dalam Live Writing Competition – Maha Karya Indonesia – Jiwa Indonesia


9 trik (tidak) tersesat di Lasem

$
0
0

0-cover-rumah-candu-lasem[1]

“Sudah sampai mana?”
“Baru lepas Terboyo 5 menit yang lalu.”

Jam 6 pagi itu, ketika matahari baru beranjak naik ke angkasa, bersama dengan orang-orang berangkat bekerja, dan anak-anak belasan tahun berangkat ke sekolah, alih-alih kembali ke Jakarta, aku malah melanjutkan akhir pekan di Semarang dengan melanjutkan perjalanan ke jalur Pantura Jawa Tengah. Ghana menjemputku jam 5 pagi di Semarang dan menitipkan motor di stasiun, kemudian lanjut ke terminal Terboyo. Drama pertama pagi ini, kami salah naik bis. Ternyata bis yang kami naiki tidak ke terminal, melainkan tujuan Salatiga! Untunglah kemarin aku baru mengantar kak Tekno Bolang ke terminal ini, jadi langsung menyadari begitu bisnya beda arah.

 

Pastikan bis yang kamu naiki tujuannya benar.

“Duh, Ghana. Untung kamu bareng aku pagi ini. Coba aku berangkat duluan semalam, pasti kamu nggak sampai-sampai.”
“Emm, aku biasa nyasar gitu kok, Mbak,” kilah mahasiswa yang membolos pagi itu. Tidak heran, nama blog-nya saja lostinparadise.web.id. Rupanya nyasar memang salah satu kurikulumnya.

Kami naik bis yang katanya tujuan Lasem. Bukan, kami belum akan ke sana. Tujuan pertama pagi ini adalah Pati, sambil menjemput kak Bolang, sembari mampir sarapan. Bayangan sego gandul yang menari-nari di kepala membuat perutku lapar. Bis melaju perlahan, menaikkan penumpang hingga seluruh tempat duduknya terisi penuh. Aku lega, berarti perjalanan bisa cepat, nih.

Bis melalui tepian sawah pagi yang masih dibasahi embun-embun. Wah, cantik sekali pemandangan di samping. Rupanya daerah ini adalah salah satu lumbung padi daerah Jawa Tengah, yang hamparannya begitu menyejukkan mata pagi ini. Aku teringat beberapa tahun sebelumnya baru melewati jalur ini sebelum ke Jepara.

Memasuki kota Kudus, orang-orang banyak yang berdiri dan bersiap turun. Aku menikmati suasana kota kretek itu sambil bis perlahan-lahan masuk kota. Lha, kok hampir semua turun di sini? Apa kami juga akan diturunkan di sini? Ternyata benar.

“Mbak, turun sini. Nanti ganti bis Sumber Laris di belakang,” kata kenek bisnya. Laah, benar dugaanku. Terpaksa aku dan Ghana turun, lalu naik bis biru tanpa AC yang datang tak lama kemudian, dan setelah berjalan 5 menit sesudah persimpangan, ia berhenti. Ngetem.

“Mestinya sambil ngetem bisa mampir Masjid Kudus nih,” candaku mengingat sebenarnya aku berniat menginap di Kudus malam sebelumnya untuk melihat masjidnya. Sayang, karena kesorean berangkat dari Semarang, jadi niat itu kuurungkan.

Bis ngetem tidak sebentar, sampai-sampai aku bosan. Matahari pagi yang mulai naik masuk di sela-sela jendelanya, dan keringat mulai keluar. Rasanya kepengin keluar dan ganti kendaraan lain yang lebih cepat.

Naik apa biar cepet ini?
Ngetem depan terminal ya?
Di dekat terminal dalam kota.
Harusnya nyari Patas Surabaya, harganya 2x lipat tapi langsung. Udah nyantai aja. Nanti dari Pati kita naik Patas.

Ketika bis sudah berjalan lagi, pemandangan di luar masih sama seperti jalur sebelumnya, hanya embun-embun sudah menghilang. Jam delapan pagi, di saat orang-orang yang bekerja sudah di kantornya, dan anak-anak sekolah belajar, kami berada di bis (yang juga katanya) menuju Lasem.

depan terminal terboyo di pagi hari

depan terminal terboyo di pagi hari

 

Jangan pernah lupa makan, apa pun alasannya.

Memasuki kota Pati, bis masuk kota dan akhirnya kami sampai juga! Kak Bolang berdiri di samping warung nasi gandul sambil tersenyum lebar. Wah, kebetulan banget langsung ketemu warungnya. Berseri-seri karena sudah lapar, aku langsung masuk dan memilih-milih menunya.

Nasi gandul ini terdiri dari bermacam-macam lauk, namun yang paling utama adalah jerohan. Wuss, langsung teringat kadar kolesterol yang mungkin naik sesudah ini. Paru, babat, otak, hati, usus, disajikan di meja menunggu untuk dipilih. Duh, nyam-nyam sekali kelihatannya. Aku memilih babat dan paru yang disajikan dengan cara digunting-gunting oleh penjualnya, lalu disiram kuah dan diberi sambal. Ditemani krupuk putih kalengan, pas sekali.

“Kenapa namanya nasi gandul, Mas?”
“Dulu jualannya muter-muter, pakai pikulan begitu. Karena dipikul jadi menggantung gitu, nggandul-nggandul istilahnya. Jadilah dipanggil nasi gandul,” jawab kak Bolang sambil melahap nasi dan lauk otak pilihannya. Buat yang sedang diet kolesterol, masakan khas Pati ini amat tidak dianjurkan. Yah, paling tidak diimbangi olahraga yang cukup, mungkin bolehlah.

Kami naik angkot lagi sampai jalan utama pantura. Sembari menunggu bis patas tujuan Surabaya, kami menunggu di satu kios bersama satu petugas Dinas Perhubungan. Tanpa iringan dangdut pantura, sayangnya. Tak berapa lama kemudian, kami masuk satu bis patas AC tujuan Surabaya dengan tarif Rp. 20.000 sampai Lasem. Akhirnya!

nasi gandul sepiring dengan babat

nasi gandul sepiring dengan babat

penjual nasi gandul

penjual nasi gandul

 

Cari kontak yang bisa dihubungi di tempat tujuan.

Berhubung ini perjalanan setengah dadakan, setengah terencana, kami belum menghubungi satu kontak pun di Lasem. Sepanjang perjalanan aku menghubungi mas Baskoro yang diberikan sebagai kontak di Lasem. Lucunya, baik dari nomor yang diberikan oleh Pra, sahabatku di goodreads Semarang, dan Fahmi Anhar, sahabatku di Travel Bloggers Indonesia maupun mbak Suci Rifani dari Traveler Kaskus yang baru (ingat) kukenal di Tangerang, semua memberikan nama dan nomor telepon yang sama. Rupanya mas Baskoro ini orang penting di Lasem ya, hm. Tapi, kok ternyata susah ditelepon, ya?

Sembari membaca-baca e-book Lasem kiriman Fahmi, kami malah mulai berkicau di Twitter tentang #DolanLasem kali ini. Aku pun akhirnya memperoleh nomor telepon Pak Gandor, salah satu sesepuh di klenteng Cu An Kiong juga sebagai pemegang kunci Rumah Candu Lawang Ombo, yang juga salah satu destinasi tujuan kami. “Nanti turun di jembatan pas masuk Lasem, ya,” begitu pesan Pak Gandor di telepon.

Walaupun belum tengah hari, namun panas matahari sudah makin terik saja. Memasuki Rembang, kami melewati tambak garam yang cukup luas. Wah, rupanya panas terik memberikan keistimewaan untuk tempat ini. Kami juga melewati pantai Kartini yang cukup terkenal di Rembang. Sebenarnya kotanya tidak besar, hanya panjang. Aku diingatkan, bahwa Rembang – Lasem hanya memakan waktu sekitar setengah jam saja.
 

Turun di tempat yang benar.

“Lasem! Lasem!”
“Pak, turunnya di Jembatan Lasem, ya!” pesanku pada Pak Kernet.
“Jembatan yang mana, mbak? Jembatannya banyak.”
Hah? Petunjuk Pak Gandor tadi bagaimana?
“Jembatan yang dekat kampung batik.”
“Wah, sudah kelewatan, mbak.. Turun di sini saja,” dan bis pun berhenti di depan pasar dan masjid.
Matahari langsung menyambut kami yang langsung kepanasan, menyeberang arah kembali, dan langsung berbinar-binar melihat andong yang terparkir. Bersama duo blogger dengan nama lostpacker.com dan lostinparadise.web.id ini bukan tidak mustahil ada sesi get lost. Kami terkikik ringan sambil menaiki andong yang membawa kembali ke jembatan itu.

Eh, benar jembatannya? Kok kecil? Kampung batiknya mana?
“Pak Gandor, saya sudah sampai jembatan,” teleponku.
“Ke timur jembatan, saya tunggu di situ,” jawabnya.
Eh, timurnya mana? Okey, kalau bis tadi tujuannya Surabaya, berarti arah timur, kan? Sip, kami melihat Pak Gandor di mobil seberang jembatan. Andong pun diarahkan ke sana.

masjid lasem

masjid lasem

 

Gali informasi di wisata budaya. Bangunan tidak berbicara sendiri.

Pak Gandor mengajak kami memasuki Rumah Lawang Ombo atau yang dikenal juga sebagai rumah candu. Beliau menunjukkan lubang yang dipergunakan untuk menyelundupkan candu dari tepi sungai Lasem. Lubangnya tidak terlalu besar, sehingga pasti orang yang melewatinya dulu berbadan cukup kecil (sambil aku melirik badan kak Bolang dan kak Ghana). Pak Gandor ini cukup pendiam, sehingga kita harus rajin bertanya dan menggali informasi dari beliau sambil berkeliling-keliling rumah. Suasana rumahnya cukup sepi, hanya sesekali gonggong anjing yang tinggal di rumah kosong.

Area Lawang Ombo terdiri dari dua bangunan, yang bagian depan yang digunakan untuk usaha dan niaga, di bagian dalamnya terdapat altar kayu cantik yang biasanya ramai untuk berdoa ketika seluruh keluarga Liem sedang berkumpul. “Kalau area belakangnya ini biasanya untuk mbikin krupuk atau roti, rame di sini,” jelas Pak Gandor di teras belakang yang berhadapan dengan halaman. Terpisahkan oleh halaman itu, ada bangunan dua lantai yang dahulu digunakan sebagai rumah tinggal. Tak cuma area ini saja, di bagian sampingnya pun pekarangannya masih besar dan luas, namun karena tidak dihuni, jadi agak terbengkalai.

Ternyata kicauan di twitter membuahkan hasil! Pemilik akun @LasemHeritage yaitu mas Baskoro membalas kicauan kami dan muncul setengah jam kemudian di Lawang Ombo. Ia menawarkan untuk menjadi guide kami selama di Lasem. Wah, seru nih.
“Tapi, kalau di klenteng sebelah, Cu An Kiong, memang Pak Gandor sesepuhnya.”

depan altar lawang ombo

depan altar lawang ombo (fotonya kak bolang)

teras belakang untuk kegiatan produksi

teras belakang untuk kegiatan produksi

teras depan rumah tinggal

teras depan rumah tinggal

 

Hormati tempat ibadah.

Kami berpindah ke klenteng yang berada tepat di sebelah Lawang Ombo. Suasana damai langsung terasa begitu kami memasuki ruangan dalam klenteng ini. Kami semua melepas sepatu sebelum menginjak tegel cantik penutup lantai klenteng yang dibangun tahun 1477 ini. Ada beberapa lokasi yang tidak boleh difoto karena dianggap sakral. Tentunya aturan ini harus dihormati. Untunglah di dalam klenteng ini tidak ada yang sedang beribadah sehingga kedatangan kami tidak mengganggu siapa-siapa.

Meskipun demikian, kami tidak melakukan hal-hal yang berisik juga karena saking terasa sepinya. Angin berhembus ringan dan suasananya damai sekali. Tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Pak Gandor meninggalkan kami pulang sejenak untuk makan siang dan membiarkan kami mengeksplorasi sudut-sudut klenteng. Karena agak lelah, aku, Ghana dan Miya, yang baru datang dari Juwana, malah duduk selonjoran di lantai sambil ditemani angin sepoi-sepoi. “Kalau ditanya-tanya, bilang saja tamunya Pak Gandor.”

Hanya ada seorang tamu yang datang untuk membeli hio siang itu. Selebihnya, hanya kami yang asik menelisik pojok-pojok di bawah langit biru cerah. Paduan warna emas dan merah mendominasi bangunan, dengan ukiran yang halus dikerjakan oleh tangan yang terampil. Naga yang merupakan binatang yang selalu muncul dalam mitologi Cina, tergambar dengan apik di beberapa sudut. Dan tentu saja, ada ukiran naga di atap.

klenteng cu an kiong

klenteng cu an kiong

lampion mengalir

lampion mengalir

naga di atap

naga di atap

selfie dengan pak gandor (foto kak bolang)

selfie dengan pak gandor (foto kak bolang)

 

Sekali lagi, jangan lupa makan.

Makan akan meningkatkan konsentrasi karena masih banyak informasi Lasem yang menarik dan perlu dicerna. Setelah beristirahat siang sejenak di homestay tempat kami akan menginap malamnya nanti, dengan diantar mas Pop, panggilan akrab Baskoro, kami menuju pasar untuk mencari warung yang masih buka untuk mengganti energi yang sudah dikeluarkan sejak pagi. Rupanya memang agak-agak susah mencari makan menjelang jam tiga sore begini. Rencana makan lontong opor Tuyuhan yang kondang juga sirna, karena kalau siang habis.

Untunglah masih ada satu warung makan yang masih buka dan menyajikan aneka menu yang menggiurkan. Tentu saja kami memesan seporsi mangut patin, yaitu ikan patin yang berbumbu santan kuning, yang merupakan menu andalan, lalu ikan pe, botok pindang, udang, aneka gorengan, sayur, dan yang paling mengejutkan ada rajungan goreng! Wah, kak Bolang langsung mengingatkan makanan sejenis yang ia jumpai di Belitung. Makanan sebanyak itu kami habiskan dengan lahap sampai keringatan, karena cuaca di Lasem sangat terik!

kue kepiting yang lezat

kue kepiting yang lezat

mangut patin, yum!

mangut patin, yum!

 

Berjalan kakilah dengan nyaman. Jangan manja.

Tidak seperti beberapa kota lain yang dilengkapi trotoar yang bagus, jalur pejalan kaki tepi jalan raya kota Lasem tidak dalam kondisi baik. Ubin-ubinnya banyak yang pecah dan membuat harus berjalan dengan hati-hati. Apalagi ditambah dengan truk-truk yang parkir di tepi jalan dan menguarkan bau oli. Tapi selalu banyak hal menarik untuk dilihat dari perjalanan yang lambat. Toko-toko lawas dengan pintu bilah-bilah papan selebar 25 berjajar masih jamak ditemui di sini.

Memakai alas kaki yang nyaman adalah syarat mutlah berjalan-jalan di Lasem. Mas Pop pasti mengajak berkeliling-keliling melangkahkan kaki, menyusuri trotoar, memasuki rumah-rumah kuno, melihat aktivitas lampau di sana. Apalagi kami yang gemar berfoto-foto ini pasti lebih suka perpindahan yang lambat. Jadi, berjalan kaki adalah cara menarik untuk menikmati Lasem.

Salah satu jalur menarik adalah menyusuri desa Karangturi dan bertemu pintu gerbang demi pintu gerbang dengan berbagai warna dan ukuran yang membuatmu terkesima. Desa Karangturi adalah kawasan Pecinan, dan sepanjang jalannya adalah tembok-tembok tinggi dan tebal seakan ada rahasia di baliknya. Di tengah-tengah tembok tebal dan tinggi ini terdapat pintu untuk keluar masuk halaman rumah.

toko dengan bilah kayu penutupnya

toko dengan bilah kayu penutupnya

pose depan pintu

pose depan pintu (fotonya kak bolang)

pagar kayu lapuk dan gerbangnya

pagar kayu lapuk dan gerbangnya

“Ghana, kenapa tembok pagar rumah Cina tinggi-tinggi?” tanyaku pada mahasiswa asal Pontianak itu. Aku teringat tipologi pembatas ini juga banyak diterapkan di beberapa rumah milik etnis Cina di kota besar, yang membuat pagarnya cukup tinggi dan rapat. “Sudah kulturnya, Kak. Di dataran Cinanya sana juga bentuk pagarnya tinggi begini untuk satu keluarga.”

Membayangkan ada apa di balik dinding-dinding itu, tapi aku tidak berani nekat memanjat pagar sendiri. Apalagi terkadang ada suara gonggong anjing dari balik pagar. Wah, mending menunggu yang terbuka saja. Lucunya, ada satu ruas jalan yang pagarnya mngkin sudah runtuh, di pekarangan sudah tidak ada rumahnya lagi, namun gerbangnya masih berdiri. “Nanti kita masuk satu rumah, Mbak,” mas Pop menjawab keingintahuanku.

Setelah berkeliling beberapa jam, sepertinya jalur susur budaya Lasem ini asyik juga dinikmati sambil bersepeda. Bayangkan berjalan di sini naik sepeda kebo lambat-lambat sambil menunggu surup menjelang hingga bias matahari terbenam. Desa Karangturi ini tidak terlalu besar, sehingga bisa dilewati sekitar 15 menit saja sambil menikmati pintu. Karena desanya berpola grid yang mudah dimengerti, sepertinya tak takut tersesat.

“Oh, akhirnya! Ada minimarket!” Kami berlari menyeberang jalan usai berkeliling desa untuk menemukan udara ber-AC di dalam toko itu. Petualang macam apa kami ini?

dari dalam gerbang

dari dalam gerbang

apa di balik dinding tinggi ini?

apa di balik dinding tinggi ini?

berempat di rumah tegel

berempat di rumah tegel (foto dari kak bolang)

 

Kopi lelet di malam hari.

Sesudah makan malam, mas Pop dan teman-temannya mengajak kami untuk mencoba cara ngopi khas Lasem, yaitu kopi lelet. Jadi, kopi tubruk yang disajikan diminum, kemudian ampasnya digambarkan di batang rokok dengan motif-motif sesuai keinginan. “Jadi ngelelet ini agak-agak sama dengan membatik gitu, mbak,” kata mas Pop sambil menorehkan ampas kopi di batang rokoknya. Menurutnya, rokoknya terasa lebih nikmat dengan dilumuri kopi begini. Kami masih ngobrol ngalor ngidul lama tentang kota Lasem.

Kedai kopi sendiri menarik, terletak tersembunyi di dalam salah satu pemukiman Jawa, berdiri di atas satu pekarangan yang cukup besar. Tempat duduknya macam-macam, bisa lesehan atau bangku-bangku biasa. Di kedai kopi sederhana ini sambil menikmati kopi lelet, ramai dengan anak muda yang sedang berdiskusi. Padahal ini bukan malam libur, tapi tetap saja ramai.

Ketika aku berjalan-jalan dengan Ghana di malam hari keliling kota, kami menemukan warung-warung di tepi jalan pun yang berisi anak-anak muda yang mengobrol sampai malam sambil ngelelet kopi di rokoknya. Rupanya ini sudah menjadi semacam tradisi di kalangan generasi mudanya.

rokok yang sudah dileleti kopi

rokok yang sudah dileleti kopi

Kota Lasem tidak terlalu besar, jalan utamanya dilalui oleh bis Semarang-Surabaya, dan pusat niaganya memang berada di sepanjang jalan beberapa kilometer. Daerah pemukiman menyebar ke utara ke arah laut yang hanya berjarak beberapa km dan ke selatan dengan berbagai titik daerah bermukim. Pola umum kotanya berbentuk linier, yang berkembang dengan grid-grid pada kampung, sehingga orientasi arah cukup mudah. “Eh, sudah sampai lagi, sepertinya kotanya segini-gini saja besarnya.” Tapi tetap saja belum kami kelilingi semuanya.

Ceritaku tak berhenti di sini, masih ada beberapa cerita khas tentang Lasem yang sangat menarik diulik sendiri. Walaupun bersama duo blogger yang hobi lost, jangan takut tersesat di sini.

Ikuti lebih lanjut ditunggu, ya :
Koran Tempo : Menyusuri Jejak Budaya Lasem
di balik dinding-dinding rumah pecinan Lasem

central park-cengkareng-depok 09.05.2015 : 07.26
perjalanan 30 maret 2015


Koran Tempo : Menyusuri Jejak Budaya Lasem

$
0
0

DSC_5240

Minggu pagi itu, sambil memandangi pegunungan Gede Pangrango dan pegunungan Salak dari sudut-sudut hotel 101 Suryakancana Bogor, aku membaca Koran Tempo sambil menyesap teh hangat sesudah berenang pagi, dan menemukan salah satu artikelku tentang Lasem, dimuat di harian ini. Sudah dua minggu berlalu, sekarang aku akan berbagi yang aku ceritakan tentang Lasem.

Sejarah terulur begitu panjang di kota kecil ini.
Kebiasaan baru yang muncul masih beraroma kultural.

Panas menggigit menerpa kulit kami begitu turun dari bis AC, padahal belum lagi tengah hari. Tapi tak ada waktu untuk berkeluh-kesah, karena penjelajahan di Kota Lasem ini segera kami mulai. Tujuan pertama sudah ditetapkan: Rumah Candu Lawang Amba!

Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, persis menempel di pesisir Pantai Utara Jawa Tengah. Posisi geografis itulah sumber suhu menyengat yang kami rasakan kini. Apa yang menarik dari kota tua yang selama ini hanya menjadi perlintasan jalur Semarang-Surabaya ini? Sebagai titik pendaratan orang Cina dalam penjelajahannya ke tanah Jawa, ratusan tahun silam, tentu banyak jejak sejarah yang layak dinikmati. Dan itulah alasan kami, saya dan beberapa orang teman, menyambangi Lasem.

Belakangan kota ini juga mendapat julukan Little Tiongkok, barangkali karena pemukiman bergaya Cina banyak tersebar di wilayah ini. Salah satunya, Rumah Candu Lawang Amba. Tentu saja dari namanya sudah dipahami, rumah ini dulu menjadi salah satu titik persebaran candu alias opium ke pelbagai penjuru Jawa. Dan itu memang terlihat dari sebuah lubang di belakang runah yang langsung menerus ke Sungai Lasem. Dari lubang itulah candu dikirim. “Rumah ini dulu milik Kapten Liem,” jelas Pak Gandor, salah satu pemuka masyarakat Tionghoa yang menemani kami.

teras depan rumah candu

teras depan rumah candu

lubang candu diselundupkan

lubang candu diselundupkan

Lawang Amba, yang terletak di desa Soditan, ini terdiri dari dua rumah. Bagian depan untuk berniaga, sedangkan satu lagi berada di level yang lebih tinggi dan berbatasan dengan halaman. Sepertinya dulu dipergunakan sebagai ruang tinggal. Seperti yang kulihat, rumah Cina selalu punya dua kamar, di kanan dan kiri. Sementara di ruang tengah diletakkan altar yang berisi nama-nama leluhur. Jika hari raya tiba, para kerabat datang dan berdoa di altar ini.

Rumah Candu saat ini kosong. “Keturunan Kapten Liem sudah tinggal di kota lain,” kata Pak Gandor. Kamar-kamar kini hanya diisi oleh barang-barang yang hanya keluar saat perayaan saja.

Teras belakang rumah yang luas dahulu digunakan sebagai ruang usaha, misalnya membuat kerupuk atau membuat roti. Suasana di sini memancing bayangan ke masa silam. Orang-orang pasti dulu menguleni adonan roti sambil bersenda-gurau, atau sekadar membungkus kue di pojokan sana.

Kulayangkan pandangan ke langit-langit yang tinggi. Kayu yang dipergunakan sebagai gording atau blander, adalah kayu bulat yang bertumpu di atas kuda-kuda. Ini unik, karena tidak ada batang miring yang menahan gording. Jadi “dia” hanya ditumpu langsung dari batang vertikalnya. Mungkin semua rumah khas Cina, dibangun dengan pola yang demikian?

Aku melangkah memasuki rumah bagian belakang, dan menemukan suasana lengang dan temaram. Terdengar suara kelelawar melengking dari sudut-sudutnya yang kosong. Kesanku, rumah ini tetap bersih walau pun tak ada yang menghuni lagi.

teras belakang yang hening

teras belakang yang hening

Langit-langit yang tinggi dan jendela-jendela besar itu membuat sirkulasi udara menjadi nyaman. Sama dengan pola di depan, terdapat ruang tengah dengan dua kamar di tepi kiri dan kanan. Di depannya, beranda luas untuk menikmati hari menghadap halaman yang memisahkan dengan rumah bagian depan.

pola diagonal pada teras rumah belakang

pola diagonal pada teras rumah belakang

Cukup mengenal Rumah Candu, Pak Gandor segera mengajak kami ke bangunan di sebelah, Klenteng Cu An Kiong. Tempat ibadat dengan dominasi warna merah ini dibangun pada tahun 1477 dan dilanjutkan tahun 1838. Klenteng ini dibangun untuk menghormati dewi Thian Siang Seng Bo, si penjaga keselamatan laut. Sekilas tempai ini sungguh sangat terawat dan cantik.

Melewati pintu gerbang dengan ukiran naga di atasnya, kami tiba di beranda panjang dengan tegel berwarna abu-abu di kaki yang dipijak. Puluhan lampion tergantung membuat suasananya menjadi hangat. “Nanti malam mau ada acara di sini,” kata Pak Gandor.

klenteng cu an kiong

klenteng cu an kiong

bagian tengah klenteng cu an kiong

bagian tengah klenteng cu an kiong

detail tiang pada klenteng

detail tiang pada klenteng

Aku masuk ke bagian dalam lewat pintu yang berada tepat di tengah. Dua pintu di sisi kiri dan kanannya hanya dibuka pada saat-saat tertentu saja. Di bagian dalam kami disambut dengan tegel cap yang indah bermotif di lantai. Suasana di sini tenang sekali. Kulihat tiga ceruk area pemujaan yang tidak boleh dipotret. Juga ada aneka hiasan bernuansa merah juga memenuhi altar utama. Dupa-dupa masih menyala. Hio ditancapkan pada guci. Baunya begitu khas…

lampion di depan altar

lampion di depan altar

lantai tegel yang cantik

lantai tegel yang cantik

Dinding-dinding di klenteng Cu An Kiong tak luput dari tangan-tangan pelukis yang menggambarkan satu kisah indah di samping kiri dan kanan. Potongan gambar dalam keramik itu dirangkai menyajikan salah satu kisah kehidupan. Panas terik di luar membuat kami beristirahat sejenak di tegel yang terasa dingin itu. Semilir angin mengalir melalui halaman tengah agak melenakan pikiran sesaat.

Pada kedua dinding di dekat altar pemujaan terdapat mural dengan tinta cina yang langsung ditorehkan di dinding. Tampak jelas bahwa pelukisnya sangat piawai menggambarkan motif-motif dalam cerita. Tinta cina yang terkenal awet ini masih bertahan hingga ratusan tahun sehingga goresannya masih bisa kami nikmati sekarang.

Pak Gandor mengajak kami ke ruangan di sebelah Klenteng. Di sana ada dua set tandu berlapis serbuk emas. Tandu asli dulu dipergunakan untuk kirab apabila ada perayaan-perayaan di Lasem. Satu lagi adalah tandu duplikat yang dibuat dengan warna dan bahan serupa. Tugas sang duplikat adalah menggantikan tandu asli yang sudah berumur. “Ini dilepas-lepas per bagian, nanti dirangkai jika mau dipakai,” jelas bapak yang sudah sepuh tapi ingatannya tajam itu. Terasa sekali demikian tinggi penghargaan warga setempat kepada sejarah.

Dengan kesan semacam itu, kami lalu melanjutkan petualangan menuju Karangturi. Di sepanjang jalan, deretan dinding tebal dengan pintu-pintu di bagian gapura sungguh menarik perhatian. Pintu-pintu kayu tersebut berwarna-warni. Dialah yang menjadi penghubung masuk ke dunia dalam yang terpisah dari jalanan. Pasti menyenangkan sekali berjalan kaki di sini pagi hari, pikirku. “Penghuni di balik tembok-tembok ini adalah orang-orang yang sudah tua,” kata Pak Gandor. Kebanyakan anak turun mereka lebih memilih sekolah atau tinggal di kota besar.

lukisan keramik

lukisan keramik

mural dinding dengan tinta cina

mural dinding dengan tinta cina

Di Karangturi, tujuan utama adalah Rumah Tegel. Dan kali ini kami ditemani oleh Mas Pop– demikian ia akrab disapa. Dia adalah salah seorang penggiat Lasem Heritage. Kuterangkan pada pada Miya, teman perjalananku, “Kalau ubin keramik materialnya dari tanah merah terus dibakar, kalau tegel ini semen yang dicetak, di atasnya diberi lapisan kaolin lalu dipoles.”

Bagian depan Rumah Tegel ini adalah beranda besar gaya kolonial, dengan dinding bermotif dengan salur-salur horisontal menutupi atap genteng rumahnya yang miring. Ketika melewati jalan di samping bangunan utama, ada sequence menarik di antara jendela-jendela lama yang masih digunakan sampai sekarang. Daun jendela selalu dibuat dobel, yang bagian luar menggunakan bilah kayu utuh, sementara bagian dalamnya adalah jendela krepyak. Tirai-tirai lusuh menyembunyikan suasana dalam ruangan.

bagian depan gaya kolonial

bagian depan gaya kolonial

jendela dobel

jendela dobel

Pada sisi bangunan utama, posisi jendela lebih tinggi karena posisi lantai naik sekitar 60 cm dari tanah. Sementara pada sisi bangunan pendukungnya, lantai hanya naik 20 cm saja. Jarak di antara dua bangunan ini selebar dua meter jalan tanah dengan dinding-dinding bercat putih membuat kami serasa terlempar ke masa lalu. “Mbak, bajumu sudah cocok di sini,” celetuk Ghana, mengomentari rok terusan batikku warna pink yang kukenakan hari itu. Aku tergelak. Memang niatku untuk terlihat sedikit vintage hari ini.

Ada sebuah beranda di belakang rumah utama yang tertutup. Menurut Mas Pop, kalau pemiliknya ada di rumah, kita bisa masuk dan melihat-lihat bagian dalamnya. Beranda ini menimbulkan kesan kuat dengan tegel cap bermacam-macam corak. Ada langkan besi bermotif organik lengkung yang membatasi ruangan ini.

beranda belakang dari masa lalu

beranda belakang dari masa lalu

tiang dan langkan motif organik

tiang dan langkan motif organik

ghana, miya, aku, dan kak bolang di rumah tegel

ghana, miya, aku, dan kak bolang di rumah tegel

Pohon besar yang menaungi halaman ikut membingkai suasana sejuk dan tenang di situ. Beberapa corak produksi Rumah Tegel dahulu digelar di beberapa sudut beranda. Motifnya perpaduan floral dengan warna-warna yang cerah. Sayang, terlihat mengusam oleh waktu.

Di belakang beranda tadi, ada sebuah taman gaya Eropa yang sudah tidak terawat. Bangku taman, bekas kolam bulat di tengah-tengah, tanaman-tanaman yang mengitari, membuatku membayangkan satu pesta kebun di masa lalu. Kudengar gelak tawa di sana sini, gadis-gadis dan pemuda yang saling bercengkrama, atau hanya duduk-duduk malam hari melihat sinar bulan. Satu pot adenium berukuran sedang mempermanis suasana. Sayang, karena kurang terawat, keindahannya jadi ikut tergerus. Seandainya dikembalikan seperti masa dulu, tentu asyik duduk-duduk dan membaca buku di sini.

halaman belakang, tempat pesta di masa silam

halaman belakang, tempat pesta di masa silam

Pabrik tegelnya sendiri berada di samping, tidak terlalu besar dan dalam kondisi tertutup. Sebuah papan nama tua tergantung di bagian depan. Aku merasa, semua itu menandakan pesanan tidak terlalu tinggi itu. Memang zaman telah bergerak, tegel-tegel ini tampaknya kurang diminati lagi.

19-papan nama-rumah-tegel

tegel produksi masih dipajang

tegel produksi masih dipajang

tetap kilap karena rajin dipoles

tetap kilap karena rajin dipoles

Lasem, kota kecil ini sungguh kaya akan sejarah. Ia juga menyimpan banyak pernyataan budaya: Rumah Candu, Rumah Tegel, kawasan pecinan, dan sebagainya. Juga yang beberapa tahun belakangan ini dikembangkann anak-anak muda setempat, yaitu “kopi lelet”. Inilah kegiatan membatik dengan ampas kopi di sebatang rokok sebelum diisap. Karena aku tidak merokok dan jarang minum kopi, aku hanya mencoba membatik di atas sebatang rokok yang tersedia.

Tips :
Udara Lasem siang hari cukup panas, bawalah air minum yang cukup sambil berjalan kaki
Kenakan sepatu yang nyaman, karena jalur pejalan kakinya belum terlalu bagus
Jika ingin menginap, booking dari jauh-jauh hari karena penginapan di Lasem hanya satu. Alternatif lain, bisa menginap di Rembang.
Gunakan guide lokal untuk mendapat cerita sejarah kota Lasem. Bisa hubungi lewat akun twitter @LasemHeritage

Koran Tempo Minggu, 26 April 2015.
tulisan sesudah diedit.

2015.4.27-koran-tempo-lasem

mencapai Lasem? baca: 9 trik (tidak) tersesat di Lasem
lebih jelas tentang pemukiman: Di balik dinding-dinding rumah Pecinan Lasem


lima tahun tindak tanduk arsitek

$
0
0

cover-tindak-tanduk-arsitek

Katanya angka lima ataupun kelipatan lima itu mudah diingat. Lima dikali dua menjadi sepuluh, dan kelipatannya banyak dijadikan angka nominal yang berulang di mata uang. Lima menjadi setengah dari sepuluh, yang menjadi angka sempurna. Peringkat pun dihitung sampai lima besar. Masa emas anak-anak dan harus dipantau tumbuh kembangnya, lima tahun, ditandai dengan program posyandu dan balita. Maka dari itu, sebagai media tulis pribadi, blog yang ternyata mencapai angka lima tahun ini, dengan 160 post, ratusan komentar dan puluhan ribu pengunjung, sebenarnya masih harus belajar banyak lagi dari blog-blog yang lebih konsisten.

Awalnya membuat blog ini untuk menampung kegemaranku me-review. Karena sebelumnya aku suka sekali me-review buku di goodreads, berkaitan dengan profesiku, kenapa tidak aku mencoba me-review bangunan bukan seperti tulisan ala majalah, tapi lebih ke opini pribadi dan pendekatan personal. Karena itu yang menarik dari blog, pribadinya itu, ala-ala Indri begitu. Maka lahirlah Tindak Tanduk Arsitek ini. Meluas ke opini tentang ruang kota dan kegiatannya, juga transportasi umum yang menjadi moda berpindah sehari-hari, aku menemukan passion untuk menulis tentang hal-hal yang memang menarik perhatianku ini, karena bertahun-tahun aku pelajari.

Menginjak tahun kedua ketika aku berkunjung ke kota-kota lain dengan intensitas yang cukup tinggi, aku ingin membagi pengalaman ini bukan sekadar foto, tapi juga cerita, karena kegemaranku menulis membantu aku untuk terus mencurahkan ceritaku di blog ini. Karena profesiku, aku selalu melihat apa pun dari aspek-aspek yang aku pelajari. Entah kenapa, sudah naluri saja untuk melihat bangunan lebih detil, melihat material, sambungan, dan bagian arsitektur lainnya. Apalagi dengan kecintaanku pada heritage dan sejarah, membuatku lebih bersemangat untuk menulis tentang perjalananku.

Buatku, arsitektur bukan sekadar membahas bangunan, tapi juga fungsi di dalamnya. Tanpa dihidupkan oleh fungsi, bangunan hanya sebagai pajangan belaka. Arsitektur adalah ruang fungsi kehidupan yang menjadi unik antara satu tempat ke tempat yang lain.

Bangunan adat nusantara adalah satu genius loci kekayaan negeri yang memiliki satu karakteristik yang unik tergantung pada alam di mana ia berdiri. Dan aku jatuh cinta pada bangunan-bangunan yang terlihat sederhana ini yang mengajarkan kesinambungan, karena dibangun dari bahan-bahan alam yang ada di sekitarnya, juga mengatasi tantangan alam akan iklim dan cuaca, dan menghormati sang pencipta penjaga bumi. Melihat bagaimana keadaan di dalamnya, bagaimana mereka hidup sehari-hari dalam kearifan lokal penghuninya.

Lima tahun ini banyak sekali yang terjadi. Mood naik turun, kesibukan banyak sedikit, dan macam-macam hal membuat aku minta tolong pada beberapa pembaca untuk mengkritisi, bertanya, apa yang kepingin diceritakan dari suka duka tindak tanduk arsitek ini?

Muhammad Azamuddin Tiffany | http://azamuddint.wordpress.com/ @azamudint

Arsitek muda di daerah Bintaro, Jakarta. Suka menulis juga dan kami belum pernah ketemu.

Apakah kak Indri punya jadwal disiplin menulis?
Tidak. Sebenarnya diniatkan demikian, paling tidak setiap satu minggu ada satu post. Tapi akhir-akhir ini memang membuat jadwal tayang, yang ditarik mundur ke jadwal menulis, karena bahan tulisan yang banyak sekali. Kalau mood-nya sedang bagus (dan waktu agak senggang) bisa lebih dari satu tulisan seminggu. Tapi akan diusahakan lebih disiplin lagi.

Apakah menulis itu bisa dijadikan sebuah passion yang kemudian menjadi sebuah pekerjaan yang menghasilkan hanya dari dunia menulis?
Bisa sih. Tapi passion itu memang datangnya dari hati, bukan dijadikan. Tentu saja menulis bisa dijadikan pekerjaan yang menghasilkan, itu bagaimana memandang kebutuhan hidup. Passion itu memberikan semangat untuk terus menerus dilakukan. Aku sendiri passion menulisnya masih sebagai hobi. ;)

Mengenai judul blog ‘Tindak Tanduk Arsitek’ apa yang menjadi inspirasi ketika memilih judul blog tersebut, namun dalam konten lebih mengeksplor kekayaan nusantara?
Pada awalnya memang blog ini untuk mencurahkan isi hati aku tentang arsitektur, tentang ruang gerak hidup manusia, yang kebanyakan aku alami di kota sehari-hari. Tentang bangunan, tapi dari sudut pandang bukan versi ala majalah, tapi sebagai pengamat pengguna yang pendapatnya lebih personal. Coba lihat categories ‘Plaza piazza’ tentang ruang terbuka, ‘
Kemudian seiring dengan kesukaanku jalan-jalan, ada ruang-ruang hidup yang unik di nusantara, fungsi dan filosofi yang berbeda antara daerah sesuai dengan kebutuhannya di situ. Bukan melihat bangunan tidak sekadar menjadi pajangan di museum, tetapi melihat langsung ada kehidupan di dalamnya. Ruang fungsi kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Nusantara amat kaya dengan material yang beraneka ragam, dan sangat menggoda untuk diamati. Nulis juga, yuk?

azamudint

Devi Dhede | www.devidhede.com | @devidhede

Kenal Dhev baru bulan lalu pas TravelNBlog di Semarang. Karena tinggi jangkung, langsung mencuri perhatian deh!

Mau tanya donk, kakak kan arsitek, kerjanya pasti sibuk ya.
nah gimana bagi waktu antara ngeblog dan kerjaan? terus bagaimana membagi kosentrasinya? karena kalau sudah kerja, fokusnya pasti banyak untuk pekerjaan..

Aku biasanya nge-draft blog di mana saja, asal dapat inspirasi dari cerita. Lebih sering di kendaraan umum (kereta atau angkot) diketik di ponsel/tab. Kalau sampai kantor, mengerjakan pekerjaan kantor. Sejujurnya, membagi konsentrasi itu susah banget. Sering kalau lagi mood banget sampai kantor malah isi blognya yang dipikirkan, bukan pekerjaannya (duh, jangan dicontoh, ya). Kalau nggak terlalu terburu-buru kerjaan, aku melanjutkan prosesi nge-blog pagi sebelum jam 10 (biasanya memberi watermark pada foto, unggah, lalu post, tapi percayalah, ini memakan waktu banget, tapi bagaimana lagi, untuk unggah foto kan wifi kantor lebih oke). Sampai sekarang membagi konsentrasi antara kerjaan, rencana nulis, dan rencana itinerari saja masih sulit (ditambah buka-buka twitter dan baca-baca blog orang, apalagi). Aku orangnya gampang terdistraksi oleh pemandangan indah, wew. Tapi di kantor, prioritas untuk mengerjakan pekerjaan kantor.
Kalau pekerjaan sedang banyak, merapikan blognya di rumah, dan harus ekstra melek supaya tulisannya bisa tayang. Ini yang sering terjadi, karena di rumah kan nggak ada pekerjaan gambar yang mengejar-ngejar (mestinya, kenyataannya waktu sempat jadi freelance architect, lebih milih menyelesaikan tulisan dulu baru menyelesaikan gambar).

Oia untuk hobby traveling, biasanya nabung berapa lama?
Kalau untuk traveling jarak pendek, biasanya menyisihkan dari gaji atau dana mendadak (misalnya ada sidejob, bolehlah itu hasilnya buat traveling, itung-itung penyegaran habis pusing kerja siang malam). Kalau traveling jarak jauh, harus banget nabung dari THR (makanya kalau traveling jauh sesudah lebaran saja). Karena jumlahnya lumayan dan tidak ada pengeluaran yang berarti (lha lebarannya cuma mudik ke Bandung atau Cirebon), bisa deh buat nambah-nambahin bayar akomodasi (karena tiket sudah terbeli).

t-devi

Nunu Lathifah | a happy nutritionist | @nunulathifah

Kenal Nunu di satu acara blogger meet up di CommaID Jakarta dikenalkan oleh salah satu teman travel photo blogger yang selalu mengaku ganteng. Pernah jalan bareng ke Museum Nasional lihat Festival Pembaca Indonesia, dan putar-putar naik bis wisata Jakarta.

Berapa lama sih kaa nulis buat 1 postingan?? Hehe ini yang paling penasaran, secara yaaa tulisanmu itu berbobot dan setiap postingan pasti lumayan banyak hiihi
Minimal 3 hari, karena kan harus sambil kerja. Berangkat kerja nulis di kereta, dapat 3-5 paragraf, kalau lagi mood banget bisa sampai 8 paragraf. Pulang nulis lagi di kereta sampai selesai, kalau belum ya diteruskan besok. Riset-riset kecil di google atau buku kalau perlu. Hari kedua di rumah milih-milih foto yang sealaihim gambreng itu banyaknya menjadi cuma 30-an saja untuk masuk di blog. Resize. Retouch. Disusun-susun. Dipas-pasin artikel. Diberi watermark (ini kalau belum ngantuk, kalau sudah watermarknya besoknya lagi, secara semua bagian ini mesti di laptop). Hari ketiga, masukkan ketikan ke blog, unggah-unggah foto, sesuaikan ukuran foto (pokoknya settinganku lebar 500), setting mana yang tebal, miring, edit tulisan, preview, edit lagi, sampai oke baru di-post.
Tapi pernah juga selesai menulis dalam beberapa jam, dirapikan kemudian di-post. Pernah juga menulis langsung di tablet atau ponsel, tapi kalau ketemu laptop pasti aku rapikan.Sungguh aku iri pada orang-orang yang bisa konsentrasi dan menulis cepat.

Waktu fav nulis kapan?? Masih suka di jam 1 malem gitu gak sih?? *ehm kalo masih siap2 aku cerewetin lagi aahhh*
Ketika di perjalanan sehari-hari biasanya jadi produktif nulis apalagi nggak ada teman mengobrol. Cerewetin aku, Nu. Aku masih sering ngedit syalalala sampai jam satu malam baru tidur.

Lebih suka nulis atau gambar atau baca? Pasti jawabannya suka semua, tapi harus pilih yang paling diantara yang paling disuka :p
Lebih suka nulis. Menggambar itu tuntutan pekerjaan (tapi sekarang nggak ding, karena ngadepin gantt chart), dan menulis itu menyeimbangkan jiwa (karena dunia engineering amat berpotensi bikin otak berat sebelah).

Destinasi impiannya kemana sih kaaa yang belom kesampean terus kenapa pengen kesitu??
India. Karena ada di buku Balada si Roy , dan aku kepengin banget menjelajah India seperti si Roy (berharap supaya mas Gol A Gong membuka trip ke sana). Kepengin melihat budayanya dan bagaimana mereka bangga dan mempertahankan kekayaan budayanya sebagai bagian dari keseharian. Masih takut karena nggak punya teman jalan ke sana.
Mekah. Alasan religi.
Tempat-tempat yang entah-kenapa-aku-pengen-ke-sana-pokoknya-pengen-aja : overland Sumbawa, memandang gunung Maitara di Ternate, mainan ikan di Wakatobi, titik terluar selatan di Rote, toko buku Shakespeare & Co di Paris, naik kereta ChengDe-Lhasa dan rainbow mountain Danxia Lanform di Cina, Machu Picchu di Peru, Barcelona (this is because Fariz RM), daaann rumah-rumah adat di nusantara tentunya.

Masih lanjut sama si ehm gak sih kaa?? :p *kabuuuurrr*
sodorin obat batuk.

t-nunu

Mia Kamila | http://jejakjelata.wordpress.com | @MiyaKamila89

Jalan bareng Mia bulan lalu sewaktu ke Lasem dan menjelajah beberapa desa di situ. Tinggal di Pati dan bekerja di Juwana, kantornya dekat dengan warung yang menjual mangut manyung yang terkenal itu.

Kapan mulai memosisikan blog tindak tanduk arsitek sebagai travel blog?
Sekitar satu tahun sesudah punya blog ini, dan kebanyakan tulisannya tentang kota dan transportasi umum, topik favoritku. Terus mulai sering jalan-jalan dengan amat intens, mulai mikir, kenapa nggak dituangkan ke blog juga? Bisa dengan sudut pandang seperti biasanya aku menulis. Jadilah mulai menulis tentang destinasi dengan segala keunikannya dari sudut pandang arsitektur. Jadi travel blognya jadi lebih spesifik.

Travel quote apa yang paliiiiiing mbak Indri suka? sebutin maksimal 1. :D
Maksimal 1? Paulo Coelho dalam Aleph – “Life is the train, not the station”

Kalau disuruh jalan sama travel blogger Indonesia lainnya, ngebet pengen jalan sama siapa? kenapa? dan apa alasannya? (hohoho. mention orangnya ya nanti.. )
Pengen jalan sama semuanya! Kan asyik jalan rame-rame dengan teman yang sama-sama suka menulis, suka membaca, dan suka jalan-jalan sekaligus. Aku nggak milih-milih kok, simpel orangnya. Karena kalau jalan sama blogger itu sama-sama cerewetnya, dan sama lamanya di satu titik. Jadi, mention siapa?

t-Mia

Atrasina Adlina | http://adlienerz.com/| @adliencoolz

Anak Depok yang kuliah di Makassar, pernah bekerja di Maumere kemudian pindah ke Ambon. Suatu malam tiba-tiba nongol di rumahku di dekat Depok. Luar biasa pemberani, pribadi yang kuat.

Bagaimana kakak menimbulkan minat pembaca yang mempunyai tipikal membaca berbeda-beda dengan sudut pandang cerita yg kakak buat?
Sebenarnya nggak mengkhususkan dengan pembaca tertentu, juga nggak membuat umum juga. Cuma memang kalau menulis cerita panjang, jadi bosan sendiri dengan gaya bercerita yang sama, makanya berubah-ubah, kadang deskriptif, kadang naratif, kadang paparan, kadang menulis puisi, kadang pamer foto. Supaya aku nulisnya juga senang, pembaca juga tidak bosan. Kadang-kadang beropini, karena penulis harus punya sikap. Yah, supaya ada efek surprise-nya juga buat yang mengikuti (emang gitu, bukan sih?). Jadi kalau ada pembaca yang punya minat berbeda-beda, itu ekses dari cara menulisnya.

t-adlienz

Vivi Yuanita Sebayang | http://vsebayang.wordpress.com | @vivipindah

Belum pernah ketemu tapi sudah berkonsultasi tentang atap yang bocor. Sepertinya seru!

tulisan apa di blog yang paling ‘ga banget’ (kalau ga ngeliat traffic udah hapus aja deh) tapi paling dicari orang ?.
Nggak ada. Aku nggak suka curhat sih (bohong, ding). Aku suka semua tulisan-tulisanku soalnya nulisnya saja diniatin. Ada satu tulisan di ketika arsitek menjadi guru sehari yang mengundang spam banyak sekali. Kayaknya sih nggak pernah menulis sesuatu yang nggak banget kemudian disesali. Hmm, ada nggak ya? Beneran, rasanya nggak ada.

vivi

Putri Normalita | http://www.putrinyanormal.com | @puteriiih

Perempuan muda dengan rasa ingin tahu yang tinggi, suka baca buku tetapi tidak terlalu berat. Menjadi adik yang rajin dan menyenangkan, asyik diajak bepergian. Terakhir jalan bareng karena punya mimpi bareng ke Kalimantan.

Apa tipsnya supaya bisa menulis dengan begitu deskriptif ?! (ex: ada pelangi dimatamu)
Gunakan semua indera, karena pengamatan tidak hanya dari mata saja. Apa yang dibaui oleh hidung, didengar oleh telinga, diraba oleh kulit, apalagi dirasakan oleh lidah. Suara-suara yang didengar itu bisa diverbalkan. Aku sih cuma pengen yang membaca tulisanku merasa seolah-olah ada di sebelah aku, melihat dan merasakan yang aku alami. Ini terinspirasi juga dari membaca beberapa buku dengan cara mendeskripsikan suatu tempat bukan cuma fisiknya saja, namun ‘rasa’ dan sequence yang dialami di situ.

Kalau abis publish biasanya share kemana aja?!
Autoshare ke twitter, facebook, google+, path. Kadang-kadang saja promosi beberapa kali di twitter. Atau berbagi ke beberapa teman di grup whatsapp. Kurang, ya?

Lebih suka kopi atau teh?! Eh atau Soda Gembira
Teh. Soalnya peminum teh itu romantis. Makanya suka menulis tentang desau angin dan dedaunan. Kalau minum kopi saset kadang mual-mual, tapi kalau kopi lokal suka banget, soalnya lebih segar. Soda gembira dimakan kalau-kalau sedang kepengin saja. Sekarang sedang tergila-gila matcha green tea.

Gara | https://pwgara.wordpress.com/ | @gara_pw

Komentator favorit dari para blogger. Yang blognya dikunjungi olehnya pasti senang. Belum pernah ketemu juga.

Selamat ulang tahun yang ke-5 untuk blogmu, Mbak. Tulisan-tulisan yang lengkap dan sangat inspiratif, termasuk untuk saya :hehe, karena saya bisa seolah ikut dalam perjalanan yang Mbak lakukan, yang Mbak tuangkan dalam tulisan-tulisan itu.

Semoga sukses, teruslah menulis hal-hal yang terjadi dalam perjalanan yang Mbak lalui, teruslah menginspirasi untuk semua orang yang membuka laman Tindak Tanduk Arsitek milikmu :haha. Saya belum merasa pantas untuk memberikan saran apa-apa, lebih karena bagi saya tulisan semua orang tak ada yang keliru. Soal pertanyaan… hm, sampai sekarang sih belum ada, tapi kalau ada yang ingin saya tanyakan, saya pasti akan ribut-ribut.

garo

Ada satu rahasia menulis yang bisa menentukan aku melanjutkan atau tidak (oke, bukan rahasia lagi jadinya). Aku harus menemukan kalimat pertama yang kuat, supaya bisa meneruskan menulis. Kalau menurutku kalimat pertamanya nggak bagus, pasti seret ketika ganti paragraf. Ketika kalimatnya menurutku nyaman, bisa langsung terus menulis berparagraf-paragraf hingga selesai. Contohnya tulisan tentang desa Luba ditulis dalam bus transjakarta Pramuka-Kampung Melayu, disambung dengan angkot ke Casablanca dalam kondisi macet.

Ribuan terima kasih aku haturkan untuk semua yang pernah berkunjung ke laman sederhana ini, tempat aku melepaskan sebagian kenangan di kepala, berbagi tentang indah, ramah, hangat, atau kesan-kesan yang tercipta dalam ruang-ruang waktu yang dilalui. Tetaplah berinteraksi, saling berkunjung, sapa di dunia maya maupun dunia nyata. Semua kunjungan, komentar, share, adalah energi untuk terus menulis berbagi tentang menarik.

Sekali lagi, terima kasih.

Indri Juwono | @miss_almayra
Depok. 20.05.2010 – 20.05.2015 : 02.05

To love. To be loved. To never forget your own insignificance. To never get used to the unspeakable violence and the vulgar disparity of life around you. To seek joy in the saddest places. To pursue beauty to its lair. To never simplify what is complicated or complicate what is simple. To respect strength, never power. Above all, to watch. To try and understand. To never look away. And never, never to forget.”
― Arundhati Roy, The Cost of Living


gramedia central park : guilty pleasure

$
0
0

cover-logo-gramedia

Books loved anyone who opened them, they gave you security and friendship and didn’t ask for anything in return; they never went away, never, not even when you treated them badly.
― Cornelia Funke, Inkheart

Aku tercenung mendengar penjelasan mas Adit di Restoran Penang Bistro Central Park siang itu di acara peluncuran Gramedia Konsep Baru, Inspirasi yang Menghidupkan Ide Kamu. Gramedia Central Park tak lagi menjadi Toko Buku Gramedia, melainkan berubah konsep menjadi Toko Gramedia. Zaman yang telah berubah membuat gaya hidup masyarakat pun berubah. Gramedia kini tak lagi sekadar toko buku, namun juga mengembangkan suasana yang mendukung untuk menarik pengunjung lebih banyak lagi. Isi Gramedia pun dibuat selain menarik pembeli buku, juga produk-produk lain yang berkaitan dengan buku.

Dulu aku pernah membaca satu cerita di majalah Bobo, tentang seseorang yang membuka usahanya dengan menjual buku. Lama-lama ia juga menjual alat-alat tulis, keperluan lain-lain, hingga tokonya penuh dan jarang menjual buku. Pada suatu hari datanglah seseorang ke toko buku itu dan menanyakan satu buku tertentu. Penjualnya mengatakan ia tidak menjual buku itu, sehingga pengunjung tadi mempertanyakan, kenapa ia masih menamakan tokonya toko buku?

Cerita ini begitu kuat ada di benakku sampai-sampai langsung terlintas di pikiranku ketika Toko Buku Gramedia akan berubah konsep menjadi Toko Gramedia. Akankah nasibnya menjadi seperti ini? Pikiranku menjadi semacam tidak rela mendengar toko ini menjual panci di samping buku memasak, atau sepeda di samping buku-buku olahraga.

penjelasan tentang konsep baru gramedia

penjelasan tentang konsep baru gramedia

Sebagai seseorang yang menghabiskan masa kecil, masa remaja, hingga masa dewasa di Gramedia, mulai dari Gramedia Pandanaran Semarang, Gramedia Merdeka Bandung, Gramedia Alun-alun Malang, sampai Gramedia Basuki Rahmat Surabaya, hingga membuahkan mata yang sekarang minus tujuh ini, Gramedia adalah taman bermain yang paling kuidam-idamkan. Ketika memasuki toko buku dengan hati berdegup sambil memilih buku-buku yang boleh dibawa pulang. Mungkin sebagian besar dari ratusan koleksi bukuku berasal dari Toko Buku Gramedia, saking seringnya tempat ini kukunjungi.

Tapi, mendengarkan penjelasan mas Adit tadi tak ayal menimbulkan rasa ingin tahuku yang berlebihan seperti apa Toko Gramedia Central Park yang akan diperkenalkan kepada kami ini. Menurutnya, ada berbagai Chamber dengan berbagai kekhususan di sini. Pertama Art & Design Chamber, lalu Woman Chamber, Fiction Chamber, Kids Chamber, IT Chamber, Sport & Music Chamber, Fancy & Stationary Chamber, Writing Boutique Chamber, Best Seller Chamber, dan tentu saja, General Book Chamber! Huf, kalau aku mau request, bisa dong ada Chamber of Secret ala Harry Potter?

Seluruh peserta akan diajak tur keliling Gramedia Central Park ini untuk diperlihatkan Chamber-chamber yang sudah dijelaskan. Senang sekali, karena aku bertemu banyak teman-teman Travel Blogger Indonesia yang juga pencinta buku akut, dua orang teman Blogger Buku Indonesia, dan berbagai teman-teman yang kenal via media sosial, termasuk si imut Sefin, anak sastra UI yang hobi traveling dan membaca juga.

bareng Nana @_marsh113_ dan Ijul @fiksimetropop siap bertanding

bareng Nana @_marsh113_ dan Ijul @fiksimetropop siap bertanding

ketemu si imut  Sefin @sefiiin dan Titi @parah1ta

ketemu si imut Sefin @sefiiin dan Titi @parah1ta

Titi @parah1ta, Farchan @efenerr, Leo @cool4myeyes dan Fahmi Kucing @catperku sebelum berpusing-pusing di Gramedia

Titi @parah1ta, Farchan @efenerr, Leo @cool4myeyes dan Fahmi Kucing @catperku sebelum berpusing-pusing di Gramedia

Kami memasuki toko buku dengan luas 3000m2 yang memiliki konsep baru lebih nyaman, playful adventurous dan memorable beramai-ramai. Ah, ternyata area pertama yang kami masuki adalah Fancy & Stationary Chamber yang berisi pernak pernik cantik yang unyu dan menggoda setiap perempuan yang mendekat. Di sini banyak notes-notes dan pigura cantik yang bisa dibeli untuk dipakai sendiri atau sebagai hadiah. Permainan langit-langit dan lampunya membuat cantik suasana. Di sana sini terdengar suara, iihh lucuuu.. Okay, kalau aku sih mengharapkan kado saja dari sini.

pernik lucu di Fancy & Stationary Chamber

pernik lucu di Fancy & Stationary Chamber

Masuk Chamber kedua adalah Art & Design Chamber dengan nuansa warna gelap dan lantai motif kayu. Aneka bahan peralatan melukis berjejer seperti pelangi di sini. Ah, tempat ini pasti menjadi surga bagi orang-orang yang bergelut dengan warna-warni. Langit-langitnya unik dengan kawat dan membran yang dipasang terbalik dengan lampu di dalamnya menghasilkan pencahayaan interior yang dramatis. Di ruang yang cukup luas ini bisa juga digunakan sebagai ruang pertemuan atau workshop kecil.

langit-langit kanvas di Art Chamber ini memberi kesan dramatis

langit-langit kanvas di Art Chamber ini memberi kesan dramatis

Dan bersama-sama kami masuk ke Woman Chamber yang mengejutkanku karena selain ada panci yang sudah diceritakan mas Adit tadi, ternyata ada kompor beneran! Mbak Gramedia-nya menjelaskan bahwa pakar kue tersohor Ibu Sisca Soewitomo baru saja melakukan demo masak di sini sekaligus mempromosikan buku barunya. Hm, seru juga ternyata. Jadi kepengin ada yang memasakkan di sini.

percaya kan ada kompor di dalam toko buku? cuma di Woman Chamber!

percaya kan ada kompor di dalam toko buku? cuma di Woman Chamber!

Eka @ceritaeka rupanya sesudah ini akan mengeluarkan buku masakan *gosip*

Eka @ceritaeka rupanya sesudah ini akan mengeluarkan buku masakan *gosip*

Kami tak perlu khawatir tersesat di dalam Gramedia ini karena di kolom-kolom selalu ada peta untuk menunjukkan posisi dan di chamber mana kami berada. Jadi bisa janjian di satu titik tertentu. Tapi karena Gramedia ini cukup besar, maka baiklah siap-siap saja bila tersangkut di salah satu Chamber menarik. Aku rela kok tersesat dan terkunci di toko ini!

aku dan @sefiiin tidak takut tersesat kok. dikunci di tengah buku juga, hayo!

aku dan @sefiiin tidak takut tersesat kok. dikunci di tengah buku juga, hayo!

Dan akhirnya, kami memasuki Fiction Books Chamber. Mataku dipuaskan dengan judul-judul baru dari karya penulis Indonesia maupun internasional yang bertengger di rak-rak buku. Tak pelak diriku tersangkut di sini sementara rombongan berjalan ke chamber lain. Menyenangkan sekali berada di tengah-tengah buku-buku ini sambil menguruti judul-judul yang berjajar rapi, mencari karya penulis kesayangan. Sebenarnya aku tak tahu pola penataan bukunya bagaimana, sepertinya didasarkan pada genre bukunya. Ah, beberapa karya teman-teman juga ada di sini.

deretan cuku di Fiction Chamber

deretan cuku di Fiction Chamber

Berada lama-lama di tengah buku-buku ini memang menyenangkan, tapi tak pelak aku tergoda untuk mengintip chamber sebelah, yaitu Kids Chamber. Waow, kalau aku masih kecil pasti rela-rela saja ditinggal bermain di sini sembari yang lain mencari buku. Aneka buku anak, mainan anak, sampai permainan engklek pun ada di sini. Ada satu stage rendah untuk tempat diskusi-diskusi ringan mungkin seputar parenting. Yang jelas, anak-anak memang sepertinya betah di sini.

bermain di sini sementara orang tua mencari buku, bisa!

bermain di sini sementara orang tua mencari buku, bisa!

penataan buku anak pun berwarna-warni

penataan buku anak pun berwarna-warni

langit-langit pun sangat playful

langit-langit pun sangat playful

mungkin mengisi kebosanan dengan bermain ular tangga

mungkin mengisi kebosanan dengan bermain ular tangga

Dua Chamber lagi yang aku lewati sekadarnya adalah Writing Boutique Chamber dan Sport Chamber dan IT Chamber, karena merasa tidak butuh barang-barang itu dalam waktu dekat. Aku kembali ke General Book Chamber sambil mengira-ngira buku mana yang akan kubeli nanti jika mendapatkan voucher. Dengan kategorisasi berupa genre buku, semestinya menemukan judul-judul buku menjadi lebih mudah. Tapi aku tidak tahu hirarki apa yang digunakan untuk menyusun buku dalam rak, apakan sesuai abjad pengarangnya atau hanya sekadar mengepaskan ukuran buku saja.

sport & music chamber

sport & music chamber

writing boutique chamber

writing boutique chamber

best seller chamber, kapan bukuku bertengger di sini, ya?

best seller chamber,
kapan bukuku bertengger di sini, ya?

IT chamber

IT chamber

Yes, kami semua mendapatkan voucher senilai 300 ribu yang akan digunakan dalam book race selama 20 menit. Begitu kami semua kembali ke Woman Chamber dan dibagikan voucher, kami langsung melesat ke area buku-buku untuk mendapatkan buku sesuai permintaan, yaitu termasuk dalam grup penerbit Gramedia. Untunglah voucher hanya bisa dipergunakan untuk membeli buku, jika tidak niscaya ada yang membeli panci atau bola basket dari chamber sebelah.

Segera aku menuju rak-rak buku yang berjajar dan mencari buku-buku yang termasuk dalam daftar wishlist (saking banyaknya daftar wishlist, aku jadi bingung sebenarnya). Sigap kuambil The Silkworm-nya Robert Galbraith, Simple Miracle dari Ayu Utami, buku puisi Saiban dari Oka Rusmini, dan satu wishlist : 100 years old man who climbed up the window and disappeared karya Jonas Jonasson. Bayangkan, dalam 20 menit mengambil buku? Rasanya sih semua rak itu ingin kubawa pulang saja.

Aku sempat melangkah ke bagian-bagian lain untuk mengambil buku-buku hingga setumpuk yang ada di tanganku, tapi ketika akhirnya kuhitung ulang vouchernya tidak mencukupi, jadi kukembalikan. Kulihat ke kasir, wah ternyata teman-teman yang berkompetisi di lomba ini sudah mengantri cukup panjang juga. Dan tralala, mesin kasirnya sempat ‘hang’ karena terus-terusan memindai voucher. Ah sudahlah, kurelakan saja lombanya karena waktu 20 menit termasuk transaksi di kasir pasti tidak cukup. Aku membayangkan seandainya antrian seperti ini seperti ketika Gramedia diskon 30% dan membuat orang yang hendak membayar mengular. Hei, PASAR PEMBELI BUKU MASIH BESAR, DONG! Aku yakin tanpa antrian lomba seperti ini, masih banyak orang yang senantiasa mengunjungi toko buku untuk menambah pengetahuannya atau pun menimbun koleksinya. Tak sedikit orang-orang masih sering memilih Gramedia sebagai tempat meet-up, menunggu sambil memilih buku, dan membuat suasana di sini menjadi ramai. Walaupun penetrasi toko buku online sangat tinggi, masih ada alasan untuk ke toko buku.

voucher untuk dihabiskan belanja buku

voucher untuk dihabiskan belanja buku

belanjaanku

belanjaanku

kak Tika @sabaiX pun asyik mengantri hasil buruannya

kak Tika @sabaiX pun asyik mengantri hasil buruannya

Aku sendiri lebih suka toko buku yang tenang, sehingga aktivitas memilih buku menjadi lebih fokus dan nyaman. Aktivitas yang biasa kulakukan di toko buku jika tidak ikut book race seperti ini mulai dari meraba buku-buku di rak, memperhatikan judulnya satu per satu, menemukan judul yang dicari, mencari buku contoh, membuka-buka isinya, memasukkan yang masih bersampul plastik ke tas belanja, kembali lagi meraba-raba buku, melihat-lihat sinopsis, membandingkan cover, mengecek nama pengarang, memasukkan yang bersampul plastik ke tas belanja, berkeliling-keliling lagi, tertarik dengan judul buku, mengecek bintangnya di goodreads, menimang-nimang buku, memasukkan lagi ke tas belanja. Oke, stop. Melihat isi kantong belanjaan yang menjadi berat, mulai melangkah ke kasir. Pandangan tersangkut lagi dengan buku-buku di tulisan best seller di dekat kasir. Buka aplikasi goodreads di ponsel, pindai barcodenya, masukkan shelf wishlist. Siapa tahu ada yang berniat membelikan sebagai kado.

Kembali ke Women Chamber lagi, wajah-wajah peserta Book Race sangat sumringah karena sudah berbelanja bahan bacaan di minggu-minggu ke depannya. Walaupun tidak memenangkan lomba sebagai pembelanja tercepat, tapi aku senang karena kecerewetanku di twitter membuahkan hasil voucher belanja lagi sebesar Rp 250.000,- Duh, senangnya, sesudah belanja masih dapat voucher lagi (langsung impulsif kepengin belanja lagi)

ketemu juga denga  Cya @cyapila setelah bertahun-tahun

ketemu juga denga Cya @cyapila setelah bertahun-tahun

semacam hadiah ulang tahun buatku dan mas @harrismaul. eh, @ceritaeka menang juga!

semacam hadiah ulang tahun buatku dan mas @harrismaul. eh, @ceritaeka menang juga!

Dan yang membuat aku lebih gembira juga, karena dugaanku salah. Gramedia Central Park masih menjual banyak buku-buku yang bagus. Dengan tata interior yang keren seperti ini, pasti lebih banyak lagi yang mau meluangkan waktu ke sini, mengeksplorasi sudut demi sudut, menemukan ide-ide imajinatif dan inspiratif. Buku bukan hanya untuk kutu buku saja, tapi juga menularkan kepada banyak orang untuk menyukai buku. Dan masihkah kamu membuat janji dengan seseorang,

“Kita ketemuannya di Gramedia saja!”

[visit Gramedia Central Park at 9 Mei 2015]
jangan salah, Central Park ini di Jakarta saja, bukan di New York.
Masih ingat film You’ve Got Mail? It’s about bookstore too.

Intan, markomnya Elex yang kenes!

Intan, markomnya Elex yang kenes!

@leonisecret, @ceritaeka, @cool4myeyes, @parah1ta @harrismaul @catperku, aku, dan @efenerr puas sudah belanja

@leonisecret, @ceritaeka, @cool4myeyes, @parah1ta @harrismaul @catperku, aku, dan @efenerr puas sudah belanja

seluruh peserta book race dan tim gramedia yang tersenyum senang (foto : gramedia)

seluruh peserta book race dan tim gramedia yang tersenyum senang (foto : gramedia)

dance sore oleh karyawan gramedia

dance sore oleh karyawan gramedia

gramedia central park, i'll be back.

gramedia central park, i’ll be back.


menjelajah eropa lewat @EuropeOnScreen

$
0
0

europe-on-screen-ticket

The whole of life is just like watching a film. Only it’s as though you always get in ten minutes after the big picture has started, and no-one will tell you the plot, so you have to work it out all yourself from the clues.
― Terry Pratchett, Moving Pictures

Gelaran Europe on Screen atau Festival Film Eropa baru saja usai dan menyisakan pengalaman-pengalaman menjelajah visual lewat mata dan layar lebar. Film memang sering membangkitkan keinginan terpendam untuk mengunjungi tempat-tempat yang disinemakan. Dalam beberapa kali perjalananku pun lebih kurang terinspirasi oleh film. Walau pun tak meniatkan dengan betul, ternyata film-film yang kutonton di Festival ini adalah film traveling tentang ruang, kota, dan kekhasan lokal di daerah-daerahnya.

Kalau ditanya oleh teman, kenapa harus menonton di Festival? Bukankah unduhannya banyak tersedia di internet? Alasanku sebenarnya sederhana, film-film Eropa banyak yang tidak masuk di jaringan besar bioskop di Indonesia. Dan ketika ada kesempatan untuk menontonnya sambil mengintip isi beberapa Pusat Kebudayaan di Jakarta, kenapa tidak? Bangunan-bangunan ini punya fasilitas audio visual yang cukup menarik, selain pengalaman serasa memasuki area negara itu sendiri.

Kali ini, aku hanya menonton di Goethe Haus Jl Sam Ratulangi Menteng, Pusat Kebudayaan Jerman yang ruang audio visualnya menyerupai bioskop dengan kursi-kursi lipat yang cukup curam sehingga nyaman untuk mata. Aku sudah beberapa kali ke sana sehingga tempat ini tak asing lagi bagiku. Selain itu aku juga menonton di IFI Thamrin, Pusat Kebudayaan Perancis yang cukup terjangkau tempatnya, dengan keamanan yang cukup ketat. Tapi sesudah melewati pintu pemindai barang-barang, suasana di dalam ternyata cukup santai.

Alasan lain tidak menonton di rumah, karena pasti berpotensi tertidur. Beberapa film yang memang bergenre drama dengan dialog yang panjang bisa menjadi membosankan ditonton di layar kecil. Pindah ke tempat dengan layar besar meminimalkan kejadian tertidur, walaupun gratis.

Winter Sleep

Film berdurasi 138 menit ini mengambil latar di Turki, tepatnya area Cappadocia yang termahsyur di musim panas dengan balon-balonnya yang mengudara di angkasa. Tapi apa yang bisa dilakukan di sana pada musim salju? Bercerita tentang pengusaha hotel goa batu yang memiliki berbagai properti di sekitarnya, juga masalah hati keluarganya. Sejak pertama layar memperlihatkan lansekap goa-goa batu yang ditatah untuk dijadikan tempat tinggal, aku terpesona. Lekuk pegunungan dengan anak tangga batu, ruang-ruang dalam yang dingin dan memerlukan penghangat, lubang-lubang jendela yang dramatis, ditambah salju yang menghampar di belakang, menahanku untuk tetap duduk dan menikmati di tengah dialog-dialog super panjang dan filosofis.

Kehidupan in-the-middle-of-nowhere ini juga kaku dan dingin, seperti batu-batu yang melingkupinya, dan udara dingin yang menjadi latar musimnya. Pertengkaran rentan terjadi dalam diam dan senyum sinis, membawa rahasia-rahasia yang tak terungkapkan karena semua menyimpannya dengan rapat. Tak ada sinar matahari yang cerah di musim ini, seiring hujan salju semestinya tempat ini bisa menjadi perfect-hideaway.

cave dwelling turkey (pic from pinterest)

cave dwelling turkey (pic from pinterest)

gamirasu cave hotel (pic from koolroom.com)

gamirasu cave hotel (pic from koolroom.com)

100 years old men who climbed out the window and disappeared

Ketika sudah mencapai usia 100 tahun dan mengalami hidup yang luar biasa, apakah ulang tahun yang biasa juga untuk memperingatinya? Allan, seorang Swedia yang menghabiskan masa tuanya di rumah jompo memutuskan untuk melakukan petualangan kecilnya. Siapa sangka yang dilibatkan menjadi perkara besar. Allan muda yang mengalami hidup yang berpindah-pindah, mulai dari rumahnya, hingga hobinya meledakkan dinamit membuatnya diterima dengan mudah di ketentaraan, bersama Sekutu menghadapi Jenderal Salamanca di perbatasan Spanyol. Allan yang juga sempat tak sengaja terdampar di negeri Mikhail Gorbachev terperosok juga ke kamp Gulag, hingga bebas.

Menonton film ini dengan latar perjalanan Allan di berbagai negara sembari mengingat sejarah-sejarah besar dunia. Khas film Eropa, film ini tumpul oleh gunting sensor adegan-adegan ledakan yang keras, kepala terlontar atau banyolan yang menjurus porno. Melihat Allan tetap selamat walau hampir seumur hidup seorang diri, karena teman baiknya selalu di mana-mana. Aku menonton film ini sebelum membaca bukunya, tapi kurasa tetap menarik untuk membacanya juga.

on their escaping by railroad (pic from prae.hu)

on their escaping by railroad (pic from prae.hu)

meet the elephant (pic from butlercinemascene)

meet the elephant (pic from butlercinemascene)

Night Train to Lisbon

Jeremy Iron membawa menyusuri sudut-sudut kota Lisbon, Portugal, yang tak sengaja ia jelajahi karena penasaran dengan buku yang ditinggalkan seseorang dalam jaketnya. Kota Lisbon di tepi laut dengan kontur bertingkat-tingkat membuat suasana anggun dan cantik terus menemani seluruh lansekap yang ditangkap mata. Buku yang berisi catatan harian seorang dokter dari Portugal ini tentang caranya memandang hidup menciptakan gambaran kota di masa lalu ketika pemberontakan pada jenderal Mendez bergulir di mana-mana.

Menikmati perjalanannya di antara trem, perpustakaan, hotel tua, laut, juga bercerita tentang nostalgi sejarah lampau membuat ingin mengunjungi negeri Luis Figo ini di kemudian hari nanti. Gambaran lambat menyajikan detil-detil arsitektur kota yang indah, bangunan-bangunan kuno yang masih dijaga sejak masa lampaunya, hingga kuburan yang terawat apik. Perjalanan singkat ini begitu memberikan kesan bahwa mungkin setiap orang memang perlu berbuat nekat satu kali dalam hidupnya, walaupun tak tahu apa yang menghadapinya di depan. Siapa sangka perburuannya dengan cerita buku itu mendapatkan kata : Why don’t you just stay?

Lisbon landscape (pic from popculture-y.com)

Lisbon landscape (pic from popculture-y.com)

Tram inside Lisbon (pic from scissorsclosetsandstreets)

Tram inside Lisbon (pic from scissorsclosetsandstreets)

Exit Marrakech

Apa yang harus dilakukan anak muda Jerman jika harus menghabiskan liburannya di negara muslim yang eksotik ini? Alih-alih menghabiskan waktu dengan semua fasilitas mewah yang didapat, remaja ini malah berkeliling melihat kehidupan sehari-hari penduduk Maroko. Sempat ada pertentangan antara ia dan ayahnya yang sutradara teater yang sedang pentas. Lewat film ini aku menyaksikan potret kota yang bersolek cantik di satu sisi, namun bobrok juga di sisi lainnya.

Saking isengnya, si pemuda kabur mengikuti gadis yang baru dikenalnya untuk pulang kampung. Sisi Maroko dengan kota yang berbukit-bukit berubah ke luar kota dengan hamparan tebing-tebing batu yang didominasi warna coklat, hampir-hampir menuju gurun. Kehidupan kaum muslim di desa-desa di tengah perbukitan batu yang panas memperlihatkan keaslian budaya di situ. Tentu gegar budaya akibat tibanya si pemuda di situ menjadi perdebatan.

Pelarian si pemuda membuat ayahnya kalang kabut mencarinya. Dialog-dialog hubungan ayah-anak yang terpisah semasa remaja ini mencairkan kekakuan diantara mereka. Gurun, batu, jalan panjang, tersesat, makanan khas, menjadi ikon lokalitas yang begitu kuat terhadap tema Maroko. Perjalanan yang mengembalikan hubungan yang lama hilang.

the magnificent marrakech (pic from wikipedia)

the magnificent marrakech (pic from wikipedia)

the boy in the middle crowd (pic from clutchpr.com)

the boy in the middle crowd (pic from clutchpr.com)

Film-film ini melemparkanku ke ruang-ruang hidup di sisi-sisi yang tak biasa, bersentuhan dengan tradisi lokal yang masih dijaga atau hanya sebagai pesan latar. Sudut-sudut pengambilan gambar yang cantik menerbangkan dari tempat dudukku ke emosi imaji vista yang disampaikan oleh sutradaranya. Warna-warna dominan cokelat dan putih memberikan gambaran nuansa Eropa dalam bingkai layar.

Menonton EuropeOnScreen tidak sama dengan menonton film di bioskop biasa. Sebelum pertunjukan selalu ada pembukaan dari MC, dan berakhir dengan tepuk tangan. Seru kan? Apalagi tanpa tanda masuk alias gratis. Tempat duduk juga bisa pilih sendiri suka-suka kita. Sudah beberapa tahun mengikuti event ini dan ternyata tetap seru hingga sekarang. Asyik juga, subtitle-nya dalam bahasa Inggris.

Padahal, tahun ini aku tidak merencanakan benar-benar ingin menonton, lho. Baru setelah hari pertama pemutaran, langsung tiba-tiba kepingin lalu mengecek jadwal, dan cocoklah dengan lokasi dan jam pemutarannya. Kalau tak ada teman, nonton sendiri tak mengapa, cuma film ini. Untuk jadwal tahun depan, ikuti saja twitternya di @EuropeOnScreen atau http://www.europeonscreen.org. Nanti muncul kabarnya!

[almost midnight at the room with yellow light 25.05.2015 : 23.40]


traveloka : melekatkan sahabat

$
0
0

image

They say nothing lasts forever…
…dreams change, trends come and go, but friendships never go out of style.
~ Carrie Bradshaw, Sex & The City

Bagaimana rasanya punya sahabat karib yang senantiasa bersama selama bertahun-tahun? Kami berenam hingga sekarang masih suka berbagi canda dan tawa. Aku, Despin, Iin, Tiwi, Vina, dan Selvie sudah bersahabat hampir dua dekade. Aneka kegembiraan dan cobaan tentu kami lalui bersama. Dulu kami sama-sama sering menginap di rumah Tiwi untuk mengerjakan tugas kuliah, mengikuti Kerja Sosial menginap di tenda peleton berhari-hari, saling dukung jika salah dua (mungkin salah tiga) dari kami tidak lulus studio arsitektur di semester.

Kegiatan selain kuliah kami tidak sama, tapi entah kenapa kami merasa cocok satu sama lain. Mungkin inilah yang namanya chemistry persahabatan. Iin dan Tiwi tidak mengganggu ketika aku dan Despin asyik nongkrong di kegiatan kecintaalaman. Kami tetap suka menunggu Vina yang sempat kuliah dobel di fakultas sebelah. Dan Selvie yang rajin sering membantu tugas-tugas kami yang studionya tertinggal dua semester (termasuk aku tentunya). Mungkin satu-satunya hobi kami yang menyatukan benar adalah kecintaan kami pada buku. Kami selalu mampir ke toko buku, atau menghabiskan waktu membuka-buka koleksi Iin.

Kini, setelah bertahun-tahun tempat tinggal kami tidak lagi berdekatan seperti dulu. Kami terpencar di berbagai propinsi. Sementara aku di Depok, Despin dan Selvie di Jakarta Timur, Iin dan Vina di Tangerang Selatan. Tiwi, pindah kembali ke Bali bersama keluarganya. Jadi waktu-waktu bertemu menjadi sulit kan? Kepenginnya sih, Tiwi bisa bergabung dengan kami untuk kumpul-kumpul di Jakarta. Bagaimana supaya hemat, ya?

Facebook_Citilink-Blog-Contest

Kamu punya pengalaman kepengen ketemu dengan sahabat tapi terkendala jarak, waktu dan biaya, bisa mencoba mengikuti kontes menulis ini karena #TiketGratisTraveloka hadir kembali! Memang agak usaha sedikit, tapi pasti sepadan nih. Cara mendapatkan tiket gratisnya, kamu cukup membuat artikel dengan tema yang telah ditentukan di bawah in. Ketentuannya dari Traveloka bisa dilihat di Kontes Menulis Berhadiah Tiket Citilink (PP) Bebas Pilih Rute

Hadiahnya oke punya !
20 tiket PP Citilink kelas ekonomi untuk 10 orang pemenang. Bebas pilih rute langsung domestik.
Tuh, bisa ke mana saja sesuai di mana sahabatmu berada.

Catat Waktu pelaksanaan, jangan sampai ketinggalan.
Masa pelaksanaan kontes: 25 Mei – 8 Juni 2015.
Batas waktu kirim artikel: Senin, 8 Juni 2015 pukul 18:00 WIB.
Pengumuman pemenang: Rabu, 10 Juni 2015 di Facebook dan Twitter Traveloka.

Cara mengikuti kontes:
Follow akun Twitter @Traveloka dan like Facebook Page Traveloka.
Buat artikel dengan tema “Andai bisa terbang gratis, aku akan menemuinya” sesuai ketentuan artikel.
Artikel ditulis pada media publik di internet, seperti: WordPress, Blogspot, Forum, Kompasiana atau lainnya milik pribadi (bukan akun/blog duplikat).
Link (URL) artikel dikirim melalui formulir online di http://goo.gl/forms/GQxNhlLAqO.
Share artikel yang telah dibuat ke Facebook dan Twitter, dengan hashtag #TiketGratisTraveloka dan mention Traveloka.

Ketentuan artikel:
Memiliki minimal 400 kata.
Artikel harus berisi:

    Siapa orang yang ingin kamu temui dan alasan ketemu dengannya.
    Aktivitas apa yang ingin dilakukan dengannya.
    Itinerary perjalanan memakai pesawat Citilink.
    Screenshot halaman “Review Pemesanan” tiket Citilink dan hotel yang mau dipesan dari Traveloka App.
    Kesan dan pesan menggunakan Traveloka App.

Contoh artikel bisa dilihat di Blog Traveloka.

Kualifikasi pemenang:
10 pemenang akan dipilih berdasarkan keunikan cerita, kreatifitas tulisan dan sesuai ketentuan artikel.

Tentu saja kontes ini bukan cuma untuk menemui sahabat, tapi juga bisa untuk menemui pacar, keluarga, orang tua, ibu mertua, bahkan wawancara kerja. Karena setiap orang mendapatkan 2 tiket, kamu nggak perlu takut jalan sendirian. Tinggal siapkan ransel atau kopermu, dan bepergianlah ke mana kamu suka di Indonesia.

Atau kamu sedang tidak mood menulis karena sering traveling tapi tidak sempat menemui yang dandaikan? Traveloka masih punya promo menarik yaitu Fly For Free Citilink. Ada tiket gratis yang bisa dimenangkan ke mana saja dengan mengunduh aplikasi Traveloka App di Android atau iPhone kamu.

traveloka-fly-for-free

Bagi pemilik Traveloka App, menangkan 300 tiket pulang pergi (PP) gratis Citilink ke semua rute!
Promo tiket gratis Citilink berlangsung mulai 19 Mei – 26 Juni 2015.

Caranya juga mudah sekali!
Download Traveloka App versi terbaru untuk Android (v1.2.1) atau iOS (v1.2.2)
Pesan tiket Citilink (sekali jalan/pulang pergi) via Traveloka App dengan rute apapun dan periode terbang kapanpun
Setelah melakukan pembelian tiket Citilink via Traveloka App, Anda otomatis diikutsertakan dalam undian mendapat 1 tiket PP gratis
Pengundian tiket PP gratis Citilink akan dilakukan tiap Jumat.

Coba ikuti lagi cara-cara dengan membuka tautan Fly For Free Citilink

Selalu ada banyak cara untuk menemui orang-orang yang disayangi. Kenangan-kenangan yang ada selalu berputar dalam waktu, sehingga yang tersisa hanyalah nostalgi. Kini kami bertukar cerita bahagia, mendengarkan bila ada duka, berbagi kembali kisah lama atau kisah nanti. Persahabatan yang dipelihara oleh silaturahmi. Waktu, jarak, kesibukan, kepentingan, prioritas kami mungkin sekarang berbeda, tapi kami selalu saling mendukung. BFF.

dufan

    dunia fantasi, 2002

1O1 suryakancana bogor : latar gede-pangrango

$
0
0

cover

Suatu hari ketika aku rindu bangun di kota yang lain, menikmati jendela yang berbeda, menghirup udara pagi yang lebih sejuk, mengamati ruang kota yang dinamis, menghamparkan pegunungan dalam jarak, tanpa menjadi terlalu penat. Kesibukan sehari-hari ke arah utara, menelan derap langkah kaki di stasiun dan pergerakan cepat membuatku ingin melambat sejenak.

Slow down, you need a rest.

Seorang teman pernah bercerita bahwa ia jatuh cinta pada Bogor yang dijuluki kota hujan, menyukai pohon-pohon besarnya di sepanjang jalan, makanan-makanan pinggir jalan yang lezat, gadis-gadis cantik dan ramah, rusa-rusa di depan istana, embun pagi dan rerintik di sore hari. Dan begitulah, titik-titik air dari langit menyambutku yang turun di stasiun Bogor.

Dear rain, hide my tears.

Di tengah hujan yang membasahi trotoar, aku melangkah di bawah payung, mampir sejenak di satu gerai cepat saji, berjalan hingga depan kebun raya, mengambil sekadar uang saku dari atm, menghentikan angkot tujuan Sukasari, sambil tetap memandang hujan di jendela. Melewati pintu Kebun Raya Bogor, berbelok menuju jalan Suryakancana, kawasan niaga di masa lalu, dan hingga kini.

You don’t need to be too georgeous for holiday.

Berhenti di depan satu bangunan baru berlatar gunung Gede Pangrango di kejauhan, tempatku akan menghabiskan malam hingga esok melupakan penat sehari-hari. The 1O1 Suryakancana yang baru berdiri tiga bulan di tengah kawasan Pecinan. Petugas keamanan yang memberikan senyum ramah khas Indonesia walaupun aku turun dari angkutan umum, bukan mobil mewah seperti biasa ia sapa.

Smile is precious things and free.

kolam teratai di depan

kolam teratai di depan

fasade loster putih, detail mengalirkan udara dan cahaya ke dalam

fasade loster putih, detail mengalirkan udara dan cahaya ke dalam

kanopi  menuju pintu masuk

kanopi menuju pintu masuk

Satu kolam teratai menyambut di depan bersama dengan kanopi lebar menaungi koridor masuk. Gemericik air menemani langkah di atas ubin-ubin tegel dengan mozaik antara kilap dan tidak kilap yang tak beraturan. Disambung dengan kanopi kaca dengan jeruji kotak diagonal yang membimbing hingga jalan masuk. Langkan kayu dengan jeruji besi lengkung melindungi badan yang bersandar sambil mengintip kolam renang di bawah sana yang masih dijatuhi rerintik hujan. Pintu kayu putih dengan rangka kotak-kotak kayu dan kaca beuvel memberikan pantulan cahaya menarik ketika dibukakan untuk melangkah masuk. Konter resepsionis dengan ukiran lis kayu yang disusun pada bagian depan menyambut. Langit-langit akrilik berwarna-warni mendominasi ruangan sedemikian menjadi rancak. Pola-pola mozaik pada lantai dengan dua tonaliti memperkuat kesan dinamis. Di dalam sini lebih bergerak daripada ketenangan di luar tadi.

Yes, I pay to stay.

pemainan langit-langit yang direfleksi oleh pola lantai

pemainan langit-langit yang direfleksi oleh pola lantai

tunggu sejenak di sini

tunggu sejenak di sini

lampu berdiri tak sendirian

lampu berdiri tak sendirian

Lift membawa ke lantai satu, melewati koridor selebar dua meter dengan pencahayaan temaram, dihembusi angin sejuk yang lolos dari ujung-ujung yang terbuka bebas mengurangi kebutuhan pendingin udara di jalur memanjang. Pintu kamar terbuka dengan jendela yang langsung memandang ke lansekap Gede Pangrango, jalur impian setiap pendaki pemula dari ibukota. Tempat tidur king size, bantal putih dan bantal jingga sebagai aksen, nakas di kiri dan kanan. Bilah kayu sepanjang tepi jendela menjadi meja melamun berbingkai pemandangan. Satu ceruk berisi safe deposit box dan gantungan mantel kamar di tepi kamar mandi yang dibatasi oleh kaca. Di atas heardboard ada satu instalasi sehingga ruangan tidak terasa kosong. Lantai dengan pola papan catur pun memperhangat suasana.

Get the best for rest in the nest.

king size bed yang menemani

king size bed yang menemani

ceruk ruang mantel

ceruk ruang mantel

Membaringkan badan yang menggeliat di hamparan kasur empuk sambil tidak berpikir apa-apa sambil merencanakan malam nanti. Matahari yang sedari tadi bersembunyi di balik awan perlahan menghilang di tengah bias keunguan. Teh hitam di sudut pun minta diseduh untuk menghangatkan tenggorokan. Tak ada suara lain di sini, tak mengapa daripada menonton televisi. Perlahan vista rumah-rumah kota Bogor di jendela berubah menjadi kerlip lampu. Gelap turun sesuai janjinya setiap hari.

Don’t be afraid at night. Lights on.

meja panjang menghadap luar

meja panjang menghadap luar

aksen biru pada bidang televisi

aksen biru pada bidang televisi

gelap bertabur lampu di bogor

gelap bertabur lampu di bogor

Ini jalan Suryakancana Bogor, bukan padang edelweiss di gunung Gede sana, namun salah satu titik tersibuk tempat aktivitas niaga ramai sehari-hari, jalur pejalan kaki yang disusuri di bawah fascia, menempel dengan etalase toko tanpa sempadan jalan. Di sini kegiatan berjalan tak berambisi, hampir semua tutup selewat senja. Para pemilik toko yang hidupnya seimbang dengan tak beraktivitas malam. Mereka tak mengejar jam sembilan malam seperti toko-toko besar, ataupun dua puluh empat jam seperti gerai minimarket kecil. Berjalan di antara sepi gelap malam dan lampu-lampu merkuri, mendengarkan suara angin menyapu jalan, hawa dingin yang tiba-tiba memeluk memaksa merapatkan jaket. Sisi kota ini, sebagai satelit Jakarta, sudah beristirahat ketika gelap.

The good companion of darkness is silence.

kolam padma di malam hari

kolam padma di malam hari

rumah cina di tepi jalan

rumah cina di tepi jalan

rumah lampau yang terlihat kosong

rumah lampau yang terlihat kosong

Di tepi kolam renang hotel lebih riuh oleh cakap orang makan malam. Aneka gerai ditata dilayani dengan cakap dalam kilauan lampu temaram. Tak ada satu pun yang bermain air sembari yang lain mengisi perut. Ruang berbagi sambil menikmati malam. Jika langit cerah dan lampu tidak terlalu banyak, pasti menyenangkan duduk di sini di antara bintang-bintang. Dari dek kayu yang tak lagi basah, pandangan tertuju pada kamar-kamar berbalkon yang menghadap utara yang bercahaya. Beberapa pasangan duduk-duduk di situ menikmati malam. Tak ada Juliet di sana, dan tak ada semak mawar untuk dipanjat Romeo hingga balkon.

There isn’t overordinary laugh of them.

makan malam di tepi kolam

makan malam di tepi kolam

kanopi kaca lebih temaram saat malam

kanopi kaca lebih temaram saat malam

permainan lampu menghasilkan kesan dramatis

permainan lampu menghasilkan kesan dramatis

tangga lingkar menuju lobby

tangga lingkar menuju lobby

Dan hal yang ditunggu, bangun pagi di kota yang lain. Selepas fajar di pagi yang menggigit, menunggu matahari bangun dari peraduannya, aku bersyukur karena cuaca cerah bisa menarikku untuk berdiri di sudut jalan, menatap gugus massa keseluruhan hotel yang hari sebelumnya tak tertangkap mata. Bangunan ini berdiri pipih cukup berjarak dari jalan raya, tegak lurus terhadap jalan. Tanpa podium, dipadu dengan massa geometris yang menahan membesar di bagian bawah, difungsikan sebagai ruang publik, bukan hanya privat untuk tamu. Kanopi kaca yang ringan memberi arah yang jelas menemukan pintu masuk. Bentuk pipih berdiri sendirian, di tengah rumah-rumah yang tersembunyi di balik toko-toko tepi jalan, melawan angin yang berhembus kencang. Aku kembali ke dalam, bersembunyi.

Who do you think you see?

angin pagi berhembus kuat di sini

angin pagi berhembus kuat di sini

hembusan dari sisi-sisi yang terbuka

hembusan dari sisi-sisi yang terbuka

Turun lewat tangga putar, berdiri di tepi dek kolam renang tanpa hembusan yang begitu berarti. Bidang kanopi tadi benar-benar menahan angin dari sisi barat sehingga tempatku berdiri seperti sebuah ceruk yang tidak terlewati. Kekhawatiran akan kedinginan di kolam lepas sudah, berganti dengan keinginan bermain air sekaligus mandi pagi yang terlalu dini. Kolam sedalam 1.2 m menerima ceburan badan yang rindu basah, meluapkan airnya pada sisi sebelah membentuk air tumpah yang melipir di dinding, diterima oleh saluran berbatu-batu yang memutarkan airnya kembali ke kolam. Siklus buatan yang disuka manusia. Kursi-kursi di samping kolam pun mulai didatangi pengunjung-pengunjung kamar hotel yang mulai bangun karena keriuhan dari kolam yang mereka dengar lewat balkon.

We need an energized morning!

massa bawah kanopi masuk menghambat hembusan angin sampai ke area kolam

massa bawah kanopi masuk menghambat hembusan angin sampai ke area kolam

tepian kolam yang tumpah seperti air melipir

tepian kolam yang tumpah seperti air melipir

aksen utama, tangga lingkar di tepi kolam

aksen utama, tangga lingkar di tepi kolam

Tak cuma kolam renang yang membuat ramai, tiga ballroom yang menghadap kolam dengan prefunction memanjang dibatasi oleh partisi-partisi besar pun mulai ramai oleh orang-orang yang mengadakan pertemuan. Bejana-bejana berisi kopi atau teh diletakkan di samping susunan gelas untuk teman bercengkrama sebelum mengolah pikiran di dalam. Ruang pertemuan di bawah lobby, disembunyikan agar tidak terganggu lalu lalang tamu.

Hide.

bagian bawah tangga yang mulus bergelombang

bagian bawah tangga yang mulus bergelombang

prefunction dengan pintu-pintu krepyak yang ditutup malam hari

prefunction dengan pintu-pintu krepyak yang ditutup malam hari

ruang pertemuan yang tersembunyi di bawah lobby

ruang pertemuan yang tersembunyi di bawah lobby

Menyegarkan diri usai mandi, melanjutkan ke ruang penuh makanan di samping lobby. Tua muda asyik berkumpul dan berceloteh sembari mondar mandir ke deretan meja-meja penuh makanan. Di sudut chef yang asyik menyiapkan pesanan aneka telur. Pilih sendiri lokasi duduknya, apakah lebih nyaman di meja tengah sendiri, atau bersama-sama keluarga di sudut sofa memandang gugus Gede Pangrango di kejauhan? Ataukah di balkon sambil menikmati keramaian di kolam renang? Jendela-jendela besar yang membatasi ketinggian menyajikan lansekap kota Bogor di bawah langit biru. Ruang-ruang dengan penyekat besi bermotif organik menjadi latar belakang ruang-ruang duduk. Tunggu dan nikmati tehmu di dalam sinar matahari yang melimpah ke dalam ruangan. Kualitas ruang yang tidak membutuhkan pencahayaan buatan, dan hanya udara asli pegunungan.

Breakfast is energy for your day.

breakfast area di depan lobby

breakfast area di depan lobby

furnitur kayu tempat egg corner bermotif vertikal, berlatar terali floral

furnitur kayu tempat egg corner bermotif vertikal, berlatar terali floral

drink corner

drink corner

sudut duduk membuka ke arah pegunungan

sudut duduk membuka ke arah pegunungan

breakfast di balkon

breakfast di balkon

Ketika tiba saat untuk pergi, melewati untuk kesekian kali lorong-lorong penghubung antar kamar yang tak berpenyejuk udara. Kedua ujung yang tak tertutup mengalirkan udara dari sisi satu ke sisi yang lain. Dari satu ujung lagi-lagi membentang Gede Pangrango, di ujung yang lain mengerucut tiga puncak Salak. Rasanya, ingin berlama-lama melamun di sini. Tapi waktu sudah selesai dan aku ingin melanjutkan menyusuri jalan Suryakancana, mencicipi aneka jajanan khas, soto kuning, bir pletok, atau membawakan asinan gang roda untuk mama.

Thanks for beautiful weekend, Bogor.

buka jendela, dan hiruplah udara...

buka jendela, dan hiruplah udara…

1O1 Suryakancana Hotel is located in the heart of Bogor city. It easy to go there with public transportation from Bogor Station. Just take green minibus with code 03 direction to Sukasari. Drop yourself in front of 1O1 Suryakancana Bogor. The location is in the middle of Bogor Chinatown, which means easy to find nice food!

Once you check in the hotel, you can go walk to Bogor Botanical Garden and take your greeneries time around that place, and can come back with 03 minibus again. Around the Suryakancana street, you can find ‘asinan’ salty fruit dishes, ‘soto kuning’ traditional yellow soup with turmeric or ‘bir pletok’ ginger beer. And you can see the famous ‘talas bogor’ kind of tuber plant that we can eat.

The hotels is very nice, entranced with lotus pool beside concrete canopy and followed with glass canopy. The receptionist is so nice with dominant white around the wall and the ceiling composition. There is two kind of room, balcony type with pool view, or non balcony type with mountain scenery.

This hotel is completed with medium swimming pool, meeting room, ballroom at semi basement, hidden from noisy road around. The swimming pool with its wood deck, close at night and the deck change to be restaurant. The best thing in Bogor is its place within Mount Gede Pangrango and Mount Salak, and those view can be enjoyed from the hotel. Beware that Bogor is famous as ‘Rain City’ so you can find rain every late afternoon. But by its strategic place, you can experience the neighborhood nicely.

Enjoy the experience!

indri-juwono

p.s. I love the spiral stair!

I stayed at this hotel with discount voucher from HotelQuickly apps at my android phone.
Wanna have same saving credit from me?
Enter code IJUWO at your HotelQuickly apps credit section and redeem IDR 170000 voucher!

THE 1O1 Bogor Suryakancana
Suryakancana No. 179 – 181
Bogor 16141 – Indonesia
p. +62 251 7567 101
e. sales.suryakancana@the101hotels.com

reservation :
p. +62 251 8311 921
e. reservation.suryakancana@the101hotels.com

http://the101hotels.com/bogorsuryakancana
twitter/facebook/instagram : 1O1bgrsk



rumah dunia, serang : pelabuhan mimpi pejalan

$
0
0

petunjuk-rumah-dunia x

Kenapa tak pernah kau tambatkan perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu pelabuhan tenang
yang mau menerima kehadiran kapalmu!

Kalau dulu memang pernah ada satu pelabuhan kecil,
yang kemudian harus kau lupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih?

Seandainya kau mau,
buka tirai di sanubarimu,
dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kau singgahi untuk selamanya,
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.

[Pelabuhan, Tias Tatanka]

Gola Gong (dan aku berkeras menulis ejaannya seperti aku pertama kali mengenalnya dulu) adalah sosok yang sangat menginspirasi. Aku bisa berkata bahwa tulisan-tulisan dan bukunyalah pernah membalikkan hidupku. Aku ingat bertahun-tahun yang lalu ketika aku masih menjadi remaja yang tenggelam dalam rutinitas belajar, suka membaca buku-buku populer, tiba-tiba diperkenalkan pada sosok Roy, karakter ciptaannya yang menjelajah bumi Indonesia, bertualang ke Asia Tenggara hingga India. Sesosok remaja ganteng yang menjadi idolaku, membuatku jatuh cinta dan terpaku untuk mengikuti ke mana arah perjalanannya.

Roy dan Gola Gong mengubahku dari gadis remaja biasa yang rajin belajar, menjadi dewasa oleh perjalanan. Seseorang yang berkacamata tebal dan kutu buku menjadi berani berkenalan dengan orang baru, mencoba hal-hal di luar hal biasa dan menentukan sikap. Berani mengambil keputusan untuk jauh, berani menerima tantangan. Berani untuk naik gunung, menjelajah, belajar ke alam, berpendapat dan bersuara. Bertahan karena merasa benar. Roy membuatku kembali menulis tentang hari-hari, bercerita kisah-kisah yang aku lalui dan tidak membuatku meninggalkan buku-bukuku.

Sampai bertahun-tahun lamanya aku hanya bisa mengagumi sosok Gola Gong dari jauh, membacanya dari berita-berita, mengetahui bahwa sesudah serial Balada si Roy tamat, ia melabuhkan dirinya masih di dunia tulis menulis, dan punya satu bangunan untuk mendukung literasi yang dibangun dengan penuh cintanya pada dunia sastra. Rumah Dunia namanya, berlokasi di kampung Ciloang, Serang, Banten, tak jauh dari gerbang tol Serang Timur.

Ketika suatu hari aku tahu bahwa Gola Gong sedang mengisi acara di World Book Day tahun 2010 dan tak jauh dari kantorku, aku berinisiatif menemuinya dan berkenalan sambil meminta tanda tangan untuk 10 jilid buku Balada si Roy koleksiku ketika masa remaja dulu. Di situ aku juga berkenalan dengan mbak Tias Tatanka, istri yang dinikahi dan memberinya 4 orang anak, dan pendukung utama dalam semua kegiatan literasi Gola Gong. Mereka mengundangku untuk datang ke acara peluncuran ulang buku Balada si Roy yang sudah dibundel menjadi satu buku, yang peluncurannya dilakukan di Rumah Dunia, tempat beliau menampung dan mengadakan kegiatan-kegiatan, tempat ruhnya untuk memajukan kecintaan pada dunia tulis menulis di Serang.

pertama bertemu gola gong di world book day 2010

pertama bertemu gola gong di world book day 2010

Cikal bakal Rumah Dunia berasal dari perpustakaan keluarga ayah Gola Gong yang pensiunan guru SPG yang memiliki banyak koleksi buku, majalah, dan banyak bahan bacaan lainnya. Tahun 1990-an, sambil tetap menulis serial yang melambungkan namanya, ia membuka perpustakaan keluarganya untuk umum. Bulan Maret 2002, ia mendirikan Pustakaloka Rumah Dunia yang dibangun awalnya di belakang rumah tinggal yang didiaminya bersama istrinya. Mas Gong dan Mbak Tias (begitulah kemudian aku akrab memanggil mereka) sedikit demi sedikit membeli tanah di sekitarnya untuk perluasan markas literasi mereka.

Bangunan pertama yang dibangun adalah pendopo, tempat mereka berkegiatan, berkumpul, dengan satu bangunan perpustakaan di sampingnya tempat para relawan Rumah Dunia tinggal. Bersama relawan-relawan yang berasal dari sekitar Banten inilah Rumah Dunia mulai memiliki kegiatan yang lebih terarah seperti wisata baca dan dongeng, wisata gambar, wisata tulis, juga wisata lakon. Kesibukan ini mulai menarik perhatian anak-anak kecil dan remaja yang berada di sekitar Rumah Dunia. Setiap sore mereka bermain ke sini untuk membaca sambil mendapat berbagai pengetahuan tambahan. Ruang literasi ini adalah impian kawan-kawan sesama pencinta literasi, Gola Gong, Toto ST Radik, dan Rys Revolta (almarhum).

perpustakaan remaja dan dewasa

perpustakaan remaja dan dewasa

pendopo

pendopo

Tahun 2008 sedikit demi sedikit Gola Gong membebaskan tanah hingga sebesar 3000 m2 dengan uang honorariumnya yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Tahap pertama perluasan Rumah Dunia dengan membangun satu panggung beserta backstage-nya di kiri dan di kanan. Dilengkapi juga dengan fasilitas mushola, kamar mandi, dan bangunan panjang yang dilengkapi komputer untuk para relawan mengasah ketajamannya menulis. Di sini juga terdapat buku anak-anak di ruangan tersendiri. Halaman luas yang terletak di tengah-tengah menjadi tempat berkumpul.

Mei 2010

Aku pertama kali datang ke sini tahun 2010, ketika si Roy hadir kembali. Mas Gong menerbitkan ulang Balada si Roy dalam bentuk bundel 1 buku tebal. Acaranya sendiri suasananya semarak sekali. Kegiatan dipusatkan di panggung tempat mementaskan puisi-puisi yang dibacakan oleh Toto ST Radik. Beberapa sahabat juga ikut di acara ini membacakan beberapa nukilan dari buku, juga testimoni tentang Balada si Roy. Saat itu, Rumah Dunia menjadi ruang yang guyub untuk kami semua, menjadi tempat pulang bagi pencinta-pencinta si Roy. Aku bertemu dengan idola-idola masa remajaku, juga berkenalan dengan sahabat-sahabat baru dengan nafas gerak yang sama, aroma petualangan! Di sini aku berkenalan dengan banyak orang yang memacak dirinya ala Roy, seperti Daniel Mahendra dan Koelit Ketjil, dan penyair idolaku Toto ST Radik yang sajak-sajaknya banyak menghiasi cerita Balada si Roy. Lucunya, sesudah acara berlangsung kami malah akrab karena komen-komen usil dan lucu di jejaring Facebook.

Toto ST Radik membacakan puisinya

Toto ST Radik membacakan puisinya

mas Gong, pendiri Rumah Dunia

mas Gong, pendiri Rumah Dunia

Dai Bonjer, aku, Daniel Mahendra, dan Koelit Ketjil di peluncuran bundel BSR

Dai Bonjer, aku, Daniel Mahendra, dan Koelit Ketjil di peluncuran bundel BSR

di depan gerbang rumah dunia, yang tertutup spanduk

di depan gerbang rumah dunia, yang tertutup spanduk

Oktober 2012

Kali kedua aku ke situ lebih dari setahun berikutnya Oktober 2012. Mbak Tias pernah berpesan, ke sininya kalau ada acara, atau bikin acara sekalian. Aku paham maksudnya, supaya yang datang ke Rumah Dunia merasakan adanya kegiatan yang hidup di sini. Jadi ketika aku datang bersama Dewi Venus, eh, kakak Nungki Prameswari yang berprofesi sebagai dokter gigi, kami mengadakan acara periksa gigi gratis untuk anak-anak di sekitar kampung Ciloang. Sebelum acara dimulai mbak Tias mengajak kami untuk gonjlengan, yaitu makan beramai-ramai pada hamparan daun pisang berderet dan saling berbagi lauk dan nasi. Seru sekali! Aku, kak Nungki, Devi R. Ayu, mbak Tias dan beberapa relawan Rumah Dunia menghabiskan makanan dengan gaduh. Sayangnya mas Gong sedang berada di luar kota ketika itu.

Gonjlengan diadakan di bangunan panggung, yang terbuat dari bahan-bahan yang alami saja, berdinding bata polos tanpa finishing, juga batang-batang bambu di bagian belakang. Udara Serang yang panas membuat ruang yang dibuat tinggi tanpa langit-langit ini mengalirkan udara dengan lancar. Material yang dipakai mengisyaratkan kesederhanaan dan membuat orang tidak segan untuk mendekat. Rumah Dunia memang berkonsep lebih dekat dengan alam dan masyarakatnya.

Ketika kak Nungki berpraktek, aku dan Devi mengadakan permainan bersama anak-anak di luar. Kegiatan periksa gigi dilakukan di bagian Rumah Dunia bagian luar, satu bangunan berdinding bata beratap atap rumbia dengan teras lebar, yang sehari-hari difungsikan sebagai perpustakaan anak. Tak ada langit-langit di sini karena langsung pada kuda-kuda atap, sehingga di dalamnya tidak terasa pengap. Rak-rak buku anak berderet-deret di depan karpet, sehingga anak leluasa membaca di lantai. Khas pada bagian depannya ada foyer menjorok yang juga beratap rumbia. Ini adalah spot foto paling menarik. Menurut salah satu relawan, biasanya perpustakaan ini ramai siang sampai sore hari, ketika anak-anak sekitar sudah pulang sekolah dan menghabiskan waktu luangnya di sini.

gonjlengan! ayo makan beramai-ramai!

gonjlengan! ayo makan beramai-ramai!

engineer, arsitek, dan dokter gigi, cute!

engineer, arsitek, dan dokter gigi, cute!

pemeriksaan gigi oleh kak drg nungki

pemeriksaan gigi oleh kak drg nungki

menunggu giliran sambil membuat ketrampilan

menunggu giliran sambil membuat ketrampilan

berpose lagi di lokasi wajib, gerbang rumah dunia, bareng koelit ketjil dan IKK, devi dan kak nungki

berpose lagi di lokasi wajib, gerbang rumah dunia, bareng koelit ketjil dan IKK, devi dan kak nungki

tim relawan yang membantu acara periksa gigi

tim relawan yang membantu acara periksa gigi

anak-anak bermain di sekitar perpustakaan

anak-anak bermain di sekitar perpustakaan

Maret 2013

Tak cuma bagian bangunannya saja yang asyik. Di depan perpustakaan anak terdapat saung-saung untuk mengobrol. Di situlah kami berkumpul bersama untuk membicarakan rencana acara 25 tahun Balada si Roy ketika berkunjung di bulan Maret tahun 2013, tepat ketika ulang tahun Rumah Dunia. Bersama beberapa sahabat yang dikenal lewat facebook Sahabat Balada si Roy, kami bercengkrama ringan seharian. Semua lelaki yang mengaku menjadi titisan Roy ini saling berbagi cerita petualangannya. Denie Kristyono dari Blitar, Koelit Ketjil dari Serang, Aldi Perdana dan John dari Bandung, Zico Ashari Siregar dari tanah Deli, dan aku dari mana-mana asyik bercerita saling ledek dan tawa. Kisah-kisah fiksi yang menyatukan kami membangun nostalgia, apalagi kalau bukan Ani, si Dewi Venus khayalan.

Menariknya, sesudah seharian mengobrol, sorenya kami diajak oleh mas Gong untuk berkeliling-keliling kota Serang. Di sana ia bercerita tentang beberapa bagian kota yang menjadi latar cerita Balada si Roy. Kami ditunjukkan alun-alun Serang, tempat Roy bertemu Ongki lari pagi, juga Yumaga Corner markas mojoknya Roy bareng sahabat-sahabatnya kebut-kebutan motor. Mas Gong juga menunjukkan sisi bagian Serang di mana ia tinggal dulu, yang tentu mengingatkan kami pada Dullah dan Borsalino-nya, tokoh antagonis di fiksi itu. Dan satu pertanyaan terlontar dariku, “Di mana Jesse bermain basket, mas Gong?” Jesse, si tomboy favoritku di serial itu.

koelit ketjil (lagi), aldi, john, denie, zico, dan aku (fotonya denie)

koelit ketjil (lagi), aldi, john, denie, zico, dan aku
(fotonya denie)

ini geng mengakunya titisan Roy (fotonya denie)

ini geng mengakunya titisan Roy (fotonya denie)

john, zico, aldi, aip, geng musikusnya BSR

john, zico, aldi, aip, geng musikusnya BSR

Agustus 2013

Beberapa bulan ketika aku ke sana lagi bersama kak Imelda Coutrier yang sedang mudik dari Jepang, halaman depan perpustakaan anak Rumah Dunia sudah berubah menjadi teater terbuka. Ada perkerasan bangku-bangku dari batu kali berbentuk melingkar, dengan panggung batu juga untuk tempat anak-anak ini mementaskan lelakon sore harinya. Ruang bentukannya menjadi lebih rapi dan hidup. Bentuk lingkaran yang dipilih selain karena lebih dinamis juga bisa memusatkan perhatian ke satu titik, bisa ke panggung depannya, atau ke pusatnya di bagian tengah.

Karena waktu itu bulan puasa, kami mengadakan acara menggambar bersama di teras perpustakaan dan berdiskusi dengan anak-anak di teater terbuka itu. Mereka cukup kritis dan dinamis bertanya-tanya kepada kak Imelda, juga Kang Bagja yang mudik juga dari Abu Dhabi. Anak-anak inilah sumber tenaga untuk Rumah Dunia karena kegiatan-kegiatan yang mereka rutin datang sehingga ruang-ruangnya bisa berfungsi dengan baik. Selain itu, banyak berkumpul di sini juga peserta dari Kelas Menulis Rumah Dunia dari berbagai angkatan. Mereka juga menjadi darah dari terciptanya kegiatan-kegiatan literasi di sini.

teater terbuka di depan perpustakaan rumah dunia

teater terbuka di depan perpustakaan rumah dunia

interaksi dengan anak-anak di teater terbuka

interaksi dengan anak-anak di teater terbuka

anak-anak gegoleran di dalam perpustakaan

anak-anak gegoleran di dalam perpustakaan

anak-anak ciloang ini kompak, ya.

anak-anak ciloang ini kompak, ya.

bareng mas gong, kak imelda di sebelahku, selalu antusias ke rumah dunia (foto kak imelda)

bareng mas gong, kak imelda di sebelahku, selalu antusias ke rumah dunia (foto kak imelda)

bareng relawan yang juga membantu acara nyenyore ramadhan (foto kak imelda)

bareng relawan dan KMRD yang juga membantu acara nyenyore ramadhan (foto kak imelda)

Juni 2014

Karena aku (akhirnya) menulis buku mengikuti jejak mas Gong, kami mengadakan acara diskusi di Auditorium Surosowan yang sudah jadi. Bangunan yang didirikan dari dana hibah salah satu Kementrian ini hanya dipergunakan untuk acara-acara yang edukatif. “Auditorium tidak disewakan untuk acara pernikahan dan sejenisnya,” jelas mas Gong. Saat itu sudah setahun berlalu sejak aku berkunjung, dan kembali berada di sini, namun untuk mempromosikan buku antologiku yang baru, Rumah adalah di Mana Pun.

Aku ditemani editor kami, mas Adinto Fajar dari Grasindo dan dua orang pembahas yang juga pejalan, mas Chris Moris dan Pradikta Dwi Anthony. Saat itu pertama kali aku melihat isi ruangan auditorium yang bagus sekali. Di panggung berlatar gambar rak-rak buku dengan ditemani lampu-lampu yang menyorot ke panggung. Di ujung-ujung terdapat sculpture kuda kayu yang berdiri di atas tegel keramik warna gelap. Enam deret bangku-bangku empuk yang disusun bertingkat mengingatkan pada pola teatrikal. Tidak akan ada pandangan yang terhalangi di sini. Di bagian atas terdapat balkon tempat mengatur hal-hal teknis panggung. Peserta Kelas Menulis Rumah Dunia memenuhi tempat-tempat duduk yang tersedia. Sesi diskusi dan tanya jawab pun berlangsung interaktif.

Di depan auditorium terdapan perkerasan tanah yang katanya biasa dibuat untuk main bola sementara ada lapangan bulutangkis di bagian belakang. Saung-saung di bagian samping biasa dijadikan tempat main anak-anak sekitar Kampung Ciloang. Mereka akan senantiasa melihat kami dengan pandangan ingin tahu, tapi kemudian tersipu-sipu malu ketika dihampiri. Kak Olyvia dan kak Felicia, teman-teman Travel Blogger Indonesia yang juga ikut denganku juga senang melihat suasana di Rumah Dunia sejak sore hingga menjelang malam.

auditorium surosowan rumah dunia

auditorium surosowan rumah dunia

anak-anak yang bercengkrama di saung depan

anak-anak yang bercengkrama di saung depan

kursi berjenjang atas yang nyaman

kursi berjenjang atas yang nyaman

sculpture kuda di sudut panggung

sculpture kuda di sudut panggung

musik pembuka dari kelas menulis rumah dunia

musik pembuka dari kelas menulis rumah dunia

diskusi tentang perjalanan di auditorium (foto : felicia)

diskusi tentang perjalanan di auditorium (foto : felicia)

Oktober 2014

Kali terakhir aku ke Rumah Dunia, bersama mas Sutiknyo yang dikenal juga sebagai Tekno Bolang, seorang travel blogger yang juga sangat terinspirasi oleh cerita-cerita yang dirangkai oleh mas Gong. Aku beruntung karena baru sekarang aku berkunjung ke rumah dunia tanpa ada kegiatan keramaian di situ. Hari itu hari Selasa, hari dimana anak-anak pergi sekolah dan suasana di Rumah Dunia cukup lengang. Mbak Tias masih sibuk di dapur dan mas Gong hendak memulai rapat dengan para relawan ketika kami tiba di sana.

Mas Gong sebagai penasihat Rumah Dunia masih sangat memperhatikan perkembangan kegiatan yang diadakan. Beliau mengevaluasi kinerja relawan yang sedang mengadakan lomba menulis cerpen yang sedang dalam proses penjurian. Selama berdiskusi, mas Gong juga memberi contoh bagaimana menghadapi berbagai masalah ketika mengurusi Rumah Dunia dulu. Mbak Tias juga bolak-balik menemuinya untuk urusan-urusan administrasi.

Ketika mas Bolang yang juga hobi membuat video ini bercerita tentang kisah-kisahnya melanglang negeri sendiri karena terinspirasi oleh kisah-kisah di Balada si Roy, mas Gong menyimaknya dengan seksama. Mbak Tias bergabung dengan kami ikut mendengarkan cerita-ceritanya, menonton video Kembara tentang perjalanan naik motor menyusur NTT selama 3 bulan, kemudian berpamitan pada kami karena harus ke bank untuk urusan Rumah Dunia juga. Mas Gong kembali bertukar cerita juga tentang perjalanannya dan juga berbagi ilmu menulis, juga memberinya saran-saran tentang menulis cerita perjalanan.

Mas Gong memperlihatkan Gong’s Library yang berisi kenangan dan buah tangannya berjalan ke berbagai tempat. Tulisan-tulisannya yang sudah dimuat di berbagai media massa diarsipkan, koleksi buku-buku Karl May yang menginspirasi beliau, cetakan lama Balada si Roy, majalah Hai yang memuat serialnya, foto-foto di berbagai tempat, ransel, sepeda, poster 25 tahun Balada si Roy. “Blue Ranselnya sudah saya lelang waktu Tsunami Aceh,” kata Mas Gong.

Bangunan memorabilia ini separuh berdinding tembok separuh lagi bambu yang mengingatkan pada bahan bangunan kekayaan negeri. Isi di dalamnya, jejak perjalanan, kenangan yang begitu berharga, yang menjadi awal modal cita-cita untuk membangun, membebaskan dari buta literasi di daerahnya yang hanya dua jam jauhnya dari ibukota. Pengingat masa mudanya berada di banyak tempat, belajar untuk memahami orang lain dan diri sendiri. Pengalaman yang kemudian menjadi cerita, yang menjadi modal berdirinya Rumah Dunia.

panggung

panggung

bangunan anak

sekretariat Rumah Dunia

memorabilia perjalanan gola gong

memorabilia perjalanan gola gong

kenangan yang terus disimpan

kenangan yang terus disimpan

mengenang masa  bersepeda di asia tenggara

mengenang masa bersepeda di asia tenggara

mas bolang yang sedang bercerita pada mas gong

mas bolang yang sedang bercerita pada mas gong

inspired & inspiration

inspired & inspiration (foto : mas bolang)

Aku selalu menemui senyum ramah relawan yang menyambutku, “Halo, mbak Indri!” walau pun aku tak selalu ingat nama mereka. Bersama mbak Tias, keempat anaknya dan relawan-relawan yang membantunya, Rumah Dunia ini tumbuh perlahan-lahan. Berbagai usaha internal dikerjakan untuk tetap berjalannya kegiatan-kegiatan di sini menjalankan fungsinya dengan maksimal. Tanpa rasa cinta yang sedemikian besar, tanpa mimpi yang sedemikian tinggi, Rumah Dunia hanya menjadi angan-angan. “Rumahku Rumah Dunia, Kubangun dengan Kata-kata.”

Balada si Roy tidak pernah selesai. Kehidupan Gola Gong memberikan contoh masih banyak hal yang dilakukan sesudah perjalanan. Bukan hanya menuliskan dan menerbitkan, namun bagaimana melanjutkan memberi makna dan membangun cita-cita yang tertanam, mewujudkan tidak dengan langkah mudah. Semua berawal dari kata-kata, huruf demi huruf, ketikan dari lima jarinya.

Joe. Avonturir. Rendez-vous. Bad Days. Blue Ransel. Solidarnosc. Telegram. Kapal. Traveler. Epilog.

Lewat perjalanan, aku berusaha untuk menaklukan diri saya sendiri. Karena dalam dirilah berjuta ambisi dan impian terdapat, dan keputusan dirilah yang menentukan, akan terus dikejar, atau dilepaskan karena ada kepentingan yang lain. Bagaimana menerima keputusan-keputusan yang pernah diambil tanpa merasa menyesal. Semua perjalanan adalah pembuktian diri. Ujian bagi diri apakah akan sanggup melaluinya atau terdampar di tengah jalan. Seperti yang dilalui Roy. Suatu saat akan sampai pada puncaknya namun juga harus pulang. Kembali dan memulai tantangan lainnya lagi.

Gola Gong dan Tias Tatanka berlabuh, dan masih terus berjalan hingga kini, untuk Rumah Dunia.

masih tentang perjalanan! sebab sebelum
sampai pada langkah yang penghabisan ia
terus melagu pada batinku dan aku tak bisa
mengelakkannya

maka biarlah aku kembali berlari meski beribu
keentahan di depanku
: jalan ini memang tak pernah selesai, tak
selesai-selesai!

Toto ST. Radik (BSR8: Kapal, eps. Tolong)

Pulomas-Manggarai-Depok, 02 Juni 2015. 16:33. Jesse.


solo traveling at cirebon : bersendiri di kota udang

$
0
0

cover

Menurut aku, salah satu kota yang asyik untuk solo traveling itu adalah Cirebon. Kenapa demikian? Pertama karena aku lahir di sana, namun tidak pernah tinggal di situ sehingga setiap tahun selalu mampir untuk berkunjung pada kerabat. Masalahnya, dari seluruh sepupu-sepupu yang sebaya itu, tak satu pun yang tertarik untuk mengamati peninggalan budaya yang tersebar di berbagai kota seperti aku. Kalau makan, kami tetap pergi beramai-ramai. Jadilah aku yang suka membaca buku sejarah ini berkeliling Cirebon tanpa ditemani pemandu. Solo traveling, kenapa kamu tidak?

Cirebon berada di propinsi Jawa Barat, tepatnya di pesisir pantai utara Jawa yang tak jauh dari perbatasan ke Jawa Tengah. Lokasinya yang sedikit bimbang ini membuat dialek bahasanya cukup berbeda dari bahasa Sunda pada umumnya di propinsi Jawa Barat. Bahasa Cirebon agak bercampur dengan bahasa Jawa, dan cengkok pengucapannya pun agak berbeda. Seperti karakteristik bahasa untuk kota-kota di tepi pantai, pengucapannya tidak halus, cenderung cepat dan keras.

Dengan posisi geografisnya, Cirebon di masa lalu sering dirapati oleh pendatang dari berbagai bangsa, seperti Melayu, Tionghoa, dan Arab. Bertempat juga di jalur pos utara Jawa, menjadi titik perpindahan suku Sunda dan Jawa. Akulturasi dari pertemuan ini membentuk budaya yang kaya baik dari makanan, pakaian, atau bangunan dan masih bisa dinikmati hingga hari ini.

Nama Cirebon berasal dari mata pencaharian penduduknya yang mayoritas bertani udang. Kata ‘rebon’ yang berarti udang dan ‘ci’ yang berarti air berasal dari kegiatan membuat petis dan terasi yang menyisakan air bekas pengolahan yang disebut cai-rebon. Lama kelamaan tempat ini terkenal dengan nama Cirebon.

Cirebon tidak terlalu besar, dan bisa dikelilingi dalam satu trip singkat di akhir pekan. Mudah dicapai oleh kereta api, karena berada di jalur kereta jalur utara. Dari Jakarta ditempuh sekitar 3 jam dengan kereta bisnis atau eksekutif, dan beberapa menit lebih lambat dengan kereta ekonomi. Dari sisi timur, silakan lihat jadwal masing-masing dari kotanya. Yang jelas, semua kereta baik jalur utara maupun jalur tengah berhenti di Cirebon termasuk semua kereta api eksekutif. Kalau kereta eksekutif/bisnis berhenti di stasiun Cirebon, sementara kereta ekonomi berhenti di stasiun Cirebon Prujakan. Kedua stasiun ini ada di tengah kota, sehingga tidak perlu takut kalau kejauhan dan harus naik transportasi umum. Tapi buatku, aku lebih suka naik bisnis karena stasiunnya keren!

Banyak cara untuk solo traveling alias bersendiri di sini, beberapa jarak tempat wisata di Cirebon bisa ditempuh dengan jalan kaki, lebih jauh sedikit bisa naik becak, agak jauh atau ingin keliling kota bisa naik angkot. Jumlah harinya bebas, bisa ditentukan sendiri, mau satu hari, dua hari, tiga hari atau seminggu sekalipun. Namanya juga solo traveling, nggak mengikuti apa kata teman jalanmu (tapi mengikuti ijin yang diberikan form cuti).

JALAN KAKI

Beberapa area di Cirebon cukup nyaman dilalui sambil jalan kaki. Memang, menyusuri bagian kota paling menyenangkan sambil menyeret langkah, menikmati dalam lambat, apalagi jika tak ada teman bicara kecuali kamera kesayanganmu. Sambil tersenyum menampik tawaran kiri kanan untuk naik becak, jalan santai selalu bisa menemukan hal-hal menarik.

Stasiun, Alun-alun, Mesjid Agung
Baru sampai Cirebon saja, sudah bisa melihat peninggalan kolonial Belanda di tahun 1911 ini. Stasiun Cirebon ini sangat fotogenik difoto dari segala sisi. Sisi bagian luarnya, bagian lobby yang tinggi dan kiri kanannya, menyajikan komposisi simetris. Ingatkah bahwa hampir semua bangunan kolonial memakai pola simetris seperti ini? Tak jauh dari stasiun, ada lokomotif tua yang dipajang. Sebenarnya di beberapa kota lain juga ada lokomotif seperti itu, tapi sambil lewat sendiri dan menawarkan jasa memotretkan pada satu orang keluarga yang sedang asyik bergaya sama-sama? Boleh juga. Do the positive thing while you were walking alone is make yourself happy.

stasiun cirebon yang fotogenic

stasiun cirebon yang fotogenic

 

lokomotif hitam sebagai simbol

lokomotif hitam sebagai simbol

Berjalan kaki terus sampai alun-alun, akan melewati Balaikota Cirebon yang juga dibangun sejak zaman kolonial. Bangunan putih agak bulat ini tutup di hari Minggu, tapi masih bisa diintip-intip lewat pagarnya. Sembari berjalan kaki sepanjang jalan Siliwangi di mana poros stasiun hingga alun-alun berada, nuansa jalannya sangat khas sekali. Aneka gapura yang terbuat dari bata merah menghiasi setiap pintu masuk kantor, hotel, atau unit niaga di jalan itu. Ketika mengambil gambar dengan elemen-elemen khas ini, muncul satu bahasa identitas, ini Cirebon.

balai kota cirebon sejak masa hindia belanda

balai kota cirebon sejak masa hindia belanda

Sebenarnya alun-alun tidak terlalu menarik, tapi masjid At Taqwa yang berada di seberangnya ini sangat patut dikunjungi. Meskipun menaranya sudah tidak bisa dinaiki lagi, masjid yang dipugar pada tahun 2010 ini bisa dilapisi oleh marmer-marmer merah, dan berada di dalamnya di tengah siang hari bolong sangat menyejukkan. Langit-langit yang tinggi dan udara yang mengalir dengan baik menjadi kunci kenyamanan di sini. Jika bertepatan waktu adzan sebaiknya ikut sholat berjamaah, jangan mentang-mentang sedang solo traveling lalu sholat sendirian.

masjid at-taqwa cirebon

masjid at-taqwa cirebon

BECAK

Kendaraan beroda tiga ini cukup mudah ditemukan di kota Cirebon. Hampir di tiap sudut ada becak dengan jumlah yang cukup, tidak terlalu banyak. Mungkin ada yang pernah wisata becak di Jogja? Nah, sebenarnya kota Cirebon punya banyak kemiripan dengan Daerah Istimewa itu, karena di Cirebon pun ada situs budaya yaitu tiga keraton yang bisa dikunjungi dengan keunikannya masing-masing. Seandainya saja ada becak-becak yang dilabeli sebagai becak wisata dan jalur-jalur wisatanya yang jelas, pasti bisa jadi satu sarana transportasi wisata juga.

Jika tidak tahu berapa tarif becak untuk berkeliling, bisa tanya pada pak polisi yang berjaga di sudut-sudut jalan. Kalau tarifnya ditawar oleh pak polisi biasanya jadi lebih murah (apalagi dibanding tarif transportasi di Jakarta) tapi kalau jauh dan nggak tega dengan tukang becaknya bisa memberi lebih. Jalanan di kota Cirebon relatif datar, sehingga gelindingan roda pun mengalir mulus, kecuali mungkin di beberapa tempat yang kondisi jalannya berbatu-batu.

Naik becak juga bisa bebas ke mana disuka, namanya juga solo traveling, nggak perlu ikuti kata teman, cukup ikuti kata hati. Sepanjang jalan bisa mengobrol sama tukang becaknya, menanyakan macam-macam hal, tentang musim ramai turis, tentang tempat membeli oleh-oleh, tentang jalan yang lebih sepi atau lancar, tentang apa yang menarik di kota ini. Biasanya mereka senang menjawabnya sambil mengayuh santai. Mungkin kasihan melihat yang jalan-jalan sendiri nggak ada teman. Jika mau naik becak ke keraton, harus dijelaskan pada tukang becak mau ke keraton yang mana, karena ada tiga keraton di Cirebon, tak hanya cuma bilang, “Keraton, Mang!” dan akan tiba di keraton yang dituju.

KERATON KASEPUHAN
Merupakan keraton tertua di Cirebon yang sebaiknya dikunjungi terlebih dahulu karena areanya paling besar. Kompleks keraton ini menghadap alun-alun yang selalu ramai di bulan Maulud dengan aneka permainan dan jualan pasar malam. Rasanya sewaktu kecil aku sering ke pasar ini untuk membeli mainan. Di satu sisi alun-alun ini juga terdapat Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ramai didatangi juga oleh orang-orang yang berziarah, terkadang satu rombongan santri akan masuk beramai-ramai pada waktu masuk sholat. Di area sholat laki-laki, bisa masuk bagian tengah untuk melihat bagian masjid yang berpintu 9, kabarnya melambangkan Wali Songo sebagai penyebar agama Islam. Jika solo traveling sebagai perempuan, nggak usah nekat masuk. Cukup di bagian wanita saja di sisi kiri luar, tapi bisa mengintip ke dalam.

Pada bagian depan Keraton Kasepuhan terdapat Siti Hinggil dengan nuansa warna bata terakota. Di zaman dahulu, area Siti hinggil yang berarti tanah yang tinggi ini adalah tempat raja dan keluarganya bertemu dengan rakyatnya yang berkumpul di alun-alun. Warna terakota inilah yang menjadi warna dominan kota Cirebon yang bangunan-bangunannya bergapura dengan warna yang sama.

Untuk masuk ke bagian dalam keraton, harus mempergunakan jasa pemandu yang akan memperlihatkan bagian-bagian yang diizinkan atau dilarang untuk turis. Pemandu juga akan menjelaskan bagian-bagian keraton yang masih cukup terawat dengan rapi ini. Nggak enaknya solo traveling, jasa pemandu ini harus ditanggung sendiri, sementara kalau beramai-ramai kan bisa patungan. Tapi kalau bertemu satu rombongan yang kebetulan kita bisa berbasa-basi ikut bergabung, enak juga.

siti hinggil keraton kasepuhan

siti hinggil keraton kasepuhan

 

di dalam dominan warna putih

di dalam dominan warna putih

 

gerbang masjid agung cipta rasa dominan warna merah

gerbang masjid agung cipta rasa dominan warna merah

KERATON KANOMAN
Sesuai dengan namanya, Keraton Kanoman ini berarti ‘Muda’ atau ‘Anom’. Letaknya tidak terlalu jauh dari Keraton Kasepuhan, hanya satu kilometer saja, dan masih terjangkau sambil naik becak. Di sinilah tukang becak benar-benar berfungsi sebagai pemandu, karena Keraton ini letaknya di belakang pasar! Jika sendirian dan tidak rajin bertanya kanan kiri, niscaya akan terlewatkan.

Dari jalan masuk pasar Kanoman terus bertemu dengan kompleks bangunan dengan pohon beringin di depannya. Seperti di Kasepuhan, bagian depan dari Keraton Kanoman ini juga ada Siti Hinggil-nya, bedanya warnanya didominasi oleh warna putih putih bersih dengan hiasan piring-piring cantik berwarna putih biru menempel di sampingnya. Namun karena berpagar dan digembok, tidak bisa masuk ke dalam area ini.

Area keratonnya sendiri berada di balik tembok tinggi dan tebal yang juga berwarna putih. Tidak ada pemandu resmi di sini, malah banyak anak-anak kecil yang bermain-main di bawah pohon-pohon di halaman. Jika dilihat-lihat, sepertinya mereka anggota keluarga keraton yang masih bertinggal di situ. Jika beruntung, bisa bertemu dengan salah satu penjaga/abdi dalem keraton yang mengizinkan untuk melihat bagian-bagian tertentu di dalam. Keraton ini didominasi oleh warna biru langit pada tiangnya, dan kuning di lantainya.

siti hinggil yang berwarna putih

siti hinggil yang berwarna putih

 

pelataran sebelum masuk dalam keraton

pelataran sebelum masuk dalam keraton

 

tiang-tiang biru keraton kanoman

tiang-tiang biru keraton kanoman

KERATON KACIREBONAN
Lokasinya paling mudah dicapai, di tepi jalan raya Pulasaren. Namun ukuran keraton ini dibandingkan dengan yang dua tadi lebih kecil, dan lebih rapi manajemennya. Begitu masuk langsung disambut oleh pemandu yang duduk di salah satu dari dua pendopo, dan diantar berkeliling-keliling sambil menjelaskan mulai dari sejarah, ruangan per ruangan, peninggalan masa lampau, sampai kain-kain batik yang ada di ruang pamer. Suasana di sini cukup nyaman untuk duduk-duduk di pendopo yang didominasi warna hijau.

Yang membuatku tertarik ke sini adalah membaca nama-nama di silsilah sampai menemukan nama keluarga mbah dari ibuku, yang dulu memang sering berkunjung ke mari. Entah ada di keturunan yang mana, tapi yang jelas tak ada satu pun dari kerabatku yang berkunjung ke keraton ini lagi. Dasar aku penasaran, sendirian pun jadi.

bagian dalam keraton kacirebonan

bagian dalam keraton kacirebonan

 

ruang raja menerima tamu di keraton kacirebonan

ruang raja menerima tamu di keraton kacirebonan

ANGKOT (ANGKUTAN KOTA)

Kendaraan umum yang bertebaran dengan warna biru langit di sekitar Cirebon ini menjadi salah satu alternatif jika berkeliling sendirian di kota Cirebon. Kenapa tidak naik motor? Panas! Tahu nggak, Cirebon itu mataharinya ada dua! Kalau tidak percaya coba tanya pada yang pernah ke sana. Teriknya mulai jam delapan pagi hingga jam lima sore. Naik taksi selain agak jarang ditemukan, cukup mahal kalau mesti bayar sendirian. Solo traveling bukan berarti boros, ya.

Apa plus minusnya naik angkot? Kelebihannya, dengan ongkos murah bisa keliling-keliling kota Cirebon, melihat sisi-sisi tepi kota. Ini karena untuk mencapai satu tujuan di sisi lain kota, angkot akan berputar melintasi jalur yang agak jauh. Misalnya saja angkot dari Jalan Kartini (dekat alun-alun) ke terminal Harjamukti, bernomor 06, alih-alih langsung belok kiri melalui depan Grage Mal, angkot ini akan belok kanan melewati sisi Cirebon bagian utara, terus ke barat melewati Pilang, menuju arah Plered, berputar di Kedaung, lalu balik lagi ke arah kota, dan ketemu lagi dengan Grage Mal (menghela napas) baru melewati jalan Cipto Mangunkusumo terus sampai jalan bypass yang menuju terminal, kira-kira 20 menit kemudian.

Atau jalur kembalinya, dari terminal ke jalan Gunungsari (fyi, Grage Mal itu letaknya di Gunungsari), angkot bernomor GG, bukan lewat jalan seperti yang dilewati tadi, tapi memutari kota bagian selatan, lewat beberapa pasar mulai pasar tradisional, pasar makanan, hingga pasar burung, keramaian, jalan-jalan yang tidak terlalu besar. Sepanjang jalan bisa ditemui aktivitas sehari-hari penduduk Cirebon. Jadi, kalau mau mencoba keliling Cirebon, naik angkot saja. Lebih baik lagi kalau duduk di samping pak supir yang sedang bekerja, jadi bisa melihat-lihat bangunan penanda dengan baik, atau lansekap kota yang relatif datar.

TAMAN GOA SUNYARAGI
Tempat yang berada tak jauh dari terminal Harjamukti ini membuatku kagum dengan keindahan arsitektur batunya. Bentukan-bentukan istana dan ruang-ruangnya sangat jelas terbaca di sini. Taman ini tidak terlalu luas dan tidak terlalu ramai, dan syukurlah masih sangat terawat hingga kini. Yang asyik, bisa bermain-main keluar masuk ruang-ruang bebatuannya ini sambil membayangkan ala putri-putri raja masa lalu yang berdoa di sini.

Patung batu berbentuk gajah dan relief dinding dari batu memamerkan kekayaan seni Cirebon di masa lalu. Dari mana batu-batu karang itu berasal? Kalau melihat dari jenis sedimennya, sepertinya ini batu-batu laut. Di keraton-keraton yang kukunjungi juga selalu menemukan relief-relief dari batu seperti ini. Kelihatannya kerajaan Cirebon di masa lalu punya hubungan tertentu dengan penguasa laut.

area istana batu sunyaragi

area istana batu sunyaragi

 

ada yang melihat gajah di sini?

ada yang melihat gajah di sini?

 

ruang-ruang di dalam batu

ruang-ruang di dalam batu

BATIK TRUSMI
Naik angkot tujuan Plered, bisa tiba di ujung jalan yang menuju sentra batik Trusmi, khas Cirebon. Seperti banyak warna batik pesisiran, batik Cirebon ini berkelir cerah. Jika tidak menahan diri, pasti isi tas bertambah dengan aneka kain batik di sini.

Agak lebih jauh lagi ke arah Indramayu, ada juga sentra pasar kain yang bernama Tegalgubuk. Aku mendengar nama ini karena mama dan beberapa teman masa mudanya sering berbelanja ke sana (tanpa mengajakku). Bisa juga dicoba ke sana untuk yang solo traveling, mumpung tidak ada yang akan melarang belanja banyak-banyak. Belanja-belanja sendiri, angkut-angkut sendiri. Kebanyakan tentengan? Tinggal ke kantor pos terdekat dan paketkan ke rumah. Beres!

Kenapa kantor pos bukan ekspedisi lain? Simpel, karena dulu mbahku bekerja di kantor pos.

motif-motif batik (sumber : www.indonesia.travel

motif-motif batik (sumber : www.indonesia.travel)

Selain dua tempat tadi yang bisa dijangkau dengan angkot, masih banyak tempat di Cirebon yang bisa dijangkau sendirian. Wisata religi bisa ke makam Sunan Gunungjati  bahkan ke Kuningan juga bisa naik kendaraan umum berupa elf dari Terminal Harjamukti. Di Kuningan bisa ke gedung perjanjian Linggarjati, atau pemandian Cibulan sambil berenang dengan ikan kancra bodas, atau berendam-rendam air hangat di Sangkanhurip. Angkutan umum juga mudah ditemukan dan menunjukkan jalan dengan mudah.

pemandian di cibulan, berenang bersama ikan

pemandian di cibulan, berenang bersama ikan

PENGINAPAN

Pasti dengan solo traveling membuat berpikir tentang bujet penginapan yang tak bisa dibagi berdua, bertiga, atau berlima. Kalau aku sih bisa menumpang di kerabat, kalau tidak? Daripada menunggu promo hotel, lebih baik mengintip-intip websitenya travelio.com. Harganya bisa ditawar lho, cukup hemat kan? Apalagi kalau mengikuti singa lucu ini di medsos seperti twitter, facebook, instagram, bisa-bisa beruntung mendapatkan voucher jika si Lio mengadakan kuis. Mau yang pasti-pasti saja? Jika kamu booking lewat travelio.com dan sampai pada cara pembayaran, masukkan kode akun ini : INDR0050 (karena aku pernah pesan lewat Travelio sebelumnya) maka bisa langsung mendapat 200 poin atau setara Rp.50.000 yang bisa disimpan di akun Travelio-mu. Lumayan tuh, bisa dapat tahu gejrot sepuluh porsi!

Banyak penginapan di Cirebon yang bisa dipilih lewat website ini. Satu yang masuk kategori best seller di travelio.com adalah Batiqa Hotel. Lokasinya cukup strategis di Jalan Cipto Mangunkusumo, tidak terlalu jauh dari pusat kota. Jika dari stasiun Cirebon berjalan kaki sampai alun-alun, naik angkot 06 tujuan terminal Harjamukti pasti akan melewati hotel ini.
Gampang kok, booking-nya. Masuk website travelio.com, masukkan nama kota dan tanggal menginap, dan pilih hotelnya. Aku yakin kalau berani solo traveling pasti sudah tidak gaptek dengan urusan booking hotel online begini, kan? Bisa dilihat di sini bahwa ada beberapa tempat menarik yang dekat bisa dikunjungi.

batiqa cirebon
hotel dekat tempat wisata cirebon

Untuk mendapatkan harga terbaik, masukkan angka yang sekiranya masuk akal, kira-kira 20% di bawah harga rata-rata, kalau perlu pakai angka ratusan. Lihat pricemeternya, kalau masih berada di warna kuning, berarti kemungkinan disetujui lebih besar. Kalau di warna merah biasanya lebih mungkin ditolak. Cerita lain ketika aku menggunakan travelio.com juga, bisa dibaca di sini.

menawar harga di travelio
 

KULINER

Dari zaman dulunya, kuliner di Cirebon selalu menjadi kegemaranku. Semua jalur-jalur di atas pasti melewati area kuliner yang bisa membuat naik berat badan 1-2 kg. Lumayan untuk yang sedang program penggemukan seperti aku. Empal gentong bisa ditemukan di sudut-sudut jalan, dan biasanya diikuti oleh tukang tahu gejrot yanag mendampingi sebagai snack ringan. Di pagi hari orang biasa sarapan nasi lengko atau docang.

Siang atau malam bisa makan sega jamblang, mie ayam, mi koclok, empal asem, dan aneka makanan ini bisa ditemukan berderet di depan Grage Mall. Kalau hari libur, seringkali lebih cepat habis karena diserbu oleh pemudik yang pulang kampung di Cirebon. Porsi-porsi makanan ini cukup untuk dimakan sendiri, jadi jangan khawatir kamu akan kekurangan makanan selama solo traveling.

Serba-serbi kuliner Cirebon yang membuat selalu lapar ketika pulang kampung ini bisa disimak bahasannya di cerita tentang perut yang manja.

mie koclok, nasi lengko, empal gentong, sega jamblang

mie koclok, nasi lengko, empal gentong, sega jamblang

OLEH-OLEH

Jangan ketinggalan, kalau ingin pulang membawa oleh-oleh, check out dari hotel ini kamu bisa naik angkot lewat Pasar Pagi, dan membeli aneka penganan seperti rengginang rasa jagung bakar, keju, atau udang, emping kletuk manis atau asin, kripik singkong encrod, krupuk udang mentah, terasi, petis, atau krupuk mlarat yang berwarna warni. Karena dibeli ketika hendak pulang, jadi tak merepotkan juga.

Dari depan pasar bisa naik becak selama 10-15 menit saja sampai stasiun Cirebon. Atau naik becak juga ke stasiun Prujakan sekitar 15-20 menit. Perhatikan jadwal di tiketmu, karena namanya juga solo traveling, nggak ada yang mengingatkan selama perjalanan. Pasang alarm kalau perlu, supaya tidak keasyikan belanja di tempat oleh-oleh.

peta wisata cirebon (sumber : www.wisatacrb.wordpress.com)

peta wisata cirebon
(sumber : www.wisatacrb.wordpress.com)

Gampang kan solo traveling di Cirebon? Tinggal bawa diri, bawa baju secukupnya, bawa ponsel untuk mengecek peta lokasi. Lalu bawa senyum manis untuk bertanya ramah pada pak polisi yang berkumis baplang. Cirebon punya potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi kota budaya yang tak kalah dengan Yogyakarta. Jalur wisata jalan kaki, becak, angkot, maupun kendaraan pribadi perlu dikemas dan dipromosikan dengan baik. Kalau dilakukan terus menerus, bukan tidak mustahil kota ini akan ramai sepanjang tahun. Follow blog ini juga, karena tempat-tempat di atas akan diulas lebih mendetail.

solo

Mlaku dewek, tah? Bagen bae, jeh!

depok-manggarai-pulomas-depok-gajahmada-depok-sabang-bandung. 07.06.15.
Tulisan ini diikutkan dalam lomba “Travelio #YourTripYourPrice Solo Traveling Blog Competition” yang di-host oleh wiranurmansyah.com dan disponsori oleh Travelio.com

ramadhan itu istimewa

$
0
0

masjid istiqlal

Malam ini, seperti kebiasaanku di tahun-tahun sebelumnya sejak 12 tahun yang lalu mengadu nasib di ibukota, aku pulang terburu-buru untuk menunaikan ibadah sholat tarawih pertama bersama keluarga. Buatku pribadi, sholat tarawih pertama menjadi penting sebagai penanda masuknya bulan Ramadhan yang menjadi bulan yang istimewa.

Sejak pertama kali diperkenalkan dengan bulan Ramadhan sewaktu kecil, aku merasa bulan ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya sepanjang tahun. Pikiran anak kecil yang sederhana ini hanyalah kalau bulan puasa, mama tak akan ribut menyuruh aku makan (itulah kenapa badanku kecil). Setiap sore selalu ada penganan dan minuman segar lezat yang dihidangkan. Kami sekeluarga akan menunggu adzan magrib untuk berbuka bersama dan sholat magrib bersama-sama. Lalu aku akan bergerombol dengan teman-teman menuju masjid untuk (niatnya) sholat isya dan tarawih, walaupun kadang lebih sering bermain-main ketika orang dewasa sholat, dan hanya menghampiri penceramah untuk meminta tanda tangan dan cap masjid. Jika tidak lengkap, bisa-bisa nilai agamaku jatuh.

Yang lebih istimewa dari bulan puasa ini, biasanya sekolah libur 1-2 minggu. Jadi puaslah aku bangun siang setiap hari sesudah terkantuk-kantuk bangun sahur, makan banyak, menunggu waktu subuh, hingga tertidur lagi sampai jam delapan pagi. Sekitar jam sepuluh aku mengikuti kegiatan pesantren kilat di masjid sekitar. Apalagi jika waktunya pulang kampung, ke Tulung Agung atau Cirebon, banyak aktivitas khas daerah yang bisa diikuti di sana.

Ketika menginjak bangku kuliah, perlahan bulan puasa mulai menjadi tidak istimewa. Ini dimulai dengan jadwal kuliah yang sama sekali tak berubah, dan tugas-tugas menumpuk yang tetap harus diselesaikan. Kadang-kadang teman-teman ngabuburit dengan mengajak jogging keliling stadion, dengan harapan selesai olahraga tibalah waktu berbuka. Di masa-masa inilah aku mulai jarang pulang untuk berbuka, lebih sering berkumpul dengan teman-teman, dan tak lagi sempat mencicipi kolak buatan mama. Apalagi tak lagi ada kewajiban mengumpulkan tanda tangan penceramah tarawih, sehingga sholat sunnah ini juga kerap kutinggalkan.

Aku sempat mengikuti kegiatan penelitian ke pemukiman transmigrasi di Lampung yang berlangsung saat bulan puasa. Sebenarnya hanya survey, namun karena jarak antar rumah yang kami ambil datanya cukup jauh satu sama lain, dan dengan sinar matahari Lampung yang terik, sehingga kegiatan ini cukup menguras tenaga. Saat itu aku merasakan berpuasa di kampung orang, dengan makanan secukupnya untuk buka maupun sahur. Rasanya tak beda dengan penelitian sehari-hari, cuma ini harus menahan lapar saja.

Apalagi, sahabat-sahabatku yang lima orang itu semuanya non muslim, sehingga kadang aku ikut menemani mereka makan sementara aku tetap berpuasa. Bukan, mereka tidak akan mengajakku membatalkan puasa atau menghormati mereka yang tak berpuasa, namun tenggang rasa sewajarnya. Di kala lain, ketika mereka sedang beribadah dengan agamanya masing-masing pun kami tak saling ganggu.

Di masa-masa kuliah, ada banyak kegiatan yang tetap berjalan sebagaimana biasa walaupun di bulan Ramadhan. Tugas-tugas yang sering membuatku tidak tidur tiga hari pun tidak punya dispensasi apabila waktunya presentasi. Selain kegiatan musik dan lalala, di Senat Mahasiswa pun semua kegiatan kepanitiaan tetap berjalan. Bahkan aku sempat membuat pooling tentang Kerja Sosial (acara rutinnya Fakultas Teknik) tentang tetap menyelenggarakan Kersos yang menguras fisik di bulan Ramadhan. Bayangkan, kalau begini, apa beda Ramadhan dengan bulan-bulan lain? Bagaimana aku menganggapnya istimewa?

Ketika mulai bekerja, mulai terasa lelahnya. Jika dulu sewaktu kuliah jika ingin buka di rumah aku tinggal pulang sore dan makan penganan, ketika berkantor di Jakarta, bagaimana bisa sampai cepat di rumah? (catatan : Depok dan Jakarta timur itu beda propinsi). Jam kerja yang tak berubah, mendengar adzan magrib dari bus yang berdesakan, di mana aku berhimpitan di dalam, beringsut-ingsut membuka ta’jil dua tiga kue, dan segelas air mineral untuk membatalkan puasa. Belum lagi cerita mengantuknya di pagi hari karena tidur malam terpotong waktu sahur.

Tapi mau bagaimana lagi? Hingga bertahun-tahun kemudian di beberapa kantor tempat aku bekerja tidak pernah menjadikan bulan Ramadhan ini istimewa. Jam kerja tidak berubah, kesibukan tetap berjalan, dan tetap berlarian mengejar kereta atau bis untuk berdesakan di dalamnya tepat ketika adzan magrib berkumandang. Aku tak pernah lagi menonton kultum ataupun sekadar melihat iklan sirup yang marak ditayangkan. Seberapa istimewa aku menyambutnya dengan tarawih perdana, selanjutnya akan kembali lagi ke aktivitas biasa. Bahkan dua tahun terakhir ini, aku tetap traveling di bulan puasa, dengan kegiatan yang sama, bedanya cuma tidak makan di siang harinya saja.

Minggu lalu satu klienku yang berasal dari Tiongkok dan muslim bertanya, “Are there any holiday for you during Ramadhan?” Aku menjawab tidak. Anak sekolah mungkin iya, tapi pekerja kantoran tidak. Kami harus tetap menjalankan pekerjaan kami, begitu jawabku. Ia terkejut dan bercerita bahwa ia mengambil cuti liburan satu bulan untuk pulang ke Tiongkok dan berkonsentrasi ibadah di bulan Ramadhan. Wah, tentu saja aku iri mendengarnya.

Tentu saja sesudah ditempa berpuasa setiap tahun, tidak membuat diri menjadi manja. Jika ia bisa membuat bulan puasanya istimewa, kenapa aku tidak? Karena itu aku masih mengejar untuk sholat tarawih di rumah, untuk merasakan pengalaman waktu yang cuma setahun sekali itu. Tetap bekerja, menunaikan ilmu pengetahuan, dan mengatur waktu pulang. Ya, aku sudah tak terikat lagi oleh yang mesin absen yang bisa memotong gajimu tanpa sadar. Mungkin Allah memberi kesempatan untukku tetap berkarya dan mengistimewakan Ramadhan. Bulan ketika kita lebih mengekang hawa nafsu dan menahan diri dari emosi. Tidak mempersulit diri supaya tidak juga melelahkan hati.

Tahun ini, aku memutuskan untuk melewatkan Ramadhan di kantor dan di rumah. Membantu mama menyiapkan sahur, merencanakan untuk memasak menu-menu baru untuk berbuka (yes, tadi siang berhasil menemukan resep pindang patin palembang), belajar mengaji lagi, dan tidak merencanakan traveling. Tahun ini aku kembali ingin mengistimewakan Ramadhan seperti masa aku kecil dulu, menjadikannya bulan yang berarti. Seperti senyum ceriaku waktu kecil dulu, kali ini harus tetap tersenyum, untuk keikhlasan (atas kehilangan-kehilangan yang sudah lewat). Melepas semua pikiran-pikiran buruk, dan menenangkan hati, seperti perasaan nyaman ketika menunaikan ibadah di masjid. Ramadhan ini ingin dinikmati tanpa banyak ambisi, dengan sederhana dan tentu, istimewa.

Bila diumpamakan dengan ruang, Ramadhan adalah dimensi waktu, di mana semua yang baik-baik semestinya hadir. Dan memang seharusnya sepanjang waktu sehingga tak lagi hal-hal negatif muncul. Tapi memang hidup perlu keseimbangan.

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan juga. Damai, ya.
1 Ramadhan 1436 H


menjajal rangers chicken di MORStore gajahmada

$
0
0

cover MOR

I brush my teeth with a leg of fried chicken, and gravy is my toothpaste.
Jarod Kintz, This Book Has No Title 

Apa yang membuatku kabur dari meeting sabtuan di kantor dan memilih makan ayam? Tentu saja ketemu dengan kak Cerita Eka yang centil dan super ceriwis sesudah mendapat undangannya untuk menjajal salah satu restoran di daerah Gajahmada, Jakarta Pusat. Melihat alamatnya, kelihatannya cukup strategis dan mudah dijangkau, ya.

Benar saja, hanya berjalan-jalan cantik sejenak dari halte busway Harmoni, walaupun agak panas terik, namun menemukan toko (ternyata bukan restoran) MORStore yang ber-AC amat melegakan jiwa (katanya petualang, tapi ketemu ruang dingin girangnya bukan main). Langsung saja aku bercipika-cipiki dengan kak Eka termasuk membesut gosip yang cuma kami berdua yang tahu (hush!). Tapi tentang MORStore sendiri, buat apa dirahasiakan, justru banyak hal-hal asyik yang bisa dibagi.

Pertama, MORStore itu sudah berdiri sejak tahun 2013.
Pertama dibuka di daerah Semanan, Kalideres. MORStore adalah anak perusahaan dari OrangTua Groups yang menyasar anak-anak muda untuk menjadi pelanggannya. Hingga kini, MORStore sudah memiliki 15 gerai di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Karawang, Bekasi, dan Bandung. Hmm, menunggu dibuka di Depok, deh. Kan tempat tinggalku ini banyak anak mudanya. MORStore yang kukunjungi ini terletak di Jalan Gajahmada, benar-benar pusat bisnis di Jakarta. Hanya selari-larian dari halte busway Harmoni, cocok sekali untuk tempat janjian sambil menunggu jalur bepergian selanjutnya.

mas Hartadi, seorang expert traveler yang asyik membuat janji diMORStore yang strategis

mas Hartadi, seorang expert traveler yang asyik membuat janji diMORStore yang strategis

Kedua, MORStore itu konsepnya convenience store.
Karena didirikan di tempat-tempat dengan aktivitas yang tinggi, MORStore ini menyediakan tempat dengan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan. Disini dijual barang-barang dan makanan yang juga dijual di minimarket, tapi juga masakan matang yang bisa benar-benar mengenyangkan perut, termasuk aneka pillihan minuman. Koneksi Wifi dan power outlet bisa didapatkan dengan mudah, sehingga pelanggan bisa nyaman berinteraksi dengan dunia maya di sini. Konsep bersaingnya di sini adalah MORe fun (lebih asyik), MORe unique (lebih berkarakter), MORe comfortable (lebih nyaman), MORe valuable (lebih bernilai), dan MORe choices (lebih banyak pilihan).

asyik buat nongkrong-nongkrong gaul

asyik buat nongkrong-nongkrong gaul

Ketiga, MORStore bisa kongkow sama teman-teman.
Lokasinya yang strategis dan tempat makan yang lumayan luas, membuat MORStore bisa menjadi salah satu pilihan untuk kongkow sama teman-teman. Karena di tepi-tepi jalan besar, tinggal parkir dan masuk, sudah bisa bertemu dengan teman untuk membicarakn sesuatu, atau sekadar temu kangen saja. Jika menghubungi Store Manager terlebih dahulu, bisa minta arrange tempat untuk acaranya, lho. Jadi nggak mengganggu pengunjung lain. Siapa tahu juga ada bonus-bonus kejutan dari tokonya. Asyik, nih.

Bulan menunggu makanannya datang di MORStore

Bulan menunggu makanannya datang di MORStore

kumpul-kumpul mengabadikan ayam

kumpul-kumpul mengabadikan ayam


Keempat, ayamnya enak!

Ada dua macam ayam di MORStore, merupakan Signature dishesnya yang berlabel Rangers Chicken. Pertama adalah ayam goreng crispy yang mirip dengan ayam goreng lainnya, tapi bedanya rasanya lebih gurih dan dagingnya yang juicy karena dimasak dengan 8 bumbu rahasia, hmm.. jadi penasaran. Ayamnya digoreng kering hanya sekali dan apabila tidak laku dalam tiga jam, maka yang tersaji akan diganti dengan ayam baru. Selain itu ada Korean Chicken Wings yang baru disiapkan ketika pelanggan memesan. Bumbunya campuran manis pedas dan basah yang meninggalkan rasa di lidah cukup lama, rasanya kepengin nambah terus!

ayam gorengnya didandanin!

ayam gorengnya didandanin!

korean chicken wing. my favorite!

korean chicken wing.
my favorite!


Kelima, saosnya macam-macam!

Jika di restoran lain hanya ada dua macam saos dan sambal, di MORStore bisa mengkombinasikan 8 macam saus dengan rasa yang berbeda-beda. Ada Saus sambal, Saus tomat, Sambel Terasi, Sambel Rawit, Bbq Sauce, Saus Keju, Mayonaise, Kecap Manis. Tergantung selera masing-masing ketika mencoba saos ditemani ayam-ayam ini. Apalagi jika kreasi sausnya dihiaskan di piring kertas. Bisa lucu, nih. Bermain dengan tampilan, kemudian dimakan.

aneka saus teman ayam di MORStore. mau coba?

aneka saus teman ayam di MORStore. mau coba?

Keenam, makanannya macam-macam!
Aneka menu lain seperti Spaghetti arabiata, Chicken Grill Rice, Katsudon, Nasi Uduk, dan menu lainnya yang bisa dihangatkan di microwave siap mengenyangkan perut yang agak lapar. Lebih banyak variasi menu makanan dengan harga yang terjangkau,sesuai dengan lidah kita Indonesia. Satu menu favoritku adalah Wakasei Salmon Rice dengan saus mayo yang pas banget untuk makan malam. Nasi yang empuk dengan salad ditambah irisan salmon matang memenuhi mulutku yang memang penggemar ikan.

salmon donburi rice bowl

salmon donburi rice bowl

 

coleslaw salad

coleslaw salad

Ketujuh, desain ruangnya kompak.
Dibahas dari sisi efektivitas ruang, MORStore Gajahmada ini cukup pas untuk dikelilingi. Tinggi rak seperti umumnya di minimarket lainnya, 150 cm tingginya, sehingga tidak mungkin kehilangan teman yang sedang belanja di sisi lainnya. Aneka dispenser minuman di bagian dalam dengan meja sajinya sendiri. Semua sisi luarnya dengan kaca full dari plafon hingga lantai membuat apa yang terjadi di dalam toko bisa terlihat jelas dari luar.

rak-rak rendah berisi cemilan

rak-rak rendah berisi cemilan

 

gerai minuman hangat dan dingin. but, i need greentea.

gerai minuman hangat dan dingin. but, i need greentea.

Bonus lainnya, tentu saja bertemu dengan teman-teman baru yang banyak. Sesudah kuis menghias ayam dengan saos-saos dan sayur-sayuran lucu, memotret makanan dengan perut mendadak lapar, menghabiskan beberapa potong ayam goreng dan korean chicken wings, memindahkan salmon rice ke perut, lalu tidak kuat lagi untuk menghabiskan puding berlapis saus cherry yang menggoda. Terakhir masih ada tawaran es krim. Hmm, lumayan juga untuk menggemukkan badan.

Oh, jangan lupa, sesudah makan, aneka gelas dan piring kertasnya dibuang sendiri ke tempat sampah yang tersedia, ya.

[Makan-makan 10 Juni 2015]

Tulisan ini diikutsertakan lomba blog bersama @MORStore

kreasi ayam centil ala-ala

kreasi ayam centil ala-ala


keraton kasepuhan: penanda masa cakrabuana

$
0
0

keraton-kasepuhan-cirebon-2-tempat-raja-Mande-Malang-Sumirang

Above us our palace waits, the only one I’ve ever needed. Its walls are space, its floor is sky, its center everywhere. We rise; the shapes cluster around us in welcome, dissolving and forming again like fireflies in a summer evening.
― Chitra Banerjee Divakaruni, The Palace of Illusions

Jika disebut ‘keraton’ saja di Cirebon, kebanyakan orang hanya tahu Keraton Kasepuhan yang berada di arah timur. Padahal sebenarnya di Cirebon ada dua keraton lagi yang bisa dikunjungi. Memang kompleks Kasepuhan ini paling tua jika dibandingkan dengan dua keraton lagi, Kanoman dan Kacirebonan, karenanya menjadi paling populer. Apalagi berbagai kegiatan budaya di Cirebon lebih sering dilaksanakan di alun-alun Keraton Kasepuhan.

Sebagai seseorang yang pernah numpang lahir saja di Cirebon, setiap liburan aku sering penasaran ada apa di dalam tempat tinggal raja-raja Cirebon ini. Tapi karena tidak tinggal dekat dengan keraton, maka keluargaku tidak pernah mengajak untuk jalan-jalan ke dekat sana, kecuali ketika ada acara malam Mauludan, dimana ada pasar malam dan aneka mainan dan makanan dijual, di depan Keraton Kasepuhan.

Dengan ketertarikanku pada budaya, aku menilik tiga keraton ini pada satu musim liburan, melihat peninggalan kerajaan di pesisir pantai ini. Hitung-hitung sambil melihat silsilah keluarga kami, walaupun sudah berjarak ratusan tahun. Kota Cirebon kini secara administratif dipimpin oleh Walikota, bukan salah satu dari ketiga penguasa keraton tersebut.

Satu keunikan dari keraton-keraton di Cirebon, selalu ada tumpukan batu karang di beberapa lokasi. Bisa jadi itu menggambarkan bahwa Cirebon yang berlokasi di tepi pantai sangat mengistimewakan laut, atau ada hubungan unik antara keraton dengan penguasa laut.

    If  you called ‘palace’ in Cirebon, most people only know Kasepuhan which is in the east. When in fact there are two palaces in Cirebon else can be visited. It is the oldest Kasepuhan complex when compared with the two palace again, Kanoman and Kacirebonan, thus becoming the most popular.

    As someone only was born in Cirebon, every holiday I often wondered about life inside the palace. With my interest in culture, I consider three of this palace in the holiday season, see the relics of the kingdom on the coast this. One uniqueness of the palaces in Cirebon, there is always a pile of reef rocks in multiple locations. It could be that it illustrates that the Cirebon is located on the waterfront is very privileging the sea, or there is a unique relationship between the palace with the sea owner?

Aku pertama kali mengunjungi Keraton Kasepuhan pada tahun 1997, ketika itu ada Festival Keraton Nusantara. Sesudah itu sekitar tahun 2008 aku kesana bersama teman-teman. Ternyata ketika beberapa bulan yang lalu ke sana lagi, masih tidak terlalu banyak berbeda. Keraton Kasepuhan tidak terlalu jauh dari pusat kota Cirebon ke arah timur, bisa ditempuh sekitar 20 menit naik becak dari stasiun Cirebon.

Bagian depan dari Keraton Kasepuhan diawali dengan area Siti Hinggil yang berarti tanah yang ditinggikan. Area ini adalah tempat raja melihat latihan keprajuritan. Semua bangunan maupun dinding di Siti Hinggil terbuat dari bata merah, mengingatkan pada ciri kerajaan di masa Hindu. Bata-bata merah yang menempel tanpa adukan ini dijadikan dasaran dari beberapa bangunan terbuka di dalam area. Selain itu di sekeliling dibangun tembok bata setinggi perut jika dari dalam, namun setinggi kepala jika dari luar. Gapura berwujud Candi Bentar menjadi laluan yang harus dilewati untuk memasuki Siti Hinggil.

    The front part of Kasepuhan starting with ‘Siti Hinggil’ meaning elevated land. This place is where the king watch his soldier’s training. All buildings and walls in Siti Hinggil made of red brick, reminiscent of the characteristic Hindu kingdom in the past. Those red bricks without mortar was used as the base  of several open buildings. Linier brick wall was built around as high as our stomach, but the head level from the outside. Gateway as Bentar Temple must pass to enter Siti Hinggil.
gerbang masuk pelataran siti hinggil

gerbang masuk pelataran siti hinggil

gapura lengkung batu bata laluan masuk keraton gapura candi bentar laluan masuk ke siti hinggil

gapura lengkung batu bata laluan masuk keraton
gapura candi bentar laluan masuk ke siti hinggil

Bangunan-bangunan ini memiliki atap limasan dengan beberapa macam jumlah tiang tumpuan. Tiang tumpuan terbanyak adalah enam buah dimiliki oleh limasan utama, Mande Malang Semirang, tempat berkedudukan raja di depan alun-alun kasepuhan. Sementara juga ada Mande Pandawa Lima, dulu difungsikan tempat duduk panglima, tiangnya lima melambangkan rukun Islam. Mande Pengiring dulu difungsikan sebagai tempat duduk para pengiring rajadan ditumpu oleh empat tiang dengan cungkup atap yang lancip. Mande Karesmen yang juga bertiang tumpu  empat, yang sampai sekarang masih difungsikan untuk membunyikan gamelan sekaten setiap Idul Fitri memiliki wuwungan atap mendatar. Tidak tahu apa material atapnya di zaman dulu, sekarang menggunakan sirap kayu sehingga kelihatan alami.

    These buildings have a pyramid roof with several pedestal pole number. The main pyramid, Mande Malang Semirang, has six main pole. There is also Mande Pandawa Lima, with five pillars, Mande Pengiring with four main pole with a pointed roof cupola. Mande Karesmen also have four main pole with horizontal roof line. Their roof used wood shingles to get the natural looks.
mande pengiring yang beratap perisai lancip

mande pengiring yang beratap perisai lancip

mande karesmen tempat menyimpan gamelan sekaten

mande karesmen tempat menyimpan gamelan sekaten

struktur atap empat tiang

struktur atap empat tiang

mande pengawal dan detil kepala tiang yang unik

mande pengawal dan detil kepala tiang yang unik

Untuk masuk ke area keraton, melalui gerbang-gerbang besar dan pelataran yang cukup luas. Sebenarnya ada dua bangunan yaitu Museum Kereta dan Museum Benda Pusaka yang bisa dimasuki, namun karena sudah pernah melihat-lihat isinya dulu, dan tidak tertarik, aku memilih untuk mengamati bangunan keratonnya saja.

Salah satu ciri khas keraton Kasepuhan adalah architrave berbentuk mahkota untuk masuk ke pendopo utama yang berwarna putih. Sepertinya bentuk ini dipengaruhi juga oleh kebudayaan Eropa. Posisi Keraton yang tidak jauh dari pelabuhan memberikan akulturasi dengan budaya setempat.

Biasanya di pendopo terdapat kursi-kursi berderet sebagai perlambang penyambutan tamu, kemudian bisa terus masuk ke dalam untuk menilik singgasana raja. Namun entah sejak kapan, kursi-kursi ini tidak ada, dan area yang bisa dikunjungi tamu hanya sebatas pendopo saja, tidak bisa lebih jauh. Mungkin kalau punya kerabat kerajaan, bisa main-main ke sini. Aih, darahku kurang biru rupanya.

    One characteristic of Kasepuhan palace is shaped architrave crown before enter the main white pavilion. Looks like this shape is also influenced by European culture because the palace’s position is not far from the port and creates aculturation.
    Usually in the pavilion seats are lined as a symbol of welcoming guests, then can continue to go inside to view the king’s throne. Anyway, now these seats do not exist, and visitor can not go further than the pavilion. Maybe if you had a relationship with royal family, you can try to look around.
bangunan utama keraton kasepuhan

bangunan utama keraton kasepuhan

singa barong kembar, perlambang keberanian

singa barong kembar, perlambang keberanian

pendopo yang kosong, tempat raja menerima tamu

pendopo yang kosong, tempat raja menerima tamu

tiang-tiang bergaya eropa dengan ditempel keramik-keramik cina

tiang-tiang bergaya eropa dengan ditempel keramik-keramik cina

motif keramik dan relung berisi batu

motif keramik dan relung berisi batu

Nah, untuk pertama kalinya aku masuk ke area Keraton Pakungwati yang merupakan cikal bakal Keraton Kasepuhan. Begitu melewati gerbangnya, suasana senyap dan dingin langsung merasuki. Pepohonan teramat rimbun menaungi sehingga cahaya matahari hanya masuk di sela-selanya. Pemandu membawaku ke depan satu kolam batu karang yang kukenali berfungsi sebagai Taman Sari, tempat mandi puteri-puteri raja. Benar saja, tak jauh dari situ adalah Paseban Putri, tempat perempuan berkumpul. Sementara di sebelah dalam, terdapat masjid dan tempat air suci, yang sayangnya, perempuan dilarang masuk.

Dinding-dinding area Pakungwati ini dengan bata merah yang berukuran cukup besar. Pasangan bata itu dilekatkan begitu saja tanpa adukan, namun banyak yang sudah tidak utuh lagi. Kelihatan dari ketinggiannya yang tidak sama lagi. Beberapa kolam-kolam juga dalam keadaan lumutan dan tak terawat. Namun beberapa gapura yang dibangun dengan sistem batu kunci pada bata, masih berdiri tegak. Teknologi batu di masa lalu memang dipelajari oleh ahli-ahli bangunan di masa lalu dengan amat baik.

    Once through the gate of Pakungwati, the prime area for Kasepuhan, the atmosphere is quiet and cool immediately. Shade trees and sunlight just go in between them. Guides took me to the next one I recognized reef rock pools as Taman Sari, the princess watery area. There’s a gate beside the house to mosque and holy water, but forbidden to female. The walls of this Pakungwati area with large red brick. Masonry was attached to it without mortar, but many are no longer intact because its height are not the same anymore. Some pools are covered with moss and less maintain. But some archway built with brick keystone  systems, still standing upright. Stone technology in the past was studied by experts of the building very well.
pasangan bata di area Pakungwati, besar-besar dengan sistem kunci batu.

pasangan bata di area Pakungwati, besar-besar dengan sistem kunci batu.

taman sari batu karang, tempat putri-putri dulu mandi

taman sari batu karang, tempat putri-putri dulu mandi

paseban keputrian

paseban keputrian

Sebagai jejak masa lalu yang masih terawat apik ini, Cirebon punya potensi pariwisata yang cukup besar untuk destinasi budaya. Meningkatkan kepedulian dan kebanggaan orang Cirebon terhadap daerah tinggalnya ini bisa memperkuat promosi budaya kota udang ini.

Belum lagi daerah pemukimannya yang merupakan akulturasi Melayu, Arab dan Cina, pola jalan grid membuat mudah menemukan orientasi. Area keraton, toko-toko Pecinan, rumah-rumah gedong, hingga kantong-kantong kampung di Cirebon menarik untuk dijelajahi. Tentang rel, becak, angkot, hingga sungai yang mendominasi kota. Apalagi sambil mendengar dialek Cirebon yang keras dan kencang dipercakapkan dengan akrab, khas daerah pesisir.

Karena bukan cuma den dan nok yang harus diandalkan untuk mempromosikan kota Cirebon sehingga terbit rasa aman dan nyaman dikunjungi, tetapi juga kita, yang rindu untuk selalu mengatakan pulang.

    As a city with three building complex into a trail past still maintained this slick, Cirebon has tourism potential which is large enough for a cultural destination. Increasing awareness and pride of Cirebon to the residence area can strengthen the promotion of shrimp culture of this city.

    The settlement area which is acculturation Malay, Arabic and Chinese, the street grid pattern makes it easy find orientation. Around the palace, shops Chinatown, big houses, villages in Cirebon interesting to explore. On the rails, tricycles, public transportation, to the river that dominates the town. Moreover, while hearing a dialect Cirebon be spoken loud and fast with the familiar, typical of coastal areas.

    Because not only the tourism city ambassador responsible to promote the city of Cirebon,  with the rising sense of security and comfortable visit, but also us, who desire to always say : home.

segera tentang keraton-keraton lain di Cirebon :
keraton Kanoman, tetap putih di tengah keramaian.
keraton Kacirebonan, ingatan muda sejarah keluarga.

cerita-cerita Cirebon :
cirebon : mudik dan perut yang manja
solo traveling at cirebon | bersendiri di kota udang


Viewing all 237 articles
Browse latest View live